🍃 life must go on

Sabar dikitttttt 🤸‍♂️

“Mbak overthinking tau,” ujar Wendi, akhirnya bisa napas lega setelah dengar pengakuan Soraya yang selebihnya hanyalah karangan gadis itu demi menutupi perasaannya. Untung Mbak Wendi percaya atau mungkin perempuan satu ini tidak begitu memerhatikan keanehan dua orang itu dalam satu ruangan. “Tadinya ngira kalian ada apa-apa soalnya Mas Tian tuh, gak pernah lepas tangan bukti lapas yang belum rampung.”

Kata-kata Mbak Wendi ini mengisyaratkan betapa ia sangat menghormati sosok Sebastian Fernando, seniornya di Divisi Editorial Sastra sebelum pindah ke divisi proofreading, terlepas dari sifatnya yang kelewat kritis sebenarnya Tian adalah sosok baik dan enak jika dijadikan partner diskusi sastra.

Disamping Mbak Wendi yang lega karena praduganya salah sasaran, Soraya yang udah kelewat panik mengira Mbak Wendi tahu sesuatu yang belum dia ketahui sehingga ia mencemaskan sesuatu itu akan merusak namanya sebagai Soraya Saraswati pemilik nama pena Saya. Dia khawatir hal buruk akan menimpanya dan penyebabnya tak lain karena Soraya merasa pernah suka Tian—atau memang masih suka.

Agak aneh sebetulnya, toh buat apa Soraya tadi panik ketika mendapatkan pernyataan itu sementara hubungannya sama Mas Tian emang enggak ada yang special selain korektor dan penulis.

“Emang Mas Tian enggak kasih tahu alasannya, Mbak?” Sekadar basa-basi, aslinya dia sekadar pengen tahu alasan Tian yang memilih bersikap tidak profesional itu.

“Manajer divisi korektor bilang sih, naskahmu udah ready buat dilempar ke divisi penerbitan. Sementara Mas Tian bilang ke Mbak Wen, ya ... kalau urusannya sama naskahmu udah selesai, gak ada yang perlu dikoreksi lagi. Revisi kemarin itu yang terakhir.”

Tian mungkin sudah berpikir keras malam itu mencari alasan logis yang dapat diterima oleh rekan kerjanya. Alasan mengapa dia selesai mengurus bukti lapas milik Soraya. Pernyataannya terjadi secara tiba-tiba, pagi ini, makanya Mbak Wendi bingung lebih-lebih hasil revisi baru Soraya belum ada di tangan mereka lalu dari mana Tian tahu kalau naskah Soraya selesai?

Pada titik itulah Mbak Wendi mulai berspekulasi bersama Putra yang langsung melesat ke mejanya saat mendengar buku Soraya selesai diurus Tian. Putra datang karena terlalu excited dengan hasil tulisan Soraya. Sebetulnya dia sudah rampung baca “Heart A Mess” dari beberapa bulan lalu sebelum karyanya itu dilirik sama penerbitan tempatnya kerja ini, saat menemukan cuplikan chapternya yang viral di Tok Tok.

Mbak Wendi hanya mengira bahwa telah terjadi gencatan senjata antara Tian dan Soraya. Mengingat betapa sering seniornya itu menyuruh penulisnya revisi naskah melulu, jadi ada kemungkinan Soraya mogok bicara ke Tian sebagai awal dari perselisihan mereka. Mbak Wendi berpikir Soraya tidak suka kalau Tian mengurus ceritanya, tidak suka dipaksa revisi terus-menerus, dan tidak suka kalau bukunya harus dirombak lagi. Lalu demi kenyamanan mereka dan menghindari konflik serius, Tian kemudian memutuskan untuk lepas tangan.

Dia merasa aksi mogok bicara itu baru saja terjadi kemarin. Makanya prasangka itu muncul usai pagi tadi dapat kabar Tian melempas naskah Soraya ke Uut, rekan satu divisinya. Lalu setelah di-cross check langsung ke Pak Yudi justru beritanya berbeda dengan yang dia dengar pagi itu. Pak Yudi malah minta supaya naskah Soraya dilempar ke bagian divisi penerbitan karena berdasarkan Tian naskah itu sudah rampung, lalu menurut Uut sendiri, “Iya, semalam Tian bilang gitu. Nyuruh mbak buat ambil alih bukti lepas penulismu, terus pas di kantor bilang lagi kalau naskahnya udah rampung.”

Wendi jadi bingung, tapi sekarang kebingungannya udah lumayan diminimalisir berkat pengakuan penulisnya.

“Terus ini revisinya, Mbak?”

“Nanti mbak cek lagi.”

“Bakal revisi lagi gak?”

Mbak Wendi menggeleng, “Kemungkinan gak, sih. Pak Yudi juga udah minta bukti lepasnya buat dicek beliau sebelum diserahkan ke divisi penerbitan.”

“Berarti tetap terbit tanggal 15, kan?”

Anggukannya itu langsung menimbulkan decakan girang dari penulisnya. Soraya jadi tak sabar menunggu hari esok, tepat pada tanggal 15 nanti bayi pertamanya bernama “Heart A Mess” lahir.

“Selamat, ya!” Ucapan Mbak Wendi dibalas cepat anggukan disertai cengiran lebar bibirnya.

Akhirnya setelah penantian panjang, bukunya akan terbit. Soraya tak bisa berhenti bersorak ria dalam hati dan mengucapkan terima kasih pada dirinya sendiri karena telah bekerja dengan baik. Kerja kerasnya selama ini akan segera dapat bayarannya.

Horeeeee!

🌶 hotsy-totsy🌶

Yang bikin Soraya kurang percaya semalam itu ialah informasi dari Mbak Wendi tentang penjualan bukunya pada hari pertama terbit. Di luar dugaannya sebagai penulis buku “Heart A Mess” pada malam pertama saat PO dibuka ternyata ribuan orang langsung menyerbu website Athena Publisher hingga menyebabkan down selama beberapa jam.

Ada lebih dari 2000 orang membeli bukunya pada malam pertama pembukaan PO. Ditambah siang ini jumlah pembelinya terus bertambah dan totalnya melebihi angka semalam. Pihak penerbitannya sebetulnya membatasi jumlah eksampler pada pre-order pertama buku Soraya dan di luar dugaan semua orang di hari kedua semua buku langsung sold out untuk bagian online, sedangkan penutupan PO baru terjadi empat hari lagi dan itu pun masih ada banyak calon pembacanya yang menanyakan ketersediaan buku sehingga pihak penerbitan melakukan penambahan lagi.

Soraya sampai tak bisa tidur nyenyak karena kepikiran terus sama jumlah pembeli bukunya. Ya ampun, kok orang-orang bisa suka bukuku sih? Soraya enggak menyangka bukunya akan se-booming itu sampai viral di Tok Tok berkat seorang pembaca yang curhat kalau dia gagal ikut war Heart A Mess. Follower-nya pun semakin hari semakin bertambah hingga mencapai angka di luar perkiraannya, ditambah lagi akun sosmed lainnya ikut-ikutan naik.

Lalu mendadak follower Instagram Soraya bertambah fantastis, menjadikan dirinya sebagai selebgram dadakan. Berkat bantuan pembacanya yang lagi-lagi memviralkan segala tentang tulisannya hingga sosoknya itu.

Berkat inilah belakangan ini Soraya jadi tak lagi memikirkan Tian, apalagi  beberapa hari ini mereka tak pernah lagi bertemu. Dan kalau dihitung-hitung tinggal dua hari lagi maka mereka pun resmi tidak saling bertemu selama sepekan.

Apa-apa kalau jadi viral pasti langsung terkenal. Soraya makin percaya bahwa kekuatan media sosial sekarang itu menakutkan sekaligus menguntungkan bagi sebagian orang yang kepengen jadi orang terkenal. Soraya sampai takut jika dianggap “bocah terkenal” oleh beberapa oknum yang menganggap dirinya ini sebagai selebgram dadakan, sementara dia sendiri jarang bikin postingan di akunnya itu.

Siang itu, Soraya udah dadan cantik banget. Rambut pendek sebahunya itu dicatok lalu dikasih sentuhan curly biar kelihatan elegan.  Pada dasarnya warna bibir alaminya soft pink, tapi berhubung siang itu dia kepengen kelihatan cheerful sekaligus elegan Soraya sengaja memilih pewarna bibir peach. Lalu dengan dress pendek putih dipadukan sama blazer pink membuatnya makin terlihat cantik.

Soraya mau ke toko buku menemui anak-anaknya yang hari itu mulai dijual secara offline. Mbak Wendi mengajaknya pergi bareng sekaligus ada sesuatu yang pengen dibicarakan. Seperti biasa mereka janjian ketemuan di Our Times Cafe, mengingat Mbak Wendi belum pernah main ke rumahnya dan ketimbang ribet mendingan meet up di tempat yang seolah jadi base camp pertemuan si editor sama penulisnya.

Mbak Wendi tiba lebih awal dari Soraya yang tadi sempat repot di rumah gara-gara pilih baju soalnya dia kepengen foto di toko bareng anak-anaknya, makanya hari ini dia harus tampil serba maksimal. Ayah sampai pangling dan mengira putrinya itu mau pergi kondangan saking enggak terbiasa lihat Soraya pakai dress. Putrinya itu tipe orang yang bakalan pakai dress kalau menghadiri acara resmi atau kegiatan yang mengharuskannya jadi perempuan sejati, seperti kondangan.

“Aya cantik, lho!” Mbak Wendi bahkan ikut pangling. Penulisnya ini dasarnya emang udah terlihat cantik, tapi giliran pakai dress auranya makin berlipat-lipat ganda. Soraya lebih terlihat anggun namun tetap jiwa remajanya yang serba cheerful tak lekat dari sosoknya ini.

“Mbak nanti pas di toko buku minta tolong fotoin, ya? Hehe tadi mau ngajak Bunga dia gak bisa.”

“Emang ke sana mau ngajakin foto kok,” kata Mbak Wendi tertawa melihat ekspresi polos penulisnya yang tidak dibuat-buat itu. “Oiya, selamat, ya! Bukumu udah jadi best-seller.”

“Makasih, Mbak.” Soraya merinding mendengar title yang belum lama ini didapatkan bukunya. Best seller. Mimpi apa dia semalam tiba-tiba dapat title itu—seriusan lho, Soraya sampai bingung dengan angka pembelinya yang makin terus bertambah setiap waktu sementara dia merasa bukunya masih banyak kekurangan.

Mereka akhirnya tiba di toko buku tak lama setelah melakukan perjalanan dari kafe dengan mobil pribadi Mbak Wendi. Sesampainya di dalam gedung tersebut, ternyata presensi mereka telah dinanti oleh manajer toko. Soraya tidak tahu kalau hari ini merupakan perdana peletakkan buku pertamanya secara offline di etalase toko buku terbesar ini. Dia kira kedatangannya kemari cuma sekadar mampir dan lihat-lihat, ternyata ada mini acara dan sesi foto bareng editor sama manajer toko dengan masing-masing orang memegang bukunya lalu di belakang punggung mereka adalah bukunya juga.

Begitu selesai Mbak Wendi langsung mengajaknya ke kantor perusahaannya selain ingin membicarakan sesuatu yang penting, Mbak Wendi juga bilang kalau di kantornya lagi ada perayaan kecil-kecilan oleh timnya karena buku debut Soraya laku besar. Soraya makin excited mendengar kata perayaan dan laku besar. Sesuatu yang jarang didengarnya ini membuat jantungnya berdetak karena semangat luar biasa.

Beberapa hari lalu dia sempat ngadain syukuran kecil-kecilan di rumah sama keluarga dan temannya Bunga. Ide ini datang langsung dari Ansel yang rutin mengikuti perkembangan buku Soraya, bahkan dia sampai memborong buku adiknya itu dalam jumlah banyak hanya untuk dibagikan gratis ke rekan kantornya.

Ansel berlebihan, kalau menurut Soraya. Beda lagi menurut Ansel dia tidak berlebihan kalau semua itu demi saudaranya sendiri. Toh, semakin banyak orang mengenal Soraya, maka semakin baik demi karirnya sebagai penulis nanti. Dan Ansel percaya kalau ini hanya awal dari perjalanan Soraya sebagai seorang penulis.

Dinding di dalam ruang yang dulu jadi tempatnya bertemu sama Mbak Wendi dan Tian itu kini ditempeli sebuah banner bertulisan “Congratulation Aya” dan orang-orang yang berdiri di belakang meja sambil memegangi bukunya sukses membuat remaja itu kaget sehingga mulutnya menganga lebar saking tak percayanya akan dapat kejutan datang langsung dari timnya Mbak Wendi.

“Selamat Aya!” Seorang laki-laki kemayu berlari ke arah Soraya sambil menentang sebuket bunga. “Ihhh ... ya ampunnnn cantik banget!”

Soraya tidak terbiasa pipinya dicoel tiba-tiba apalagi sama cowok yang baru ditemuinya sehingga ketika Putra tiba lalu mencoel pipinya karena gemas bisa bertemu langsung dengan penulis “Heart A Mess”, Soraya langsung meloncat kaget yang bikin lima orang di dalam ruangan itu tertawa geli termasuk Mbak Wendi.

“Udahlah, Put. Anaknya takut ketemu kamu yang jadi-jadian,” timpal seseorang di antara lima orang itu.

Putra menjulurkan lidah masa bodoh ke temannya itu, dan tetap berdiri di dekat Soraya yang kini sedang membiasakan diri di tengah kerumunan tim Mbak Wendi.

“Sebelum bahas hal penting, kita pesta dulu, yuk?” Mbak Wendi mendorong punggungnya perlahan menuju kelompok mini pestanya yang telah menanti Soraya ikut nimbrung bersama mereka.

Soraya tak luput melontarkan senyum pada wajah-wajah baru ditemuinya hari ini. Meski tak tahu siapa nama mereka, tapi mereka terlihat sangat baik padanya dan tak sungkan buat mengajaknya bicara meski semua itu hanyalah basa-basi belaka. Dua hingga tiga orang mengajaknya berfoto, termasuk si Putra yang enggak bosan ngajak Soraya take foto dan boomerang berkali-kali.

“Mas Tian gak jadi ikut?” tanya Wendi pada Putra yang masih ingin berfoto sama penulisnya.

“Gak jadi. Mas Ian sibuk.”

“Semalam bilangnya bisa, kok sekarang enggak?”

“Katanya baru dapat bukti lapas baru,” jawab Putra usai mengambil foto terakhir mereka yang kesepuluh.

Garis senyum di bibir Soraya perlahan menghilang seiring dirinya yang teringat kembali sosok Tian. Pantes saja dia merasa ada yang kurang saat mengamati wajah-wajah baru yang turut andil dalam mini perayaan kesuksesan buku debutnya. Ternyata sesuatu yang kurang itu presensi Mas Tian.

Soraya melirik kursi kosong yang dulunya tempat Tian duduk selama hadir di ruangan ini dan ikut andil dalam proses revisi naskahnya. Kebahagiaan yang tadinya dia rasakan dan memenuhi isi hati Soraya kini perlahan meninggalkan tempatnya. Soraya memandang lama bangku itu dengan mata setengah berkaca-kaca, hatinya pun mendadak sunyi dan semangat yang tadi menemaninya kini pun ikut berpaling dari dirinya. Mengkhianati kebahagiaan Soraya.

Jadi beneran gak bisa ketemu lagi, ya? pikirnya terasa hampa seketika.

🌶 hotsy-totsy 🌶

Berita yang ingin disampaikan Mbak Wendi ternyata ada salah satu rumah produksi film tertarik sama naskah Soraya dan ingin membelinya. Soraya yang kebetulan kehilangan mood sore itu meski ikut senang mendengar kabar baik datang langsung buat bukunya, dia hanya membalas omongan Mbak Wendi sepotong-potong dengan semangat yang tersisa.

Mbak Wendi tak menaruh curiga apa-apa padanya malahan berpikiran mungkin Soraya butuh waktu buat memikirkan tawaran dari rumah produksi film yang mengaku tertarik ingin membeli hak cipta naskah Soraya. Barangkali pula dia butuh berdiskusi sama pihak keluarganya terkait atau bisa juga pada dirinya mengingat dia adalah editornya. Lagian informasi yang diberikan terlalu cepat buat Soraya yang masih dibilang penulis baru di dunia sastra ini.

Dan jawaban remaja ini tetap sama, “Aku pikir-pikir lagi boleh gak, Mbak?”

“Iya, Aya, gak usah buru-buru.”

Soraya sekadar melontarkan senyum tipis sebelum mendesah.

AYAAA ... JANGAN ALAY DONG, AH! GAK SERU BANGET KAMU, TUH! Soraya dalam hati terus meneriaki dirinya yang serba murung dan semangat sors itu. Jadi film, Ay, jadi film! Ayo dong, semangat lagi! Katanya nggak mau jadi si Vera terus ngapain mikirin Ansel wanna be, sih?

Dan lagi dia menghela napas. Mbak Wendi memicingkan mata, tiba-tiba jadi tertarik ingin tahu penyebab penulisnya ini murung dan jadi sering membuang napas begini.

“Mau pulang sekarang? Mbak anterin, ya?” Alih-alih bertanya, Mbak Wendi justru menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang. Merasa prihatin dan mungkin saja Soraya berubah begini karena dia kecapekan.

Soraya pun tak menolak tawarannya. Memang tujuannya sekarang ini hanyalah pulang ke rumah supaya dapat mengontrol dirinya ketimbang tetap tinggal di tempat ini perasaan tak nyaman.

Keduanya lalu meninggalkan kursi dan ruangan itu, tapi sebelumnya Mbak Wendi izin sebentar ambil tas sama absen jari karena dia juga mau pulang. Sementara Soraya memilih buat menunggu Mbak Wendi di gedung parkiran yang letaknya ada di lantai dasar bagian Selatan dari kantor. Dengan begitu dia langsung masuk lift.

Kepalanya baru akan disandarkan ke dinding lift saat seruan terdengar dari depan memanggil namanya.

“Ayaa!!”

Soraya mengangkat kepala dan pandangannya bersamaan ke depan. Rara muncul di luar lift dengan senyum lebar sampai ke mata itu saat tak sengaja berjumpa Soraya. Wanita itu dengan girang lalu berlari masuk lift dan menyerbu Soraya dengan pelukannya.

Soraya yang tak siap dapat pelukan segera pegangan dinding lift, menahan diri supaya tak jatuh ke belakang.

“Seneng banget akhirnya ketemu lagi!” ujar Rara terus terang.

Namun, tak seterus terang Soraya yang justru terhenyak saat melihat sosoknya pun muncul di waktu bersamaan. Pria yang merusak hari bahagianya muncul di depan matanya. Berdiri dalam hening dengan tatapan yang sulit Soraya mengerti, membuat Soraya tak dapat berpaling dari mata itu.

Akan tetapi, presensinya yang turut hadir bersama Rara menyebabkan perasaan Soraya makin kacau. Karena dengan begini dia pun memahami satu hal: dengan pasangan ini muncul bersamaan di tempatnya kerja, Tian jadi semakin terbuka dengan status pernikahannya bersama Rara kepada teman sekantornya.

Agak telat updatenya huhu maaf yaa 🙆






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top