🤸♀️ jadi apa?
HOHOHO, MARI SALTO DULU KAWAN 🤸♀️
bismillah 🤲
“Tau gitu aku ikut, deh!” Bibir Rara manyun kecewa telat tahu rencana liburan ke pantai adik dan dua perempuan kenalannya ini.
Pagi itu waktu sarapan bareng, Noah tiba-tiba cerita versi pendek liburannya ke pantai bareng Soraya dan Bunga yang langsung bikin sang kakak memandangnya iri, enggak bisa ikut ke pantai sementara tiga hari kemarin dia habis touring bareng suaminya, yang sama aja kayak liburan. Tapi dari dulu Rara sebenarnya pengen pergi ke pantai cuma karena jadwal kerja belum bisa di-handle baik, planning-nya itu jadi sering tertunda. Dan baru-baru ini aja Rara boleh ambil cuti sama bosnya, demi menemani Tian touring sama komunitas motornya itu selama tiga hari.
“Kalau Mbak Rara mau, ya udah. Ayo, kita ke pantai lagi!” usul Noah menimbulkan sorakan girang dari penghuni kursi samping kirinya itu. Si perempuan yang pagi ini memakai daster dengan rambut lurus panjang setengah basah dan wajah polos bersih tanpa make-up.
“Gimana? Kalian ikut, kan?” tanya Rara menoleh cepat ke meja Soraya dan Bunga yang sengaja duduk sampingan itu. Keduanya saling bertukar pandang ragu. Ya ampun, kemarin kan, udah ke pantai masa sekarang ke pantai lagi?
Jawaban belum keluar dari mulut keduanya, Noah lebih dulu menimpali, “Udahlah, ikut aja. Lagian aku yang nganterin kalian pulang nanti.” Lebih tepatnya terdengar seperti ancaman.
Noah masih pengen sama Bunga, Soraya pengen balik rumah, dan Bunga udah pasti bakalan ikut keputusan temannya itu ketimbang Noah.
Heh, mulutnya! Rasanya Soraya ingin teriak begitu di depan wajah Noah yang selengekan dan enggak tahu diri di kursinya. Seakan dia sengaja pengen bikin Soraya misuh-misuh sepagi ini. Belum lagi rasa jengkel semalam ditipu mie masih tersemat di hatinya, jadi enggak aneh kalau tatapan Soraya ke Noah pagi ini bak tatapan macan betina ke rusa jantan. Dia siap meloncat ke depan dan menerkam Noa kemudian mencabik-cabik dagingnya.
Yang justru disalahartikan sama Rara. Rara mengira ada hubungan “special” antara Noah dan Soraya yang disembunyikan dari mereka. Praduganya ini didukung penuh sama inisiatif Noah yang pernah meminta nomer Soraya langsung padanya sehingga Rara mengira Noah suka Soraya. Terus dengan sendiri adiknya pengen ngajak gadis itu pedekate. Jadi, ketika dia memergoki Soraya menatap lurus ke arah Noah, dia langsung mesem-mesem berbahagia jika Noah memang tengah menjalin hubungan special dengan Soraya.
Noah sendiri belum pernah cerita ke kakaknya siapa cewek yang dia sukai. Baru Soraya yang tahu betapa Noah telah dibuat jatuh cinta sama Bunga. Dan Bunga sepertinya sudah tahu bagaimana upaya Noah yang tengah mencoba mendekatinya belakangan ini.
“Kita udah ke pantai kemarin,” kata Soraya berusaha menolak ajakan pasangan adik-kakak ini. Lagian dia bukan orang yang menggagumi pantai berlebihan, enggak kayak Rara paling suka sama keindahan lautan dan sejenisnya dan pantai selalu jadi nomer satu whislist liburannya, justru Soraya kalau pergi ke pantai atau melihat hamparan luas lautan di depan mata pikirannya suka berkeliaran ke mana-mana. Dia suka membayangkan apa jadinya jika air lautan itu mendadak naik ke permukaan dengan gelombang yang besar di saat dia bersama keluarga dan temannya sedang liburan di pantai.
Dia selalu merinding tiap membayangkan itu saat berada di kawasan pantai. Lalu kalau ngomongin soal wishlist liburan, udah jelas tujuan Soraya bakalan ke mana. Kebun binatang.
Haha.
Kedengarannya seperti wisata anak-anak SD dan SMP, tapi bagi Soraya dengan melihat bermacam-macam jenis binatang seluruh penat dan letih di pundaknya akan hilang dengan sendirinya. Karena selain melihat binatang, Soraya bisa mendengar berbagai macam suara, bentuk, rupa, dan perilaku para binatang itu sendiri. Dan sebagian dari mereka suka menantang dirinya untuk berkenalan atau sekadar mengambil foto bareng, tentunya bersama bantuan petugas kebun binatang karena mustahil bagi Soraya nekat masuk ke dalam tanpa pendamping.
“Gak ada salahnya dua kali ke sana,” timpal Noah sambil tetap melemparkan seringai menyebalkan yang ahli dia lakukan.
Soraya mendelik sebal. Ingin sekali dia melempar piring kotor miliknya itu ke wajah Noah, sebelum berpaling ke arah temannya. “Bunga gimana? Masih mau?” Yang terlihat anteng di kursi sambil menyimak serangkaian obrolan.
“Uhm ....”
“Bunga pasti mau!”
“Berisik banget, sih!” Soraya berseru keras sedikit kelepasan gara-gara Noah yang terus memancing emosinya. Membuat tiga kepala dan satu kepala yang baru tiba ke ruang makan itu tersentak kaget.
Rara sampai mengerjap tak percaya, Noah menyembunyikan senyum sambil meliriknya jahil—udah jelas kalau dia enggak merasa bersalah atau malahan sengaja begitu biar Soraya kepancing—Bunga bungkam, lalu Tian yang baru ikut gabung menghela napas. Setelah duduk di kursi sebelah Rara, dia kemudian menimpali, “Kalau emang gak mau, jangan dipaksa. Kita bisa pergi sendiri ke pantai.”
“Halah, gak seru!” Giliran Noah yang cemberut dan melirik sebal Soraya yang kini tersenyum kemenangan. Tapi karena dia masih belum terima pisah sspagi ini sama Bunga—bibit-bibit bucinnya mulai kelihatan—Noah berdiri dan menyeret kursinya jadi tepat di belakang Soraya.
Dasarnya Noah sering enggak tahu diri ini, dia yang pindah duduk di belakang si gadis bersurai pendek itu tiba-tiba menahan pundaknya jaga-jaga supaya Soraya tak kabur ketika Noah sedang membisikan sesuatu padanya. Rara mengamati tindakan adiknya itu menyeringai lebar menahan dorongan kuat dukungan hubungan mereka. Bunga yang di sebelah Soraya sedikit kecewa karena gagal menguping obrolan dua orang ini, suara Noah terlalu pelan dan hanya cukup didengarkan satu orang saja. Sementara Tian tampaknya malas berekspresi, dia terlihat anteng sambil menyantap sarapannya.
“Gimana, deal?” kata Noah diakhir setelah mengeluarkan jurus rayunya supaya Soraya mau bantuin dia lagi. Kali ini imbalannya lebih gede dari biasanya.
Imbalannya bukan sejumlah uang, melainkan sepaket buku yang sudah dari lama Soraya incar pengen beli sehingga jurus rayuan Noah itu langsung meluruhkan segenap kemarahannya pada Noah. Setelah deal berdua, akhirnya Soraya sepakat ikut pergi ke pantai sama Bunga yang telah menebak dari awal kalau ujung-ujungnya temannya itu bakalan setuju ikut.
Soraya tuh, gampang dirayu selama enggak disogok pakai duit melainkan sesuatu yang dia sukai.
Pada akhirnya mereka berlima, pagi itu selesai sarapan langsung pergi ke pantai sama yang kemarin Soraya datangin bareng Bunga dan Noah. Walaupun dirinya enggak se-excited Rara maupun Noah pas sampai pantai atau seperti Bunga yang menyembunyikan raut bahagianya bisa ke pantai lagi, dia tetap mengenang hari itu lewat lensa kamera ponselnya. Soraya bagian dokumentasi, selalu menolak ajakan ketiganya bermain.
Sekarang lihat, siapa yang seperti anak kecil. Jelas bukan Soraya karena dia tidak sesemangat ketiganya yang telah menceburkan seluruh badan di lautan. Bahkan mereka tertarik mau naik beberapa wahana water sports, seperti banana boat sama jet ski. Noah enggak akan melewatkan kesempatan itu buat pedekate sama Bunga. Pemuda itu terus menempeli teman Soraya, enggan melewatkan sedetik momen berharganya dari gadis yang disukainya.
Tapi karena di situ ada Rara juga, Noah mau tak mau harus ikut mengajak sang kakak buat berbahagia. Mereka bertiga sepakat buat mencoba naik banana boat dan Soraya yang sempat diajak langsung menolak. Pertama dia malas basah-basahan, kedua dia enggak minat naik banana boat, dan ketiga terik matahari telah memaksanya supaya tetap berteduh di bawah payung pantai.
Dia hanya akan menonton dari tempatnya dan menunggu ketiganya kembali dengan cerita serunya setelah menaiki banana boat.
Soraya duduk di atas sand beach mat yang disewa mereka tadi dengan satu payung sebagai atap pelindungnya dari matahari. Gadis itu menunggu sambil melihat-lihat hasil dokumentasinya yang jumlahnya lumayan banyak.
“Kamu gak mau ikut mereka?”
Tanpa perlu mendongak mencari tahu siapa orang yang berbicara padanya barusan, Soraya telah mengantongi jawabannya sendiri. Lagian suara baritonnya itu udah hapal di luar kepalanya sehingga perhatian gadis itu tetap fokus dengan gambar dan video di ponselnya.
Dia menggeleng sebagai jawabannya. “Mas Tian sendiri, kenapa gak ikut?” tanyanya tanpa berpaling dari layar ponsel sekalipun sosok Tian kini telah bergabung duduk di sebelahnya.
“Panas.”
“Takut kepanasan?”
“Mungkin,” balasnya setengah hati.
Selesai memilah foto dan video bagus yang sebagian dari mereka dia hapus biar tidak memenuhi memori hape, Soraya barulah mendongak dan panorama pertama yang dilihat tetaplah pantai.
“Wendi bilang kamu nolak kerjasama bareng rumah produksi.”
Soraya mengiyakan.
“Kenapa?”
“Kata Mas Aan jangan.” Soraya melanjutkan, “Ceritanya gak mendidik sama sekali. Haha.”
Tian menoleh ke arahnya dengan menurunkan salah satu alisnya yang lebat, nyaris mengerutkan dahi.
“Iya sih, uangnya banyak. Mengiurkan banget bagi penulis baru kayak saya ini yang ceritanya booming karena viral di sosmed. Haha, padahal itu salah satu wishlist saya, cerita dijadiin film. Tapi menurut Mas Aan sementara jangan dulu, jangan langsung terima semua ketenaran dalam sekejap. Proses saya buat jadi penulis yang lebih baik itu masih panjang, Heart A Mess hanya permulaan dan belum rejekinya aja buat dijadikan film,” jelasnya. “Terus dipikir-pikir lagi ceritanya kurang mendidik. Hahaha. Isinya kan, dari sudut pandang Vera, selingkuhan Ansel, sementara biasanya film-film tema gitu suka ambil dari sudut pandang istri laki-laki. Saya cemas, orang awam jadi berpikiran Heart A Mess meromantisasi perselingkuhan sementara tujuan saya bikin cerita itu sekadar pengen ngasih lihat sudut pandang Vera yang jadi selingkuhan Ansel.”
Tian menyimak, tapi juga tertarik dengan ide-idenya. “Kamu ingat, kenapa saya pernah bertanya alasanmu mengambil tema perselingkuhan?”
Soraya mengangguk. Akhirnya dia pun berpaling menghadap Tian. Membalas tatapannya itu tepat di matanya.
“Saya tertarik dari mana kamu mendapatkan ide itu.”
“Makanya Mas Tian nanya, itu dari pengalaman pribadi saya atau bukan, kan?”
Tian mengiyakan.
Soraya terkekeh geli. “Sebenarnya ide Heart A Mess muncul setelah nonton film, bukan karena pengalaman pribadi atau pengalaman teman. Justru awalnya saya pengen Vera jadi korban dari perselingkuhan bukan pelakunya. Terus setelah saya pikir berhari-hari, kayaknya lebih menantang kalau Vera yang jadi pelaku ketimbang korban.” Dia kembali mengenang coretan awal kerangka Heart A Mess sebelum cerita itu selesai dan terbit jadi sebuah novel. “Lagi pula, sudut pandang istri yang tersakiti sudah terlalu menjamur di luar sana. Itu yang bikin saya semakin tertarik buat ambil sudut pandang pelaku. Mungkin orang enggak akan sependapat sama pemikiran saya ini. Saya tahu jadi selingkuhan pasangan orang itu dosa besar, tapi saya tetap tertarik ambil dari sudut pandang pelaku. Saya pikir pelaku pun bisa jadi korban, hanya saja cara yang diambil itu salah.”
Mata itu saling mengawasi. Seolah kehidupan di sekitarnya berhenti dan semesta seakan hanya berpusat pada mereka. Suara yang mestinya terdengar dari berbagai sudut kini terasa lenyap, tersapu oleh ombak lautan, atau barangkali ikut terhapus dalam kekuataan maha dahsyat Thanos. Dan sialnya, dunia tanpa kehidupan makhluknya itu hanya menyisahkan sepasang.
“Mas Tian mau resign, ya?” Kata-kata itu keluar dari mulutnya setelah diam sepersekon tanpa memalingkan mata ke arah lain.
“Tahu dari mana?”
“Mbak Wendi sama temannya, si incess.”
Jika dia lupa siapa dirinya, mungkin Tian akan menyentuh wajah di depan matanya ini. Lalu menyingkirkan sehelai rambut yang barusan jatuh ke depan sehingga menghalangi sebagian dari pemandangannya. Tian melirik sebal ke arah rambut itu.
“Harusnya. Tapi gak jadi,” balasnya.
“Kenapa?”
“Manajer dan atasan nahan saya supaya gak resign dari perusahaan.”
Tian yang tak bisa menahan diri kemudian menarik tangan yang sejak lalu anteng di atas pangkuannya itu. Mendekatkan jari-jarinya ke wajah sang gadis yang bergeming itu untuk sekadar menyingkirkan helai rambut dan menyelipkan ke telinganya.
“Makasih, Mas Tian.” Soraya melempar senyum dengan kedua pipi memerah, tapi dia tetap berusaha tenang. Tian balas tersenyum dan mengangguk.
Mau seberapa keras upaya mereka ingin melupakan perasaan itu, mereka akan tetap kembali dengan perasaan sama. Orang-orang sekitarnya seolah ingin mereka tetap saling berhubungan, di saat mereka sendiri sedang mencoba untuk tidak berhubungan lagi. Baik Tian maupun Soraya, keduanya sama-sama bingung dengan situasinya ini maupun nanti.
HAHAHA 🤸♀️
Ngomong-ngomong, besok udah mulai puasa 🙆
Oiyaa, mau ngasih tau kalau Hotsy-Tosty ada di Fizzo dengan judul keduanya: The Devil With His Pen. Kalian tinggal search judulnya aja pasti nanti langsung ketemu kok hoho ((abaikan rated M sebenarnya gak rated M ceritanya, gatahu napa jadi gitu 😭)) sengaja gak pakai nama hippoyeaa 🤣
Terus bedanya sama Wattpad? Lebih tepatnya sih, Fizzo lebih banyak moment di awal-awal dibandingkan Wattpad. Spoiler: ada versi jahat, dikit kok 🤞
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top