🤳 happines, right?

Jangan marah, teman. Bahagia itu enggak harus bersama—eaaaa! Mending tengok saja scenario versi end game. Hohoho 🤸‍♀️

Seharian penuh ini dia cuma have fun bareng Bunga sama Mas Aan—alias Ansel—yang udah janjiin Soraya jalan-jalan dari taman hiburan sampai ke kebun binatang kalau libur kerja. Eh, enggak perlu menunggu saudaranya itu libur kerja minggu depan, Ansel justru ambil cuti tiga hari. Dan untungnya dia langsung mengantongin surat izin dari atasan.

Soraya girang bukan main. Udah kayak orang nemu rejeki nomplok berlipat-lipat ganda. Ditambah lagi pas Ansel pulang dia dibeliin laptop model baru. Katanya biar Soraya lebih giat lagi nulis dan enggak perlu ngeluh perihal laptopnya yang kadang suka ngelag itu. Soraya tak ada bosan-bosannya bilang terima kasih, bahkan dia tak menolak dijahili kakaknya seharian itu.

Terus pas di taman hiburan dia dibolehin naik segala wahana sama Bunga yang terpaksa ikut gara-gara Soraya terus rewel dengan dalih, “Nah, katanya mau bantu move on. Jadi, ayo, temenin!” Bunga yang udah berusaha keras nolak ajakan Soraya waktu naik wahana paling serem di matanya itu, langsung bergegas kabur waktu Soraya berpaling sesaat darinya terus menyeret Ansel supaya gantiin posisinya sebagai korban adiknya itu.

Baik Bunga maupun Ansel, dua-duanya telah jadi korban Soraya di taman hiburan karena nyaris semua wahana yang dia naikin memacu adrenalin mereka. Dasarnya Soraya tak kenal takut, asal skenanya memilih wahana yang menantang dirinya.

Cara dia buat merilekskan diri cukup sederhana. Ajak saja dia ke tempat-tempat yang punya banyak tantangan sehingga gadis remaja akhir itu jadi tertarik dan pantang menyerah sebelum uji nyali. Kayak bocah banget, ya? Haha, tapi emang begitulah Soraya melepaskan seluruh emosinya.

Puas sama taman hiburan, Soraya langsung minta pergi ke kebun binatang. Tiba-tiba dia kepengen lihat binatang alih-alih lihat pantai atau tempat yang sekiranya tenang dan minim perjalanan. Sedang ke kebun binatang ada dua pilihan: wisata mobil atau jalan kaki. Bunga dan Ansel sepakat pilih wisata mobil, mereka sama-sama enggak repot dan encok punggung gara-gara capek jalan keliling kebun binatang. Namun, pilihan keduanya beda sama pilihan Soraya yang justru lebih tertarik jalan kaki dan pemenangnya tetaplah Soraya karena hari ini memang milik gadis tersebut.

Herannya tuh, langkah Soraya enggak capek-capeknya sama sekali setelah berjalan berapa kilometer dari pintu masuk sampai ujung kebun binatang. Gadis ini tetap aktif seperti awal keberangkatannya dari rumah, berbeda sama Bunga dan Ansel yang sudah kayak kura-kura jalan. Lemot. Dikit-dikit minta istirahat saking enggak tahan lagi buat menggerakkan anggota tubuhnya itu.

“Ayo, Mas Aan lihat monyet.”

“Kamu gak capek, Ay?” tanya Bunga takjub sama energi si teman yang berlebih itu.

Soraya menggeleng sambil terus menarik-narik tangan Ansel supaya bangkit dan ikut menemaninya ke bagian monyet di ujung sana.

“Bentar, mas minum dulu.” Ansel sekalipun capek tetap enggak bisa membiarkan Soraya berkeliaran sendirian di tengah kerumunan manusia ini. Apalagi Soraya sering lupa arah, terus kalau dibiarin pergi sendirian nanti yang ada dia hilang. Ansel lalu bangkit setelah menegak minuman dan membuang botolnya ke tong sampah. “Bunga mau tetap ikut atau pulang naik kereta?”

Ada mini kereta sebagai alat transportasi perjalanan ke kebun binatang jika pengunjung merasa lelah berjalan.

“Keretas ajalah, Mas Aan. Capek!” Bunga nggak kuat. Mana lagi cuaca siang itu panas banget dan kaus yang dipakainya ini susah menyerap keringat. Jadi, Bunga sejak tadi merasa risih sama diri sendiri, dia butuh kipas angin.

Mas Ansel kemudian mengeluarkan dua lembar uang ratusan buat Bunga beli tiket kereta sama jajan kalau-kalau dia lapar selama menunggu pasangan adik-kakak itu yang pastinya akan lama baliknya sebelum Soraya puas dengan permintaannya.

“Siapa tau mau ngadem di mobil.” Kunci mobil diberikan sekaliguas sama Bunga, sebelum dia pamit menyusul Soraya yang telah duluan jalan memimpin di depan, sampai memaksa Ansel berlari terus menyahut tangan sang adik supaya tak kabur.

“Katanya mau lihat monyet?”

“Gak jadi.”

Ansel mengernyit penasaran. “Terus mau lihat apa lagi, Dek?”

“Badak.”

“Ya ampun!”

Soraya yang tiba-tiba berhenti jalan itu, memaksa Ansel mengerem kakinya dadakan, dan dia nyaris mencium punggung orang di depannya. Ansel mendesah sabar.

“Foto sama harimau serem gak sih, Mas?”

“Mana tahu. Mas belum pernah foto sama mereka ”

Soraya memicingkan mata, rasa tertarik dan penasarannya itu sekelabat terlihat di mata coklatnya yang kini berbinar-binar kagum pada angan di kepalanya itu. Soraya barusan membayangkan dirinya foto sama harimau. Agak kekanak-kanakkan sih, tapi nyatanya itu sukses membuatnya girang.

“Aku mau foto sama harimau, deh.”

“Gak jadi badak?!” Ansel nyaris memekikkan kata-kata itu saking takjubnya sama tujuan Soraya yang selalu berubah-ubah ini.

Soraya nyengir terus menyeret Ansel tanpa ampun. Huh, ngerepotin orang tua aja! Ansel yang pasrah tak banyak mengeluh, terlebih jika semua ini demi kebahagiaan adiknya dia menurut patuh saja.

Belakangan ini Ansel agak khawatir karena Soraya terus bertanya kapan dia pulang ke rumah, terus tiba-tiba ngaku kalau dia kangen dan rumah sepi tanpa Ansel. Enggak kayak biasa yang lebih seringnya menanyakan hal random kepadanya. Sebab itu, Ansel langsung mengajukan cuti tiga hari mumpung jatah cutinya belum pernah dia ambil.

“Habis dari kebun binatang pulang?” tanya Ansel sambil meremas tangan adiknya yang basah akibat keringat. Ansel lalu menyuruhnya berhenti jalan sementara, dia cuma kepengen mengusap keringat di tangan dan pelipis Soraya.

“Di rumah sepi,” katanya sedikit cemberut sambil melirik ke tangan sang kakak yang menyibakkan poni depan Soraya ke atas, sedang tangan satunya yang pegang tissue basah itu menyeka keringatnya.

“Kan ada Mas Aan, ibu, ayah ... masa tetap sepi, sih?” Niatan hari ini Ansel mau ngajakin liburan sekalian sama orang tua mereka, tapi gagal kemudian soalnya orang tuanya juga punya kerjaan. Terus sebagai gantinya Soraya mengajak Bunga.

Soraya bergeming membisu. Ansel tanpa sengaja menangkap keanehan tersirat di wajah adiknya itu langsung menyimpulkan sesuatu.

“Siapa yang bikin kamu kesel?”

“Bukan kesel, Mas. Tapi patah hati!” akunya dengan jujur tanpa perlu ditutup-tutupi. Toh, ini Ansel, kakaknya sendiri, dan Soraya terbiasa ngomong apa adanya sama Ansel meskipun kadang hubungan mereka kayak tom & jerry.

Lebih parahan dulu sih, waktu Ansel masih remaja ingusan dan Soraya bocah freak. Perlahan sikap kakaknya berubah jadi lebih dewasa semenjak kerja. Dibandingkan sama Ansel yang dulu hobinya ngusilin Soraya setiap waktu itu, Ansel yang sekarang tingkat usilnya bisa diminimalisir.

“Coba bilang mas, siapa yang bikin kamu patah hati.”

“Cowok.”

“Iya, tahu, Dek,” sahut Ansel gemas seraya mencubit pipinya. “Namanya siapa?”

“Ah, Mas gak kenal!” Kali ini dia terpaksa merahasiakan nama orang yang membuatnya patah hati dari Ansel. Kalau saudaranya sampai tahu siapa orangnya, bukan cuma Tian yang nanti kena omelan Ansel, tapi Soraya juga. Soalnya Ansel udah tahu kalau Tian punya istri waktu dia bertamu ke rumah dan Soraya-lah yang mengatakan hal tersebut pada sang kakak.

“Makanya karena gak kenal, kamu kasih tahu mas namanya siapa.”

“Nggak mau, ah. Mas Aan kalau marah serem!” ujarnya.

Ansel berdecak tak merasa aneh kalau Soraya mencoba menyembunyikan status cowok itu. Dia yang telanjur geregatan langsung mencubit kedua pipi Soraya dengan jari-jaripnya sehingga membuat wajah saudaranya itu jadi lebar.

“Lain kali kalau ada cowok deketin kamu, lapor Mas Aan dulu. Biar mas pastiin dia cowok bener, bukan cowok gadungan yang cuma datang buat nyakitin kamu!” tegurnya selepas melepaskan cubitan pipinya beralih mengusap surai Soraya.

Soraya hanya mengangguk paham dan kali ini dia akan bener-benar menurut sama omongan kakaknya. Mulai dari hari itu, buat siapa pun cowok yang mau deketin Soraya, pokoknya harus hadapin Ansel dulu kalau mau dapat izin.

Titik!

🌶 hotsy-totsy🌶

“Buku barunya si Aya, ya, Mbak?” tanya Putra waktu iseng mampir ke ruang kerja Mbak Wendi yang kelihatan sibuk depan laptop.

Mbak Wendi menoleh sambil menurunkan kacamata bacanya itu. “Kok tau?”

“Iya donggg, kan aku follow akun doi.” Putra melompat duduk di atas meja alih-alih kursi kosong di samping Wendi. “Yang alamusik ‘kan? Bagus tahu, Mbak, ceritanya. Malah menurutku lebih bagusan ini ketimbang Heart A Mess. Maksudku buat tokohnya.”

Ini buku kedua Soraya yang diurus Wendi yang nanti akan terbit setelah buku debutnya itu sukses besar di pasaran. Lalu tak lama buku seri pertamanya, “Alamusik”, booming di kalangan pembaca barunya. Terbitnya masih lama untuk sementara baru proses revisi editor. Rencana terbit ini pun muncul setelah Wendi melakukan rapat sama manajer dan atasan terkait buku kedua penulisnya.

“Udah sampai bagian mana, Mbak?”

“Bab sepuluh, masih tengah-tengahlah belum sampai selesai. Soraya juga masih harus ngurus buku kemarin.”

“Jadi semuanya mau diterbitin gitu? Alamusik kan berseries.”

Wendi menggeleng. “Series pertama dulu.”

“Ohh,” Putra bergumam sambil melirik layar laptop Wendi, “awas tuh kalau selesai bukti lepasnya jangan sampai ke tangan Mas Ian.”

Wendi bergidik horor mengingat kembali ketelodoran seseorang yang dengan bodohnya menyerahkan bukti lepas naskah Soraya ke meja Tian. Dan akibat naskah yang harusnya sudah selesai itu, harus direvisi berulang-ulang sampai mepet jadwal terbit.

“Eh, tapi aku denger-denger Mas Tian mau resign.”

“HAH? YANG BENER?” Wendi yang tersentak spontan mendorong kursinya ke belakang dan langsung menatap wajah Putra itu tak percaya. “Tahu dari mana?”

“Mbak Rara,” jawabnya. “Kemarin pas ketemu Mbak Rara di kompleks kita sempat ngobrol dikit.”

“Terus?”

“Mbak Rara bilang Mas Ian mau resign.

“Gak mungkin! Mas Ian kan, udah lama kerja di sini. Masa mau resign, sih?”

“Ihh, beneran tahu, Mbak!” serunya. “Aku lihat kemarin mereka juga angkutin barang dari rumah, kayaknya sih mau pindahan. Atau mungkin, kalau gosipnya dari tetangga rumah, Mas Tian sama Mbak Rara sepakat buat tinggal bareng di rumah orang tuanya Mbak Rara, sama sekalian mereka biar fokus ikut program bikin anak.”

“Kamu lagi gak bercanda ya, Put?”

Putra memutar bola mata. “Ngapain coba aku bercandain hidupnya Mas Ian?”

Wendi masih tak percaya kalau Tian, seniornya itu, akan segera resign dari perkerjaannya ini. Padahal di antara semua pegawai di sini yang paling kelihatan rajin itu Mas Tian. Dia bahkan jadi best employer selama beberapa kali dan jadi pegawai kesayangan manajer, baik divisi editor maupun proofreader. Kalau dia resign pasti bakalan banyak orang yang sedih.

“Sayang banget kalau Mas Tian resign,” gumam Wendi sedikit kurang suka jika seniornya yang super kritis itu meninggalkan posisinya.

“Emang,” balas Putra lalu meloncat turun dari meja. “Huhu kalau Mas Ian pergi udah gak ada yang ganteng di kantor. So sad, deh.”

Berita tentang resign Tian pun meledak seketika di kantor akibatnya mulut Putra yang tak bisa berhenti membual itu. Orang-orang pun saling membicarakannya tanpa terkecuali, bahkan para manajer yang baru tahu langsung menghubungi si bintang utama gosip yang kebetulan hari itu lagi libur kerja.

Tian yang kebetulan lagi ada di Our Times cafe lantas mengabaikan semua panggilan dari nomer-nomer yang dikenalnya itu. Enggak panggilan satu pun telepon yang dia terima sehingga ponselnya dibiarkan bergetar di dalam saku begitu saja.

Sedang Tian hanya duduk melamun di bangku dan meja sama seorang diri dari siang hingga menjelang sore ini. Posisinya yang terus merenung itu kadang menimbulkan keanehan di kalangan pegawai kafe. Lebih-lebih ketika semua orang menyadari Tian hanya duduk berjam-jam di bangku itu seorang diri dengan tatapan yang menyedihkan.

HAHAHAHAHA UDAH PART 18 AJA EUYYYYY

Tapi yaa, Tian-Aya itu mendingan karena penghalangnya cuma statusnya si Tian doang. Kalau Theo-Aria nanti penghalangnya satu kota, alias semua orang yang tinggal di kota itu nggak ngerestuin HAHAHAHA 😭🤧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top