🌾 feeling

Jangan lupa sahur 🙆

“Kirain emang pengen jengukin, taunya nganter paket doang.” Dia enggak tahu mau kecewa atau bersyukur karena menjenguk hanyalah alasan belaka Andra kemari buat nganterin paket padanya.

Iya, sang barista ke sini cuma nganter dua lembar kertas dari Theò yang dititipin ke Sabo terus dianterin Andra ke Soraya. Bukan karena emang dia kepengen jenguk Soraya pas tau orangnya dirawat rumah sakit. Mau kecewa, tapi ini Andra yang di matanya agak sulit didekatin sekalipun mereka kelihatan udah dekat.

Andra hanya menyeringai tipis menanggapi kekecewaannya, tanpa merayu atau mengarang indah tipikal cowok buaya untuk sekadar menyenangkan si cewek yang tengah merajuk itu. Tapi kan, Soraya bukan “si cewek” dalam artian kutip—ya wajar, kalau Andra biasa-biasa aja sama dia. Malah bisa dibilang Andra itu mlempem kayak kerupuk, dibandingkan Soraya anaknya super aktif udah kayak bunyi radio lagi siaran online.

Setelah nanya kabar dan keadaannya terus menyerahkan dua lembar kertas print-printan tersebut, Andra mau pamit pulang pada waktu itu dan Soraya cuma bisa, “Ya udahlah, sana pulang!” tanpa merengek seperti biasa, meskipun di sudut hatinya dia berharap Andra mau tinggal sedikit lama menemaninya yang kesepian. Syukurnya cowok itu gagal pulang ketika dua orang datang menjenguknya.

Iya, gagal soalnya Putra muncul-muncul langsung menyabotasenya. Soraya curiga kalau perbuatannya itu ada campur tangan kakaknya, Ansel.

Andra yang bingung akhirnya pasrah saat si cowok setengah cewek menyeretnya duduk di sofa, lalu dengan sok kenal dan akrabnya dia ngajakin ngobrol berdua setelah Putra menanyakan kabar Soraya dan menjelaskan alasannya kemari karena mewakilkan Mbak Wendi dengan ditemani Tian.

Soraya melirik Tian yang berdiri tak jauh dari ranjangnya. Menatap pria itu sedikit lama sebelum bertanya, “Mbak Rara gimana kabarnya, Mas?” Belum lama juga kok, dia ketemuan sama Rara—yah, dua hari kemarinlah. Enggak tahu kenapa tiap ketemu Tian bawaannya yang pengen ditanyain kabar itu Rara alih-alih orang itu sendiri yang lagi-lagi menjenguknya kemari.

“Baik.” Tian menyeret kursi bekas Ansel dan Andra, lalu duduk di situ dan balas menatapnya. “Kamu sendiri gimana?”

Soraya mengangkat bahu sambil lalu menunjukkan keadaannya seperti biasa acapkali Tian bertanya balik.

“Tangannya?”

“Gini, gini aja ... digips.”

Tian menggulum senyum lalu menarik perhatiannya ke arah sofa. Tepatnya ke arah Andra yang ditahan Putra. Agaknya tertarik sama apa aja yang diobrolin dua cowok itu.

“Mas Putra ... Mas Andra tuh, mau balik,” seru Soraya merasa kasihan sama Andra yang kurang nyaman didekat Putra. Sekalipun semua pertanyaannya dia jawab dengan lugas dan baik, rautnya itu tak menyembunyikan perasaannya sama sekali dan Soraya memahaminya. Gara-gara Ansel nih, Putra jadi ikut campur.

Putra melontarkan tatapan dongkol ketika Soraya memangginya “Mas Putra” alih-alih incess atau Putra biasa aja kalau emang enggak mau panggil dia Mbak Putri. Tapi Putra enggak bisa mengelak, toh seringnya orang menyebutnya demikian.

“Gak usah balik, nginep aja di sini,” katanya ngasal.

Andra meringis dengan mata melirik Soraya lalu Tian, dan berhenti pada jam di dinding. Bentar lagi pukul delapan malam, masih tersisa waktu satu jam jatah menjenguk bagi kerabat atau teman pasien yang sudah ditetapkan pihak rumah sakit sejak dulu.

“Kamu belum makan?”

Pertanyaan Tian mengalihkan perhatian Soraya dari Andra. Gadis itu menoleh seiring gelengan kepala dan sebuah jawaban yang mendiamkan Tian kemudian. “Masih nunggu Mas Aan beli makanan.”

Soraya berbalik lagi lihatin Andra yang makin resah di sofa bersama Putra. “Mas Andra pulang aja gapapa,” ujarnya. “Hari ini shift malam kan?” Hanyalah sebuah alasan darinya supaya cowok itu bisa lepas dari benalunya.

“Ahh, udah jam segini,” sudut matanya melirik jarum pendek jam, “nanti telat absen, lho. Dah sana, buruan masuk shift malam.”

“Dia kerja?” tanya Putra.

“Iya, kerja shift-shiftan.”

Benar sih, kafe tempatnya kerja menganut sistem shift pagi dan siang. Tapi Andra selama bekerja di sana selalu mengambil shift pagi, sementara malam dia bekerja sebagai bertender di sebuah bar yang mana jam kerjanya selalu di atas jam sepuluh malam. Sedikit orang yang tahu pekerjaan sampingannya itu, selebihnya mereka hanya tahu dia hanyalah barista kafe termasuk Soraya. Dan Andra paham bahwa gadis itu hanyalah mencari alasan supaya dia terbebaskan dari si cowok kemayu ini.

Sorry nih, udah banyak cincong padahal kamu harus berangkat kerja.” Putra nyengir mendadak sungkan sama Andra yang udah ditahan di sofa buat dengerin ocehan nggak mutunya tadi. Sebagai orang yang sama-sama mengalami kehidupan dunia kerja, Putra jelas mengerti bagaimana perasaan Andra yang harus sampai tepat waktu di tempat kerja.

Andra tersenyum dan mengangguk, bersikap seolah-olah dia memaklumi perilaku Putra tadi sambil bangkit dan siap-siap buat pamit.

“Mas Andra.”

Andra menoleh begitu dipanggil lagi Soraya. “Ya?” sahutnya demikian.

“Makasih udah jengukin sama anterin pesannya Theo.”

“Iya, sama-sama.” Lalu dia pulang. Meninggalkan kebimbangan pada diri Soraya terhadap perasaannya kepada Andra. Dia beneran suka Mas Andra gak, sih? pikirnya dilema.

Dia merasa kehadiran Andra hanyalah sebagai pengganti dari rasa yang gagal memiliki seseorang sebagai pemilik hatinya. Bagaimana dulu ajakannya berkencan hanyalah sebuah keisengan belaka, tatkala Soraya merasa posisinya tengah terancam supaya dia segera move on sebelum perasaan tercelanya tak berkepanjangan menetap dalam dirinya. Soraya hanya mencari pengalihan dan kebetulan Andra ada di depan matanya, sehingga ide licik itu tercetus dalam pikiran jeleknya.

Soraya mendesah merasa bersalah. Disamping itu, dia pun bersyukur karena balasan Andra yang terkesan biasa-biasa saja oleh godaanya. Meski begitu tak bisa dipungkiri bahwa Andra tetaplah laki-laki baik. Soraya menyukainya, tapi belum sampai jatuh cinta padanya.

“Andra pacar kamu, ya?”

Suara Putra menarik lamunannya. Soraya mengangkat wajah, lalu menunjukkan senyum lebar dibuat-buat saat bertemu sama cowok satu ini.

“Ya,” lanjutnya, “calon pacar. Hehe.” Kemudian nyenyir lebar, membuat Tian memicingkan mata ragu karena dia sering lihat Andra di kafe jadi tahu siapa orang itu.

“Kenapa? Mas Putra mau jadi pacarku juga?”

“Idihhhh,” balasnya mengernyit geli seakan tawarannya itu mirip seekor binatang yang tidak disukainya. “Daripada jadi pacar mending kakak ipar.” Kedua alisnya itu dinaik-turunkan, kali ini giliran Soraya yang balas mengernyit geli.

Soraya menggeleng enggak heran kalau Putra enggak tertarik sama cewek.

Tian di situ hanya menyimak obrolannya, sama sekali enggak punya niat buat nimbrung atau menimpali guyonan Putra yang mendadak jadi ngomongin Ansel. Dengan perhatiannya yang terus mengarah pada Soraya. Seringnya dia bereaksi seperti biasa, tersenyum geli acapkali melihat ekspresi gadis itu yang berubah-ubah saat bicara atau menanggapi guyonan Putra.

Dan Soraya yang menyadari terus diperhatikan sama Tian hanya sempat melirik, lalu mengabaikan dengan setumpuk rasa bersalah. Rasanya dia menyesal telah menyuruh Andra pulang karena dengan begini Soraya tidak punya pengalih sekalipun ada Putra.

Ingat Mas Andra, ingat Mas Andra, ingat Mas Andra....

Bodoh amat mau Andra enggak suka dia atau cuma sebatas kenalan dari kafe, selama eksistensinya bisa mengalihkan dirinya dari perasaannya terhadap Tian, pengecualian itu bukan masalah lagi baginya.

🌶 hotsy-totsy 🌶

Ansel mengumpat setibanya dari luar dan menemukan sosok Andra tidak ada lagi di dalam ruangan. Kesempatan Ansel mencari tahu sosok laki-laki itu kandas lantaran kini hanya tersisa tiga orang termasuk adiknya yang dengan gembira menyambut kedatangannya.

Tian lalu berdiri dari kursinya, mempersilakan Ansel duduk. Sadar diri bahwa keberadaannya di sini bukanlah siapa-siapa di mata Soraya, di mata Ansel dia hanyalah kebetulan mantan proofreader dan suami dari seorang teman adiknya yang bernama Rara. Sejujurnya, Tian selalu mawas diri didekat Ansel kalau bersama Soraya. Berharap perilaku atau perhatiannya tidak diwaspadai.

“Mas Tian sama Incess gak mau pulang apa?” Beginilah Soraya selalu mengubah panggilan mengikuti suasana hati. “Mau jam sembilan, lho.”

“Tinggal sedikit lama juga gak papa,” kata Putra merasa lapang dada bila tinggal sedikit lebih lama. Atau tepatnya dia ogah balik mumpung ada kesempatan buat ngobrol sama abangnya Soraya.

Soraya memutar bola mata, membaca isi kepala laki-laki itu. Akhirnya dia melirik Tian yang diam berdiri di dekat sang kakak. “Mas Tian gak balik juga? Emang Mbak Rara gak nyariin?”

Tian sempat diam sebelum tersenyum kala menyadari sorotan mata Ansel mengintip reaksinya. “Iya kok, ini mau pamitan. Put, ayo pulang.”

“Mas Ian kalau mau pulang, pulang sonoh sendirian. Aku ma—lah, lah, main narik, nih?” serunya tiba-tiba Tian menyeretnya setelah pamit sama Ansel dan Soraya.

Di koridor Putra ngedumel melulu. Betenya jadi gagal sok kenal dan akrab sama Ansel. Kesempatannya hangus gara-gara ulah Tian.

“Besok ada kesempatan lagi buat jengukin.”

“Iya kalau abangnya yang jagain si Aya, kalau orang tuanya buat apa pula aku ke sana?” Putra mendengus. “Kuker amat.”

Putra enggak tahu aja betapa kurang kerjaannya si Tian bolak-balik jengukin Soraya. Mungkin kalau dia tahu pasti udah mikirin yang enggak-enggak.

Sementara itu, Soraya yang udah enggak sabar pengen menyantap makanannya terpaksa menahan diri saat perawat dan si dokter muncul untuk memeriksa keadaannya. Dokternya sempat menasehatinya karena tahu pasien lupa minum obat hingga kemudian menceramahi Ansel sebagai wali yang tak mengingat saudaranya. Ansel sempat tersentak sebab dia pun sama-sama lupa ingetin Soraya minum obat.

Setelah dapat ceramah dan dokter bersama dua perawatnya itu pergi, gantian Ansel yang menceremahi Soraya hingga nyaris akan menyabotase makanan junk food-nya ini andai dia sejahat itu.

“Besok lagi jangan lupa.”

“Iya, Mas Aan, iya,” balasnya menyeringai puas dengan semua makanan junk food di depan mata. Romannya air liur Soraya akan menetes keluar, tak sabar merasakan kelezatan burger king dan ayam goreng KFC.

Ansel menggeleng seraya meringkas bergantian kedua lengan kemejanya sampai ke lengan atas. Sambil memandangi sang adik yang dengan lahap menyantap cheeserburger big size itu, membuat mulut dan pipinya ikut melebar.

“Dek, mas boleh nanya?”

Soraya menoleh dengan mulut penuh makanan itu sebelum mengangguk.

“Tian siapamu?”

Alisnya mengerut dalam hingga membuat ekspresinya jadi aneh dengan pipi besarnya itu. Soraya terpaksa menelan semua kunyahannya karena pertanyaan Ansel butuh jawaban suara bukan anggukan ataupun gelengan.

“Korektor ceritaku. Kan, Mas Aan udah tau.”

“Bener cuma korektor?”

Soraya mengangguk.

“Selain itu, gak ada apa-apa, kan?”

“Maksudnya?” Dia tahu maksud pertanyaan kakaknya itu, tapi dia enggak mungkin mengiyakan atau mengelaknya langsung kalau enggak mau Ansel mencurigainya.

Alih-alih menjelaskan, Ansel malah menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman lalu menggeleng. Bikin Soraya overthinking. Biasanya kalau kakaknya ini udah begini, dia pasti merasakan sesuatu. Dan biasanya juga, Ansel akan mencari tahu benang merahnya itu sampai ketemu.

Yang bikin Soraya khawatir hanyalah reaksi Ansel kalau sampai tahu perasaannya terhadap Tian dan perasaan Tian kepadanya. Fakta bahwa Tian adalah suami perempuan lain, yang akan membuat reaksi Ansel lebih dari sekadar mencari tahu siapa orang itu.

Hehe updatenya pas sahur soalnya kalau sore puasa-puasa itu tidur hahaha btw perlu gak aku bikin lapak buat Anya (Andra-Aya) stand alone? Jangan berharap Andra eksis banyak di sini, karena Hotsy-Totsy fokus penyelesaiannya kapal Taya 😃 huehehehe

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top