💭 confused (2)
#nowplaying: Ryan Woods - Bad Texter
Pas-pasan banget keluar dari ruangan langsung ketemu si Putra lagi nongkrong di bagian rusan—ruang santai—bareng Hana, salah satu anak magang graphic. Mereka ini belum kenal lama, tapi akrabnya udah kayak bestfriend forever. Enggak heran juga sih, soalnya ini Putra sama Hana, dua-duanya anaknya aktif dan pandai bergaul sama orang baru. Istilah bekennya easy-going.
Lalu Hana meskipun anak magang, dia tetap pede mau bergaul sama siapapun orang di kantor. Anaknya sedikit tomboy jadi cocok aja kalau berdua sama Putra.
“Putra.” Yang dipanggil langsung mendongak; Hana mengikutinya sedetik sesudahnya. Putra kontan melambaikan tangan menyuruh agar Mbak Wendi ikut join bareng mereka, duduk santai di sofa empuk di Rusan sambil gosipin berita terhot.
Selagi belum ada kerjaan enggak ada salahnya bersantai di Rusan, toh adanya tempat itu memang khusus disediakan pegawai Athena supaya punya ruangan khusus untuk melepas penat. Ruangannya pun lumayan luas. Di dalam selain ada satu set sofa, adapula rak besar isinya buku-buku terbitan Athena dari lokal dan terjemahan; fiksi dan non-fiksi, bebas dibaca oleh siapapun. Tak jauh dari tempat rak buku, sebrang kirinya ada display cooler yang isinya banyak jenis minuman dan gratis diambil tanpa perlu bayar.
Dengan lampu gantung mewah serta dinding yang warnanya cerah dengan lukisan abstrak menempel, menambah kesan sendiri di Rusan. Tak heran ruangan ini selalu jadi tempat favorite para pegawai Athena. Mana lagi di sana ada empat laptop di meja khusus yang bisa dipakai buat main game, tapi ya, harus antri—biasanya yang menguasai ini anak-anak graphic.
“Apa, Mbak?” tanya Putra setibanya Mbak Wendi di depannya. “Cewek rambut sebahu di dalam itu, si Saya, ya?”
Putra suka manggil Soraya pakai nama penanya “Saya” alih-alih Aya atau Soraya ikut Mbak Wendi. Dia belum pernah kenalan sama penulisnya Mbak Wendi satu itu, tapi udah hapal duluan sama wajahnya. Putra follow akunnya jadi sedikit tahu kegiatan sosmed mahasiswi semester akhir itu yang sering disebut mirip artis.
Wendi sekadar menganggu, tak begitu tertarik lantaran dia punya ketertartikan sama hal lain. “Kamu tetanggaan sama Mas Tian, kan?” tanyanya sambil menyuruh cowok ini geser dan akhirnya ikut nimbrung.
“Hah? Seriusan, Put?” seru Hanna merajuk pada Putri bukan Putra. Tahu kan, kalau Putra lebih suka dipanggil Putri ketimbang Putra. Tapi dalam beberapa kasus dia terpaksa membiarkan orang memanggilnya “Putra” seperti Mbak Wendi dan Mas Tian. “Ihhh, kok gak bilang!”
Bukannya Hana lupa kalau Putra usianya lebih tua darinya, memanggil cowok sebrangnya ini hanya nama tanpa embel-embel “kak”. Dia ingat kok cuma karena Putra sendiri yang minta begini, yaudah, dia turuti aja ketimbang ribut perkara panggilan.
“Terus kalau aku bilang kamu mau apa?” balas Putra lalu berpaling ke Mbak Wendi yang kelihatan enggak sabar menunggu. “Iya, Mbak.”
“Mas Tian beneran udah nikah?” tanyanya to the point. “Tadi si Aya nanya, terus kata dia kalau Mas Tian udah nikah dan nama istrinya itu Rara. Beneran?”
“Lah, aku kira Mas Tian single,” timpal Hana sama bingungnya seperti Wendi pas denger kata-kata ini dari Soraya.
Putra tiba-tiba ketawa bikin dua cewek samping kiri dan kanannya bengong. “Haha. Kasihan ya, baru tau?” tuturnya masih tergelak senang. “Iya. Mas Tian udah lama nikah kalo enggak salah tuh, udah tiga tahun.”
Yang tadinya cuma bengong kini jadi melongok tambah bingung. Bisa-bisanya mereka baru tahu sekarang kalau si Mas Tian udah nikah dan usianya pernikahannya udah melewati tiga tahun, yang artinya lumayan cukup lama.
“Berarti udah punya anak dong?” tanya Hana.
“Belum,” jawab Putra.
“Sampai sekarang?” Kali ini jadi Wendi yang bertanya. Berita kali ini memaksa Wendi buat jadi pengosip di kantornya. Jarang-jarang pula dia se-excited gini mengulik kisah hidup orang, harusnya divisi majalah yang tertarik beginian bukan dia divisi editor sastra.
Putra mengangguk, lalu menggeleng sekali. “Sebenarnya hampir punya, tapi Mbak Rara sempat keguguran atau gimana gitu, kurang tahu.”
“Terus?”
“Gak tahu. Kan, bukan aku yang suaminya Mbak Rara,” selorohnya heran ditanyain lebih lanjut sementara dia tidak begitu dekat meskipun saling kenal karena kebetulan tetanggaan. Putra sekadar tahu istrinya Mas Tian, si Mbak Rara, pernah hamil terus enggak lama keguguran dan seterusnya enggak ada kabar lagi tengah hamil atau enggak. Yang pasti mereka belum punya anak hingga kini.
Putra berdecak saat mendapati ekspresi kedua cewek ini masih minta lebih cerita darinya tentang kehidupan pribadi si korektor yang selama ini tidak pernah mereka ketahui. “Setahuku Mbak Rara sekarang tinggal di rumah orang tuanya.”
“Mau cerai?” kata Hana dengan lantang. Kesannya seolah-olah dia bahagia tahu bahwa pasangan suami istri itu pisah ranjang.
Putra menggeleng. “Gak mungkin. Kalian gak tahu aja, Mas Ian sesayang apa sama istrinya.”
“Terus kok pisah rumah?” tanya Wendi makin kepo sampai lupa penulisnya ditinggal lagi berduaan sama Tian. Yang bikin suasana mereka jadi canggung.
“Aduhh ... kurang tahu jelasnya gimana. Tapi kayaknya gara-gara Mbak Rara ini dimutasi di kantor yang kebetulan deket rumah orang tuanya ketimbang rumahnya sendiri. Kalau kata Mas Ian gitu tiap ditanyain sama ibu-ibu kompleks. Yang pasti Mas Ian ini juga rutin ke rumah mertua. Mbak Rara juga rutin pulang ke rumah kalau Mas Ian jemput.”
Mereka tetap menyimak dan terus menunggu lanjutan cerita Putra tanpa perlu melontarkan pertanyaan lagi.
“Gitulah pokoknya, si Mas Ian orangnya penyayang. Emang kelihatan aja kek cuek banget dan sangar, aslinya hmm ... bucin sama Mbak Rara. Orang kompleks mah, udah gak heran lagi soal ini.”
“Terus kok pas nikah orang sekantor gak diundang?”
“Iya! Kenapa, tuh?” Hana diam sekejap baru ingat dia ini anak magang, kalaupun Mas Tian mengundang orang kantor dia tetap enggak akan datang ke pesta pernikahannya. Pasti waktu itu terjadi dia masih maba.
“Orang kantor yang datang cuma manajer sama boss perusahaan aja. Dasarnya Mas Ian aja yang kesannya tertutup, padahal nikahannya dulu juga di gedung kok hahaha.”
“Kamu sendiri datang gak?” ujar Wendi.
“Datang. Kan tetangga.” Putra sengaja mainin sepasang alisnya itu sekadar buat pamer kalau dia termasuk dari tiga serangkai orang kantor yang diundang ke pernikahannya Mas Tian dan Mbak Rara.
“Terus kenapa gak bilang ke orang kantor kalau Mas Tian nikah?”
“Ngapain bilang bukan nikahanku juga. Lagian itu urusan Mas Ian, aku mah bodoh amat selagi bisa foto bareng penganten lakinya. Haha.”
“Dih, dasar!”
Putra tetap ketawa mengabaikan dengusan mengejek Mbak Wendi dan Hana. Sebenarnya dulu dia mau pamer dan bilang di group kantor. Namun, setelah ia pikir-pikir lagi buat apa, toh bukan pernikahannya. Akhirnya urung dan menganggap bahwa Mas Tian sendiri yang akan bicara sama orang kantor. Yang lebih punya hak tentang privasinya ketimbang Putra.
Sementara di ruang lain, dua orang yang masih tetap merasa canggung hanya bicara pendek sesekali saling melirik sebelum kompakan buang muka dan mendesah.
Soraya agaknya frustasi. Masalah revisi dan orang yang mengoreksi naskahnya. Ditambah lagi kata-kata Bunga terus terngiang-ngiang di kepalanya. Membuatnya jadi tak bisa normal seperti biasanya yang masa bodoh akan apa pun.
Tian sendiri pun sama frutasinya. Pikirannya jadi terbayang ekspresi cemberut Soraya yang menurutnya lucu dan tingkah laku gadis ini
yang kadang mengingatkannya sama bocah. Ditambah lagi saat dia sempat mengamati serautnya lama yang membuatnya jadi hilang fokus, bahkan sekarang pun fokus Tian enggak kayak biasanya. Gampang buyar. Atensinya ini entah mengapa lebih tertarik untuk melihatnya ketimbang isi naskah.
Namun, giliran tatapannya saling berserobok keduanya dengan kompak saling membuka wajah. Larut begini sampai ketika Mbak Wendi balik dari acara rumpinya pun keduanya tetap menghindari kontak mata. Bahkan saat Mbak Wendi bicara pikiran keduanya seolah tidak terhubung dengan semua pembicaraan Mbak Wendi.
Lalu ketika tiba waktunya pulang keduanya serentak menghela napas lega tanpa dicurigai Mbak Wendi yang sepertinya kurang menangkap kecanggungan antara penulisnya dan korektornya ini. Soraya buru-buru pamit, kemudian tak lama Tian juga menyusul usia menerima telepon.
“Iya, ini baru selesai. Habis ini langsung ke sana. Hm? Blazer biru? Iyaa, udah aku tatain di dalam tas. Aku gak lupa kok.” Mbak Wendi sampai tertegun saat tak sengaja menguping obrolan ini. Diam-diam dia ikut mesem agaknya mulai percaya kalau si Mas Tian emang udah menikah.
Soraya yang sudah tiba di lantai dasar segera menunggu dekat post satpam. Nunggu jemputan. Kali ini bukan ojol ataupun mobol, melainkan si Dimas yang janjinya mau jemput terus ngajakin Soraya datang ke acara ulang tahun UKM-nya sambil nonton penampilan band Dimas nanti.
“Nunggu ojol?”
Soraya terlonjak kaget menyadari siapa yang barusan bicara padanya. Dia yang belum siap menjalin komunikasi santai sama Tian yang muncul entah sejak kapan di belakangnya tadi, hanya bisa menggeleng.
“Oh, nunggu jemputan, ya.”
Soraya mendesah resah sedikitnya bete. “Iyalah, Mas. Kalau bukan jemputan apalagi yang perlu kutunggu di sini. Ngeselin banget pertanyaannya!” ucapnya diakhir dengusan.
“Pacar mungkin.”
Alis Soraya menukik ragu mendengar pernyataannya yang sangat tidak pas dengan kesan Tian di matanya.
“Mas Tian juga ngapain di sini?” tanyanya kemudian mengalihkan keraguannya.
“Pulang.”
“Pulang itu ke rumah. Lah, ini di sini buat apa?”
“Motor saya parkir di situ, Mbak Aya,” ujarnya sambil menunjuk tempat kendaraan roda duanya diparkir. Posisinya lumayan dekat sama post satpam, tapi yang bikin Soraya heran kok motornya bisa parkir di situ alih-alih lapangan parkir perusahaan di belakang.
Soraya meliriknya yang sibuk pakai sarung tangan terbuat dari kulit hitam berwarna hitam. Soraya berpaling saat Tian menyadari perhatiannya.
“Mbak Aya kenapa dari tadi ketemu saya kayak menghindar gitu.”
Aksinya sudah ketahuan dari tadi, tapi dia baru bertanya sekarang. Heran banget.
“Gak tahu,” balasnya setengah hati.
Tian memahami upayanya itu. “Karena naskah saya minta revisi lagi?”
“Mungkin salah satunya.”
“Tulisan Mbak Aya bukan jelek, hanya butuh perbaikan di beberapa part aja.”
“Iya, saya tahu,” balasnya masih setengah hati.
“Lalu?”
“Apa?”
“Apalagi yang bikin Mbak Aya menghindar karena tadi bilang salah satunya tentang naskah. Lalu lainnya soal apa?”
Soraya menggeram tak habis pikir sama pertanyaan Tian. Jelas-jelas dia tahu semua alasannya kenapa Soraya menghindarinya lantas buat apa dia terus menanyakan hal serupa persoalan sama. Apa dia cuma pengen menganggunya karena iseng semata atau memang beginilah sifat aslinya pria ini. Soraya mendengus enggan merespon lagi telanjur dongkol.
“Pacar Mbak Aya datang, tuh.”
Soraya sempat noleh sebelum kemudian berpaling sama pengguna motor matic yang barusan parkir di luar gerbang perusahaan. Dimas tiba di waktu yang diharapkan. Soraya bergegas melangkah panjang menyusul Dimas, sengaja pula ia tak pamit sama Tian karena menurutnya buat apa. Dan seperginya pasangan itu, Tian tak lama ikut pergi dengan roda duanya yang parkir dekat post satpam. Cuma kebetulan aja hari ini parkir di situ karena ngira bakalan pulang cepet ternyata mengoreksi cerita Soraya siang itu telah menyita cukup banyak waktunya sehingga jadwal temunya sama Rara jadi terundur.
Tian segera memasuki jalan raya, memacu kendaraannya lebih cepat dari biasanya ia berkendara. Rasanya Tian ingin segera tiba ke kantor Rara tepat waktu atau kalau boleh dia pengen meminjam kekuatan Doctor Stranger supaya dapat berpindah tempat dalam sekali kedipan mata. Menjemput perempuan yang sudah tiga tahun ini jadi istrinya dan tak ingin membuat Rara menunggunya lebih lama. Tian lebih suka bahwa dia datang tepat waktu jika urusannya ini menyangkut Rara.
🌶 hotsy-totsy🌶
Soraya sedikit terganggu sama keramaian yang sesak akan orang-orang yang belum pernah ditemuinya dalam waktu dekat ini. Orang-orang itu memakai kaus serupa, warna hitam dengan punggung bertulisan “The Night Walker” dan di bawah tulisan tersebut di garis bawah nama ukm musik dari kampusnya, lalu masing-masing dari mereka bawa id card keanggotaan yang dikalungkan di leher.
Dimas tadinya pakai kaus sama kayak anggotanya, tapi tiga puluh menit lalu cowok ini telah ganti pakaian jadi warna merah saat dia bersama rekan bandnya disuruh buat siap-siap tampil di atas panggung.
Waktu Dimas bersama bandnya tampil Soraya hanya jadi penikmat sambil terus bersorak mendukung si teman di backstage bersama beberapa orang tak dikenalnya. Soraya hanya tahu mereka sama-sama anggota ukm musik, berarti temannya Dimas. Kadang ia merekam penampilan epic Dimas di atas panggung bersama bandnya itu, lalu membagikan video berdurasi nyaris dua menit ke sosmed. Tak disangka ternyata banyak orang suka penampilan band Dimas selain dirinya, termasuk ratusan orang yang terus meretweet dan mereply postingan baru Soraya di aplikasi tersebut.
Ya, Soraya sengaja update di Twitter alih-alih profil Instagram-nya.
Dimas tampil dua lagu setelahnya dia turun bersama bandnya itu yang beranggotakan tiga orang termasuk dirinya. Dimas mendekati Soraya lagi seiring cengiran bahagianya usia tampil dengan ratusan orang yang datang khusus buat malam perayaan ulang tahun ukmnya.
“Keren!” Soraya tak berbohong. Dimas beneran keren waktu tampil di atas panggung. Dia sampai kaget setelah dengar suara menyanyi cowok ini yang di luar ekspektasinya. Soraya jarang melihat Dimas tampil menyanyi bersama bandnya, jadi enggak heran kalau langsung terpana sama keahlian Dimas dalam bermusik.
“Malam puncaknya nanti aku sama bandku tampil lagi.”
“Beneran?”
Dimas menganggu semangat.
“Bagus dong. Yah, tapi sayang aku gak bisa lihat soalnya udah jam segini.” Jam malamnya cuma sampai pukul sembilan malam doang, lebih dari ini Soraya tidak bisa absen. Ibunya bisa ngamuk kalau tahu putrinya pulang melebihi jam malamnya.
Jangan sampai, deh!
Soraya jadi menyesal terpaksa pulang bahkan sebelum acara selesai. Padahal Dimas sudah mau repot menjemputnya dan menawarkan tiket gratis masuk ke acara. Soraya bahkan belum sempat lihat guest star khusus perayaan ini yang katanya mengundang salah satu band lokal ibukota yang terkenal. Bukan band nasional, hanya band lokal yang terkenal di frekuensinya.
“Pulang sekarang, ya?”
“Iya, Dim. Maaf ya, gak bisa lihatin kamu tampil lagi. Padahal sayang banget gak lihat kamu nyanyi lagi di atas panggung. Suaramu bagus, ngomong-ngomong.”
Dimas diam-diam tersipu malu. Biasanya dia akan merespon makasih atau candaan biasa saat ada orang yang memuji dirinya, tapi saat orang itu adalah Soraya, dia hanya menyeringai dan mengusap telungkupnya dengan canggung.
“Kalau gitu aku anterin kamu pulang.”
“Eh, nggak perlu!” serunya menahan Dimas sebelum bertindak. “Tadi aku udah pesen ojol.”
“Ojol?”
“Iya.”
“Aya aku bisa nganterin, lho.”
“Iya, tahu. Tapi mendingan jangan soalnya acaranya masih jalan terus gak enak sama temanmu kalau kamu tiba-tiba hilang.”
Dimas hendak protes kalau dia bisa nganterin Soraya pulang sampai rumah tak peduli acara masih berlangsung atau tidak. Namun, Soraya tetap ngotot kalau eksistensi Dimas lebih dibutuhkan di tempat ini ketimbang repot nganterin Soraya pulang yang mana jarak lokasi acara ukm dan rumahnya lumayan jauh.
Akhirnya Dimas menerima permintaannya dengan syarat dia boleh nganterin Soraya keluar dari tempat acara dan menemaninya sampai ojolnya datang. Begitu sang ojek online tiba, Soraya pun pulang sedang Dimas kembali lagi ke acara ulang tahun ukmnya.
Soraya dalam perjalanan pulang di atas motor itu sempat mengirim pesan ke ibunya kalau dia sudah on the way menuju rumah. Biar sang ibu di rumah tidak khawatir lagi saat menemui putrinya belum tiba di rumah di jam segini. Yang Soraya cemaskan bila ibu mulai khawatir soal anak-anaknya yang belum ada di rumah itu pikiran ibu sendiri yang suka merambat ke mana-mana. Lebih seringnya ke hal-hal negatif yang kadang bikin repot orang serumah.
Soraya enggak mau menutupi fakta bahwa ibunya cenderung agak keras dan kolot dibanding ayah yang sudah terbiasa dengan dunia masa kini, kolotnya mendingan ketimbang ibu, tapi sifatnya itu agak lemah lembut dan penurut. Kalau ayah dijelasin pasti langsung paham, sebaliknya ibu butuh waktu lama buat memahami atau kalau enggak paham pasti ujung-ujungnya jadi membandingkan kehidupannya dulu sama kehidupan sekarang. Yang sering bikin Soraya dan Mas Ansel pusing ngadepinnya.
Iya, nama Ansel dalam tokoh Heart A Mess diambil dari nama saudaranya sendiri. Kakaknya tahu soal ini dan malah minta supaya adiknya itu deskripsiin aja sosok Ansel kayak dia, yang tentu langsung Soraya tolak mentah-mentah.
Cukup nama doang diambil, urusan sifat dan karakter jangan harap itu diambil dari kakaknya si Ansel. Ansel saudaranya itu jahil banget dan rese, berbeda dengan Ansel karakter di ceritanya yang enggak bakal ngusilin Vera pakai upil sengaja ditempelin pipinya.
“Waduh, Mbak. Hujan!” Soraya kontan panik saat hujan tiba-tiba turun dengan deras. “Mbak, kita neduh aja di mini market kalau nekat terjang saya gak bisa. Saya cuma punya satu mantel doang,” katanya lalu membelokkan motor ke kawasan mini market terdekat bersama beberapa pengguna motor lainnya yang juga pengen berteduh di saat hujan makin turun deras.
“Ayo, Mbak. Nanti kedinginan.”
“Iya, Pak.”
Soraya ikut lari bersama Pak Kasmon, si driver ojek online-nya. Mereka pun berteduh di teras mini market malam itu. Ternyata ada banyak orang yang ikut meneduh di tempat sama. Soraya mendongak murung meratapi derasnya hujan pada malam ini. Agaknya menyesal lebih memilih naik ojol ketimbang mobol.
Kalau tadi pesen mobol udah sampai rumah kali, gak perlu neduh segala!
Buru-buru ia mengirim kabar ke ibu soalan dia yang mungkin telat sampai rumah karena hujan yang memaksanya agar berteduh di mini market. Belum ada balasan dari ibunya. Soraya memandang bingung sekitar.
Dia pengen pesen mobol sekarang, tapi udah telanjur pesan ojol. Terus kalau pesan sekarang pas lagi hujan deras gini biayanya pasti dua kali lipat. Soraya menggeleng tak suka buang-buang uang. Lalu berbalik menatap mini market di dalamnya.
“Pak, kalau saya beli jas hujan terus nanti kita nerjang hujannya bapak gak papa?” tanyanya usai terlintas ide beli jas hujan mumpung ada di mini market.
Pak Kasmon tampak ragu sambil celingukan lihatin hujan dan langit yang tiba-tiba melihatkan cahayanya berkat serangan petir. Bikin makhluk hidup di bawah ratapan langit meloncat kaget berkat suaranya itu.
“Hmm, iya gak apa-apa.”
Soraya menggulum senang. “Oke. Saya beli dulu kalau gitu. Makasih, Pak!” Dia janji akan memberi tip banyak setibanya di rumah nanti.
Soraya bergegas masuk ke dalam mini market dan menuju etalase jas hutan. Langkahnya terkesan buru-buru karena tak mau kehabisan mengingat ada banyak orang berteduh di sini yang pasti akan mengincar barang ini di situasi begini.
Untung dia masih kesempatan dapat satu buah jas hujan. Soraya mendekap propertinya sambil melirik ke etalase, barangkali ada sesuatu lain ingin dibeli. Tungkainya membawa gadis itu mendekati etalase bagian minuman. Netranya tampak awas dalam memilah daftar minuman sampai ketika lengannya menyentuh badan orang di samping. Soraya yang terlonjak kaget segera minta maaf.
“Mbak Aya ngapain jauh-jauh ke sini?”
Soraya mendongak dan makin kaget saat sadar badan siapa yang barusan disenggolnya tanpa sengaja.
Dia Tian, si korektor naskahnya. Masih dengan pakaian sama seperti siang lalu, demikian pula Soraya yang tak jauh beda darinya.
“Kenapa ya, semenjak kenal Mas Tian tuh, dunia rasanya sempit!” tuturnya heran sendiri. “Di mana-mana selalu ketemunya Mas Tian.”
“Takdir mungkin.”
Soraya tertawa sarkas. “Takdir saya bukan sama orang tua!” tandasnya sambil asal mengambil dua minuman di etalase, lalu memelototi pria di sebelahnya ini sebelum beranjak dari hadapannya.
Tian menoleh bingung memandangi pinggung kepergiannya itu. “Siapa yang orang tua?” gumamnya.
Part terpanjang sejauh ini dipegang part ini 🤧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top