💭 confused

“Kenapa sih, Ay. Diem mulu bikin curiga tau gak!?” kata Bunga yang memergoki Soraya diem terus di sebelahnya ini sementara dari tadi cuma dia yang terus ngomong. Bunga serasa radio berjalan. Biasanya mereka paling aktif ngobrol kalau lagi jalan gini di jalanan kompleks menuju rumah Bunga.

Yang lebih aneh Soraya jadi begini sejak pulang dari hotel nebeng semobil bareng Mbak Rara sama suaminya, yang baru mereka tahu pria itu adalah Mas Tian. Mereka bukan pasangan baru nikah, melainkan tiga tahun sudah menikah.

Bunga sih, biasa-biasa meski sempat kaget dulu pernah ngira Mas Tian lajang tahunya suami orang, sesudahnya dia sih, bodoh amat. Toh, enggak ada hubungannya sama dirinya. Yang kelihatan aneh temannya ini nih, bikin Bunga terpaksa mencurigainya.

“Kamu suka Mas Tian, ya?”

Langkahnya berhenti bertepatan dengan pertanyaan Bunga yang lebih pantas seperti pernyataan. Soraya menoleh, lalu perlahan manik coklatnya itu terbelalak atas tuduhan Bunga terhadapnya.

“Ya enggaklah. Ngaco kamu!” balasnya agak ngotot yang belum mampu mengurangi rasa curiga Bunga padanya.

“Terus ngapain diem mulu setelah tahu Mbak Rara istrinya Mas Tian?”

“Siapa yang diem? Nih, aku ngomong!” Soraya mendengus bete dicurigai yang aneh-aneh, mana lagi sama teman baiknya. Huft!

“Kalau nggak ada apa-apa jangan diem mulu dong, bikin cemas.”

“Bunga ... aku cuma capek aja,” ujarnya.

Namun, Bunga merasa bahwa temannya ini capek dalam artian lain sehingga ketika mereka kembali melangkah sedang gerbang rumah Bunga makin terlihat dari sini, Bunga sengaja menyenggol bahu Soraya supaya temannya ini berhenti menunjukkan wajah masa kurang sedap dipandangnnya ini.

“BUNGAAA!” teriaknya saat tubuhnya nyaris oleng ke kiri. “Kalau aku jatuh gimana coba?”

Bunga hanya terkekeh kemudian merangkul pundak Soraya dan berkata, “Udah gak usah bete mulu. Ntar sampai rumah kubuatin indomie kuah pakai dua telur, deh. Gimana?”

“Apaan, mainnya nyogok.”

Bunga tetap nyengir tak menyanggah tuduhan Soraya. Dia jelas mengerti temannya ini enggak bakalan bisa nolak indomie kuah pakai dua telur. Satu diceplok; satunya didadar. Soraya suka banget beginian, alih-alih cari jajan atau cemilan ringan gitu tiap ke rumah Bunga pasti yang dicari indomie sama telur.

Kebetulan mama Bunga punya toko klontong sama warung kopi jualan depan rumah. Terus di warung kopi l mie buatan mamanya paling laris manis sama kopi pahitnya. Kalau kata pelanggan warung mereka mie nyemeknya paling enak, enggak kayak mie yang dijual di tempat lain atau buatan sendiri. Padahal cara masak mama Bunga sama kayak cara masak mie nyemek pada umumnya yang bisa dicari tutorialnya di Youtube. Cuma tetap aja banyak yang enggak percaya dan minta resep.

Nah, salah satu orang itu adalah Soraya. Hanya saja temannya ini lebih suka mie kuah ketimbang dibuat nyemek.

Setibanya di halaman rumah Bunga, ekspresi Soraya telah berubah dari masam kini ada secercah senyuman dan makin kelihatan waktu mama Bunga keluar dari toko terus menyapanya.

“Mama, Aya katanya mau indomie kuah pakai dua telur!” seru Bunga asal melibatkan Soraya yang baru akan melepas sepatu dari kaki.

Soraya melotot terus menimpali, “Bukan Aya, ya, Tante. Tapi Bunga tuh, yang mau.”

Tante Fara menyunggingkan senyum keibuannya yang tetap kelihatan menawan biarpun sudah kepala empat dengan dua anak bukan remaja lagi. Bunga anak kedua dari satu bersaudara. Dia punya abang cuma beda dua tahun doang, terus abangnya Bunga ini baru aja diterima kerja sebagai bankir. Namanya Bondan.

Karena sama-sama anak kedua yang bikin Soraya dan Bunga makin klop. Soraya juga anak kedua dari satu bersaudara dan saudaranya ini juga laki-laki. Cuma bedanya saudara Soraya lebih tua ketimbang Bang Bondan. Sedangkan Soraya dan sang kakak usianya beda lima tahun, terus kakaknya itu kerja di pertamania bagian manajer.

Kakaknya itu jarang tinggal di rumah. Dia punya rumah dinas sendiri dari perusahaannya meski belum menikah. Paling seminggu sekali pulang atau kalau lagi kangen gitu sama masakan rumah dan adiknya, dia pasti pulang terus ngerusuh. Yang kadang bikin Soraya gondok tiap ketemu kakaknya.

“Udah, udah! Nanti tante buatin dua porsi buat kalian, tapi setelah pembeli di warung,” ucap Tante Fara super baik hati ini.

“Hehe. Makasih, Ma!” seru Bunga.

Soraya nyengir lebir sambil mengangkat dua jarinya membentuk kosonan V. “Tan, dua telur, ya?”

“Yeee, dasar!” timpal Bunga sambil menggeleng tak heran lagi sama tingkah Soraya, demikian mamanya yang hanya tersenyum geli dan mengiyakan.

Aslinya Soraya sering bayar kok, dia ngerasa enggak enak aja kalau kemari dapat gratisan melulu dari dibuatin mie pakai dua telur, minuman, sama disuruh ambil apa aja yang ada di toko sama warung, sementara apa yang dikasih itu buat jualan juga walau lebih seringnya uang itu dikembaliin sama Tante Fara.

🌶 hotsy-totsy🌶

Pena tinta merah itu menari dengan durhaka di atas kertas-kertas putih hasil print naskah yang baru selesai ia kerjakan dengan sistem kebut semalam. Lalu sekarang, manusia satu ini, mencoretnya tanpa dosa. Lagi dan lagi!

Soraya tak habis pikir sama isi kepala laki-laki ini. Sebenarnya apa sih, yang dia mau dari tulisannya ini? Kenapa setiap selesai revisi selalu saja dia menemukan kesalahan dan terus-menerus menyuruhnya revisi sementara jadwal terbit tinggal menghitung hari lagi.

Ya ampun!

“Tokohmu ini pakai bahasa apa?”

“Bahasa gaul,” ucapnya setengah gondok. “Masa Mas Tian gak tau bahasa modern jaman now, sih?”

“Kamu kira saya remaja?”

“Dasar orang tua!” selorohnya tak acuh sambil menarik paksa kertas dan gantian pena tinta hitamnya menari di atas kertas. “Maksudnya ini.”

Tian menggeleng, lalu mengambil alih lagi dokumen. Persoalan berikutnya yang bikin Soraya makin naik pitam lantaran Tian mencoret tulisan tangannya barusan. “Latar tahun ceritamu di bawah angka 22, Mbak Aya. Konsisten bahasa itu perlu meskipun letaknya pada dialog.”

Soraya urung protes telanjur sebal terus disalahkan sehingga bola matanya hanya berputar mengikuti rotasi dan bibirnya makin manyun bete. Dia selalu terlihat lucu tiap kali melihatkan ekspresi berbeda-bedanya yang menggemaskan. Orang yang melihat pun tak dapat membantah fakta bahwa Soraya memanglah gadis cantik serba ekspresi yang suka berubah tergantung mood-nya.

Tian yang sempat memerhatikan hanya menghela napas, lalu berpaling kembali ke dokumen.

“Vera ini ansos atau asos?”

“Hah?”

“Vera, tokohnya Mbak Aya,” ujarnya sambil menarik perhatian Soraya ke isi naskahnya.

“Oh,” Soraya bergeming sesaat tengah berpikir, “bedanya apa?”

Soraya yang tak begitu mengerti spontan mengangkat wajah dengan tatapan polos menatap bingung Tian atas pertanyaannya. Ia hanya menulis mengikuti kata-kata yang mengalir di kepalanya sehingga jarang mencari tahu makna dari kata-kata tersebut di kamus. Atau istilah yang ia gunakan mengikuti istilah yang sering digunakan anak-anak muda jaman sekarang. Kemudian saat ditanyakan ia pun bingung membedakannya.

Tian spontan membalas tatapannya yang membuatnya langsung sadar bola mata Soraya berwarna coklat terang yang nampak serasi dengan bulu mata gadis ini yang panjang nan rapi. Walaupun tidak begitu tebal, aksesoris alami bawaan dari lahir di matanya itu tetap terlihat menawan. Bentuk wajahnya oval dengan garis wajah yang menonjol pada titik-titik tertentu. Hidungnya bangir dengan pangkalnya yang menonjol sombong menguasai bagian tengah wajahnya.

Mata Tian turun pada pipi Soraya yang bersemu merah berkat sentuhan perona wajah buatan. Lalu turun lagi pada bibir cantiknya berbentuk hati dengan bagian bawah yang penuh dan sedikit itu. Fokusnya sedikit goyah ketika melihat gerakan terjadi pada bibir itu. Soraya sedang bicara dan Tian mendadak tak bisa mendengarkan suaranya.

Terjadi sesaat sebelum fokusnya dibuyarkan oleh goyangan pada tangannya. “Mas Tian. Mas Tian. Mas Tian, hallo?” Sempat ada momen di mana Tian merasa namanya terdengar begitu indah ketika Soraya memanggilnya.

“Mas Tian jangan ngelamun, dong!” ucapnya dengan jengkel.

Tian yang sadar langsung berdehem dan membuang wajah semampunya. “Maaf.”

Soraya mengabaikan, tapi mulutnya terus mengoceh, “Mbak Wendi mana lagi gak balik-balik. Katanya sebentar, ini udah setengah jam.” Bukan Tian saja yang merasa aneh, Soraya pun merasakan hal serupa. Hanya saja dia mengingatkan dirinya kemarin, bahwa mulai hari itu dia harus menjaga jarak dari korektornya.

“Jangan sampai kamu jadi si Vera.”

Ancaman Bunga kemarin selalu jadi pengingat dirinya supaya mengabaikan apa yang pernah ia rasakan kemarin sebelum tahu bahwa laki-laki ini sudah beristri. Soraya hampir menyukainya sejak diperhatikan pada malam pertemuannya di gedung ini dan mulai kemarin, dia telah melupakan perasaan yang sempat singgah sebentar itu.

“Mbak Aya gak haus?” Pertanyaannya ini entah mengapa terdengar seperti basa-basi belaka. Terdengar kurang cocok saat keluar dari mulut Tian yang biasanya berkata langsung apa adanya.

Soraya bergeming sambil meliriknya aneh, lalu menggeleng dan mengeser kursinya agar sedikit jauh darinya.

Tian menyadari gelagat aneh Soraya sejak mereka bertemu siang ini bersama Wendi dan setelah Wendi pamit ada urusan dadakan terkait penulisnya yang lain, dia pun tetap dengan tingkah anehnya terlihat seperti orang sedang menghindari sesuatu. Dan sesuatu itu adalah dia sendiri.

Atmosir antar mereka terasa menganggu sehingga mengusik kenyamanan Tian yang kemudian memutuskan pamit pergi sementara dengan dalih ingin mengambil minum. Soraya mengiyakan tanpa berpaling, pura-pura sibuk membaca coretan tinta merah tulisan tangan Tian. Lalu setelah orangnya pergi barulah dia menghela napas lega.

“Amit-amit jadi si Vera,” ucapnya sambil terus mengetokkan buku jarinya di kepala dan meja gantian.

“Kamu kenapa?” Soraya spontan berbalik lega melihat Mbak Wendi kembali pada saat sedang dibutuhkan keberadaannya. “Ngetok kepala sama meja gitu.”

Soraya hanya meringis enggan menjawab. Lalu ia berdiri dan menarik supaya editornya ini duduk di bangku tengah antara dia dan Tian nanti begitu orang itu kembali.

“Mbak.”

“Hm?”

“Mbak Wen kenal istrinya Mas Tian gak?” tanyanya mendadak ingin tahu menurut pandangan Mbak Wendi tentang Rara, istrinya Tian.

“Maksudnya?” Wendi bertanya balik seiring kerutan di dahinya muncul. “Istri Mas Tian?”

“Iya, istrinya Mas Tian. Si Mbak Rara.”

Mbak Wendi terlihat bingung. “Mas Tian punya istri?”

“Hah?” Sekarang jadi Soraya yang bingung sama reaksi Mbak Wendi yang terkesan seolah dia tidak tahu-menahu persoalan status suami-istri Mas Tian. “Lah, masa Mbak Wendi gak tahu Mas Tian udah nikah.”

Gelengannya sebagai jawaban itu makin bikin Soraya aneh. Bahkan orang yang kerja satu kantor pun tidak tahu-menahu soal status rekan kerjanya sendiri.

“Mbak Wendi seriusan gak tahu?”

“Iya, Aya. Dia nikah kapan aja gak ada kabar, gak ada sebar undangan juga. Orang kantor malah ngira dia lajang, makanya mbak bingung waktu kamu tanya soal istri Mas Tian.” Ia melanjutkan, “Terus kamu tahu dari mana Mas Tian udah nikah?”

“Aku kemarin ketemu istrinya di fanmeet Mbak Nana Yuliana. Mas Tian juga datang ke sana buat jemput Mbak Rara.”

“Gak ada yang tahu Mas Tian udah nikah,” ucapnya. “Paling si Putra tahu.”

“Putra?”

“Bagian admin, tetangga rumahnya Mas Tian juga,” jelasnya. “Nanti mbak coba tanya ke dia. Pasti Putra tahu sesuatu.”

Mereka lalu berhenti bicara tentang Tian saat pria itu kembali lagi dan duduk di kursi sebelah kiri Mbak Wendi. Mata Soraya dan Tian sempat bersinggungan sebelum keduanya saling membuang wajah.

puasa sehari aja kemarin haha soalnya belum selesai nulis chapter baru 🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top