🏎 bonus part
“Mas Andra beneran gak mau, ya?”
Andra yang lagi sibuk meraci kopinya hanya mengangguk. Tanpa memperhatikan gadis di sebrang yang sibuk mengaduk minumannya dengan bibir manyun.
Lagi-lagi ajakannya kencan ditolak. Padahal, jarang-jarang Soraya begini sama cowok lain. Ngomong blak-blakan ke orangnya langsung, bukan sebatas lewat chat. Dan ini ajakan keenam kalinya yang ditolak langsung tanpa sekalipun memberinya kesempatan.
Kenapa sih, susah amat menerima ajakannya? Seolah Soraya ini sebuah bom nuklir yang akan meledak dan membumihanguskan keberadaan Andra. Lucunya, Andra cuma nolak tanpa ngasih tau alasannya.
Bikin Soraya berpikir, emang dia gak semenarik itu, ya? Sampai ditolak enam kali sama barista kafe ini. Mau sebel, tapi mau gimana lagi? Realita memang tak semenarik dunia fiksi buatannya.
Andra menyerahkan kopi hasil racikannya pada si pelayan bernama Rita. Cewek bergaya boyish itu lalu pergi membawa satu nampan berisi pesanan pelanggan kafe. Sehingga di bar saat itu hanya ada Andra dan satu orang lagi bagian kasir, orang baru seorang mahasiswi. Soraya belum kenal siapa orangnya mengingat dia ini pelanggan tetap dan setia Our Times Cafe, tapi kalau dilihat dari sudut pandang matanya ini, Andra dan cewek itu kelihatan deket banget.
“Mau nambah lagi?” Andra tuh, udah nolak ajakannya kencan enam kali, tapi masih saja ngasih perhatian sederhana ke Soraya begini. Sedikitnya cowok ini beruntung karena Mas Aan belum ada waktu untuk menemuinya, setelah pertemuan pertama mereka di rumah sakit beberapa bulan lalu. Saudaranya itu sibuk kerja. Aktivitasnya sekarang amat padat, sampai-sampai mau pulang ke rumah tidak ada waktu.
Karena tidak ada respon darinya, Andra lantas mengidikkan bahu dan mencoba buat enggak terlalu peduli. Namun, atensinya ini justru terus saja memaksa dirinya supaya tetap mengintip reaksinya itu. Andra menghela napas sambil mengelap tangan basahnya dengan apron.
Andra mendekat ke sudut bar yang sekarang jadi tempat favorite Soraya duduk ketika tiba di kafe. “Emang kamu gak punya teman buat diajak jalan gitu?”
Soraya menggeleng dengan ekspresi putus asa. Mustahil, pikir Andra. Cewek bentukan kayak Soraya ini mustahil enggak punya teman. Pasti ada banyak orang yang siap buat dijadikan temannya. Atau mungkin, cewek ini tipe orang yang suka pilih-pilih pergaulan sehingga membatasi ruang lingkupnya.
“Kamu lihat kan, aku sibuk kerja.”
“Enam kali lho, Mas Andra,” timpalnya setengah menggerutu.
Andra mendesah. Dia juga menghitung berapa kali Soraya mengajaknya buat keluar jalan berdua, dan semua tawarannya itu selalu berakhir dengan penolakannya.
“Lagian, Mas Andra enggak sibuk selama dua puluh empat jam. Jadi, kalau dipikir-pikir lagi. Kata sibuk itu enggak cocok disebut sebagai penolakan,” katanya justru mengguruinya. Efek terlewat bete ajakannya terus ditolak. “Kalau Mas Andra nggak mau, bilang ke aku kenapa dan alasannya. Jangan ngaku sibuk melulu. Kalau punya pacar bilang sekarang, supaya aku bisa stop ngajakin Mas Andra. Terus kalau emang gak suka aku, bilang sekarang juga. Tapi aku gak jamin bakalan stop buat ngajakin Mas Andra kencan. Hehe. Masalah suka atau enggak bisa diatur belakangan.”
Andra menggeleng takjub dengan keterus terangannya itu. Baru kali ini dia nemu cewek kalau ngomong dari A-Z suka blak-blakan apa adanya.
“Yang kamu harapin kencan sama aku tuh, apa sebenarnya?”
“Hmm ... biar lebih kenal Mas Andra mungkin?” Terdengar ada keraguan di situ. Lalu Soraya menambahi, “Mas Andra gak buruk-buruk amat kok, jadi gandengan di tempat umum.”
Andra cengo mendengarnya. Kayaknya emang ada yang salah dari isi kepala si Aya. Andra menggeleng dan membatin dengan sabar.
“Sekali deh. Kalau nanti emang gak cocok gak usah ada kencan part dua.”
“Aya.”
“Tapi Mas Andra lagi gak punya pacar, kan?”
Punggung Andra tegang ketika mendengar suara cekikikan di belakangnya. Rita telah kembali, lalu ketika mendengarkan pertanyaan dari pelanggan kafe yang rutin datang kemari, membuatnya tak bisa menahan tawa gelinya. Semua pegawai kafe pun tahu kalau cewek bernama Soraya itu rutin sekali mengajak baristanya kencan dan semua orang pun tahu, sang barista masih tetap bersikukuh menolak tawarannya.
Padahal menurut Rita sendiri atau mungkin sebagian orang sependapat, Soraya itu cantik dan layak buat diperjuangin. Apalagi orangnya cukup unik, yang kalau ngomong suka blak-blakan tanpa rem.
“Belum ada,” balasnya setengah hati.
Alasan Andra menolak Soraya cukup sederhana. Soraya bukanlah tipenya. Meskipun Andra setuju dengan bagian, “Aya cantik kok” tapi mau secantik apa pun orangnya, kalau bukan tipenya mau gimana lagi? Karena enggak mungkin juga baginya untuk asal menerima cewek yang tidak masuk ke tipenya.
Andra orangnya cukup rumit jika masalah ketertarikan sama lawan jenis. Orangnya terlalu mengandalkan tipe ketimbang sosok yang ada di depan. Lalu masalahnya lagi, tipe Andra itu seenggaknya cewek yang seusia atau minimal beda dua tahun di atas usia aslinya. Terus kalau usianya di atasnya minimal beda setahun juga. Sementara sama Soraya usia mereka beda tiga tahun.
Emang sih, hanya beda sedikit. Tapi semua balik ke tipenya. Lalu point pentingnya lagi, Andra kurang begitu tertarik menjalin hubungan sebagai pasangan kekasih sama dedek gemes. Dia selalu menganggap cewek yang usianya di bawahnya itu sebagai seorang adik.
Andra menganggap dirinya ini orang dewasa, sedangkan Soraya hanyalah anak-anak. Yang dia butuhkan seorang wanita dewasa yang memikirkan masa depannya karena ke Andra mau menjalin hubungan serius, bukan sekadar cinta monyet. Dan di mata Andra hubungan yang sedang dicari Soraya itu cinta monyet, bukan sesuatu yang dibutuhkan Andra sekarang.
Lagian kalau dia mau menerima Soraya, butuh tahapan untuk mengisi lubang pada daftar tipenya karena harus menerima cewek yang bukan tipenya.
Selama ini, mantan-mantan Andra selalu perempuan seusianya dan beberapa di antaranya satu hingga dua tahun di atas usia aslinya. Dia belum pernah punya mantan yang usianya ada di bawahnya.
“Bagus, dong. Berarti gak ada masalah kalau kita ngedate.” Dia terus bicara dengan optimis. Andra yang mau nolak rasanya jadi tidak enak hati. Mana lagi Rita terus mengeluarkan cekikikannya, sedang Soraya bodoh amat sama reaksi orang lain. “Cuma sekali doang. Janji deh, gak ada part satu, dua, tiga ... dan seterusnya. Beneran lho, Mas Andra, aku gak bohong.”
Andra terus mendesah. Tak bisa pungkiri bahwa Soraya tipe cewek yang terlalu optimis dengan keinginannya. Sehingga jawabannya kemudian berubah, “Oke sekali.”
“Beneran?”
Dia mengiyakan. Soraya bersorak girang tanpa sadar bahwa aksinya barusan agak heboh. Menyebabkan orang-orang jadi berpaling ke arahnya. Andra sedikit menjauh dari kegaduhannya. Agak was-was karena perhatian dari pelanggan lain.
Namun, seruan Soraya justru menyeretkan dirinya ke dalam aksinya bersorak itu. “Besok ya, Mas Andra jam tiga sore selesai pulang kuliah!”
“Hahaha.” Rita sampai terbahak-bahak tak kuasa menahan kegeliannya, yang barusan menonton roman picisan antara sang barista dan pelanggan kafenya itu. Menurutnya itu lucu dan menarik dalam satu kesimpulan. Soraya yang digambarkan begitu blak-blakan dan polos, sedang Andra yang telah dewasa dan penuh kehati-hatian ini adalah perpaduan yang cukup menarik. Sehingga Rita membayangkan betapa chaos-nya nanti andai mereka berdua seriusan jadi pasangan kekasih.
“Haha. Si Andra pasti kerepotan ngurusin ceweknya yang hiperaktif,” tandasnya menyimpulkan seenak jidatnya. Bikin Andra langsung mengeluh dalam hati.
Dan ucapan Rita itu tidak seratus persen salah. Karena esoknya Andra benar-benar kerepotan sendiri ngadepin perilaku Soraya.
Esok sore Soraya menemuinya langsung di kafe, sementara tadinya Andra mau jemput dia langsung di kampus. Dalam kamus Andra sepak terjangnya sebagai alpha, seorang laki-laki itu harus punya sifat gentlemen dan wajib meratukan wanita dengan menjemputnya, bukan sebaliknya begini. Tapi sama Soraya justru dia yang menjemputnya meskipun perginya nanti mereka naik motor Andra.
Kencan pertamanya langsung ke bioskop. Dulu Andra terbiasa pergi kencan ke bioskop begini, tapi dulu dialah yang menawarkan diri ke pasangannya sekaligus menanyakan film apa yang ingin dia tonton. Sama Soraya justru cewek ini yang memilihkan judul film, bangku, hingga cemilan mereka. Andra yang mau bayar semua kalah cepat sama Soraya. Giliran mau diganti, langsung ditolak dengan dalih kalau semua itu tanggungjawab Soraya karena dialah yang mengajaknya kemari.
Seketika jati diri Andra sebagai alpha terinjak-injak. Dalam arti dia syok dengan semua hal baru yang diterimanya ini.
Lebih syoknya lagi selama nonton film, Soraya cenderung jadi orang fokus. Padahal, sebelum masuk studio dia sempat ngaku kalau udah pernah nonton filmnya sama temannya bernama Bunga. Pas ditanya kenapa nonton lagi kalau udah pernah, Soraya cuma nyengir dan mengaku kurang tahu kenapa pilih film sama.
Saking fokusnya dia sampai enggak sadar kalau minumannya udah habis. Sepanjang nonton film, sebenarnya dia juga aktif makan sama minum. Akhirnya Andra menyodorkan minumannya yang belum sedikitpun dia sentuh.
“Kan punya Mas Andra,” ujarnya setengah berbisik supaya tidak menganggu penonton lain.
“Kamu lebih butuhin. Minum aja. Nanti di luar bisa beli lagi.”
“Hmm,” gumamnya hanya mengamati minuman di depannya itu.
Andra mengambil wadah minumannya yang telah habis, lalu menarik tangan menyuruh Soraya supaya bawa minuman Andra.
Selama 2 jam lewat 30 menit di dalam bioskop, begitu keluar Soraya kembali dengan mulutnya yang aktif bicara. Dia terus membicarakan tentang film, betapa keren dan bagusnya tontonan mereka tadi. Bahkan dengan bangga sekarang dia memuji salah satu tokoh dari film barusan.
Andra yang mengikuti dan menyimak ceritanya, tetap menggiring Soraya melewati koridor yang mengarahkannya pada toilet. Sebelum keluar Soraya sempat bilang ingin mampir ke toilet. Seolah Andra tahu kalau ceweknya ini bakalan lupa sama tujuannya kalau aktif ngomong film gini, jadinya dia menggiring Soraya ke toilet dengan memegangi pundaknya.
“Sana masuk.”
Soraya lalu diam diikuti ekspresi setengah linglungnya. “Masuk ke mana?” Mengikuti petunjuk matanya, Soraya kemudian nyengir dan buru-buru pamit ke toilet dulu. Andra menunggunya di koridor sama seperti laki-laki lainnya.
Begitu keluar dari bioskop mereka enggak langsung pulang. Soraya langsung mengajaknya mampir beli ice cream cone di McDonals. Kali ini Andra lebih cepat membayar dari Soraya. Setelah dapatin ice cream mereka keliling di mall layaknya pasangan lain dengan masing-masing bawa ice cream. Padahal, Andra lebih suka opsi duduk makan ice cream daripada jalan.
“Mas Andra, Mas Andra. Mampir ke sana, yuk?” Sebelum dapat jawaban darinya, Soraya duluan menariknya masuk ke dalam toko pakain wanita.
“Mending sini ice creamnya aku bawain dulu,” ujarnya merasa gatal melihatnya pegang ice cream di tangan kiri sambil lihatin beberapa model pakaian. Dengan pengawas toko terus memelototi ke arahnya. Seolah takut lelehan ice itu mengotori jualan toko mereka.
Andra yang telah menghabiskan ice creamnya, sekarang jadi pemegang ice cream Soraya sementara si pemilik sibuk melihat-lihat dari celana ke rok, dari kaus ke cardigan.
“Kenapa?” tanyanya ketika melihat ekspresinya yang berubah ketika melangkah ke arahnya.
“Gak cocok.”
“Emang udah dicoba?”
“Belum sih,” katanya sambil mengandeng Andra dan menyeretnya keluar dari toko. Begitu keluar Andra segera menyodorkan ice cream-nya. Atau tepatnya bukan diberikan, melainkan menyodorkan di depan mulut Soraya. Supaya dia lebih gampang menghabiskan sisa ice cream-nya itu selama jalan di koridor dengan atensinya terus melirik ke arah beberapa foto.
Bahkan ketika ada bekas ice cream di bibirnya, Andra langsung mengusapnya dengan ibu jarinya. Tindakannya ini refleks. Baik Andra maupun Soraya tidak begitu memikirkannya.
“Sebenarnya aku mau nyari kado buat Bunga.”
“Terus?”
“Aku bingung,” ujarnya mendadak berhenti di tengah jalan. “Menurut Mas Andra, ngado teman cewek bagusnya apa?”
Andra yang bingung masih mencoba berpikir. Kalau sama mantan-mantannya dulu, biasanya ngasih surprise terus masalah kado dia lebih suka memberi sesuatu yang pada saat itu Andra tahu apa yang lagi diinginkan pasangannya. Sementara kasusnya beri buat teman cewek dia belum pernah.
“Jam tangan?” celetuk Soraya seiring gelengan kepalanya sendiri. “Boneka kali, ya? Bunga suka we bare bears.”
“Jadi, ke mi—”
“Iya, ke sana aja!” serunya sambil menyeret Andra buat mengikutinya.
Andra hanya menuruti semua kemauan Soraya dengan patuh dan tidak banyak komentar. Sesekali dia hanya mengeluarkan pendapat kalau cewek ini bertanya atau seringnya, dia mengingatkan Soraya supaya berhenti dulu kalau memang capek. Karena yang mereka datangi bukan cuma satu toko doang, melainkan beberapa toko mereka datangi walau di dalam sekadar melihat-lihat saja. Soraya hanya beli sesuai kebutuhannya. Biarpun tertarik, cewek ini bisa mengontrol diri supaya tidak boros mengeluarkan uang jajannya.
Mereka baru beranjak pulang setelah Soraya puas dan benar-benar merasa lelah hari itu. Yang tadinya berangkat jam setengah empat, pulang-pulang ternyata sudah jam setengah sembilan malam. Mereka sempat mampir makan dulu di luar. Andra tidak tega kalau membiarkan anak orang kelaparan setelah acara jalan-jalannya keliling mall sehabis nonton.
“Eh, tunggu bentar!” panggil Andra begitu Soraya asal nyelonong turun, pamit, lalu mau masuk rumah. Gara-gara capek dia jadi kurang fokus sama barang yang bukan miliknya hampir terbawa.
Andra akhirnya turun dan menyusulnya. “Helmnya,” ujarnya sambil menunjuk pelindung kepala yang masih dia pakai itu.
“Oh iya!” Soraya nyengir, merasa bodoh hampir lupa sama helm punya Andra. “Hampir lupa.”
“Biar aku lepasin,” katanya merasa prihatin sama kerepotan Soraya membawa belanjaannya ditambah wajah lelahnya itu. “Nah, selesai. Sekarang kamu bisa pulang.”
Soraya tetap nyengir lebar. “Makasih, Mas Andra.”
Andra mengangguk. “Jangan lupa mandi dulu, baru istirahat.”
“Iya kok, gak lupa.” Soraya sengaja berdiri di belakang pintu gerbang rumahnya. Menunggu Andra pergi bersama kendaraan roda duanya itu. “Hati-hati di jalan, Mas Andra.”
Andra melemparkan tanda OK sebelum melajukan motornya itu. Lalu Soraya masuk rumah dengan perasaan lega.
Kira-kira Mas Andra mau gak ya, diajak kencan part dua? Pikirnya tiba-tiba melanggar janjinya sendiri.
Sekian dan terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top