📹 bioskop

“Arghhh ...!”

Soraya menjerit seraya mengoyak kepalanya akibat stress menjelang dini hari perkara ia belum rampung menyelesaikan dua tugas yang telah menyita jam tidurnya. Layar laptopnya terbagi jadi dua: bagian sebelah kiri nunjukin progresnya revisi skripsi dan sebelah kanan revisi naskah yang baru sampai di bagian bab 10 halaman 180 sementara masih ada 104 halaman lagi.

Total halaman naskahnya lebih banyak emang ketimbang skripsi yang masih stuck bab 1 dengan total 29 halaman.

Padahal udah tengah malam lewat 30 menit, harusnya Soraya bobok nyenyak di ranjang empuknya sambil melukin guling terus melakukan perjalanan gratis ke dimensi bernama mimpi. Bukannya tetap terjaga di depan meja belajar depan laptop. Kepala Soraya rasanya ingin meledak dan tempurung kepalanya akan terbelah dua, siap mengeluarkan lava panas ke permukaan.

Soraya mendesah seraya, lalu menyandarkan punggung ke kursi belajar. Ia mendongak memandangi langit-langit kamar, diam seperkian detik sampai ketika mulutnya melantunkan sebuah melodi acak. Cukup lama perilakunya begini upaya agar kepalanya tetap tenang dan pundaknya lebih rileks ketimbang sebelumnya Soraya duduk dengan tegang.

Revisi dua dokumen dalam waktu bersamaan ternyata enggak enak banget. Huft! Mau nyelesain satu-satu, tapi deadline keduanya barengan cuma beda waktu doang ngumpulinnya. Apa enggak stress dia kalau begini terus setiap hari?

Soraya telah menambahkan tiga teori baru seraya memperbaiki tatanan bahasa latar belakang dan fenomena variabelnya yang pernah dipertanyakan Bu Ella beberapa waktu lalu, yang mana Soraya kena omelannya. Bu Ella mengira dia bikin rancangan guyonan buat skripsi. Sedang urusan naskah fiksi, Soraya telah mengubah latar tempat dengan mengandalkan riset tempat bareng Tian dua hari kemarin. Lalu masalah penokohan saat hari kedua riset latar tempat, Tian turut pula membantunya memperbaiki bagian rancu.

Tian lumayan banyak membantunya, tapi tak sedikit pula laki-laki itu berkomentar yang sering bikin Soraya naik pitam.

Soraya yang udah keburu capek akhirnya jadi ketiduran di kursi. Lupa pada laptop dan tugas-tugasnya yang masih terjaga hingga esok pagi yang baru diingatnya kemudian. Sehingga menjelang pagi, gadis itu spontan mengumpat karena sempat-sempatnya ia tidur hingga lupa buat lanjutin revisinya. Membuat sang ibu yang dengar menyahut keras dari arah dapur.

Ia sedikit beruntung karena jadwal bimbingannya dimulai pukul 11 siang, paginya tidak ada jadwal kuliah apa-apa sehingga Soraya ada kesempatan untuk melanjutkan kedua revisinya. Pertama Soraya akan mengurus skripsi, kedua baru urusan naskah fiksi. Lebih beruntung lagi siangnya Bu Ella enggak banyak komentar tentang bab satunya. Beliau hanya menyuruh Soraya buat lebih menambah teori remaja yang dirasa masih kurang sebelum minggu depan masuk ke bab dua, beda lagi sama Bunga yang langsung dapat acc dan lanjut ke bab berikutnya.

Terus siangnya jam satu, Soraya ketemuan sama Mbak Wendi, yang harusnya ada Mas Tian sekalian, tapi detik-detik melewati waktu janjian laki-laki itu membatalkannya jadi cuma Mbak Wendi yang absen.

“Yang tempat karaoke dekat simpang gak jadi dipakai?” tanya Wendi tanpa mengalihkan pandangannya dari naskah Soraya yang diselesaikan hasil kebut.

“Mas Tian gak mau ke sana,” lanjutnya, “katanya jelek.”

Wendi mengangkat wajah sesaat dengan kepala sedikit miring dan mata menyipit. “Masa, sih? Menurut mbak tempatnya bagus kok, terkenal mewah dan sama-sama satu label juga.”

“Gak tahu sih, katanya gak friendly tempatnya.”

Wendi menggeleng tak begitu mengerti kenapa Mas Tian berpendapat demikian, lalu meneruskan bacaannya hasil revisi naskah Soraya, sedang penulisnya itu tampak teralihkan dengan ponselnya.

“Emang kenapa Mas Tian gak ikut, Mbak?” tanyanya agaknya kepo alasan si korektornya batal absen padahal kemarin orangnya janji mau mengulas langsung revisi naskahnya.

“Bilangnya sih, kondangan.”

“Pfft! Orang kayak Mas Tian bisa ke kondangan juga?” Soraya tersedak tawanya sendiri menolak percaya bahwa laki-laki kayak Mas Tian bisa juga pergi ke kondangan. Membuat mata Wendi menyipit tertarik pada reaksi spontannya itu.

Ngebayangin Mas Tian ke kondangan pakai baju formal aja bikin Soraya enggak berhenti senyam-senyum geli. Jadi keingat hari pertama mereka bertemu di tempat dan bangku sama ini, si Mas Tian muncul dengan pakaian serba hitam dari ujung kaki sampai bawah, bak orang yang baru pulang dari rumah duka.

Dan Soraya enggak menutup mata bahwa Mas Tian sebetulnya amat tampan. Wajahnya itu definisi sejati dari maskulin alami bukan buatan semata-mata ingin menunjukkan maskulinitasnya di mata orang. Tapi adakalanya wajah rupawannya itu tampak seram, yeah, kadang bikin Soraya sedikit takut hanya cukup dengan orangnya diem tanpa ekspresi didukung sama bentuk badannya yang gede berkat otot, tinggi, dan tatonya itu lho, suka bikin overthinking.

Enggak apa-apa juga sih, orangnya pergi ke kondangan. Toh, cowok modelan kayak Mas Tian emang paling dicari buat jadi gandengan ke kondangan. Alias semua yang ada pada dirinya itu sangat mendukung buat dipamerin ke orang-orang.

“Dokumenya mbak bawa, ya. Untuk sementara udah fix. Nanti kalau ada revisi, mbak kabarin lewat chat.” Wendi rampung baca naskahnya, tapi begitu nanti sampai rumah dia tetap akan kembali membacanya ulang demi memastikan bagian-bagian yang barangkali kelewatan oleh matanya.

Soraya mengiyakan. “Jadwal terbitnya masih tetap sama kan, Mbak?”

“Sejauh ini masih belum ada perubahan.”

“Asyik. Tinggal tiga belas hari lagi.”

“Gak sabar meluk, kan?”

“Iya, dong!” serunya semangat. “Terus udah banyak juga yang nanyain kapan terbit versi fiksinya. Aku sampai bingung responnya, jadi ku-read doang. Haha.”

Wendi sering mengikuti keaktifan Soraya di sosial media. Bagian dari pengawasannya sebagai editor, jaga-jaga siapa tahu kan, kalau penulisnya punya dua kepribadian berbeda, antara real life dan sosmed. Perilaku seorang penulis di sosmed juga sangat memengaruhi penjualan buku nanti.

Selama dia baik tanpa pernah berkata jelek atau menjatuhkan nama sebuah komunitas, instansi, atau lainnya, maka orang akan menaruh respek padanya demikian ke buku. Namun, apabila dia suka membuat status kontroversi otomatis penjualan buku akan terpengaruhi. Di mata calon pembaca, karyanya itu jelek karena ulah  si penulis itu sendiri di sosial media.

“Kasih tau aja tanggal perkiraan terbit gak apa-apa.” Wendi sudah bersiap-siap akan pergi. “Ya udah ya, mbak pamit dulu. Nanti kalau ada apa-apa aku kabarin kamu lagi.”

“Siap, Mbak. Makasih buat waktu dan traktirannya. Hehe. Hati-hati di jalan, Mbak Wen!” serunya sambil lambaikan tangan mengantar perginya sang editor.

Tinggal Soraya yang masih mau menghabiskan milkshake-nya sebelum nanti pindah tempat ke rumah Bunga. Rencananya sore nanti mereka mau nonton film science fiction di bioskop. Soraya sama Bunga udah lama ngincer pengen nonton fim ini—tontonan mereka hampir 11:12 mirip, makanya dua cewek itu cepat klop—tapi baru kesampaian hari ini gara-gara ngurus semester akhir.

🌶 hotsy-totsy🌶

“Emang mau ada perayaan apa sih, Dim? Kok sibuk banget sampai jarang lihat di gazebo taman depan fakultas,” kata Bunga saat ketiganya melewati eskalator menuju lantai empat di mall.

Yang tadinya pengen nonton berdua doang, jadinya bertiga sejak tiba-tiba Dimas chat Soraya lewat direct messages Instagram dan berakhir dengan cowok ini tertarik ikut serta waktu diberitahu kegiatannya sore ini apa aja dan ke mana. Niatnya kalau Soraya ada waktu senggang mau diajak jalan Dimas, sih.

“Ulang tahun ukm musik.”

“Yang keberapa, tuh?” tanya Soraya tertarik sama hal-hal berbau sebuah perayaan ulang tahun sebuah instansi atau komunitas. Seringnya perayaan begini disertai lomba dengan hadiah yang amat menguntungkan pesertanya.

Seperti lomba perayaan ulang tahun kampus yang selalu pamer hadiah kendaraan roda empar hingga barang-barang elektronik seperti hape, kulkas, tv, sampai kipas angin bagi peserta lomba jalan santai. Soraya termasuk peserta yang aktif absen tiap tahun, tapi belum pernah sekalipun menang undian.

Huft!

“Ke enam.”

“Wuih, usianya bocah prik tuh,” jawabnya suka ngasal.

Bunga memutar bola mata masa bodoh akan jawaban Soraya; Dimas tersenyum geli sambil terus melihat ke arahnya yang jalannya persis kayak bocah cilik yang semangatnya overload kalau menuju tempat favoritenya.

Setibanya di dalam bioskop Dimas langsung antri ke barisan pesan tiket mewakilkan kelompoknya, sedang dua gadis itu menunggu berdiri ujung sana tak jauh dari posisinya antri. Dimas masih bisa melihat si kakak tingkat yang tetap aktif meski berdiri bersama belasan orang yang sama-sama lagi menunggu.

Soraya enggak mengira filmnya masih tetap diminati banyak orang padahal udah tayang lewat dari dua mingguan. Pas film awal tayang di bioskop, dia suka kehabisan tiket sampai kemudian tidak punya waktu senggang lagi ke bioskop semenjak revisi skripsi terus muncul lagi naskah novelnya.

“Ayo, masuk!” panggil Dimas tepat selesai beli tiket, studio dibuka dan belasan orang yang menunggu langsung rebutan antri masuk ke dalam.

Soraya yang super excited enggak bisa berhenti mengoyangkan kepalanya. Perilakunya ini gambarin banget sosok bocah freak. Bikin yang lihat heran sampai tertegun dengannya yang enggak bisa anteng.

Bunga ingin sekali memegangi kepala Soraya supaya tetap anteng di tempat. Dia takut kepala temannya ini putus saking aktifnya digoyangin kiri-kanan berulang-ulang. Dimas beda lagi. Cowok itu langsung merekam aksinya lantaran gemas, lalu mempostingnya ke IG yang akan bikin pengikutnya bertanya-tanya siapa cewek di story-nya.

“Asyik!” Soraya berseru riang sambil melangkah terburu-buru melewati tangga menuju bangku deretan D15. Saking tak sabaran langkahnya, Soraya hampir akan terjungkal ke depan andaikan sahutan tangan dari samping tak menggapai gesit lengannya.

“Lain kali hati-hati,” ujar orang yang menolongnya, yang terdengar tidak asing lagi itu.

Soraya menoleh, seketika terhenyak kala menemui Tian muncul tiba-tiba di sampingnya sambil tetap mencengkram kuat lengannya. “Eh, Mas Tian?”

Ekspresi Tian tampak biasa-biasa saja merespon keheranannya, berbeda dengan Soraya yang sedikit kaget dan bingung. Tian lantas menarik dirinya supaya posisi Soraya kembali berdiri normal sebelum melepas cengkramannya.

“Hati-hati. Jangan kayak bocah kelebihan semangat,” ujarnya memeringati. Seakan dia telah melihat betapa semangatnya gadis ini mulai dari tiba di bioskop sampai masuk ke studio bioskop.

Soraya baru akan menimpali namun laki-laki itu terburu jalan menaiki tangga. Atensinya mengikuti punggung lebar yang kini membelakanginya. Tian ternyata berada di deretan bangku A, hanya berjarak dua baris bangku darinya di deretan D, bersama lima gerombolan laki-laki yang dipercaya Soraya sebagai teman-temannya. Tampak dari kelima orang itu langsung menyapa Tian begitu sosoknya tiba di bangkunya.

“Aya, aya ... jalannya biasa aja,” omel Bunga padahal sempat khawatir tadi ngira temannya bakalan jatuh ke depan. “Yang nolongin tadi Mas Tian buka?”

“Ho-oh. Emang dia,” ujarnya sambil menunjuk orangnya dengan sorot mata. Bunga mengikuti kemudian mengangguk paham. “Dimas ke mana?”

“Beli cemilan.” Dimas tadi sempat jalan di belakang Bujga, tapi langsung hilang waktu ada si mbak penjual popcorn dan minum. “Ayo, jalan lagi!” tegur Bunga seraya menyentaknya dari kebiasaannya yang suka bengong sambil berdiri.

Soraya emang sempat bengong menatap Tian yang sempat kepergok melihat ke arahnya sebelum laki-laki itu membuang pandangannya. Sikapnya barusan yang cuek, seakan-akan mereka tidak pernah saling kenal. Soraya yang dasarnya suka tak acuh hanya mengangkat bahu masa bodoh, lalu mengekori Bunga menuju bangkunya.

Dimas pun kembali enggak lama setelah mereka duduk di bangku masing-mading, sambil memborong dua popcorn dan tiga minuman. Cowok ini agaknya boros padahal jajanan begini di bioskop harganya amat mahal.

“Kamu boros banget, Dim.”

Dimas sempat tersentak kaget mendengarnya. Biasanya cewek diajak ke bioskop terus dibelilin tiket sama beginian langsung terima dan bilang makasih tanpa bilang apa-apa, seperti apa yang diucapakan Soraya dengan lantang. Mungkin adapula sebagian bertindak serupa, tapi mengatakannya secara lantang dengan suara yang bisa didengarkan orang lain, siapa lagi kalau bukan cuma Soraya di dalam bioskop ini.

Bunga terpaksa menyikut lengan Soraya. Kepalang pusing sama tingkah temannya ini dari tadi.

Soraya langsung meringis tak tahu malu. “Sorry, sorry, kelebihan volume.”

“Tadi semangat overload, sekarang volume,” timpal Dimas tertawa renyah. Rasanya hanya lihat Soraya duduk tanpa ngapain-ngapain aja udah jadi hiburan baginya. Gadis cantik sampingnya terlalu ekspresif dan masa bodoh.

“Emang gitu orangnya. Jangan kaget!” seru Bunga mendengusi si teman yang kini malah nyengir lebar.

Membuat satu orang di deretan bangku A melongok ke arahnya. Dengan alis menukik tajam, dia berdecak. “Benar-benar bocah ajaib.”

A heart mess—aslinya judul lagu 😂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top