👨🏫 bimbingan, ya?
Tian mengangkat wajahnya ketika lembaran dokumen putih itu berada di atas mejanya. Wendi datang langsung menemuinya di ruangan khusus bagi Divisi Korektor yang masih berada di bawah pengawasan editor. Ekspresi perempuan ini campur aduk, apakah dia harus marah atau lunak menghadapi mantan seniornya di Divisi Editorial Sastra.
“Udah selesai?” Mengacu pada judul naskah pada lembar pertama. Bukti lepas ini milik penulis baru Wendi yang bulan depan karyanya akan debut untuk pertama kali.
“Mas Tian.” Pada akhirnya dia memilih lunak alih-alih marah di depan wajah pria ini. Nama Wendi bisa tercoreng di hadapan sepuluh orang pekerja Divisi Korektor yang semuanya fokus dengan bukti lepas masing-masing, tak ada yang terusik akan kedatangannya. Mindset para korektor telah diprogram sedemikian epic agar tetap fokus kerja.
Tian menanggalkan kacamata baca di atas kepalanya sembari menunggu Wendi mengutarakan tujuannya kemari.
“Mas Tian beneran gak lupa naskah ini fiksi, kan?” katanya setengah berbisik agar tak menganggu fokus orang lain. “Saya tahu fakta sangat dibutuhkan untuk menunjukkan kualitas sebuah tulisan, tapi Mas Tian seriusan sampai nyuruh Aya buat keluar kota?”
“Oh, masalah itu.” Tian ingat kemarin sempat bilang ke Soraya riset setting bisa dilakukan dengan cara mengunjungi langsung kota yang bersangkutan. Seingatnya pula dia tidak menyuruh gadis itu buat pergi ke sana, Tian menyarankan alternatif lain yang lebih gampang buat diakses.
Google, Google Map, dan tanya langsung sama orang yang tinggal di tempat tersebut. Atau dia dapat mencari sumber dari pengikutnya yang jumlahnya cukup fantastis.
“Kelihatannya dia udah dapat solusi.” Melihat dokumennya sudah balik ke tangan Wendi, gadis muda itu pasti telah menemukan solusinya.
“Mas Tian baca sendiri aja, deh.” Wendi menyerahkan dokumennya, lalu bersedekap khawatir akan reaksi Tian setelah baca hasil naskah terbaru Soraya. Sakit kepala menyerangnya lagi, Wendi paling benci mengalami ini di situasi kurang menyenangkan. Rasanya dia ingin pulang dan membaringkan tubuh seharian di atas kasurnya yang empuk.
Belakangan kondisinya kurang enak badan. Tiga hari lalu setelah yakin naskah Soraya selesai, dia akan mengajukan cuti tiga hari demi rebahan di kasur yang kini telah dirusak Tian dengan komentar-komentarnya tentang naskah penulisnya.
Wendi menatap Tian ragu. “Gimana menurut Mas Tian?”
Tian menyeringai tipis yang justru bikin rambut-rambut kecil di tangan Wendi berdiri. Soraya kelihatannya kurang beruntung. “Penulisnya Mbak Wendi ini bocah banget, ya.”
“Umurnya dua puluh dua tahun, dia mahasiswa akhir.”
“Tulisannya kayak bocah,” komentarnya tajam jika sampai didengarkan penulisnya Soraya pasti akan sakit hati, boro-boro Soraya, dia aja sedikit tersinggung.
“Beberapa bagian udah aku ganti.”
“Saya baca kok,” ujarnya menggulum senyum ke dalam. Wendi kian merasakan bulu romanya bergidik ngeri. “Biar saya aja yang menjelaskan langsung ke penulisnya Mbak Wendi.”
“Mas Tian mau ketemu Soraya lagi?”
Tian mengiyakan hanya sekali anggukan.
“Oh ... oke?” Wendi merasa bersalah telah lalai menjaga naskah Soraya yang mestinya rampung dan siap terbit bulan depan di minggu kedua, tapi di tangan Tian naskah itu seperti bayi yang baru lahir. “Saya kabarin Soraya dulu, nanti saya kabarin Mas Tian lagi.”
Tian hanya mengangguk pendek. Lalu setelah Wendi pamit kembali ke ruangannya, Tian tertawa dengan gelengannya yang tak berhenti sambil menatapi dokumen di tangannya ini.
🌶 hotsy-totsy🌶
Sorenya ketika mereka ketemuan lagi di tempat dan bangku sama, Soraya terus berekspresi masam selama Tian menjelaskan kesalahan pada tulisannya cukup mendetail. Enggak semua perkataannya masuk ke telingan Soraya, justru Bunga yang kebetulan sore ini ikut menyimak dari awal dengan patuh. Seolah dialah penulis naskah berjudul “Heart A Mess” ini alih-alih Soraya sendiri.
“Jadi, kesimpulannya untuk penokohan Soraya masih kurang konsisten dan setting dia makin melebar ke mana-mana. Gitu ya, Mas?” tanya Bunga mewakilkan temannya yang cuma bengong dengan wajah nelangsa.
Tian mengalihkan perhatiannya pada Bunga, lalu tersenyum diikuti anggukannya. Entah bagaimana Tian merasa bahwa Bunga ini jauh lebih pintar dan lebih gampang diajak diskusi ketimbang temannya. Lihat aja orangnya cuma menyimak setengah hati dan enggak banyak bicara sejak ketemu.
“Menurut saya, mungkin Mbak Soraya—”
“Mas Tian panggil Mbak Aya aja,” sela Bunga lebih sopan tanpa ngegas ketimbang Soraya kemarin. “Teman saya paling gak suka dipanggil Mbak Soraya. Atau mungkin biar lebih akrab, cukup panggil Aya.”
Soraya di sampingnya mengangguk seperti anak kecil. Tian melihat itu jadi menggeleng heran. Bukan cuma tulisannya, orangnya juga bocah.
“Mas Tian ada solusi buat tulisan teman saya?”
Gara-gara lihat tingkahnya Tian hampir lupa sama tujuan menemuinya. “Gimana kalau setting novelnya dirombak aja?”
Soraya terbelalak hingga bangkit akan protes namun urung saat Bunga memaksanya buat duduk lagi. Malah temannya ini yang protes padanya. Tubuhnya sedikt codong padanya, lalu berbisik, “Seriusan, Aya, yang sopan! Emang kamu mau naskahmu ditarik terus gagal terbit?”
“Ya, gimana lagi orangnya ngeselin.”
“Dia cuma mau bantu.”
“Mana ada orang bantu, tapi nyuruh buat rombak setting ceritaku.” Soraya melotot sebal pada Tian yang balas menatapnya dengan alisnya menukik bingung. “Orang gila—aw!”
Bunga mencubit pelan pahanya, lalu berkata, “Mulutmu itu bahaya banget, tau gak? Asal ngatain orang aja.”
“Bunga.”
“Mbak So—Mbak Aya mau lanjutin penjelasan dari saya atau cukup selesai sampai di sini aja? Saya juga ada urusan lain selain di sini.”
“Hahaha.” Bunga tiba-tiba ketawa sambil nyikut lengan Soraya. “Lanjutin aja Mas Tian, gak apa-apa. Maaf ya, Aya emang kadang agak-agak bawel.”
Soraya cuma mendengkus telanjur malas protes sama Bunga yang pasti akan selalu menang. Bunga jago ngomong dan selalu menang, Soraya jago protes dan rata-rata seringnya kalah.
Melihat temannya ini berdiri dan perlahan jalan meninggalkan meja, Soraya mendongak kemudian mengikuti punggung Bunga tanpa bertanya. Dia paham bahwa Bunga hanya ingin memberinya privasi, demikian Tian yang mengaggumi sikap dewasa teman Soraya.
Soraya berpaling menghadap Tian lagi dengan senyuman canggung. Tian justru sebaliknya, tanpa senyum dan hanya ingin mengajaknya bicara tentang isi naskahnya yang telah kembali lagi padanya setelah kemarin dikirim ke Mbak Wendi.
“Menurut saya setting cerita Mbak Aya baiknya diganti kalau setting sebelumnya memberatkan Mbak Aya.”
Soraya mendesah. “Berarti tulis ulang lagi, dong?”
“Iya.”
“Mas, tulisan saya kan fiksi bukan non-fiksi. Kenapa harus riset setting segala? Ribet amat.”
“Fiksi atau non-fiksi gak ada bedanya, Mbak Aya. Riset tetap dibutuhkan apalagi bagi cerita yang memakai setting sungguhan,” jelasnya tetap sabar. “Mbak Aya sebenarnya mau ceritanya punya kualitas dan dapat review bagus di kalangan pembaca ketika terbit gak, sih?”
“Yang jelas saya mau, Mas Tian. Aneh-aneh aja pertanyaannya.” Soraya sempat memutar bola mata. “Tapi kan, gak semua pembaca suka sama karya saya. Saya tahu kok, setelah terbit review baik dan buruk pasti ada dan saya terima review dalam bentuk apa pun.”
“Justru karena itu kualitas tulisan harus diperbaiki demi mengurangi review jelek,” ujarnya masih berusaha tetap sabar. “Premis Mbak Aya umum, tapi Mbak Aya menuliskan narasinya cukup baik sehingga isi cerita mengalir dengan sendirinya. Itu kelebihan tulisan Mbak Aya.”
Kali ini dia menyimak dengan benar dan perkataannya ini masuk ke telinganya.
“Sayangnya, Mbak Aya kurang konsisten untuk penokohan dan riset setting.” Tian menatapnya, cukup tertegun melihat Soraya mau menyimak ucapannya dengan serius. “Penokohan bisa diperbaiki dengan menghilangkan bagian kurang penting, sedangkan latar cerita saya sarankan Mbak Aya mengubahnya. Ketimbang sulit mencari tahu latar, kenapa Mbak aya nggak pakai latar tinggal kota ini saja? Bukannya malah lebih gampang dengan pengalaman Mbak Aya tinggal di sini.”
“Kalau gitu tempat-tempat yang didatangin kedua tokoh saya diubah, terus kampusnya juga.”
Tian mengiyakan.
“Tempat-tempat wisatanya juga? Aduh, Mas Tian, saya kurang tahu wisata di sini ada apa aja. Pengalaman bersosialisasi saya sedikit.”
Tian sedikit ragu dengan pernyataannya. Mustahil gadis kayak Soraya ini yang kalau ngomong suka blak-blakan pengalaman sosialidasinya sedikit.
“Lalu sosialisasi Mbak Aya selama ini ke mana?”
“Di hape,” katanya entah guyonan atau seriusan. Tian enggak tahu, tapi tetap meragukannya. “Di laptop juga. Saya suka nulis, jadi waktu saya kesita buat nulis.”
“Dua puluh empat jam?”
“Eh? Gak juga. Yakali, selama itu.” Soraya geli membayangkan dirinya menulis selama 24 jam non-stop tanpa melakukan kegiatan lainnya. “Mas Tian ada-ada aja pikirannya.”
“Tapi Mbak Aya masih sering kan, pergi sama teman nongkrong atau jalan-jalan ke tempat yang viral di kalangan remaja masa kini.”
Soraya menggeleng. Temannya sedikit bahkan setelah kuliah ini teman dekatnya hanya Bunga, enggak sebanyak kelihatannya. Nongkrong dan pergi ke mana pun sejak semester dua dia selalu sama Bunga.
Orang lain mungkin melihatnya seperti gadis kuliahan yang sering menghabiskan waktunya di luar bersama teman-teman kuliahnya ketimbang rumah. Entah nongkrong ke kafe, nonton bareng, atau pergi ke tempat viral yang dibicarakan Tian.
Sebetulnya Soraya hanyalah anak rumahan yang jarang main di luar rumah tanpa mengantongi izin orang tua. Ya, orang tua Soraya sedikit kaku yang telah mendoktrin anak-anaknya dengan peraturan rumah dan bagi siapapun harus patuh. Kebutuhannya memang dicukupi sejak dari lahir, tapi kebebasannya sebagai anak masih diatur dan acapkali Soraya ingin melanggar selalu berakhir ketakutan.
Ibunya terlalu galak dan suka marah kalau anak-anaknya susah diatur. Ayah sebetulnya orang baik, tapi beliau terlalu menuruti omongan ibu sehingga ketika anak-anaknya kena marah istrinya, ayah hanya menonton alih-alih membela. Tapi Soraya dan saudaranya tidak pernah kena serangan fiksi, ibu tahu batasannya untuk marah dan belum pernah sekalipun memukul anak-anaknya walaupun mereka melanggar peraturan di rumah.
Sebab ini pula Soraya lebih sering menghabiskan hari-hari di rumahnya dengan bersosialisasi di sosial media. Alasan kenapa dia suka menulis sejak SMP, Soraya ingin menciptakan kebebasannya sendiri, di mana tidak ada aturan di dalamnya.
“Gini aja,” ucap Tian mencoba menemukan jalan tengahnya. “Saya udah bilang kemarin, saya bisa bantu. Kalau Mbak Aya mau mengubah latar ceritanya, saya bisa bantu Mbak Aya riset ke tempat yang sekiranya sama dengan isi cerita Mbak Aya.”
“Beneran dibantuin riset?”
Tian mengiyakan, enggak ada pilihan lain selain membantunya. Ekspresi wajahnya tadi yang bikin Tian terpaksa mengambil keputusan ini.
“Beneran diganti latarnya?”
“Iya, Mbak Aya.”
“Deadlinenya mepet dong?”
“Kalau mau cepat selesai bisa dilakukan mulai besok,” ujarnya.
Soraya diam, mencoba untuk berpikir. “Besok saya ada kuliah sama bimbingan.”
“Menurut Mbak Aya saya gak kerja?” Tian menggeleng heran. “Selesai saya pulang kerja dan Mbak Aya selesai pulang kuliah.”
“Sore?” lanjutnya, “eh, gak tahu juga. Eh, tapi kayaknya sore bisa.”
Tian berdecak. Menghadapi penulis satu ini emang butuh kesabaran besar dan Tian paling kurang suka di posisi serba terpaksa ini.
Cerita ini beda dari tendae sama scenario, lho. Hayo, tebak bedanya apa? 😗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top