🍄 Behind The Scene



Bunga bawain banyak cemilan ketika datang menjenguknya setelah pagi tadi dapat bom chat dari Soraya yang merengek seperti anak kecil kepadanya agar berkunjung ke rumah sakit begitu pulang kuliah. Bukan cuma bawain cemilan yang dibeli di mini market dekat kampus atas permintaan sang teman itu kalau dia bertamu, tapi juga bawain kabar gembira kalau saudara laki-laki Bunga kemarin habis lamaran—alasan mengapa dia absen jengukin temannya itu.

Soraya bersorak riang, sedikit tak menyangka bahwa Bondan, kakaknya Bunga, tak lama lagi segera menikah. Enggak kayak Ansel, kakaknya, yang entah kapan menikah itu. Soraya kayaknya harus lebih sering ledekin Ansel jomblo biar cepet-cepet nikah atau minimal kenalin cewek barunya ke keluarga, seperti dulu waktu Ansel masih doyan pacaran.

“Terus kamu sama Noah gimana?” Terakhir dia ketemu Noah pas dianterin pulang ke rumah setelah liburan singkat di pantai.

Bunga hanya mengangkat bahu sekali, membuat Soraya mengernyit tertarik. Harusnya pedekate Noah lancar-lancar aja berhubung Bunga masih single.

“Cerita dong,” ujarnya merayu.

“Sebenarnya dia tadi mau ikut ke sini.”

“Terus kenapa gak jadi?”

“Aku tolak.”

“Lah?” Matanya mengerjap agak bingung. “Emang napa kalau dia ikut?”

Sekali lagi Bunga mengangkat bahunya. Hm, kayaknya dia sedikit paham alasan Bunga menolak tawaran Noah yang notabenenya sekadar basa-basi dengan niat terselubung pengen pdkt sama temannya ini.

Hanya ada satu pembenaran: perasaan Noah bertepuk sebelah tangan. Bunga jelas tidak punya perasaan yang sama seperti perasaan yang Noah miliki terhadapnya. Temannya ini agak susah membalas perasaan dari seseorang yang telah duluan jatuh cinta kepadanya karena Bunga lebih nyaman dengan konsep yang pertama jatuh cinta dan seseorang itulah yang membalas perasaannya.

“Terus udah kamu jelasin?”

“Belum,” lanjutnya, “orangnya selalu ngalihin pembicaraan.”

Soraya mengangguk paham. Menurutnya Noah itu orangnya pekaan, dia pasti udah merasa duluan kalau Bunga belum bisa atau enggak akan sempat jatuh cinta kepadanya. Makanya dia terus mengalihkan pembicaraan kalau Bunga mulai menyinggung soal itu. Noah lagi berusaha untuk membuat Bunga jatuh cinta kepadanya.

“Coba kamu bi—”

“Mas Tian masih sering jengukin, ya?” Bunga memotong ucapannya, seolah dia tidak ingin membicarakan Noah di sini.

Giliran Soraya yang menjawab dengan anggukannya.

“Orangnya gak ada upaya buat berhenti atau gimana gitu? Aneh banget. Kalian juga gak mungkin jadi pasangan.”

“Haha. Kan, udah kubilang kalau aku udahan buat suka sama Mas Tian.”

“Iya, ngerti. Tapi si Mas Tian ini kayaknya belum mau move on. Aneh. Padahal udah punya bini, tapi masih deketin kamu terus.”

“Pesonaku terlalu susah disingkirin. Hahaha.” Bunga berdecak, tapi dia mengerti bahwa ucapan temannya itu sebatas candaan doang. Soraya pasti memikirkan hal yang sama dengannya bahwa dia merasa kurang nyaman kalau Tian tetap mendekat padanya, sementara dia telah berusaha untuk tidak suka padanya lagi.

“Usir orangnya kalau ke sini.”

“Pakai baygon atau lavender?”

“Aya serius!” tegurnya. “Emang kamu mau ketahuan sama Mbak Rara kalau ada apa-apa sama suaminya?”

What? Ya enggaklah! Mau ditaruh mana mukaku ini?”

“Makanya jauhin orangnya.”

“Eh? Lagian aku sama Mas Tian gak ada apa-apa kok, ngapain takut ketahuan? Kecuali aku ini selingkuhannya dia, baru deh, takut ada apa-apa.”

Bunga mengertakkan giginya. “Dengan kamu suka suaminya aja udah salah besar, Ay. Apalagi jadi pelakor.”

Soraya murung bukan karena dia harus lupain Tian, tapi karena dia merasa salah telah membohongin Bunga dan Mbak Rara bahwa sebenarnya sempat ada apa-apa yang terjadi di antara dia dan Tian. Di dalam mobil Tian mereka pernah ciuman. Soraya mendesah teringat perbuatan tak senonohnya pada malam itu yang semestinya tidak terjadi.

“Makanya tegur orangnya.” Bunga berkata lagi, “Gimana mau move on kalau orangnya masih ngasih perhatian ke kamu.”

“Hmm ... move on ke Mas Andra misalnya?”

Bunga memutar bola mata sedikit dongkol karena dia terus menimpalinya dengan candaan. Mau gimana lagi orangnya emang suka begini dan Bunga tetap tahu kok, kalau Soraya pasti mikirin soalan ini karena mustahil temannya itu enggak kepikiran soal Mas Tian yang rutin menjenguknya hampir tiap hari.

Tian nyalinya terlalu gede sampai enggak punya rasa khawatir perasaannya itu disadari orang dekat Soraya. Lagian orang mana sih, yang rutin jengukin orang sakit kalau di antara mereka nggak ada perasaan apa-apa. Ngaku sebagai proofreader-nya pun percuma kalau orangnya terus muncul, malah yang ada orang-orang dekat Soraya curiga sama hubungan kedekatan mereka.

Dan itulah yang bikin Ansel mulai bertanya-tanya. Di kebetulan enggak sengaja dengar obrolan Soraya bersama Bunga pas mau masuk ke dalam setelah kembali dari rumah nganterin ibu, sehingga Ansel pun sengaja berdiri di luar di depan pintu bansal sekadar untuk mencuri dengar obrolan kedua gadis remaja tersebut. Rasanya Ansel pengen masuk, lalu menegur adiknya supaya mendengarkan nasehat Bunga. Alih-alih menegurnya dia justru berpaling lagi meninggalkan ruangan itu dan berkeliaran di koridor dengan ekspresi dingin.

Dugaannya benar. Ansel mengumpat, membuat seorang perawat yang papasan di koridor kontan menoleh dengan mata menyipit heran meliriknya.

Umpatan Ansel tak berhenti di situ belaka. Bahkan setelah melewati pintu keluar gedung rumah sakit dan berjalan menuju parkiran dia tetap bersumpah serapah. Sosoknya yang sekarang lumayan kontras dengan sosoknya yang selalu dipandang sebagai laki-laki yang menjanjikan. Citranya itu telah ternodai oleh sikap urakannya yang enggak ada capek-capeknya berkata kasar.

Benar bahwa Ansel tidak peduli dengan status pekerjaan calon adiknya, tapi status kali ini justru mengecewakan dirinya. Ansel peduli karena itu dia kecewa dan marah pada dirinya sendiri yang telat menyadari hubungan terlarang Soraya sama Tian. Mau enggak mau dia harus ikut campur dengan masalah ini.

Yang dipikirkan Ansel hanyalah Soraya enggak boleh ada hubungan apa-apa sama laki-laki yang udah punya pasangan. Tidak untuk sebagai pasangan kekasih, tidak juga sebagai seorang teman.

Sehingga Ansel akhirnya kembali lagi ke bangsal dengan perasaan yang mulai tenang dibandingkan tadi. Bunga sempat papasan dengannya di koridor rumah sakit yang ternyata gadis itu akan pulang setelah tiga jam lebih nemenin Soraya sementara Ansel ada di rumah.

“Mau mas anterin pulang?” Ia menawarkan diri sebagai tanda terima kasih sebab Bunga berkenan menemani dan jadi teman adiknya, yang kemudian ditolak.

“Udah pesan ojol kok, Mas.”

“Ya udah, kalau gitu—” Ansel yang terburu-buru ingin mengambil uang di dompet, langsung disela Bunga begitu paham tindakannya itu.

“Bunga pamit dulu, ya, Mas. Permisi.” Bunga bergegas pergi sebelum Ansel menahan dan memaksanya supaya menerima uang darinya. Udah jadi kebiasaan saudara Soraya itu kasih uang jajan ke Bunga secara cuma-cuma, dengan alasan buat bayar ojol sementara uang yang dikasih selalu lebih dari harga naik ojol, dan Bunga sungkan jika rutin dikasih. Ansel kelewat baik sama teman adiknya, yang kadang bikin Bunga suka banding-bandingin sama kakaknya sendiri, Bondan, yang sifatnya berbeda jauh.

Sama-sama baik sih, tapi Bondan tuh agak nakal dan pelit. Mana susah diajak omong pula.

Karena Bunga duluan pulang tanpa menerima uangnya, Ansel memasukan uangnya lagi ke dalam dompet sambil melangkah menuju ruangan adiknya, dan begitu sampai di sana Soraya ternyata menunggunya.

“Mas Aan kok lama?”

“Ketiduran.” Ansel melirik wadah makanan dari rumah sakit yang kosong, lalu menarik perhatiannya tepat ke mata Soraya. “Makanannya kamu yang makan atau Bunga?” Hari ini ayahnya belum bisa menjenguk Soraya, jadi mustahil kalau makanan dari rumah sakit itu habis karena dimakan ayah mereka.

“Aku yang makan.”

“Bener?”

“Iyalah,” lanjutnya, “Mas Aan baliknya lama. Karena aku laper banget, ya udah, aku makan aja.”

“Obatnya?”

“Udah kok.”

Ansel mengangguk. “Mas tinggal lagi gak papa?”

“Mas Aan mau ke mana?” tanyanya penasaran.

“Gak ke mana-mana kok, cuma ke kantin rumah sakit.” Soraya menatapnya sedikit tak percaya. “Mas mau beli kopi. Masih ngantuk, tidurnya belum lama.”

“Oh ... oke.”

Ansel bergeming, matanya beralih ke arah ponsel adiknya yang tergeletak di atas meja samping botol minuman. “Mas boleh pinjem hapenya?” tanyanya tanpa ragu.

Soraya berpaling ke gawainya, terus balas memandangi Ansel aneh. “Mas Aan gak bawa hape?”

“Iya. Lupa.” Jelas-jelas dia bohong kalau benda pipih itu tersimpan di saku celananya. “Sekalian mau minta tolong ibu buat gosendin hape.”

“Lama gak perginya?”

“Enggak kok, setelah dapat kopi terus hapenya sampai nanti balik sini.”

“Hmm, iya deh.”

Soraya sama sekali tak curiga dengan niatan Ansel yang tiba-tiba pinjam ponsel dan pamit pergi lagi setelah mendapatkan apa yang diinginkannya. Ansel yang merasa bersalah telah berbohong, hanya dapat menghela napas setibanya di luar, dan dengan setengah hati ia meninggalkan lagi sang adik di dalam ruangan itu seorang diri.

Langkahnya terkesan buru-buru meninggalkan gedung rumah sakit menuju gedung parkiran, alih-alih ke arah kantin rumah sakit yang letaknya ada di sebrang di lantai dasar tak jauh dari gedung parkiran. Ansel mencari satu kontak nama, mencatat nomernya di gawai, lalu menghubunginya begitu dia berada di dalam mobil dan siap untuk pergi menemui orang itu nanti.

🌶 hotsy-tosy🌶

Soraya suntuk dan merasa tertipu setelah dua jam ditinggal pergi sang kakak yang ngakunya cuma mau ngopi ke kantin rumah sakit itu. Kantin rumah sakit apanya? Ansel belum balik setelah dua jam lalu pamit dengan membawa ponselnya, yang sekarang bikin Soraya bosan setengah mati karena dia sendirian di ruangan ini dan tidak ada teknologi canggih yang bisa mengalihkan dirinya dari jenuh.

Soraya mengerutu. Menyesal telah membiarkan benda kesayangannya dibawa lama Ansel. Tahu gini mendingan tolak aja permintaan kakaknya itu. Ada sih, laptop buat gantiin posisi ponselnya yang lagi jalan-jalan di luar di dalam kantong Ansel, tapi masalahnya benda itu ada di meja depan sofa dan Soraya kelewat malas buat ambil sendiri. Belum lagi masalah infus yang harus dipegang bila nekat turun dari ranjang untuk sekadar mengambil laptopnya itu, yang semalam dipakai Ansel buat nonton.

Selama dua jam menunggu Soraya hanya baca ulang pesan kiriman Theo yang dititipkan ke Sabo dan diberikan ke Soraya lewat bantuan Andra. Membaca ulang pesan-pesannya sampai akhirnya jenuh dan mengantuk, sementara ide di kepalanya sayang sekali tidak bisa disalurkan lewat tulisan. Soraya bukan orang kidal, dia kesulitan sendiri jika menulis pakai tangan kiri.

Ketika dia ingin rebahan, pintu ruangannya didorong ke dalam oleh seseorang dan orang itu bukanlah saudaranya yang lagi ditunggu kepulangannya, melainkan mantan dari proofreader naskahnya. Tian menyapanya demikian sebaliknya, hanya saja Soraya sedikit bimbang kala melihat raut tanpa semangat sang korektor.

Bahkan tidak ada basa-basi dari pria ini menanyakan kabarnya, dia langsung mendekat dan berdiri di samping kiri ranjangnya dengan perhatian lurus ke arahnya. Soraya menaikkan satu alis dan sedikit mengerutkan dahi. Tak ada yang berbicara menyampaikan basa-basi mengawali obrolannya, hanya sepasang yang saling bertukar pandang cukup lama sampai kemudian Tian melemparkan senyum dan menanyakan kabarnya. Soraya pun menjawab seperti biasa tanpa dikurangi atau dilebih-lebihkan. Jawaban apa adanya dan Tian pasti sudah hapal di luar kepala sama balasannya.

Isi kepala Tian bercabang setelah memberanikan diri masuk dan setelah juga orang yang menunggunya di luar—Ansel—mendorongnya supaya dia segera menemui Soraya di dalam dan mengakhiri apa yang semestinya dia akhiri dari lama. Tian terngiang kata-kata Ansel yang meremas harga dirinya sebagai seorang laki-laki sejak menemuinya di luar rumah sakit. Bahkan umpatan Ansel waktu menjumpainya masih mendengung di telinganya.

Tian yang mengira tidak ada apa-apa waktu menyetujui ajakan ketemuan Ansel di luar rumah sakit—mungkin Ansel cuma pengen ngobrol biasa, pikirnya waktu itu—langsung dibuat tertohok umpatan di depan wajah setibanya dia di hadapannya. Ansel kecewa dan marah sehingga melimpahkan semua emosinya kepada Tian yang tidak berbuat apa-apa, hanya diam, dan menerima semua cacian itu.

Dia beruntung karena Ansel dapat mengontrol emosinya sehingga tidak melayangkan tinju ke wajahnya yang saat itu benar-benar merasa bersalah telah berusaha mendekati adiknya, sementara telah beristri. Hanya kata-kata berengsek dan bajingan yang terus diumpatkan padanya. Dua kata itu seolah menggambarkan sosoknya di mata Ansel maupun orang lain jika mereka tahu betapa buruknya dia sebagai seorang suami.

“Saya punya alasan kenapa rutin menemui Aya di rumah sakit.”

“Berhenti nyebut nama Aya lagi. Berengsek!”

Kala itu, Ansel nyaris akan meninju wajahnya. Emosinya melunjak setelah Tian membela diri dengan menyebut nama adiknya. Persetan alasan. Ansel tidak butuh alasannya, yang dia butuhkan hanyalah Tian menjauh dari kehidupan adiknya dan berhenti menyukainya.

He don’t deserve her

Dan Tian yang sudah tidak punya wajah lagi di depan Ansel, hanya dapat meracau dengan menjelaskan seluruh alasannya tetap rutin menjenguk Soraya selama tiga hari ini gadis itu di rawat di rumah sakit. Pada hari kecelakaan itu, setelah dia mengantarkan Soraya ke rumah sakit, Tian tidak langsung ada di sana menemaninya sebaliknya dia pulang ke rumah dengan perasaan campur aduk sambil terus menghubungi Rara yang saat itu kerja.

Tian ketakutan setengah mati setelah membopong Soraya ke rumah sakit yang justru mengingatkan dia pada insiden saat dirinya hampir kehilangan istri dan anaknya. Tian buru-buru pulang setelah mengantarkan Soraya ke rumah sakit karena ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa Rara baik-baik saja. Bahwa dia hanyalah kehilangan Danis.

“Kamu kenapa sih, Mas?” Rara bertanya begitu izin pulang dari kantor karena khawatir dengan suaminya yang tiba-tiba meracau di telpon dan memaksanya supaya mereka bertemu.

Tian yang tak kuasa hanya langsung memeluk Rara tanpa menjelaskan apa-apa. Dia sangat ingin memastikan bahwa perempuan yang dipeluknya saat itu benarlah istrinya. Rara bingung menerima perlakuan demikian, dan lebih bingung lagi saat dia menyadari bahwa tubuh suaminya gemetaran. Dan ucapan yang keluar dari bibir Tian pada waktu hanyalah kata-kata maaf, tanpa Rara tahu penyebab perilaku suaminya yang begini.

Alasan Tian tetap rutin menjenguk Soraya hanya karena dia ingin memastikan seberapa besar rasa khawatir Tian terhadap Soraya dibandingkan rasa khawatirnya terhadap Rara. Dan Tian pun ingin memastikan perempuan mana yang lebih dicintainya.

Hehehe update juga setelah selesai mengurus gawean. Gak lama lagi ending kok 😄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top