Chapter 2

.
.
.

Nagi menghempaskan dirinya di atas tatami, mengabaikan teman-temannya yang sibuk menaruh tas dan perlengkapan di dalam kamar. Toh, ia sudah punya Reo yang akan mengurus segala hal. Keseharian damai yang ia inginkan tidak akan berjalan lancar jikalau dadanya masih bergemuruh sedari tadi. Tetapi, tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini.

Selain Reo, yang menjadi teman kamarnya adalah Bachira, Rin, Isagi, dan Chigiri. Ruangan yang cukup padat untuk ditempati oleh enam orang pemuda pemain sepak bola.

Jendela dibuka oleh Isagi, membiarkan angin sepoi-sepoi memasuki kamar. Sementara, Rin ikut acuh pada orang-orang yang menghirup udara sama dengannya. Nampaknya, yang paling muda itu ingin segera merilekskan diri untuk latihan.

"Nagi, jangan langsung tidur. Kalau [Name] melihatmu seperti ini, bukankah ia akan langsung menegurmu?" tanya Reo seraya mengancing tasnya, tak melirik sama sekali pada pemuda berambut putih tersebut. Nagi berdehem pelan sebagai respon, membuat Reo sekali lagi menghela napas pasrah, "aku tahu kau kecewa karena yang mengajakmu malah tidak memperhatikanmu. Tapi, ayolah, bangun. Apa mau kugendong saja?"

"Kau terlalu memanjakannya," sahut sosok berambut merah panjang, Chigiri, dengan ekspresi facepalm sembari berkacak pinggang.

Reo mengendikkan bahu, "Daripada aku, malah [Name] yang lebih memanjakannya. Kau tahu tidak  kalau anak ini sudah mengambil ciuman pertama [Name] dengan entengnya? Dan [Name] memaafkannya karena dia memasang ekspresi memelas."

"HAH?!"

Sosok berambut hitam dengan kuning berseru kaget, segera menindih Nagi yang tengah terlentang, membuat Nagi tersedak akan salivanya sendiri. Isagi dan Chigiri melotot, terkejut. Rin tak ingin ambil pusing dengan obrolan sekarang, diam-diam mendengarkan dari balik ketenangannya, meskipun dalam hati berniat untuk segera melemparkan semua orang tersebut ke dalam sumur.

Nagi tidak tahu harus merespon apa akan cerita yang dibawakan oleh Reo. Lagipula, ciuman saat itu karena tidak sengaja. Ia mengira dirimu adalah kaktus yang biasa ia ajak obrol, Choki, setengah sadar saat memelukmu, mengakibatkan insiden terjadi. Daripada makin besar, Nagi memilih untuk tutup mulut.

Bachira bersiul, berusaha menggoda Nagi, "Aku tidak menyangka kalau kalian berdua sudah sampai tahap itu! Eh, sebentar, kau dan [Name] resmi berpacaran kah? Kok, aku tidak tahu akan hal ini?"

"Tidak," balas Nagi dan Reo bersamaan.

"Kalau kau memang suka dengannya, seharusnya kau segera menyatakanー"

Kalimat Isagi terhenti ketika dirimu menggeser pintu, membawakan beberapa snack dan juga helaian kertas. Kau mengerjap, menyadari suasana di dalam yang tiba-tiba terasa tegang dan canggung. Dahimu mengernyit, sementara kakimu melangkah masuk dan melempar pertanyaan, "Kalian para lelaki tidak berencana melakukan hal yang macam-macam, bukan?"

"Kau melihat kami sebagai apa, sih?" balas Reo, dengan tawa kikuk. Ia buru-buru menerima tumpukan kertas dan snack tersebut. Iris ungu miliknya mengerjap, menyadari bahwa itu adalah jadwal latihan.

Kau segera memberikan kertas tersebut tepat di hadapan Nagi, membuat dirinya menatap malas akan tulisan yang tertera di atas lembaran putih tersebut. Menyadari tingkah Nagi, kau menggerutu, "Hora, Nagi, untuk pagi sampai siang adalah jadwal latihan. Sore dan malam bebas mau beristirahat atau mandi di onsen. Ah, kalau ingin jalan-jalan, usahakan jangan terlalu jauh dan larut malam, ya! Main game-nya juga ingat waktu!"

"Uhn."

"Oke, berarti Nagi sudah paham, kan? Kalau begitu, aku pergi dulu, ya?"

"Jangan."

Pemuda itu menggenggam lenganmu dengan erat, mencegah dirimu untuk beranjak pergi dari ruangan tersebut. Padahal, ia dalam keadaan terlentang seperti ini, namun tenaganya masih terasa kuat. Kau memiringkan kepala, kebingungan akan tingkah manjanya sekali lagi.

Reo mendengkus kasar, menyisir helaian rambutnya sendiri dan berujar, "Coba ajak Nagi jalan-jalan sana, [Name]. Jadwalnya dimulai besok, kan?"

"Yah ... benar, sih. Aku juga sudah selesai mengurus hal lain. Tinggal memperhatikan perkembangan kalian untuk esok hari saja. Memangnya kenapa?"

"Uhn ... aku haus."

Nagi ragu menjawab apa. Hal yang ia inginkan bertolak belakang dengan apa yang ia katakan saat ini. Ia tidak mengerti akan dirinya sendiri. Ia hanya perlu menghabiskan waktu bersamamu, toh kau sendiri yang mengajaknya keluar, seharusnya kau pula bertanggung jawab agar tidak membuat ia merasa bosan.

Kau tahu kalau Nagi berbohong soal haus yang ia rasakan. Hal seperti ini akan langsung ia minta pada Reo yang notabene ada di depannya. Kau duduk, mendekatkan diri, lalu bertanya dengan khawatir, "Apa kau merasa sakit? Atau butuh angin segar?"

"Uhn."

Yang mana?

Semua yang berada di dalam ruangan itu kebingungan, namun memilih untuk tak bertanya lebih lanjut, sudah paham akan kelakuan sang genius sepak bola ini. Lantas, kau balas menggenggam tangan besarnya tersebut seraya mengulas senyum antusias.

"Kalau begitu, ayo keluar. Kulihat, di samping pemandian ini, ada pohon sakura yang sedang mekar. Mau pergi melihatnya?" ajakmu.

Nagi mengangguk malas.

Apapun itu, yang bisa menjadi alasan agar kau pergi bersamanya saja sudah cukup. Lantas, pemuda itu bangkit dengan enggan. Kau kembali mengangkat suara seraya berusaha menariknya, "Kau tahu kalau aku tidak sekuat itu untuk membopongmu, Nagi Seishiro. Jadi, berjalanlah sendiri."

"Iya, aku tahu, kok."

Menonton kalian berdua yang melangkah bersama, membuat Reo menutup mulutnya. Katakan saja, ia merasa terharu. Sontak, pemuda berambut ungu itu memalingkan wajah.

"Berhenti melihat mereka berdua seolah mereka anakmu," omel Chigiri dengan wajah datar, tak mampu lagi berkata-kata akan adegan di hadapannya. Sementara, Isagi hanya tertawa canggung. Berbanding terbalik akan Bachira yang melepaskan cengirannya dengan bebas. Sosok dengan iris hijau, Itoshi Rin, mendengkus kasar mengenai hal tak berguna yang sedang terjadi saat ini.

Keluar dari ruangan, langkah demi langkah kau tempuh bersama Nagi, membiarkan detik waktu berlalu begitu saja. Kini, dirimu dan sosok tinggi gagah tersebut tengah berada di bawah naungan pohon sakura yang mekar. Petal berwarna merah muda itu sesekali diterpa oleh angin, beberapa pula berguguran.

Irismu terpaku akan pemandangan di hadapan, sementara iris abu-abu milik Nagi menatap lekat pada dirimu, "Cantik, ya, Nagi?"

"Uhn, cantik."

"Jadi, apa ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?" tanyamu, tanpa membalikkan pandangan pada pohon yang berada di hadapanmu saat ini.

"Kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Yah, tidak mungkin kau bersikeras seperti ini kalau tidak ada sesuatu yang mengganggumu, bukan? Jangan bilang, kau merasa risih karena sekamar dengan mereka semua?"

Kini, kau meliriknya, memberikan perhatian sepenuhnya pada pemuda tinggi tersebut. Ia tak kunjung menjawab, malah berusaha berpikir keras, tak menyandang pribadi Nagi Seishiro yang seperti biasanya. Butuh beberapa menit ia menyortir pikiran, lalu membalas, "Aku hanya tak suka saja."

"Jadi benar, ya, kau tak suka dengan merekaー"

"Bukan itu, aku tidak suka padamu, [Name]."

"Eh?"

Kau mengerjap, mengernyitkan dahi, benar-benar kebingungan. Kalau tidak suka dengan dirimu, seharusnya tak perlu repot-repot mengajakmu, bukan? Suaramu tercekat, napasmu tertahan. Apa karena kau memaksanya untuk pergi ke sini? Kau tahu benar bahwa sosok di hadapanmu itu tak suka ketika seseorang mengambil waktu luangnya.

Sebelum Nagi kembali mengangkat suaranya, kau segera memotong niat pemuda tersebut, dengan kepala yang dipenuhi oleh kabut kegelisahan.

"Maaf, Nagi, nampaknya Anri-san memanggilku. Aku akan pergi sebentar," sahutmu, sedikit menundukkan kepala dan beranjak meninggalkan Nagi.

Nagi mengedipkan matanya, memiringkan kepala seraya memijat lehernya dengan enggan, "Ah ... aku belum selesai bicara, padahal."

.
.
.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top