furuya "i wish i was rich" rei but he actually owns a black card
Bertentangan dengan imej-imejnya, bahkan Furuya Rei sendiri sesekali membatin 'Kalau saja aku orang kaya,' seperti manusia normal pada umumnya, mengejutkan, aku tahu. Padahal ia sama sekali tidak kekurangan uang dan sebenarnya tergolong 'orang kaya' kalau dilihat dari penghasilan pekerjaan rangkap tiganya. Memang membuat kesal saja, si orkay yang 'rendah hati' ini. Tetapi tenang dulu, sentimen Rei itu bukan tanpa alasan!
Bayangkan ini; setelah menyelesaikan misi berat yang memakan waktu dan kewarasan mentalmu, hal apa yang enak untuk dilakukan kemudian? Selain memilih untuk 'koma' di kasur selama-lamanya.
Benar sekali, mandi yang lama sekali!
Betapa nikmatnya ketika berendam di air panas dan merasakan otot-ototmu perlahan mulai rileks. Lalu kau memutar leher sedikit dan mendengar bunyi kretek nyaring yang memuaskan kemudian mengulang gerakan itu beberapa kali. Sekujur tubuhmu terasa hangat, hampir seperti sedang dibungkus selimut tebal tetapi rasanya jauh lebih baik karena kenikmatan ini diperoleh mati-matian. Apalagi kalau ada sepiring buah-buahan segar atau cemilan manis di sisi kanan dan kiri. Tak lupa sebotol wine yang menunggu untuk dibuka juga alunan pelan musik klasik semakin mendukung suasana romantis yang eksklusif untuk dirimu sendiri.
Tunggu, masa semua itu dilakukan sendirian? Iyalah! Pikirkan baik-baik. Untuk apa pula berbagi kenikmatan surgawi seperti ini dengan orang lain? Mending kau simpan untuk dirimu sendiri. Anggap saja hadiah karena sudah beberapa kali nyaris mati ketika misi.
Kurang lebih seperti itulah salah satu dari beberapa delusi (halu) yang paling disukai Furuya Rei, mengagetkan (2). Tapi bukan salahnya juga sih berpikiran seperti itu. Kalau berada dalam posisi Rei, kewarasan orang-orang normal sudah pasti terkikis habis dalam waktu singkat dan kematian terlihat seperti opsi yang agak menggiurkan, sekalipun harus melepas kesempatan merasakan kenikmatan surgawi sesungguhnya (lihat teks di atas.)
Untuk membela idealisnya itu lebih jauh, Rei menambahkan pendapatnya mengenai; keuntungan-keuntungan memiliki hotspring pribadi atau jacuzzi atau bathtub yang sangat, sangat luas ketika menjadi orang kaya. Serius deh, kalau Rei sudah sekaya itu hal pertama yang akan dibelanjakannya adalah tempat pemandian air panas—ia sudah merencanakan ini sejak lama sekali.
Selain kesenangan karena dapat memonopoli onsen sesuka hati, kalau memiliki onsen pribadi Rei tidak perlu khawatir identitas-identitasnya akan terbongkar dan dapat bersantai dengan tenang tanpa terganggu keberadaan orang lain.
Juga, dia bisa lebih leluasa keluar masuk pemandian air panas kapan saja setelah misi tanpa harus mengkhawatirkan pertanyaan seperti, Kenapa ada bercak darah di dalam kolam? (Jawaban: karena darah yang mengalir dari sayatan selebar tujuh sentimeter di bahunya, dan tampaknya cukup parah karena Rei sendiri mulai merasa pusing.)
***
Yang disebutkan di paragraf sebelumnya benar terjadinya, minus bagian onsen pribadi.
Jadi begini, setelah Rei menyelamatkan Conan dan dirinya sendiri dari kematian karena terjatuh dari tempat tinggi di Edge of the Ocean, ia mendapat tiket ke penginapan pemandian air panas. 'Terima kasihku,' kata Conan di Kafe Poirot, sebisa mungkin terlihat tulus walaupun ekspresinya kecut ketika berkata begitu. 'Lagipula kayaknya Amuro-niichan harus rileks sesekali deh. Kulihat-lihat Amuro-niichan sibuk kesana kemari terus.'
Amuro curiga kalau sebenarnya tiket di tangannya ini merupakan pemberian Akai Shuichi melalui Conan sebagai perantara. Firasatnya berkata seperti itu, ditambah makna ganda dari ucapan terima kasih Conan yang karena suatu alasan diucapkan dengan intonasi dan ekspresi yang tidak pas. Conan sepertinya memang berpikir kalau Rei butuh liburan tetapi bocah itu tidak akan repot-repot memberikannya 'bentuk terima kasih' karena mereka tidak sedekat itu.
Tetapi okelah, selama Rei bisa liburan gratis di onsen ia tidak akan protes. Kali ini tanpa larut dalam kesedihan maupun amarah mengingat pengkhianatan laki-laki itu terhadap dirinya dan Hiro, Rei mengosongkan benaknya dan membiarkan kehangatan onsen membasuh semua rasa penatnya.
Sayangnya, ketenangan yang dirasakan Rei ketika memasuki area pemandian air panas tidak berlangsung lama.
Ketika ia menutup mata dan membiarkan pikirannya berkelana dengan bebas, Rei samar-samar mendengar langkah kaki seseorang memasuki onsen. Bukan hal yang aneh, namanya saja pemandian air panas umum; Rei memilih mengabaikannya.
Kemudian laki-laki asing itu selesai membilas tubuhnya sekilas dan berjalan mendekati kolam, kemudian ia teriak kencang.
"Bangsat—ada darah! Darah darimana ini?! Hei, kau yang di sana masih hidup nggak?! Aduhhh, masa sih ada kasus pembunuhan di tempat ini!"
Kesal, Rei membuka mata dan hendak berkata kalau mungkin saja dia halusinasi—dan Rei masih belum mati, terima kasih!—tetapi ia ikut mematung melihat air di sekitarnya berubah warna menjadi merah. Rei bangkit terlonjak, air yang sudah bercampur dengan darah mengalir dari tubuhnya menuju kolam dan membuat warna merah di bawahnya semakin gelap.
Lalu Rei sadar bahu kirinya terasa agak kebas dan sakit, juga seperti ada sesuatu mengalir dari sana. Rei membawa tangan kanannya menyentuh bahu kirinya lalu mengangkatnya ke atas. Sial, darah itu berasal dari lukanya yang terbuka.
"Oh, nii-chan kau masih hidup, syukurlah! Ih, darahnya deras banget lagi, kayak air terjun! Luka apaan itu astaga?! Kau baik-baik saja?"
Rei menoleh ke arah sosok yang berteriak itu hendak menyuruhnya untuk berhenti berteriak dan hiperbola karena area pemandian laki-laki bersebelahan dengan area perempuan tapi Rei cukup yakin teriakannya tadi terdengar oleh semua orang di penginapan. Laki-laki itu lekas mendekat dan mendesak Rei keluar dari tempat pemandian. Tangan kanan Rei ditarik selama berjalan, dalam waktu singkat mereka berdua sudah berada di koridor, dengan hanya sebuah handuk menutupi bagian pinggang ke bawah.
Sakit di bahu Rei bahkan sudah pudar, digantikan oleh rasa malu dan canggung luar biasa. Rei memilih mengikuti orang ini dan mempercepat langkah sembari menghindari tatapan orang-orang yang penasaran dengan teriakan sebelumnya.
"Ah, obaa-san! Punya kotak P3K atau semacamnya nggak?"
Mendengar itu, Rei mengernyitkan dahinya. Ia ragu kalau kotak P3K akan membantu di saat seperti ini, kemungkinan besar Rei harus pergi ke rumah sakit untuk memperbaiki jahitannya yang terbuka. Tetapi tempat penginapan itu sendiri terletak lumayan jauh dari rumah sakit terdekat sehingga ia harus menunggu beberapa waktu sebelum mendapat penanganan—dan selama itu Rei setidaknya harus menghentikan pendarahan terlebih dahulu.
Sudahlah, orang yang sakit tidak boleh pilih-pilih. Lagipula laki-laki di dekatnya ini sepertinya tahu apa yang ia lakukan.
"Berbalik dong," ujarnya setelah memaksa Rei untuk duduk di bangku yang diberikan pemilik penginapan. Rei berbalik badan, merasa agak terganggu karena tidak bisa bersandar. Rei mendengar laki-laki itu berdesis. "Lukamu lebar banget, nii-chan. Tunggu ya, taksinya datang sebentar lagi katanya."
"Terima kasih." Untung saja laki-laki itu tidak memanggil ambulans; terlalu berlebihan untuk sekadar menangani jahitan yang terbuka dan akan mengundang banyak perhatian, Rei tidak suka. "Maaf, obaa-san, sudah mengotori air panasnya. Aku akan membayar lebih."
Pemilik penginapan menggelengkan kepalanya, tampak lega menyadari kalau Rei tidak sedang sekarat dan di ambang kematian, ikut dibuat panik oleh keributan tadi. "Selama kau baik-baik saja, tidak masalah."
Selesai membersihkan luka Rei, laki-laki itu kembali bersuara, masih dalam posisi berlutut. "Nii-chan, kayaknya kau sedang sial ya baru-baru ini sampai bisa terluka seperti ini. Aku panik banget tadi, kukira kau mayat!"
Ucapan blak-blakannya sempat membuat Rei tertegun, seketika Rei kembali menghadapnya. "Kurang lebih. Maaf, aku sendiri tidak sadar jahitannya terbuka tadi."
Seketika tatapan laki-laki itu memandangnya dengan intens sembari mengeluarkan suara gumaman, terlihat sedang memikirkan sesuatu. "Lagi banyak masalah, ya? Kau tegang banget dari tadi."
Rei tersenyum kecil, tidak menjawab langsung pertanyaannya. Kazuha, Conan, Akai, lalu laki-laki ini. Semuanya mengatakan hal yang sama ketika melihatnya. Ini tidak baik, seharusnya Rei bisa lebih mengontrol tindakannya. Kalau menyembunyikan perasaannya saja tidak bisa, bagaimana dengan misi-misinya ke depannya?
Tiba-tiba saja Rei dihadapkan dengan sebatang lilin yang disodorkan di wajahnya. Tatapan penuh tanda tanya dilempar kepada laki-laki yang memegang lilin itu. Ia menyeringai kecil, tanpa kata menjentikkan jarinya dan lagi-lagi Rei dibuat terkejut ketika lilin menyala dalam sekejap. Api sungguhan, Rei dapat merasakan kehangatannya sangat dekat dengan wajahnya.
"Tiuplah," ujar laki-laki itu. Ahli sulap, tebak Rei. "Bayangkan kau sedang meniup jauh-jauh masalah-masalahmu itu. Ayolah!"
Merasa terhibur, Rei menuruti perkataannya dan meniup lilin. Api padam, begitu juga dengan masalah dan pikiran-pikiran negatifnya, untuk sebentar saja Rei ingin berpikiran seperti itu.
Laki-laki itu menutup lilin dengan tangannya yang bebas sampai benda itu tertutupi sepenuhnya. Pandangan keduanya sempat beradu; sorot mata ingin tahu dan antusias dengan binar gembira si ahli sulap yang merasakan perubahan suasana hati lawan bicaranya. Kemudian, ia kembali mengangkat tangannya dan menunjukkan setangkai mawar semerah darah.
Kali ini Rei kehilangan kata-kata. Ia sama sekali tidak sedang memikirkan trik dibalik aksi sang ahli sulap itu, pikirannya benar-benar terhenti.
Mawar merah itu diulurkan kepadanya. Dengan posisi masih berlutut dan tangan kiri yang ditekuk ke arah tubuhnya, sekilas ia terlihat seperti hendak melamar seseorang. Tetapi yang dilakukannya ini bukan karena rasa cinta pada seseorang yang baru saja ditemuinya, tapi murni karena ingin menyenangkan orang asing ini.
Bohong kalau Rei tidak merasa tersentuh diperlakukan seperti ini oleh orang asing.
"Untukmu." Melihat Rei belum bergerak, laki-laki itu masih bergeming di posisinya. Rei bukan orang pertama yang bereaksi seperti ini di hadapan aksi sulap, karena itu ia tidak mendesak.
Rei menghela napas. Tangannya meraih tangkai mawar yang sekilas tampak dipersembahkan untuknya. Suasana hatinya menjadi sangat baik, bahunya sudah tidak terasa sesakit sebelumnya. Saat ini ia memang telah meniup jauh-jauh masalahnya untuk sementara tetapi realita perlahan kembali padanya.
Rei mendekatkan mawar ke wajahnya, mencium aromanya. Harum—dan sedikit lembab, aneh, padahal sekarang malam hari—tetapi bisa dipastikan asli. "Namamu?"
"Kuroba Kaito. Kenapa? Nii-chan terpesona ya padaku? Sudah jelas sih, siapa yang nggak!"
Mendengar perkataan Kaito, Rei mengulum bibir. Iya juga, sifat asli laki-laki itu memang begini kalau dilihat dari interaksi awal mereka sebelumnya.
Memang Rei sempat 'terpesona' pada Kaito dan ia sangat berterima kasih kepadanya karena telah melakukan banyak hal untuk orang asing yang baru saja ia temui. Tetapi ...
"Kayaknya aku bakal lebih terpesona kalau sedari tadi kita nggak setengah telanjang."
Satu ketuk, lalu Rei dapat melihat kalau realita juga telah menghantam Kaito. Sepertinya dia lupa kalau hanya sedang memakai selembar handuk dan tubuh bagian atasnya sedari tadi terekspos. Bisa-bisanya ... padahal dari tadi Rei merasa canggung karena kurangnya pakaian mereka ini.
Terdengar suara terkesiap, keduanya menoleh ke arah pintu ruangan tersebut. Seorang gadis yang mengenakan mantel mandi menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya membelalak. Di belakangnya beberapa orang juga mengintip ke dalam ruangan dengan wajah memerah, Rei langsung tahu kalau mereka sudah menyaksikan aksi Kaito sejak awal.
"K-Kaito, kamu ternyata gay?!"
"Hah, Aoko sejak kapan kau disitu?! Nggak sumpah, seriusan aku bukan gay! JANGAN TELPON IBUKU!!"
===
actually this wasn't finished, i'll continue this in the afternoon later. technically i did went over the deadline, but i've published it so it should be fine ...???
there is no joy in this chapter, but there will be (maybe) when i've published the finished chapter. i'm so sorry for this!
update: scene mawar itu kuambil dari magic kaito, yang kaito ngucapin aoko hepibesdey itu tapi kupake disini soalnya gatau aku tiba tiba kepikiran aja??? also why am i making everything so gay ... aku beneran nggak ngira hal ini anjrit, im really sorry
atp it is too late for both of them to earn their character justice so i just ... well i hope at least this resembles rei a bit but im not going to lie to myself im just going to cry thank you for reading this shit, love you guys
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top