(XXV)

Kali ini biarkan Rayaa memberi sedikit harapan untuk Langit, bentuk apresiasi dari perjuangan Langit selama ini untuk kembali mendapatkan hatinya. Maka dari itu, sabtu pagi Rayaa sudah bersiap dengan mini dress pastel coklatnya.

Paginya akad nikah dilakukan secara tertutup hanya dihadiri oleh beberapa kerabat dekat, di sebuah Hotel di Jakarta Selatan. Rayaa pikir resepsi dan akad akan dilakukan di Bandung, tapi ternyata salah karena kebanyakan teman dan relasi banyak di Jakarta.

"Mau anggap semua baik-baik saja?" Langit menarik Rayaa ke dalam pelukannya, membaui tubuh Rayaa yang menguarkan aroma white musk.

"Everything's gonna be okay," bisik Rayaa pelan. Ia hanya terlalu sibuk mendengarkan musik yang mengalun, membiarkan beberapa pasangan turun ke tengah-tengah hanya untuk sekedar berdansa. "Karena Tuhan akan menemukan cara yang indah untuk menyatukan kita lagi."

"Kamu yang terlalu banyak berpikir." Langit melingkarkan sebelah tangannya di sepanjang pinggang Rayaa.

"Aku yang nggak mau jatuh ke sekian kali, karena aku tau sebagian hati kamu terlalu peduli dengan Ajeng." kaki Rayaa bergerak lambat karena sebenarnya ini bukan jenis dansa yang harus menghentak-hentakan kaki ke kanan dan ke kiri. Lagunya terlalu feminin, dan cukup indah untuk dinikmati.

"Ray." Langit hampir saja melepaskan lengannya yang menempel ketat di tubuh Rayaa, tapi Rayaa menahannya. Rayaa tahu Langit ingin membantah.

"Jangan!" Rayaa semakin mengeratkan pelukannya, menempelkan dagunya di bahu Langit. "Karena aku takut. Ketika satu kali lagi kamu meyakinkan hatiku, mungkin aku akan percaya. Meruntuhkan egoku yang susah payah ku bangun agar tidak tersakiti untuk yang kedua kalinya."

"Lakukan...," Langit mengecup rambut Rayaa, berbisik pelan membuat tubuh Rayaa berdesir. "Lakukan apapun untuk melindungi hati kamu, termasuk mengulur hatiku. Jika itu membuat kamu merasa terlindungi, karena aku nggak mau kamu tersakiti lagi."

"Ada Ajeng." Rayaa masih berusaha menikmati pelukan Langit, "Kejutan apa yang bisa kamu berikan buat aku?"

Langit mengerutkan keningnya, mencoba menerka apa yang diinginkan Rayaa sebenarnya.

"Kayak waktu itu acara ke Bandung, kamu mengagetkanku dengan segala kenangan kamu bersama Ajeng yang masih kamu simpan." Rayaa tertawa ringan, seolah kejadian di Bandung sama sekali tak menyakiti hatinya. "Kali ini apa?"

"Nggak ada."

Rayaa hanya mengangguk-anggukan kepalanya, menyentuh lengan Langit yang terbalut kemeja putih gading. Musik berhenti tepat ketika Rayaa melepaskan lengan Langit yang melingkar di pinggannya.

"Aku ketemu temenku dulu." Langit meninggalkan Rayaa yang memilih duduk berbaur di antara kerabat dekat Langit, mungkin hanya ada sekitar seratus orang yang diundang di acara pagi ini.

"Masih betah penjajakan sama Langit?" Auntie Dea tiba-tiba saja duduk di samping Rayaa, keduanya mengarahkan pandangannya pada Langit yang tengah mengobrol ringan dengan Nimas dan Fahmi, jangan lupakan ada Ajeng di sana.

"Butuh waktu, Auntie." Rayaa menarik sudut bibirnya. "Karena apa yang terlihat tak selalu benar."

"Ajeng yah." Auntie Dea berucap dengan ringan, sepertinya hampir semua keluarga Langit tahu soal Ajeng dan Langit. "Mereka terlalu dekat, sangat sulit untuk tidak menimbulkan kesalahpahaman terlebih pernah menjadi mantan."

"Iya," kalaupun bukan mantan Rayaa juga akan tetap berpikir jauh, karena terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan. "Langit terlalu penuh rahasia, masih belum mau terbuka dengan masa lalunya. Selama ini hanya mengatakan jika Ajeng adalah masa lalunya, tapi sampai sekarang aku nggak tau siapa yang benar-benar Langit mau."

"Perempuan yah, selalu butuh pengakuan dalam bentuk ucapan. Langit terlalu takut mungkin, takut kamu pergi kalau kamu tau yang sebenarnya." Aunti Dea menatap Langit yang melirik sekilas padanya, mungkin ingin sekedar memastikan jika Rayaa masih pada tempat yang sama. "Auntie nggak terlalu paham dengan kisah Cinta Langit, tapi Auntie tau kalau Ajeng mungkin salah satu perempuan yang cukup berarti untuk Langit. Tapi Auntie pikir setelah Langit ketemu kamu, dia akan fokus sama kamu seorang."

"Auntie...,"

"Auntie memang nggak paham sama sekali hubungan kalian, tapi mengingat umur kalian sudah sama-sama cukup untuk dikatakan Dewasa. Auntie harap kalian serius dengan hubungan kalian, kalau karena Ajeng kalian sempat bertengkar. Harusnya itu biasa, karena akan selalu ada ombak besar ketika kita berlayar." Auntie Dea menepuk bahu Rayaa pelan, "Karena menyusun kisah indah itu butuh perjuangan dua orang, Auntie harapa kalian mau sama-sama berjuang untuk kisah bahagia kalian."

********

Acara Resepsi malam hari memang jauh lebih ramai dari pagi hari tadi, tapi Rayaa tak cukup menikmatinya. Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya, seandainya ia kembali pada Langit apa yang akan terjadi? seandainya ia tak kembali pada Langit pada akhirnya apa rasa sesal yang ia dapat?

"Kebanyakan ngelamun bisa mengakibatkan jomlo semakin terlihat ngenes," bisik Langit, euforia kebahagiaan menyeruak memenuhi ballroom hotel. Para tamu yang terlihat bercengkrama ringan diringi musik dan suara indah dari si wedding singer.

"Kalau aku ngenespun kamu masih suka," cibir Rayaa dengan bibir yang mencebik. Kenapa Langit terlihat tampan dengan tuxedo biru tuanya, pantas saja mantannya banyak.

"Ray," Langit menggenggan tangan Rayaa yang sejak tadi sibuk memainkan ponsel. "Perjuangan apa yang kamu mau dari aku?"

"Maksudnya?"

"Wanita selalu bilang kalau mereka mau diperjuangkan, mau dimengerti. Lalu bagian dari sikapku yang mana yang masih kamu ragukan?"

"Kamu nggak kebelet nikah karena resepsi ini kan?"

"Waktu aku ngajak balikan kamu selalu minta waktu untuk berpikir, minta aku berjuang. Memangnya aku nggak berjuang yah? perjuangan apa yang kamu mau? Ajeng, aku bilang udah selesai. Lalu apa lagi? selama ini juga aku udah jarang ketemu Ajeng, terakhir dua minggu lalu pas di rumah sakit terus baru hari ini ketemu lagi." Jelas Langit panjang lebar, yang ia mau hanya satau. Rayaa kembali kepadanya.

"Kalaupun kita balik lagi, lalu apa?" tanya Rayaa, suara orang-orang yang mengobrol di sekitar mereka juga terdengar mengganggu. Maka Rayaa lebih memilih merapatkan tubuhnya pada Langit agar ia bisa berucap lebih rendah dan hanya terdengar oleh Langit. "Yang kita jalani akan tetap seperti ini, tanpa ada perubahan."

"Ada," Langit dengan lantangnya membantah ucapan Rayaa tanpa bermaksud menarik perhatian. "Kita tidak akan membuang-buang waktu untuk menjalin kasih dalam ikatan pacaran, kita bisa mempersiapkan pernikahan."

"Apa akhir kisah bahagia itu selalu dengan menikah?" Rayaa menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, menatap Langit dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Kalaupun kamu dan aku saling mencintai, apa pernikahan bisa menjadi tolak ukur kalau kisah kita berakhir bahagia?"

"Nggak ada yang bisa jamin kalau pernikahan itu sebuah tolak ukur untuk pasangan yang bahagia." Langit meremas tangan Rayaa pelan, mencoba meyakinkan wanita di depannya jika kali ini ia akan melakukan apapun asal Rayaa tidak melarikan diri darinya. "Karena yang menikahpun masih bisa bercerai, tapi kita tidak akan tau bahagia itu seperti apa kalau takut mencoba."

"Pantes banyak mantannya, kamu tuh pinter banget susun kata-kata yang menjebak."

"Mana yang menjebak coba?" Langit mendengus, melepas pegangan tangan Rayaa. "Aku tuh serius, cuman sama kamu nih aku bisa jadi pujangga."

"Kamu tuh nggak cocok jadi pujangga." Rayaa mencubit pangkal hidung Langit, "Muka beringasan kayak kenek metromini mau sok-sokan puitis, muka sama mulut nggak singkron."

"Kamu tuh, orang ini muka pas-pasan bisa ditolerir. Kamu, udah muka pas-pasan. Dada juga ikut pas-pasan, aku yakin buah manggis yang ada ekstraknya sama dada kamu masih gede buah manggis." Langit bisa merasakan rambutnya yang dijambak Rayaa, kalau bukan acara resepsi yang masih berlangsung Langit yakin Rayaa tidak akan ragu mencakar wajahnya.

"Kamu juga aneh, orang itu dompet yang ditebelin. Ini bulu yang ditebelin, aku tau kamu ini hasil perkawinan silang antara gorilaa sama orang utan."

"Tapi tetep cakep biar banyak bulunya," Langit sengaja menggesek-gesekan rahangnya ke pipi Rayaa membuat Rayaa menepuk bahunya dengan keras. "Entar bisa buat kamu ketagihan lho."

"Minta dideportasi ke Pluto yah kamu."

Langit terkekeh ringan, mengunci tatapan Rayaa sebelum mencuri sebuah ciuman di ujung hidung Rayaa. Membuat warna merah menyeruak di sekitar wajah Rayaa, "Di Pluto pun aku rela, kalau sama kamu."

******

Yang liat postan gue  di IG pasti udah tau part depan mulmednya apa 😂

Bubay

Ora the explorer.

10-9-2017


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top