(XVIII)
Kalau ada yang aneh boleh koreksi kok, typo juga boleh dikoreksi. Maklum kalau abis ngetik langsung ku apdet 😂😂
*******
Rayaa sudah mengganti bajunya selesai acara, ia mengenakan jeans biru dan kaus berwarna hitam. Ia lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur, melirik ponselnya lalu mengirimi kabar pada Ibunya. Kamar yang ia gunakan adalah kamar Langit, bukan berarti mereka tidur bersama di kamar yang sama karena Langit tidur bersama saudaranya.
Kamar di rumah Langit memang banyak, tapi saudara jauh Langit juga banyak hingga beberapa dari mereka harus menginap di hotel terdekat. Rayaa awalnya juga memilih menginap di hotel, tapi Langit melarangnya.
Pintu kamar Rayaa diketuk, sebelum akhirnya kepala Langit menyembul dari balik pintu mahoni berwarna coklat. "Aku boleh masuk?"
Rayaa mengangguk, tapi tidak mengubah posisinya yang masih berbaring di atas ranjang. Ia masih belum sempat mengamati kamar Langit secara detail, meski ini adalah kamar yang dipakai sesekali karena Langit lebih sering di Jakarta dibanding di Bandung.
"Nggak laper?" tanya Langit, ia lebih memilih menarik tangan Rayaa agar gadis itu segera bangun.
"Enggak." Rayaa merenggut tak suka saat Langit memaksanya untuk duduk, pria itu sudah mengganti bajunya juga dengan celana pendek dan kaus berwarna putih bergambar orang utan.
"Keluar yuk."
"Nggak ah capek."
"Kamu kan belum makan, entar tambah rata gimana?" Langit menyeringai ketika Rayaa melemparnya dengan bantal.
"Dasar mesum."
"Lah kan maksudku perut kamu itu tambah rata, emang apa coba." Langit beranjak dari duduknya ia mengambil jam tangan di nakas yang dekat tempat tidurnya. "Badan kurus gitu, nanti disangka orang kamu menderita pacaran sama aku."
"Lang...," Rayaa menggantung kalimatnya, matanya fokus pada foto berukuran 2R yang terbingkai sebuah frame. Bukan foto Langit yang menarik perhatiannya, tapi sebuah tulisan di sampingnya. "Ini dari Ajeng?"
"Iya." jawab Langit cuek, ia tahu Rayaa membaca tulisan yang memang Ajeng rangkai untuknya.
"Romantis yah, kalau dilihat dari tulisannya. Dia cinta banget sama kamu." Harusnya Rayaa tidak memancing Langit, tapi ketakutan dihatinya mengurai segala keraguannya.
"Ray...."
"Dear Langitku, Aku mungkin bukan perempuan sempurna yang mampu membuat kamu tersenyum setiap saat." Rayaa membaca rangkaian kata yang tersusun di samping Frame. "Aku juga bukan perempuan yang akan selalu ada di sisi kamu, tapi ketahuilah dimanapun kamu berada rinduku akan selalu menemani kamu. Dari Bintang Kejora yang selalu berusaha memahami kamu, Ajeng."
"Rayaana." Langit inginnya melihat Rayaa marah atau paling tidak Rayaa harus memasang wajah kesal, tapi Rayaa justru tersenyum membuat Langit tak mengerti.
"Ajeng puitis yah, aku kayaknya nggak bisa kayak Ajeng. Aku nggak bisa buat rangkaian kata-kata seperti itu." ucap Rayaa seolah bukan hal besar menemukan Langit masih menyimpan pemberian Ajeng. "Eh ada tahunnya."
Langit berjengit, ia tahu tahun berapa Ajeng memberinya frame itu. Bahkan foto yang ada di frame pun foto lama.
"2004." Rayaa memasang wajah terkejutnya. "Berarti 13 tahun yang lalu?"
"Rayaana." Panggil Langit dengan suara rendahnya, ia mendekati Rayaa bermaksud mengajak Rayaa duduk. "Aku beneran udah nggak ada apa-apa dengan Ajeng."
"Memangnya aku tanya kamu masih ada hubungan dengan Ajeng?" Rayaa tertawa geli, "Aku kan cuman baca tahunnya aja, Lang. Kok kamu malah ketakutan gitu."
"Aku cuman takut kamu salah paham."
"Enggak." elak Rayaa, meski sebenarnya hatinya sedikit sakit. Mana bisa tidak ada apa-apa tapi selama tiga belas tahun disimpan terus pemneriannya. "Kamu dan masa lalumu urusan kamu, aku hanya bisa menilai."
*********
"Ayo makan." Ibu Langit mengajak Rayaa bergabung di meja makan, "Kamu mau ikut barbecue di halaman belakang?"
Rayaa melihat sekilas halaman belakang yang memang tampak ramai, sebenarnya ia ingin menolak untuk bergabung tapi rasanya tidak enak.
"Ikut aja Kak." ucap Hilda, "Bang Langit kalau buat saus barbecue enak lho."
"Tapi kalau kamu capek nggak apa-apa." Ibu Langit menengahi, ia bisa melihat Rayaa yang tampak tak berminat. "Makan di sini aja bareng Mamah, tadi Langit bilang kamu kecapean."
Rayaa hanya mengangguk, menyetujui usulan Ibu Langit. "Aku makan di sini aja deh Hil."
"Kamu tidur sama Mamah mau?" tanya Ibu Langit saat Rayaa membantu meletakan sayur brokoli ke piringnya.
Rayaa mengerut, ia tidak mengerti kenapa ia harus tidur bersama Ibu Langit. "Emangnga Kamar Langit kenapa, Mah?"
"Takut kamu nggak nyaman dengan segala isinya, kamu tau sendiri kamar itu jarang ditempati Langit. Jadi dia nggak pernah rapihin barang-barangnya." ucap Ibu Langit pelan, berusaha menekan suaranya agar tidak terlalu banyak orang yang mendengar. "Langit bilang dia takut kamu salah paham karena masih banyak pemberian-pemberian dari mantan pacarnya yang belum dirapihkan, tau sendiri anak lelaki mana merhatikan barang-barangnya."
"Nggak apa-apa, aku bisa ngerti kok."
"Langit memang begitu, dia suka susah bilang yang sebenarnya."
Rayaa melahap makanannya dalam diam, ponselnya terus menampilkan notifikasi whats app. Lalu setelahnya panggilan dari Hesa, Rayaa tak mengangkatnya karena masih menyantap makanannya.
Setelah selesai dengan makan malamnya Rayaa membantu merapihkan meja makan, mencuci beberapa piring kotor lalu pergi ke teras depan yang sepi. Ia bermaksud menelpon Hesa.
"Hallo."
"Kemana aja sih, gue telpon nggak dijawab."
"Iya maaf."
"Gue lagi di Sumedang nih, lo mau nitip oleh-oleh nggak?"
"Lha kok nggak bilang-bilang, ngapain di sana?"
"Jualan kolor sepuluh rebu tiga."
Sara Hesa di seberang sana terdengar kesal membuat Rayaa terkekeh.
"Jalan-jalanlah, ya kali gue nyari jodoh."
"Hes." Rayaa menggigit bibir bawahnya pelan. "Lo suka sama gue nggak?"
Mungkin karena Ajeng dan Langit yang bersahabat lalu menjalin ikatan yang disebut pacaran, Rayaa jadi takut dika di antara ketiga sahabatnya ada yang menyukainya dirinya.
"Lo kesambet apa sih?"
"Tinggal jawab iya atau nggak apa susahnya sih."
"Nggak, lo kenapa sih nanya beginian di telpon. Kalau langsung face to face kan enak, barang kali gue khilaf terus jawab iya."
"Hesa kamprettt." Rayaa menggeram kesal, ia menutup ponselnya sebelum menjawab pertanyaan Hesa soal oleh-oleh. Saat ia akan kembali masuk, Langit di sana memperhatikan Rayaa dengan seksama.
"Ray...," Langit berdiri tidak jauh dari Rayaa, "Maaf kalau aku udah buat kamu nggak nyaman."
"Nggak ada yang perlu dimaafkan, kamu nggak salah apapun." Rayaa menarik sudut-sudut bibirnya memaksa tersenyum meski sebenarnya enggan, ia mengantungkan ponselnya di saku. "Kamu dan mantan-mantan kamu hanya masa lalu kan? jadi kenapa aku harus marah?"
"Aku ngerasa kamu sedang berusaha menahan amarah kamu."
"Nggak, aku hanya sedang berusaha memahami kamu."
"Aku...." Langit terbata-bata berusaha menelan habis keraguannya. "Aku takut kamu pergi, aku takut kamu pada akhirnya menyerah bersamku."
"Pasti ada alasan kenapa aku harus menyerah," Rayaa menepuk pipi Langit. "Tapi aku harap kamu punya alasan yang lebih kuat untuk mempertahankan aku di sisi kamu."
TBC
Sampai jumpa di Part berikutnya :)
Bubay 😘
27-08-2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top