(XIX)
Seminggu setelah acara di Bandung Langit pergi ke Maldives, kepulauan Maladewa yang menjanjikan keindahan untuk pengunjungnya.
Tentu saja dengan Nimas dan Ajeng yang ternyata ikut bergabung, marah? mungkin sedikit.
Lagi-lagi Rayaa diterpa kenyataan yang sedikit pahit, bahwa menjadi kekasih Langit bukan hal mudah. Bahwa mencintai Langit butuh sedikit kesabaran, karena Langit adalah Langit yang sulit dimengerti, satu jam bisa begitu menjadi sosok yang sangat dewasa lalu di jam berikutnya ia akan dengan kejamnya melontarkan kata-kata pedas yang sarat akan sindiran.
Hari ini adalah hari kedua Langit tiba di Maldives, pesan? hanya beberapa kali, Rayaa tahu ketidaksukaan Langit tentang mengirim pesan yang seperti jadwal mengkonsumsi obat. Pria itu risih, ia bermain dengan Logikanya. Langit dan segala pemikirannya yang berlandaskan logika, tapi ia lupa jika perempuan selalu sedikit mengedepankan perasaan.
Jika Einstein berkata satu ditambah satu adalah dua, dengan wanita satu ditambah satu bisa menjadi tiga. Karena perempuan mempunyai instuisi yang kuat.
"Ray," Kaila menyikut pelan perut Rayaa, ia berusaha mencoba menarik atensi Rayaa yang tengah fokus memainkan sedotan di atas gelas yang berisikan Strawberry Smothiesnya. "Kenapa sih bete banget? karena Bang Nick? kapan emang pulang dari Maldivesnya?"
"Dia bilang seminggu ke Maldives, dan ini baru dua hari. Jadi lima hari lagi." jelas Rayaa, matanya kini beralih pada benda tipis yang menampilkan notifikasi Whatsapp. Rayaa sedang malas, jadi ia membiarkan begitu saja tanpa bermaksud melihat. "Menurut lo, gue salah nggak minta Langit sedikit pengertian dan terbuka? ya walaupun gue tau dia udah memperingati gue kalau dia bukan tipe cowok yang peka dan nggak suka diatur harus berteman dengan siapa, wajar nggak sih gue iri?"
"Maksudnya iri?" tanya Kaila, akhirnya Rayaa mau bercerita lagi kepadanya.
"Iri dengan sikap dia yang mengedapankan Logika, iri sama cara pandangnya." Rayaa tersenyum lirih, "Lucu yah gue, jatuh cinta sama Makhluk songong yang punya mantan segudang."
"Yah lumayan mantan-mantanya bisa lo gade buat modal nikah." Kaila tertawa di antara ejekan yang ia lontarkan. "Kembali ke masalah lo yang sebenernya pengen Langit lebih sedikit 'manusiawi', menurut gue lo berhak ngasih tau Langit apa yang lo mau. Karena sebuah hubungan yang baik itu harus ada feedback dari kedua belah pihak yang menjalani, nggak salah kok kalau wanita ingin dimengerti. Buktinya sampe ada lagu Ada band. Perempuan memang makhluk paling kompleks di muka bumi ini, yang lebih suka mengandalkan perasaan dibanding Logika. Yang kadang terlihat bodoh dengan asumsi negatif hanya karena terbawa perasaan."
"Gue takut salah ngomong," Rayaa menyesap minumannya sebelum menatap lurus pada ponsel yang menampilkan tanda panggilan masuk.
Langit.
"Enggak diangkat tuh?" mata Kaila melirik pada ponsel Rayaa.
"Biarin aja." Sesungguhnya Rayaa ingin mendengar suara Langit untuk mengobati rasa rindunya, tapi ia mengedepankan egonya yang terluka karena kejadian di Bandung.
Bahwa Langit masih menyimpan pemberian Ajeng, meski Langit sudah menjelaskan jika Ajeng adalah perempuan yang mengenalkannya pada apa arti kata Cinta. Ajeng lah yang pertama kali memberitahu bagaimana rasanya ada jutaan kupu-kupu yang meledak di dalam perutnya hanya karena sebuah kecupan.
Hubungan mereka terjalin saat semester awal kuliah, memang tak bertahan lama. Tapi bukankah yang pertama selalu memberi kesan yang berbeda? Ajeng memutuskan Langit hanya karena merasa tak cocok jika keduanya terikat dalam status pacaran, karena ternyata menjadi sahabat Langit lebih menyenangkan dibanding menjadi kekasihnya.
Rayaa hanya bisa tersenyum getir mendengar penjelasan Langit saat itu, setidaknya Langit sudah mau berbicara yang sesungguhnya meski harus menghadiahi rasa sakit secara bersamaan.
*******
Lagi-lagi waktu bergulir dengan cepatnya, pernikahan Gavin hanya tinggal dua minggu lagi. Dan sekarang Rayaa, Hesa dan Andi sedang membeli sebuah baju yang seragam untuk acara nikahan Gavin.
"Emang ada yah baju triple? setau gue kan cuman couple, ada dua." Tangan Rayaa menyentuh terusan yang menarik perhatiannya.
"Kita adain lah." jawab Hesa, matanya melirik pada jemari Rayaa yang tengah sibuk. "Tinggal beli baju couple dua terus satunya simpen juga buat lo, beres kan?"
"Bodo amat."
Rayaa mengambil terusan yang sejak tadi ia perhatikan. Membawanya ke kasir untuk dibayar, sementara Andi dan Hesa sibuk mencari pakaian yang sepaham dengan keinginan mereka. Rayaa menurut saja mereka mau pakai apa.
"Pacar Lo lagi ke Maldives?" tanya Andi, membawa baju yang sesuai dengan keinginananya sementara Hesa mengkor di belakang Andi dengab tangan dilipat di depan dada.
"Iya, dari seminggu yang lalu." Harusnya Langit sudah kembali mengingat pria itu berkata hanya satu minggu, Rayaa menyerahkan debit cardnya sebelum penjaga kasir mempersilahkan Rayaa untuk menekan pasword debit cardnya di atas mesin EDC. "Yang ini sekalian dibayar sama gue aja sini."
"Ya udah." Andi membiarkan Kasir mengambil alih pakaian yang ia piloh untuk acara Gavin nanti. "Makanya Lo uring-uringan karena ditinggal pergi?"
"Nggak juga sih, gue emang moody banget akhir-akhir ini."
"Dan lo jadi moody karena Langit." celetuk Hesa dengan wajah tak bersalahnya. "Akuin ajalah, kalau Langit sekarang mulai mengisi pikiran lo."
"Hesa kampret." semprot Rayaa, sebelum akhirnya melirik pada penjaga kasir yang tengah tersenyum kikuk. "Makasih." Rayaa mengambil paper bagnya, meminta Andi untuk membawanya.
"Tapi bener kan yang dibilang Hesa?" tanya Andi, mereka berjalan ke foodcourt yang ada di mall untuk mengisi perut.
"Gue masih bingung aja sama hubungan Prita, Ajeng, Gamar dan Langit." jelas Rayaa, karena nyatanya Rayaa takut. Ketika ia bertanya langsung kepada Langit kebohongan lah yang ia dapat nantinya.
Hesa hanya berdecak, lagi-lagi Rayaa terlalu banyak berpikir. Hesa lebih memilih memesankan makanan untuk mereka bertiga, kali ini ia membiarkan Andi mengetahui seberapa rumitnya Hati Rayaa.
"Kalau nggak suka, jangan dipaksa. Kalau menurut lo hubungan lo sama Langit nggak akan berujung manis, untuk apa dipertahankan." ucap Andi, melihat Rayaa yang hanya menarik napas. Jelas sekali raut wajah Rayaa menunjukan ketidaksetujuan atas ucapan Andi.
"Gimana mau tau ujungnya manis atau nggak, ketika kita aja belum sampe ujung." ucap Rayaa, dan detik berikutnya ponsel di sakunya berdering menandakan panggilan masuk.
Langit.
"Masih nggak mau diangkat?" tanya Hesa yang sudah duduk di sanping Rayaa, ia sudah kembali dengan no meja yang mempermudah pelayan mengantar pesanannya nanti. "Atau mau gue yang angkatin?"
Rayaa mendelik tajam dengan ejekan Hesa, temannya satu ini tahu jika Rayaa mengabaikan telpon Langit sejak dua hari lalu.
"Gue deh yang angkat, gue bilang lo lagi di toilet." Hesa baru saja akan mengambil ponsel Rayaa namun tangan Rayaa sudah lebih cekatan mengambil ponselnya, menggeser tanda hijau sebelum menempelkan di telingannya.
"Hallo."
"Aku di rumah kamu."
"Aku lagi di luar."
"Aku tau, karena kamu lagi nggak ada di rumah berarti kamu lagi di luar. Jangan mengatakan hal yang sudah aku ketahui."
Rayaa lupa dengan siapa ia sedang berbicara, ia harusnya tahu kalau Langit itu orang yang menyebalkan. "Iya, lagi makan di luar bareng temenku."
"Ya udah hati-hati pulangnya."
Kening Rayaa mengerut bingung ketika Langit mematikan sambungan telponnya begitu saja, Rayaa pikir Langit akan menyuruhnya pulang. Tapi hanya kata hati-hati yang keluar dari mulut pria itu.
*******
Rayaa menolak ketika Andi dan Hesa menawarkan untuk menyantarnya pulang, karena arah rumah mereka cukup berlawanan. Jadi Rayaa lebih memilih naik ojek online.
Saat tiba di rumahnya Rayaa menemukan mobil Langit masih terpakir di pinggir jalan, artinya pria itu masih menunggu Rayaa.
Rayaa mengucap salam saat memasuki rumahnya, dan mendapati Ibunya tengah bercengkrama dengan Langit.
"Karena Rayaa sudah datang, Ibu ke dalam dulu ya."
"Udah lama?" tanya Rayaa, padahal ia tahu jika tadi Langit menelponnya. Katakan saja Rayaa hanya ingin berbasa-basi.
"Satu jam sebelum telpon kamu, aku pikir kamu pulang cepat. Dan ternyata kamu lagi sama temen kamu."
Rayaa melirik sekilas pada kulit Langit yang sedikit menggelap dari sebelumnya, "Kamu nggak nyuruh aku pulang tadi, jadi ya ku pikir kamu nggak nunggu aku."
"Kamu lagi sama temen kamu, aku nggak mau ganggu kamu. Toh aku tau nanti kamu pasti pulang." ucap Langit santai, seolah menunggu Rayaa pulang berjam-jam bukan hal yang membosankan. "Lagian Ibu kamu asyik diajak ngobrol, aku jadi tau beberapa hal konyol tentang kamu."
"Apa?" tanya Rayaa kaget, jangan bilang Ibunya bercerita hal-hal yang aneh-aneh.
"Bukan apa-apa, Rahasia." Langit menyembunyikan tawanya dalam senyum yang melengkung di wajahnya.
"Oh." Rayaa sengaja tak merespon lebih jauh ucapan Langit.
"Kamu nggak kangen aku?"
"Nggak, biasa aja."
"Rindu juga nggak?"
"Apa bedanya Rindu dan Kangen?"
"Kalau Rindu nama perempuan kalau Kangen nama Band." Langit tertawa melihat wajah Rayaa yang mendelik.
Langit menangkup wajah Rayaa, sebelum memberi kecupan singkat. "Kangen sama kamu."
"Aku enggak." elak Rayaa.
"Nggak apa-apa, aku nggak peduli kamu kangen atau nggak sama aku. Yang penting di hati kamu cuman aku." Langit mengacak pelang surai hitam Rayaa.
"Sok tau, hati aku itu banyak isinya. Nggak cuman kamu."
"Nggak apa-apa, yang penting aku yang mendominasi." Mata Langit tertuju pada atasan yang dikenakan Rayaa, bahannya terlalu tipis dan fit dengan tubuh Rayaa. "Itu ngapain pake baju begitu, dada rata juga nggak ada yang bisa dipamerin. Ngapain pake baju pas yang cenderung ketat gitu."
"Siapa bilang Rata, emang kamu pernah pegang? emang pernah liat." dengus Rayaa tak suka, "Dasar nyebelin."
"Nggak perlu dipegang juga udah keliatan rata, aku nggak suka kamu pake baju gitu." ucap Langit yang semakin membuat Rayaa kesal.
"Bodo amat, besok-besok aku ke kantor pake bikini."
"Ray..." Langit mengusap jemari Rayaa. "Jangan pake baju ketat-ketat begini lagi ya."
"Ini nggak ketat cuman pas body aja." Rayaa melirik baju yang ia kenakan sekarang, tidak ada yang salah memang kecuali kain baju yang sedikit transparan dan pas dibadang hingga membentuk lekuk tubuh bagian atas miliknya.
"Tapi aku nggak suka."
"Kenapa memangnya?"
"Karena kamu keliatan sexy." ucap Langit yang berhasil membuat wajah Rayaa memerah.
"Tuhkan mesum, pasti otaknya udah terkontaminasi bikini di Maldives." cecar Rayaa, ia melipat tangannya di depan dada. "Pasti kesenengan liat Ajeng pake bikini."
"Cemburu?"
"Nggak." Rayaa memalingkan wajahnya, ia sebenarnya tak suka saat membayangkan bagaimana kedekatan Langit dan Ajeng di Maldives.
"Cemburu pun aku nggak keberatan." Langit kembali menggenggam jemari Rayaa, "Berarti kamu sayang sama aku, jadi aku bisa mengambil kesimpulan kalau bukan cuman aku yang selalu mikirin kamu, bukan cuman aku yang punya jutaan rindu buat kamu. Itu artinya kamu merasakan hal yang sama denganku."
TBC
A/N : Gue nggak keberatan sama sekali kalau ada yang ngasih saran, kritik dan koreksi hal-hal yang salah. Kayak tentang penulisan ataupun informasi yang terselip, gue malah wellcome. Artinya gue bisa memperbaiki cerita gue ke depannya nanti, kayak (contoh kecil) pas nulis Rushing ada yang bilang penulisan kata gak dan Mba, yang bener itu Enggak/Nggak dan Mbak. Akhirnya di part selanjutnya gue perbaiki, gue ini bukan tipe orang julid yang dikasih tau kesalahnya maalah marah. Gue malah seneng, artinya orang itu peduli. XD
Jadi nggak usah sungkan kalau mau koreksi yah, asal menggunakan kata-kata sopan ^^
Bubayyy
1-09-2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top