(X)

Hesa membuka kaca mobil di sebelah kirinya. Membungkukan sedikit tubuh tingginya dan tersenyum melambaikan tangan sekedar untuk menyapa Langit dari dalam mobil.

"Aku pulang."

"Semarah apapun kamu, tolong jangan menghindari aku. Karena masalah itu dihadapi bukan disimpan sendiri dalam hati."

"Aku pikir kita nggak akan punya masalah apapun, karena aku bilang kita cukup sampai di sini. Aku nggak mau memulai sesuatu yang akan aku sesali nantinya." Rayaa pergi meninggalkan Langit yang masih mematung di sana.

"Drama banget hidup lo." ucap Hesa ketika Rayaa menutup pintu di sampingnya.

"Apanya yang drama? gue marah sama dia lo sebut drama? gue nggak mau mulai sama dia lo sebut drama?" Rentetan pertanyaan Rayaa dibaluti emosi yang membuat Hesa menyesali celetukannya.

"Maksud gue bukan itu, tapi kenapa nggak lo selesain dulu nggak usah ninggalin dia gitu aja."

"I'm done. Gue nggak mau berhubungan dengan Langit lagi."

"Tapi menurut gue lo cocok sama dia kok, butuh pria seperti Langit biar lo nggak kerasa kepala lagi." setahu Hesa beberapa pria yang mundur mendekati Rayaa adalah karena Rayaa yang tidak cukup peka dan semaunya.

"Dia dan mantan-mantannya sama sekali nggak cocok dengan gue." sela Rayaa, ia sama sekali tidak setuju dengan pernyataan Hesa.

"Saiik bawa-bawa mantan."

"Asal lo tau yah, dua mantannya itu masih berkeliaran di kehidupan Langit. Ajeng salah satunya."

"Ajeng temen kantor lo itu?" Hesa hampir saja mengerem mobilnya jika saja ia tidak punya pengendalian diri yang baik. "Seriusan? terus ada bunga-bunga tanda balikan nggak? yah dibandingin sama Lo masih oke Ajeng sih."

"Kok lo jahat sama gue." rengek Rayaa, sebenarnya ia ingin menangis kali ini. Karena hanya Langit yang mampu mengenalkannya pada rasa sakit karena tersaingi.

"Terkadang kita butuh sedikit perjuangan untuk mendapat yang layak buat hidup kita. Sedikit rasa sakit bisa jadi pelajaran untuk kehidupan." Hesa mengusap rambut Rayaa dengan tangan kirinya. "Kalaupun Langit memang nggak jodoh sama Lo, bukan berarti lo nggak layak diperjuangkan. Tapi Tuhan tahu ada orang yang lebih layak memperjuangkan lo."

"Aku padamu Bang Hesa..." terkadang kita butuh teman yang menyadarkan kita.

"Bau asap rokok ih." Rayaa baru menyadari jika Mobil Hesa menyisakan bau asap rokok, salah satu kebiasaan buruk Hesa sering merokok di dalam mobil.

"Dasar cewek. Nggak suka asap rokok, tapi suka asap knalpot motor Ninja."

"Gue enggak yah."

"Kan lo bukan cewek."

"Hesa yehh, apa perlu gue buktiin kalau gue cewek."

"Eh nggak nafsu gue, dada kayak penggilasan cucian nggak bisa bikin gue tegang."

"Hesaa."teriak Rayaa kesal, jika saja Hesa tidak sedang menyetir sekarang Rayaa tidak akan segan menjambak rambut Hesa.

******

Dua hari ini Langit tak menghubunginya, harusnya Rayaa tak banyak berharap jika Langit akan menelponnya atau sekedar mengirim pesan. Tapi tidak ada.

"Lo marahan sama Langit?" Ajeng bergabung dengan Rayaa yang tengah menyantap makan siangnya di warung bakso langganannya.

"Nggak."

"Langit bahkan batalin pergi ke Gunung Pangrango, doi uring-uringan."

"Jadi lo nyalahin gue karena Langit batal pergi?" Rayaa harusnya tidak terlalu menekan suaranya membuat Ajeng menggernyi, pelayan warung bakso mengantarkan pesanan Ajeng saat ia akan menjawab pertanyaan Rayaa.

"Lo kenapa sih? Langit itu sayang sama lo, Lo meragukan dia kan?" Ajeng dengan wajah datarnya membuat hati Rayaa semakin sesak, sayang? Ragu? tahu apa Ajeng soal hati Rayaa?

"Langit sayang sama gue? nggak salah?"

Keep Calm, Ray.
Keep Calm...

"Iya, buktinya dia pulang lebih cepet dari Ternate cuma karena kepikiran pesan dari lo yang bilang kalau dia nggak cukup berarti buat lo." Ajeng mengunyah suapan baksonya lamat-lamat sambil memperhatikan ekspresi Rayaa diam-diam.

"Dan Lo ternyata mantannya dia? Kenapa lo nggak pernah cerita?"

"Gue nggak berhak cerita apapun, memangnya penting gitu daftar mantan gue buat Lo? Cuman karena salah satu mantan gue lagi deketin lo, bukan berarti gue harus ceritain soal mantan gue dong?"

"Dan gue juga nggak berminat tau soal Mantan lo mulai sekarang." Rayaa mengambil teh hangatnya dan meneguk habis tanpa sisa, lama-lama ia bisa hipertensi bicara dengan Ajeng. Pantas saja Artha sering mengeluh ketika berdebat dengan Ajeng.

"Gue sama Langit cuma masa lalu, nggak lebih. Kita sahabat yang merasa cocok sama satu lain dan coba buat pacaran, tapi ternyata kecocokan itu nggak sampe buat kita bertahan menjalin kasih. Kita cocok sebagai sahabat bukan pasangan, hubungan gue sama dia nggak lebih dari dua bulan." Jelas Ajeng panjang lebar, Rayaa hanya mendelik tak percaya mendengar ucapan Ajeng. Sebelum Rayaa berhasil menyela, Ajeng kembali berucap dan sukses membuat Rayaa semakin terkejut. "Gue sahabatan sama Langit dari SMA."

"Gue nggak peduli."

"Lo peduli, karena lo nggak mungkin ngasih ciuman pertama lo sama Langit kalau lo nggak ada rasa sama dia."

Ucapan Ajeng mampu menohok Rayaa ditahap paling menjatuhkan, jadi seberapa besar Ajeng tahu soal dirinya dan Langit. Sampai hal seperti itu saja Ajeng tahu, bukankah itu membuktikan kedekatan mereka.

******

Harusnya Langit tak berada di sini sekarang, karena Rayaa tidak yakin mampu menahan emosinya. Mengedepankan profesionalitas ternyata sulit ketika lawanmu sekarang adalah orang yang paling ingin kau caci maki.

"Ini rekap upah dan biaya maklon yang dikeluarkan berdasarkan data tiga bulan lalu." Langit datang bersama salah satu Staf keuangan perusahaannya, pria itu masih pria yang sama. Pria yang mampu membuat hati Rayaa sakit.

"Iya, nanti akan saya proses untuk pelaporan PPH 21 nya. Kita buat PB 1 untuk masa lapor tiga bulan kebelakang." Anggap saja Rayaa berbicara dengan Pak Hamid, staf keuangan yang diajak Langit.

"Iya bu, kalau ada yang dibutuhkan lagi nanti Ibu hubungi saya aja." ucap Pak Hamid, sementara Langit masih diam tidak berbicara sejak tadi. Ia hanya menjadi penonton, sebenarnya Langit tidak perlu datang kemari karena stafnya saja sudah bisa menghandle keperluan yang Rayaa butuhkan.

"Kalau begitu nanti saya hubungin bapak, terimakasih untuk waktunya yah. Pak Hamid." Rayaa mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengak Pak Hamid.

"Pak Hamid bisa tunggu di bawah, saya ada perlu dengan Bu Rayaa sebentar." ucap Langit dengan santai, memohon pada Pak Hamid agar mengerti jika urusannya dengan Rayaa benar-benar urusan pribadi.

"Baik, Pak."

Memangnya apa yang Rayaa harapkan dari Pak Hamid? jelas-jelas Pak Hamid masih sayang pekerjaannya, ia tidak mungkin menolak perintah bosnya.

"Jadi?" Rayaa melipat tangannya ke dapan dada setelah yakin Pak Hamid keluar dari ruang meeting. "Sebelum bapak mulai bicara saya cuman mau mengingatkan kalau di ruangan ini ada dua buah CCTV.  Saya harap bapak mau berbicara soal pekerjaan."

"Tiga menit lagi jam makan siang." ucap Langit melirik jam di pergelangan tangannya, "Aku rasa tidak masalah membicarakan urusan pribadi."

"Sebelum itu, saya lebih baik keluar sekarang." Rayaa baru saja akan keluar jika saja Langit tak menariknya, dalam satu sentakan tubuh Rayaa berada di bawah kungkungan tubuh besar Langit.

"Aku bisa tahan kamu selama tiga menit di sini sebelum jam makan siang."

"Dengan membicarakan urusan pribadi?" dengus Rayaa, ia sebenarnya tak sepercaya diri ini untuk memarahi Langit. Andai saja Langit tahu jika kakinya sedikit bergetar, pasti pria itu akan menertawakannya.

"Aku sayang kamu."

Bukan kata itu yang ingin Rayaa dengar, tidak saat ini. Saat dua buah CCTV merekamnya, dan ketidakpedulian Langit soal itu. Hanya karena kantor ini juga milik sahabatnya Langit bertingkah seolah tidak peduli dengan nasib Rayaa yang bisa saja kena teguran.

"Jangan buat aku menebak-nebak perasaan kamu." Suara Langit terdengar rendah, kepalanya sedikit turun membiarkan rambutnya yang sedikit panjang menggelitik kulit wajah Rayaa.

"Aku nggak meminta kamu untuk menebak, karena aku memang nggak tertarik sama kamu." ucap Rayaa dengan sinisnya, semoga suaranya tak bergetar karena menahan debar jantungnya.

"Really?" Rayaa bisa mendengar dengusan Langit, "Aku nggak yakin kamu bisa bilang begitu setelah ini."

Dan untuk kedua kalinya Rayaa merasakan manisnya Bibir Langit yang menjelajah rongga mulutnya, membiarkan Langit merangkum wajahnya mengantarkan sengatan-sengatan kecil yang berefek luar biasa pada tubuhnya.

"Karena aku bukan pria yang mudah menyerah, ketika aku mau kamu. Berarti itu harus kamu, bukan yang lain."

TBC

.......

A/N :  Yeeeeeee, berhasil selesai part 10. Cobaanya berat cuy nyelesain part ini, dimulai dari harus bantuin emak yang pengen luluran. Terus bantuin Adek gue nyelesain PR Fisika (meski akhirnya nggak membantu), keponakan gue yang rewel mau boomerangan di hape gue. Wleeeh pokoknya berat deh ini ketunda-tundanya, sampai gue nggak konsen ngetik karena emak gue maksa adek gue yang cowok mandi lulur biar kulitnya cerah wkwkwk 😂😂
Luarrr binasahh yaaa XD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top