(IX)

"Aku mau ambil kado ulang tahun pernikahan buat Nimas dulu." ucap Langit ketika mobilnya berbelok ke kiri, ke sebuah toko yang menjual anyaman.

"Kamu mau turun atau tunggu di mobil? Aku nggak bisa jamin sebentar."

Mau tak mau Rayaa mengikuti langkah Langit, dibanding menunggu di dalam mobil. Kaki Rayaa tersandung saat baru saja akan memasuki pintu masuk, Rayaa memang tidak memakai heels karena ingat ucapan Gamar tempo hari untuk memakai sepatu yang membuatnya nyaman. Ia memakai flatshoes dan tetap saja tersandung mengenakan apapun terasa sakit.

"Nggak kenapa-kenapa kan?" tanya Langit, ia berbalik mendekati Rayaa yang masih menunduk menatap genangan air yang membasahi sepatunya. Hujannya memang tidak terlalu lebat, tapi bisa membuat basah tubuh Rayaa jika perempuan itu tidak segera beranjak.

"Sakit." Rayaa yakin suaranya tidak terdengar seperti merengek, entah kenapa ia ingin menangis bukan karena sakit diujung ibu jari kakinya yanh perih karena tersandung. Ada perasaan lain yang menyeruak di hatinya.

"Masih bisa jalan sendiri 'kan?" jemari Langit menggenggam tangan Rayaa, membuat Rayaa kembali tersentak mendongakan kepalanya menatap Langit dengan tatapan nanarnya.

"Bisa."

Langit hanya mengangguk menarik Rayaa memasuki pintu toko tersebut. Aroma khas dari bambu yang bercampur cat menyeruak begitu Rayaa menginjakan kakinya di dalam, Kerajinan tangan yang berjejer di etalase berbagai macam. Dari tas sampai bingkai foto yang terbuat dari rotan pun ada.

"Saya mau ambil pesanan saya, Mbak." Langit mengeluarkan nota dari saku jaketnya, melirik Rayaa yang terdiam memperhatikan gelang anyaman berwarna hijau muda.

"Iya, Mas. Saya ambil dulu yah." Penjaga toko itu pergi ke arah tempat penyimpanan sepertinya. Langit tidak terlalu memperhatikan, ia tahu tempat ini rekomendasi dari Julio temannya.

"Kamu suka?" tanya Langit membuat Rayaa menoleh kebelakang mendapati rambut Langit yang sedikit basah.

"Cuma seneng lihatnya, tapi nggak sampe pengen beli. Udah selesai?" Rayaa tidak tahu percakapan apa yang harus ia buka setelah perdebatan yang panjang di dalam mobil telah berhasil memojokannya. Karena dari itu ia harus sedikit pandai menyusun kata agar tidak mudah terpojok oleh Langit.

"Lagi diambil."

"Anniversary yang keberapa?" Rayaa ingat Nimas yang memiliki paras manis khas wanita Jawa, suaminya juga tampan.

"Ketiga." jawab Langit santai, ia mengambil sapu tangan yang terselip di saku celananya. Mengusap pelipis Rayaa yang ternyata cukup basah, Rayaa harus menelan ludah gugup ketika tangan Langit masih berada di pelipisnya. Kenapa ia bisa lupa mengusap wajahnya sendiri yang terkena tetesan air.

"Kamu temenan baik sama Fahmi."

"Dengan Nimas, aku kenal Fahmi pun karena Nimas. Dan hari ini itu annive nya mereka, karena dari itu mereka mengadakan acara kecil-kecilan di rumahnya jam tujuh nanti."

"Dan kamu mau ajak aku?"

Langit hanya mengangguk ketika penjaga toko memanggilnya kemudian menyerahkan bungkusan persegi empat. "Makasih Mbak."

Rayaa harus menahan rasa kesalnya untuk kesekian kali ketika Langit tak menjawab pertanyaannya. Pria itu lebih memilih kembali menarik tangan Rayaa untuk memasuki mobilnya.

"Kan aku bilang nggak mau anter kamu pulang. Aku mau ajak kamu ke rumah Nimas." ujar Langit santai ketika ia mulai menghidupkan mesin mobilnya, jeepnya membelah jalanan Jakarta yang basah.

"Oh iya, sebelum kamu tahu dari orang lain aku cuman mau bilang kalau Nimas itu mantan pacar aku." Langit mencuri lihat ekspresi Rayaa sebelum kembali fokus ke depan. "Kamu nggak apa-apa kan?"

"Memangnya aku harus kenapa?" tanya Rayaa santai, padahal jauh dalam hatinya ia shock.

"Berhubung reaksi kamu biasa aja, aku kasih tau  satu mantan aku lagi yang kamu kenal. She is Ajeng, perempuan yang kamu curigai sedang dekat dengan Gamar. Dia pernah jadi pacarku selama empat bulan."

Jadi gue hidup dikeliling mantanya Langit, cobaan macam apa ini.

"Mantan pacar kamu yang lagi kamu coba deketin lagi?" semoga saja nada suara Rayaa tak terdengar sinis.

"Nggak lah, kamu jangan suka ambil kesimpulan seenaknya." Mobil Langit beberbelok ke kanan mengarah ke sebuah komplek di Kemayoran.

"Tempo hari yang kamu baru pulang dari Ternate. Kamu pulang bareng Ajeng."

"Memangnya kalau pulang bareng ada indikasi ngajak balikan yah? Aku cuma nganter dia ke dokter gigi."

Rayaa diam tak menjawab, ia lebih memilih diam sampai tiba di rumah Nimas pun Rayaa hanya berkata secukupnya. Mengucapkan  selamat pada Rayaa dan Fahmi, di sana ada Gamar dan Ajeng.

Kenapa sekarang Rayaa jadi pihak paling bodoh? ia tidak tahu apa-apa, kenapa ia merasa dibohongi oleh Gamar dan juga Ajeng. Padahal Rayaa memang tidak pernah bertanya soal Ajeng, Langit maupun Gamar. Tapi kenapa ketiganya bisa bersikap biasa saja ? Bahkan Nimas tidak terlihat canggung ketika berinteraksi dengan Langit yang notabenenya adalah mantan kekasihnya.

Rayaa tidak bisa seperti mereka, terlihat biasa saja padahal ada sesuatu yang pernah terjalin sebelumnya.

"Benerkan lo deket sama Langit." Nimas tertawa ringan, fakta yang tak bisa Rayaa sangkal lagi sekarang justru membuat hatinya tak nyaman.

Apa yang bisa Rayaa katakan pada mantan kekasih orang yang dekat dengannya ? sementara otaknya bekerja mencari untaian kata, Rayaa hanya bisa menyunggingkan senyumnya.

"Langit itu penyayang dan nggak pernah main-main dengan perempuan, yah cuman perempuan aja yang susah mengerti hati Langit."

Sementara Rayaa mengobrol dengan Nimas, ia bisa melihat Langit yang tengah berbincang santai dengan Ganar, Ajeng, Fahmi dan beberapa temannya yang tak Rayaa kenali.

"Kenapa kamu putus dengan Langit kalau ternyata Langit memang penyayang dan tidak pernah main-main?" harusnya Rayaa tidak bertanya seperti itu, tapi rasa penasarannya telah mengalahkan rasa malunya.

"Karena gue ternyata nggak cukup baik buat dia."

Klasik.

"Gue nggak bisa ditinggal terlalu lama, sebelum akhirnya gue menemukan orang lain yang ternyata mendominasi hati gue."

Selingkuh.

Rayaa terdiam, tidak tahu lelucon apa yang sedang coba Nimas ucapkan. Ponselnya berdering menampilkan nama Hesa. Rayaa meminta izin ke untuk mengangkat telpon lebih dulu, ia memilih melangkah ke sisi teras yang terdapat kolam ikan.

"Halo, Hes."

"..."

"Ngapain ke rumah gue? orang gue lagi nggak di rumah."

"..."

"Kenapa nggak pinjem carirnya Gavin aja sih?"

"..."

"Iya deh, tapi jemput gue dong."

"..."

"Deket tuh dari lokasi gue sekarang. Gue share location lewat WA yah."

Dari balik pintu kaca Rayaa bisa melihat Gamar yang tersenyum padanya melambaikan tangannya, kenapa Rayaa merasa sedang dipermainkan di antara orang yang sudah saling mengenal seperti ini?

Ajeng dengan santainya menopangkan dagunya di pundak Langit, sementara reaksi Langit biasa saja. Rayaa berjalan melangkah mendekati mereka meminta izin untuk pulang.

Mahameru, Lombok, Pulau Komodo. Itu adalah beberapa tempat yang berhasil Rayaa curi dengar sebelum ia memecah diskusi di antara teman Langit dengan Ajeng yang masih santainya bersandar di pundak Langit. Rayaa tersenyum pada Gamar sebagai tanda hormatnya, ia malas menyapa pria itu.

"Aku pulang dulu yah, temenku ada perlu." Rayaa bisa melihat Ajeng yang mendongak ke arahnya menyunggingkan senyumnya seperti tidak terjadi apa-apa di antara mereka.

"Lho Nggak nunggu Langit aja, Ray. Bentar lagi kita selesai kok." itu bukan ucapan Gamar ataupun Langit, tapi Ajeng.

"Hesa udah di jalan."

Langit berdiri dari duduknya melangkah mendekati Rayaa, "Aku anterin. Aku yang ajak kamu kesini, artinya aku yang harus anterin kamu lagi."

Sebenarnya Rayaa tak yakin jika ini adalah hari ulang tahun pernikahan Nimas dan Fahmi ketika yang mereka lakukan di sini adalah berdiskusi soal trip dan nama-nama tempat yang pernah mereka kunjungi. Bukan mengenang bagaimana perjalan kisah Cinta Fahmi dan Nimas.

"Nggak perlu. Aku bisa pulang dengan Hesa, kamu nggak perlu merasa tanggung jawab untuk nganterin aku. Aku aja yang bodoh, mau aja kamu ajak kemari."

Padahal baru beberapa jam Rayaa kembali bertukar kata dengan Langit, tapi kenyataannya ia harus merasakan hatinya kembali diremas.

"Kamu marah?"

"Nggak, kita udahan sampai di sini yah. Aku tau kapan aku harus merelakan, dan kurasa kita memang nggak cocok."

"Apa yang mau kamu akhiri sementara kita aja belum memulai?"

"Aku pikir aku nggak bisa memulai, sementara aku merasa ini terlalu aneh. Kamu, Ajeng, Nimas dan Gamar. Semuanya seolah-oleh seperti sedang mencoba mempermainkan aku."

"Nggak ada yang aneh dengan aku, Ajeng, Gamar maupun Nimas." Langit meremas pelan rambutnya, Rayaa sudah berdiri di depan rumah Nimas menunggu Hesa.

"Bahkan sampai sekarang aku masih heran, kenapa kamu ngotot ingin mencoba menjalin hubungan denganku. Sementara masih banyak wanita di luar sana yang aku yakin bersedia mencoba bersama kamu? Kenapa kamu membuat aku merasa kalau aku layak diperjuangkan?"

Suara klakson mobil yang menepi membuat Rayaa bersyukur, kali ini ia tidak perlu mencari alasan untuk meninggalkan Langit.

"Yang harus kamu tau sekarang adalah, meskipun mereka pernah mengisi hatiku. Mereka tak cukup berarti lagi sampai kamu harus merasa tersaingi, aku memang tak mengerti banyak hal tentang kamu. Tapi aku mau mencobanya bersama kamu, kamu pernah nonton Film When Harry Met Sally?  aku sadar makna dari kata-kata
Saat kau menyadari bahwa kau ingin menghabiskan sisa hidupmu dengan seseorang, kamu tidak akan sabar untuk memulainya sesegera mungkin." Langit menahan tangan Rayaa yang sudah ingin pergi. "Kalau aku ingin memulai itu bersama kamu. Aku nggak peduli ketika orang berpikir terlalu cepat, karena mereka nggak pernah tahu betapa aku merindu saat jauh dari kamu."

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top