Part 5
Happy Reading😊
Rindu bukan hanya masalah jarak tetapi juga kesempatan. Semua yang terlampaui oleh waktu tidak akan bisa kembali, hanya tinggal sebuah kenangan. Jika diberi kesempatan dirinya ingin bertemu dengan sosok yang melahirkannya. Wanita yang sangat dirindukan selama bertahun-tahun. Hanya satu ingin gadis itu, bisa memeluk dan mencium ibunya.
Tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain berada di dalam dekap kasih seorang ibu.
***
Dengan wajah kusut So Eun melahap sarapannya dengan cepat, beragam buah dilahapnya dengan rakus. Hatinya masih kesal dengan kejadian kemarin malam. Tapi jika dipikir lagi ayah dan kakaknya tidak sepenuhnya salah, mungkin So Eun teralu sensitif akhir-akhir ini.
Greettt
Kursi di sampingnya berderit, tanpa menoleh pun So Eun tahu siapa yang duduk di sampingnya.
"Ini!" Tae So menyerahkan benda kecil persegi empat ke arah So Eun. Wajahnya terlihat sedih mengingat putri cantiknya belum memaafkannya.
So Eun melirik sesuatu yang diberikan oleh Tae So, melihat benda yang sangat ia dambakan tanpa berpikir panjang gadis itu langsung mengambilnya dan memasukkan ke dalam dompet. Masih dengan mode ngambek So Eun tidak melirik lagi sang ayah yang memandangnya sendu.
"Maafkan ayah," ujar Tae So merasa bersalah. So Eun tidak menghiraukan perkataan ayahnya, ia bahkan memalingkan wajah ke arah lain.
"So Eun jangan marah ya," rayu Tae So
So Eun beranjak dari duduk setelah meneguk habis orange jusnya. Tanpa melihat sang ayah sedikit pun So Eun melenggang pergi begitu saja, membuat Tae So menghela nafas panjang.
###
So Eun berjalan santai sepanjang koridor, senandung kecil terdengar dari bibir mungil itu. Hatinya luar biasa bahagia, hari ini ia akan bersenang-senang sepuasnya bersama Ara dan Suzy menggunakan kartu kredit ayahnya tanpa batas.
"Ara, Suzy," teriak So Eun saat melihat kedua sahabatnya dari kejauhan.
"Tumben sekali kau rajin So Eun, biasanya kau datang terlambat," cibir Ara.
"Aku ini memang rajin Ara, kau saja yang kurang memperhatikan," sahut So Eun.
"Terserah kau saja."
"Kalian tahu aku baru saja mendapatkan seseuatu. Tada ——So Eun menunjukkan credit card—— bagaimana kalau kita jalan-jalan?"
"Wahh, dari mana kau mendapatkannya?" Ara menatapnya dengan mata berbinar.
"Tentu saja dengan cara ngambek, benarkan So Eun?" tebak Suzy.
So Eun menekuk wajahnya, seharusnya Suzy juga antusias seperti Ara bukan malah sebaliknya.
"Kau ada masalah lagi dengan Appa dan Oppa-mu?" Ara merangkul pundak So Eun.
So Eun menganggukkan kepala sebagai jawaban. Raut wajahnya kembali sedih, bukan karena dirinya dicapakan tapi lebih tepatnya ia menyesal telah mengabaikan permohonan maaf dari Tae So.
"Haaah ... sebenarnya aku tidak marah dengan mereka, tapi mereka tidak mau peduli padaku," ujar So Eun serta memasukkan kembali credit card-nya.
"Mereka itu laki-laki jadi wajar jika mereka tidak memahami perasaanmu, lagi pula mereka sangat menyayangimu, So Eun."
"Kalian benar, aku akan minta maaf pada mereka nanti. Tapi kalian maukan jalan-jalan sepulang sekolah, tenang aku yang traktir." dengan senyum lebar So Eun yakin jika sahabatnya ini tidak akan menolak.
"Maaf So Eun aku akan makan malam dengan keluarga besarku, hari inikan hari ibu jadi kami sekeluarga akan merayakannya di restaurant," ujar Ara dengan menyesal harus menolak ajakan So Eun. Rasa bersalah ia rasakan saat melihat senyum So Eun memudar.
"Aku juga tidak bisa, eoma-ku berulang tahun hari ini jadi aku dan ayah ingin mempersiapkan kejutan."
Suzy menggenggam tangan So Eun, senyum manis ia berikan untuk sahabatnya yang satu ini.
"Jangan khawatirkan aku, bersenang-senanglah kalian dan semoga acara kalian sukses," balas So Eun sddikit mengulas senyum tulusnya. Tidak mungkin dirinya memaksa Ara dan Suzy untuk menemaninya jalan-jalan, itu sangat egois.
Hari ibu akan sangat berarti bagi kedua sahabatnya, moment di mana mereka bisa berkumpul dan merayakan hari spesial untuk ibu mereka. Sedangkan So Eun tidak ingat kapan terakhir kali ia merayakan hari ibu, rasa rindunya akan sosok seorang ibu sudah seperti makanan sehari-harinya. Biasanya So Eun merayakannya di dalam kamar dan memandangi foto keluarga, lebih tepatnya memandang foto sang ibu.
Pelajaran 10 menit yang lalu telah berakhir. So Eun tidak tahu kemana akan pergi, bukan pergi dari rumah tapi pergi jalan-jalan. Ara dan Suzy baru saja dijemput oleh sopir mereka, dan So Eun sendirian di taman belakang. Hanya taman ini yang membuatnya merasa lebih tenang.
Pandangan So Eun tiba-tiba tertuju pada sosok seorang pria yang sedang duduk di bawah pohon rindang. Sepertinya pria itu sedang menghubungi seseorang. Pria itu Kim Bum dengan mengendap-endap So Eun mendekatinya, jangan sampai pria itu mengetahuinya.
"Iya mom aku akan pulang saat liburan natal, aku janji."
"..."
"Aku tahu itu mom, kau tenang saja aku akan baik-baik di sini."
"..."
"Baiklah mom. Happy mother's day, I Love You."
So Eun menghentikan langkahnya tepat saat panggilan Kim Bum berakhir. Tatapanya menerawang, andai saja ia bisa menghubungi ibunya pasti sangat menyenangkan bisa diperhatikan dan disayang seperti itu.
"Kau sedang apa di sini? Mau mengikutiku lagi?" Kim Bum berdiri di hadapan So Eun membuat gadis itu sedikit terperanjat.
"Tadi itu ibumu?"
"Kau menguping?"
"Bukan menguping, tapi tidak sengaja mendengarkan."
"Sama saja bodoh, beda tipis." Kim Bum menyentil jidat So Eun pelan membuat gadis itu meringis kesakitan.
"Aku hanya ingin bertanya, apa aku salah? Kau hanya perlu menjawabnya saja, 'kan!" So Eun memajukan bibirnya kesal.
"Itu tidak penting, dan kau tidak perlu tahu masalahku." Kim Bum melipat tangannya di depan dada.
" Hhmm ... anu ... itu ... bagaimana rasanya saat mengucapkan 'I Love You' pada ibumu? Apa kau bahagia?" tanya So Eun dengan meremas tangannya gugup.
Kim Bum hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Pria itu merasa aneh dengan sikap So Eun.
"Kau mau bercerita tentang ibumu?"
"Untuk apa?" Kim Bum semakin heran oleh pertanyaan So Eun. Mendengar jawaban Kim Bum membuat So Eun tersenyum kecut.
"Karena aku tidak pernah merasakan hal seperti itu, aku lupa bagaimana perasaanku saat mengucapkan kata itu," jelas So Eun, menundukkan kepala gadis itu berusaha meredam isak tangisnya yang ingin keluar.
Kim Bum mengambil kembali ponselnya, diketiknya beberapa kata sebelum akhirnya pesan itu terkirim. So Eun masih berusaha meredam emosinya yang tidak terkendali. Jangan sampai ia terlihat lemah di hadapan Kim Bum.
"Ini."
Kim Bum memberikan ponselnya pada So Eun. Gadis itu memandang Kim Bum bingung, mungkin sekarang pria itu bisa melihat matanya yang sudah memerah dan berair.
"Untuk apa?"
"Bicaralah pada ibuku, katakan apa yang ingin kau katakan, ungkapkan apa yang ada di hatimu. Anggap saja dia ibumu juga," ujar Kim Bum memberikan senyum tipis pada So Eun saat melihat keraguan gadis itu.
So Eun mengambil ponsel Kim Bum dengan ragu, dilihatnya panggilan telah tersambung. Perlahan So Eun mendekati ponsel itu ke telinganya.
"E ... eoma," ujar So Eun ragu.
"Iya sayang."
Mendengar jawaban dari ponsel itu membuat tangis So Eun pecah. Rasa rindu setelah sekian lama tidak melihat sosok seorang ibu membuatnya seketika rapuh. So Eun menggenggam erat ponsel Kim Bum.
"Hiks ... hiks ... eoma aku merindukanmu, aku ingin bersamamu. Maafkan aku eoma, jangan hukum aku lebih lama lagi. Aku ingin eoma cepat kembali. Aku mencintaimu eoma, I Love You. Selamat hari ibu," ujar So Eun sesenggukan, dikembalikannya ponsel Kim Bum dengan segera setelah mengungkapkan isi hatinya.
Ia menangis bukan karena sedih, meski itu bukan ibunya tapi So Eun merasa lega bisa mengungkapkan perasaanya. Kim Bum melihat kesedihan So Eun hanya terdiam, memberikan gadis itu ruang untuk sendiri.
"Kim Bum."
"Ya."
"Kau harus bertanggung jawab!"
"Ehh .... " Kim Bum mendelik, kenapa harus dirinya yang harus bertanggung jawab, apa salahnya?
"Kau membuat aku menangis, jadi kau harus menemaniku jalan-jalan hari ini!"
So Eun segera menarik tangan Kim Bum tanpa menunggu persetujuannya. Kim Bum ingin protes tapi mengingat kesedihan So Eun membuatnya tidak tega menolak. Anggap saja menghibur anak SD yang sedang sedih pikir Kim Bum.
Anggapan Kim Bum bahwa mereka hanya jalan-jalan dan bermain beberapa permainan kemudian pulang ternyata salah. Sudah sejam lamanya Kim Bum mengekori So Eun berbelanja di mall dan selama itu pula umpatan demi umpatan ia lontarkan , gadis ini memang tidak tanggung-tanggu untuk membeli pakaian. Sudah dua puluh kantong pakaian yang ia beli dan
So Eun masih ingin membeli lagi?
Kim Bum melirik kedua tangannya yang memegang paper bag So Eun. Jika tahu seperti ini Kim Bum pasti akan menolak dengan senang hati paksaan gadis itu.
"Kim Bum, cepat ke mari!"
Rasanha Kim Bum ingin menghilang saat ini juga? Mendengar suara So Eun membuat dirinya sedikit trauma, gadis ini sangat berbahaya. Dengan langkah terseret Kim Bum mendekati So Eun enggan.
"Yakk, aku tidak mau membawa semua pakaianmu!" Kim Bum membuang semua belanjaan gadis itu ke lantai.
So Eun yang melihat Kim Bum kesal hanya pura-pura menangis, cara jitu meluluhkan hati pria adalah dengan tangisan.
"Apa salahku? Aku sudah membelikanmu pakaian sebanyak ini dengan uangku dan kau membuangnya begitu saja, hiks ... hiks."
"Apaaa? Jangan mengarang sesuatu yang tidak benar So Eun." Bukannya berhenti malah tangisan So Eun semakin kencang, membuat beberapa pengunjung berbisik-bisik dan memandangi mereka.
"Dasar pria matre, harusnya dia bersyukur memiliki gadis yang cantik."
"Dasar pria, tidak mengerti perasaan wanita."
"Kasihan perempuan itu."
Kim Bum mulai risih dengan ujaran para pengunjung , diambilnya semua barang belanjaan So Eun dengan sigap. Ditariknya tangan So Eun untuk segera pergi dari tempat itu.
"Pelan-pelan, aku tidak bisa mengimbangimu," ujar So Eun, berusaha melepas genggaman Kim Bum.
"Baiklah, kita sudah sampai di parkiran, aku hanya membawa sepeda ini sebagai transportasi. Jika kau ingin pulang dengan taksi silakan saja, karena sepedaku tidak muat menampung semua belanjaanmu."
"Siapa bilang tidak bisa?" So Eun tersenyum penuh arti, membuat pria di depannya mengangkat sebelah alisnya.
So Eun mulai menata kantong belanjaanya di setang sepeda Kim Bum. Dengan rapi gadis itu menghias sepeda Kim Bum dengan belanjaannya.
"Selesai," ujar So Eun memperhatikan pekerjaanya.
Kim Bum hanya bisa memandang naas sepeda kesayangannya, melihat sepeda itu penuh dengan tumpukan pakaian.
"Kau gila So Eun?"
"Aku bukan gila, tapi pintar," ujar So Eun sambik mengibaskan rambut panjangnya. "Cepat antar aku ke suatu tempat."
"Kemana lagi?"
"Sudah nanti kau akan tahu."
Dengan enggan Kim Bum menuruti kemauan So Eun, anggap saja ini yang terakhir kalinya karena liburan nanti ia akan pulang ke Jepang, dan selama itu diringa akan bebas dari seorang Kim So Eun.
"Kenapa kau tersenyum?" So Eun memandang Kim Bum heran.
"Bukan apa-apa, cepat naik!"
Kim Bum menggayuh sepedanya kencang, memebelah kesibukan kota. Gedung-gedung tinggi menjulang di kanan dan kirinya, sampai akhirnya ia menghentikan laju sepedanya di depan sebuah panti jompo khusus nenek-nenek.
"Untuk apa kita kemari?"
"Aku ingin membagikan semua pakaian ini pada mereka, bagaimana pun juga mereka adalah seorang ibu."
So Eun menggantungkan tiga paper bag yang ia bawa ke setang sepeda. Ia mulai mengambil baju-baju yang ia ikat dengan tali secara hati-hati.
"Kau masuklah dulu, biar aku yang membawanya."
"Kau sungguh mau membantuku?"
"Bukankah sejak tadi aku sudah membantumu?" So eun tersenyum mendengar jawaban Kim Bum. Pria culun di depannya sungguh baik hati.
"Baiklah aku harap kau tidak menyesal."
So Eun melenggang pergi, meninggalkan Kim Bum dengan tumpukan baju yang sudah berada ditangan pria itu.
Kim Bum memandang sejenak bangunan di hadapannya sebelum masuk ke dalam. Baru selangkah ia menapaki kakinya saat itu juga puluhan nenek-nenek berebut pakaian yang ia bawa. Mimpi apa dia semalam sampai bisa direbuti nenek-nenek. Jika dulu Kim Bum dikejar wanita cantik dan seksi, sekarang ia direbut nenek-nenek panti jompo yang keseksiannya sudah kadaluwarsa, dan ini semua karena ulah Kim So Eun.
###
"Bagaimana rasanya direbut wanita cantik?" goda So Eun, selama mereka berada di panti tidak sedikit pun senyum dari Kim Bum. Bahkan sampai saat ini pria itu masih terlihat kesal.
"Cih, kau bahagiakan melihatnya?"
"Kau ingin aku jujur?"
So Eun kembali meniup ramen yang ada di depannya. Kim Bum memperhatikan cara makan So Eun, sepertinya gadia itu tidak bisa makan yang panas-pana.
Kim Bum mengambil alih mangkuk ramen So Eun, ditiupnya ramen itu agar cepat dingin. Sesekali Kim Bum membetulkan letak kacamata besarnya yang melorot.
Entah mengapa hati So Eun menjadi hangat melihat sikap Kim Bum. Apakah uap ramen itu berpindah ke hatinya? Rasanya begitu hangat dan nyaman.
"Makanlah, ramenya sudah dingin," ujar Kim Bum mengembalikan ramen itu pada So Eun.
"Terima kasih." Dengan lahap So Eun menyumpit ramen itu sampai tandas.
Membuat Kim Bum tersenyum geli melihat cara makannya yang belepotan seperti anak kecil.
"Itu punya siapa?" Kim Bum menujuk tiga paper bag yang So Eun letakkan diatas meja. So Eun mengambil satu paper bag, ia berikan pada Kim Bum.
"Ini untukmu, terima kasih sudah menemaniku sampai malam."
"Ini sogokan?"
"Kau tidak mau?"
"Aku akan terima, tapi lain kali aku ingin hadiah yang lebih mewah dari ini."
"Ck, dasar matre," gumam So Eun.
"Aku mendengarnya Kim So Eun." Kim Bum menatap So Eun tajam, bukannya takut So Eun malah tertawa melihat wajah Kim Bum.
###
So Eun membuka pintu pagar, setelah Kim Bum pergi. Keadaan rumah terlihat sepi, mobil ayah dan kakaknya terparkir rapi di garasi. Mungkin mereka sudah pulang, pikir So Eun. Dengan membawa dua paper bag ditangannya So Eun melangkahkan kaki mungilnya kedalam rumah.
"So Eun, kau ke mana saja, nak?" Tae So menghampiri anaknya, dipeluknya So Eun erat. "Maafkan Appa, jangan pulang malam lagi, Appa sangat mengkhawatikanmu."
So Eun melepas pelukan ayahnya.
"Aku tidak marah Appa, maafkan aku yang kekanak-kanakan."
"Appa mengerti perasaanmu sayang."
Soo Hyun yang sedari tadi melihat ayah dan adiknya berbaikan tersenyum lega, adiknya baik-baik saja ternyata.
"Maafkan Oppa juga So Eun, Oppa berjanji tidak akan mengabaikanmu lagi." Soo Hyun memeluk sang adik dengan hangat.
"Appa, sekarang adalah hari ibu, karena ibu tidak berada di sini jadi aku belikan hadiah untuk Appa dan Oppa saja. Selama ini Appa selalu mengurusku, Appa selalu berusaha menjadi ayah dan ibu untukku. Terima kasih Appa." So Eun menyerahkan salah satu paper bag yang ia bawa kepada Tae So, dan satunya lagi untuk Soo Hyun.
"Terima kasih sayang, kau memang anak apa yang cantik." So Eun tersenyum lebar mendengar pujian Appanya.
"Aku ingin kalian berdua memakainya sekarang juga, ya please," rengek So Eun.
Tidak ingin So Eun marah lagi Tae So dan Soo Hyun menyanggupinya dan pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian.
"Yakk Kim So Eun pakaian apa ini?" Soo Hyun keluar dari kamar mandi diikuti oleh Tae So.
"Kalian tidak mau memakainya? Hiks hiks kalian sudah berjanjikan?" So Eun kembali berakting dan benar saja ayahnya menyeret Soo Hyun kembali ke kamar mandi untuk berganti pakaian.
So Eun hanya tersenyum melihatnya, mungkin ia harus menyiapkan kamera untuk memfoto ayah dan kakaknya nanti.
"Yakk, kalian lama sekali," teriak So Eun.
Ceklek ....
Suara pintu terbuka Tae So dan Soo Hyun keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang WooW.
So Eun tertawa melihat penampilan ayah dan kakaknya, Tae So yang berkumis terlihat sangat galak, sekarang memakai gaun panjang dengan punggung terbuka bermotif bunga-bunga. Sedangkan Soo Hyun hanya mengenakan boxer dan 'BH' saja.
"Kau puas?" Ujar mereka serempak.
"Belum, aku ingin kalian menari, aku mohon mau ya." Jurus andalan So Eun yang anti ditolak oleh kakak dan ayahnya yaitu merengek seperti anak kecil. Mau tidak mau mereka menuruti permintaan So Eun, dengan menari-nari tidak jelas.
TBC
Selamat hari ibu kawan.
😘😘😘
Direvisi tanggal 9/6/2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top