Part 24
So Eun dan Tae So berjalan keluar dari kantor polisi. Tidak sedikit pun terlihat rasa takut di wajah mereka, setelah penangkapan Tae So di bandara oleh polisi karena melanggar ketertiban berlalu lintas. Sehingga pria paruh baya itu harus ditangkap dan diberikan peringatan tertulis.
Tae So menyadari jika polisi mengejarnya saat perjalanan menuju Incheon, yang membuat pria beranak dua itu melajukan mobilnya dengan kencang.
"Apa kau senang hari ini?" tanya Tae So setelah menghirup udara segar di luar kantor polisi.
"Aku kira hari ini akan berakhir bahagia, tapi sepertinya tidak sesuai pemikiranku," sahut So Eun dengan senyum tipis.
Tae So membelai kepala So Eun lembut, anak gadisnya tumbuh dengan cepat. Anak kecil yang rewel dan cengeng itu terlihat semakin dewasa. Sudah saatnya ia mengatakan yang sebenarnya pada So Eun.
"APPA!"
Tae So dan So Eun menoleh ke arah Soo Hyun dengan wajah pucat. Kekhawatiran terlihat jelas di wajah pria muda itu membuat So Eun dan Tae So menelan ludahnya, takut. Soo Hyun tipe pria yang ,perfectionist, detail dan cerewet. Sebelum dia mendapatkan jawaban yang diinginkan, Soo Hyun tidak akan berhenti bertanya sampai lawannya tidak berdaya. Sangat sulit mengelabui pria yang satu ini
"Appa, jelaskan apa yang terjadi? Kenapa kalian bisa berada di kantor polisi? Sekertatis Lee bilang padaku jika Appa melanggar aturan lalu lintas, apakah benar?" cerca Soo Hyun tanpa henti, tatapannya terlihat tajam seolah siap mengintrogasi dua orang yang berada di hadapannya.
"Kau cerewet sekali. Sudahlah jangan dibicarakna lagi masalah sudah selesai. Aku ingin pulang, perutku sudah lapar," jawab Tae So santai. Bukannya menjawab pertanyaan anak sulungnya, Tae So memilih melenggang pergi meninggalkan kedua anaknya.
"Mwo? Appa kenapa kau santai sekali? Ini masalah serius, aku harus tahu semuanya," kata Soo Hyun dengan kesal, tangannya berada di pinggang menandakan kekesalannya sudah berada diubun-ubun.
"Oppa, jangan seperti itu, nanti kerutan di wajahmu akan bertambah kalau kau marah. Belum juga punya pacar tapi wajahmu terlihat tua," ujar So Eun. Entah gadis itu ingin meledek atau memberi kode untuk oppa tampannya agar segera memiliki kekasih tapi karena pemilihan katanya itu membuat Soo Hyun mendelik.
"Yak! Kim So Eun, aku tidak sedang bercanda."
"Kalian jangan berdebat terus, ayo kita pulang," teriak Tae So menengahi.
"Di mana mobil Appa?" tanya Soo Hyun menaikkan nada suaranya.
"Hhmm ... sepertinya dia harus menginap malam ini. Besok pagi suruh asistenmu mengambilnya."
Tae So membuka pintu mobil anak sulungnya tanpa peduli wajah kesal dan bingung dari Soo Hyun yang tidak mendapat jawaban sedikit pun.
Mobil hitam mengkilap itu terparkir di salah satu rumah besar dan mewah. Tiga orang yang berada di dalamnya turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam rumah. So Eun segera pergi ke ruang makan, acara dinner-nya harus kandas karena insiden kantor polisi. Tapi gadis itu tidak kecewa, justru sebaliknya perasaan gadis itu sangat bahagia.
"Maaf, kami hanya bisa menyajikan spaghetti untuk menu makan malam ini, Tuan," ujar kepala pelayan dengan badan membungkuk. Bukan salah mereka jika tidak menyiapkan makan malam.
"Ini sudah lebih dari cukup. Kalian bekerja dengan sangat cepat. Istirahatlah, kami ingin bicara bertiga," ujar Tae So membuat semua pelayan menunduk dan pergi.
"So Eun, setelah makan malam appa ingin bicara denganmu," ucap Tae So seraya menyuapkan gulungan carbonara ke dalam mulutnya.
"Nde."
"Kalian berdua jangan merahasiakan sesuatu dariku," ucap Soo Hyun dengan tatapan curiga.
"Sstt ... yang jomblo tidak boleh tahu," goda So Eun membuat sang kakak semakin kesal.
***
Cahaya tv menjadi penerangan satu-satunya di sebuah ruangan gelap ketika So Eun membuka pintu. Sosok pria tinggi berdiri memunggunginya tidak jauh dari tempat So Eun berdiri.
"Kenapa Appa tidak menyalakan lampunya?" tanya So Eun membuat Tae So membalikkan tubuh.
"Ruangan ini tidak memiliki lampu. Appa sengaja tidak memasangnya. Duduklah."
So Eun menuruti perintah ayahnya. Belum pernah So Eun tahu jika ada ruangan seperti ini di dalam rumahnya, seperti perpustakaan tersembunyi.
"Apa yang ingin Appa katakan?"
Tae So duduk di hadapan So Eun dengan album foto yang cukup besar di tangan. Dibukanya tiap halaman dengan seulas senyum.
"Ini adalah kenangan ketika aku masih muda." Tae So memperlihatkan foto lama itu pada So Eun. Ada empat orang di dalam foto tersebut, dua pria dan dua wanita. So Eun tersenyum melihat wajah eomma-nya berada di antara foto tersebut.
"Ayah dan eomma mu adalah sahabat, kisah kita sangat rumit. Sampai saat ini masih menjadi teka-teki," ucap Tae So dengan tatapan kosong.
"Apa kalian pacaran sejak sekolah menengah atas?"
Tae So tersenyum mendengar pertanyaan So Eun. Ia pun berharap seperti itu, tapi kisahnya terlalu rumit untuk dimengerti.
"Appa tidak pernah berpacaran dengan eomma mu. Justru pria berpakaian hitam itu adalah kekasih eomma mu. Appa tidak sebaik yang kau pikirkan. Jangan membenci eomma mu, dia adalah wanita yang menjadi korban keegoisan Appa."
"Mwo? Apa maksudnya?"
"Aku merebut eomma mu dari pria itu. Dulu kami bekerja di satu perusahaan yang sama, saat itu aku sangat mencintai eomma mu. Dia wanita yang baik, cantik dan penyayang. Hanya dia satu-satunya wanita yang bisa memahamiku. Suatu hari ketika eomma mu akan menikah, aku menggagalkannya."
"Appa ...."
"So Eun mianhae, karena kebodohanku kau harus tumbuh tanpa kasih sayang seorang eomma. Aku bersalah tidak bisa menjaga eomma mu. Sebelum pernikahan itu terjadi dia telah mengandung dirimu. Saat itu eomma mu depresi ingin menggugurkan kandungannya. Aku melarangnya dan saat itu juga aku melamar ibumu." Tae So menghembuskan napasnya pelan, rasa sesak di dadanya menyeruak kembali meneteskan rasa pedih.
"Tidak mudah bagiku memperjuangkan eomma mu. Aku harus kehilangan semuanya, sahabat, keluarga hingga pekerjaanku. Aku merasa putus asa ketika itu, sampai akhirnya eomma mu memilih hidup bersamaku. Kami pergi dari Busan, dan mulai hidup baru di Seoul dengan sederhana. Eomma mu adalah wanita yang luar biasa, dia tidak pernah mengeluh dengan kondisi keuangan yang pas-pasan. Aku merasa itulah kebahagian yang sesungguhnya. Kebahagiaan sejati dengan orang yang kita cintai bukan karena harta yang melimpah."
So Eun menghapus air mata yang menetes di pipinya, gadis itu tidak menyangka jika kisah cinta orang tuanya bisa serumit itu.
"Saat kau lahir aku merasa kebahagiaan yang sempurna. Kalian adalah wanita yang kucintai. Saat kau berusia 5 tahun, emma Soo Hyun datang menemuiku. Dia adalah wanita malam yang sangat malang. Soo Hyun berusia 12 tahun saat itu, emma Soo Hyun ingin aku menjaga anaknya, tapi eomma mu tidak setuju. Saat itu aku memiliki masalah yang cukup besar, hingga tidak bisa berpikir jernih," ujar Tae So dengan nada sedih. Mengingat kenangan itu membuka kembali luka masa lalunya.
"Kakekmu datang memberi pertolongan, tapi aku harus melepas eomma mu. Aku tidak ingin membuat hidupnya semakin sulit dan dengan bodohnya aku menerima bantuan kakekmu. Sampai saat ini aku tidak pernah melihat eomma mu lagi. Maafkan kebodohan appa, So Eun."
So Eun menutup mulutnya, menahan rasa sesak yang keluar dari hati. Tidak tahu harus berkata apa, semua rasa sungguh sulit dikatakan.
"Apakah Appa bercerai dengan eomma?" tanya So Eun.
"Ani ... Aku tidak pernah memberikan surat perpisahan pada eomma mu, begitu juga sebaliknya," jelas Tae So.
So Eun memeluk Tae So dengan erat. Setidaknya kedua orang tuanya tidak benar-benar berpisah, mereka hanya terhalang jarak dan waktu.
Tae So membalas pelukan puterinya. Satu-satunya peninggalan wanita yang dicintainya yang bisa pria itu jaga sampai saat ini.
***
6 Tahun kemudian
"Yak! Kim So Eun cepat bangun! Kau ada meeting dengan produser 2 jam lagi!" teriak Suzy membuat gadis yang masih terlelap itu segera bangun dan duduk tegap di atas kasur.
"Kanapa tidak bangunkan sejak tadi?" omel So Eun bergegas turun dari ranjangnya menuju kamar mandi.
"Kau sudah dewasa, harusnya tidak perlu kubangunkan lagi. Kenapa dia yang marah? Seharusnya aku yang kesal," omel Suzy dengan wajah cemberut.
Menjadi manager sekaligus assisten pribadi seorang Kim So Eun merupakan tantangan untuk menguji kesabaran. Andai saja ia menolak menjadi manager gadis pemalas itu setahun yang lalu, bisa dipastikan saat ini dia masih bersantai, menikmati roti isi dan coffee latte dengan tenang di meja makan.
Suara pintu terbuka membuat Suzy mengalihkan tatapannya ke arah So Eun.
"Aku sudah siapkan pakaianmu, 20 menit lagi aku tunggu di bawah. Jangan lama-lama," ujar Suzy sebelum keluar.
"Dia sangat cocok menjadi ibu tiri," gumam So Eun menatap punggung sahabatnya menghilang dari pandangannya.
So Eun bergegas mengenakan pakaiannya, memoles wajahnya dengan bedak tipis dan lipstik. Penampilannya sangat sederhana tapi tidak mengurangi kecantikannya. So Eun menghampiri sang manager yang asik sarapan dengan oppa-nya.
"Suzy, ayo cepat aku tidak ingin terlambat," ucap So Eun membuat gadis cantik itu tergesa-gesa meminum jusnya.
Suzy segera menjalankan mobil setelah So Eun duduk di sampingnya.
"Bagaimana perasaanmu hari ini?" tanya Suzy tanpa melihat ke arah So Eun.
"Buruk."
"Belum ada kabar?"
"Siapa?"
"Sudahlah, jangan bicarakan lagi, aku tidak ingin kau menangis di toilet seharian," ujar Suzy.
So Eun tentu tahu apa yang sahabatnya maksud, ia tidak ingin mengingat Kim Bum untuk saat ini. Gadis itu harus bisa menahan rindunya selama bertahun-tahun.
"Bersikaplah yang manis layaknya wanita, arraseo," ujar Suzy memperingati.
"Aku selalu bersikap manis," sahut So Eun mentoel-toel pipinya.
"Aku akan mentraktirmu jika rapat kali ini berjalan lancar."
Ini adalah meeting kesepuluh dengan produser yang berbeda. Bukan karena naskahnya ditolak tapi So Eun menolak kerja sama dengan kesembilan produser tersebut dengan alasan mereka mata keranjang dan tidak profesional.
Suzy berharap produser kesepuluh ini sesuai dengan keinginan So Eun. Suzy dan So Eun memasuki sebuah restaurant dekat gedung kantor SM Entertaiment. Sejak kecil Suzy selalu berharap bisa menjadi bagian dari agensi besar tersebut.
"Di mana orangnya?" tanya So Eun.
"Mereka meminta kita menunggu di meja no 7," kata Suzy menunjuk sebuah meja dekat jendela.
Mereka berdua duduk bersampingan, tidak lama seorang pria berpakaian jas hitam menghampiri. Pria tua yang terlihat sangat berwibawa.
"Maaf membuat Anda menunggu," ujarnya sopan.
"Kami baru saja sampai," ucap Suzy dengan ramah.
"Perkelakan saya Park Hansol, assisten Produser Kim," ucapnya.
"Jadi Produser Kim tidak bisa hadir hari ini?" tanya So Eun.
"Nde, beliau ada acara mendadak tadi, saat sampai di sini beliau langsung pergi," kata Park Hansol.
Suzy menyenggol lengan So Eun pelan.
"Nde, tidak masalah. Namaku Kim So Eun, dan Suzy adalah assisten sekaligus managerku," ujar So Eun dengan menundukkan tubuhnya, begitu juga dengan Suzy.
"Jadi apakah naskah itu diterima?" tanya Suzy setelah mereka duduk.
"Tuan Kim sangat tertarik dengan cerita yang kau buat, hanya saja Tuan Kim berpesan agar Nona So Eun mau mengubah ending-nya," jelas Park Hansol.
"Wae? Apa ada yang salah?"
"Tuan Kim ingin cerita tersebut berakhir happy ending, sedangkan ending dalam cerita Nona masih menggantung. Jika Anda mau mengubahnya, kami akan membuat kontrak kerja sama secepat mungkin."
"Ending cerita yang menggantung adalah hal biasa, kenapa harus dipermasalahkan?" protes So Eun.
"Maaf Nona Kim, itu adalah syarat yang diajukan produser kami."
"Katakan padanya aku menolak," ucap So Eun sebelum menundukkan badannya dan pergi.
"Yak, Kim So Eun!" teriak Suzy memanggil sahabatnya yang berjalan keluar restaurant.
"Tuan Park maafkan kelakuan Nona Kim. Saya akan menghubungi Anda lagi, saya akan membujuknya. Permisi," ucap Suzy sebelum pergi menyusul So Eun.
"Sepertinya tidak akan mudah," gumam Park Hansol melihat kepergian dua wanita itu.
Sebuah mobil hitam Hyundai Tucson terparkir di luar restaurant. Terlihat seorang pria berada di samping kemudi. Park Hansol duduk di belakang kemudi mobil.
"Bagaimana?"
"Seperti yang Anda prediksi, Tuan Kim, dia menolak," lapor Park Hansol pada Tuan Kim.
"Kau harus memastikan bahwa dia menerima syarat itu. Jika kau bisa melakukannya, aku akan memberimu hadiah," ujar Tuan Kik dengan senyum lebar.
"Be ... benarkah? Saya akan pastikan Nona Kim So Eun menerima persyaratan itu."
"Aku senang kau mengatakan itu."
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top