Part 17

Happy Reading (belum direvisi)

Soo Hyun mengerutkan kedua alisnya, sesekali pria tampan itu menggeleng melihat tingkah aneh adiknya. Diperhatikannya So Eun yang duduk manis dengan tangan asik mengetik sesuatu pada layar ponsel, beberapa detik kemudian helaan napas panjang terdengar dari bibir ranumnya. Sesekali gadis itu menekuk keningnya memandangi ponsel yang tak berdering sama sekali.

So Eun meletakkan ponselnya di atas meja, memandang benda persegi itu penuh harap. Soo Hyun mulai berpikir jika adik tersayangnya itu sedang menunggu kabar dari seseorang, tapi siapa?

"So Eun, kau baik-baik saja?" tanya Soo Hyun penasaran.

So Eun manatapnya dengan lemas, bahkan gadis itu enggan menjawab pertanyaan sang kakak. Perhatiannya kembali terpusat pada smartphone di hadapannya, diabaikan seperti itu Soo Hyun merasa nyawa adiknya tidak berada di tempat. Untuk pertama kali ia melihat So Eun tidak bersemangat, wajah kucel dengan rambut yang acak-acakan meyakinkan Soo Hyun jika adiknya belum mandi. Hampir larut malam dan gadis itu belum mandi, bahkan pakaian yang digunakannya untuk berolah raga sore tadi masih melekat di tubuhnya.

Meski So Eun pemalas tapi ia bukan gadis yang jorok. Soo Hyun menghela napas, sifat adiknya memang susah ditebak.

"Kenapa dengan wajah kusutmu? Aish, kau pasti belum mandi, 'kan?" Soo Hyun menjepit hidungnya dengan dua jari, mengejek So Eun yang belum mandi.

Lemparan bantal dan tatapan tajam dihadiahi oleh So Eun pada kakaknya, bukannya menghibur Soo Hyun semakin memperburuk  suasana hati So Eun dengan meledeknya.

"Oppa ...," rengek So Eun dengan wajah tertekuk. Memeluk kedua lutut di atas sofa.

Senyum lega terpancar dari wajah pria jangkung itu, rasa khawatirnya kalau So Eun lupa cara bicara menguap seketika setelah mendengar nada manjanya.

"Wae, sweety?"

"Apa yang harus aku lakukan?" tanya So Eun, membuat pria di depannya bingung.

"Kau harus mandi," jawab Soo Hyun asal.

"Aku tetap harum meski belum mandi," ucap So Eun dengan percaya diri. Gadis itu merebahkan tubuh mungilnya di atas sofa masih dengan memeluk kedua kakinya.

"Ada apa dengamu hari ini? Aneh sekali!"

"Oppa ... apa ini yang namanya jatuh cinta?" gumam So Eun yang masih di dengar oleh Soo Hyun, meski suara televisi terdengar cukup keras tapi pendengaran Soo Hyun sangat tajam.

"Waah, daebak. Jadi kau sudah mulai mencintai seseorang? Siapa?" tanya Soo Hyun penasaran, merasa bahagia  adik manisnya dicintai oleh seseorang mengingat sikap So Eun yang super manja dan cerewet. Bahkan dirinya saja enggan menjadikan gadis seperti So Eun sebagai kekasih.

"Oppa? Apa wajar jika wanita menghubungi pria lebih dulu?" So Eun manarik tubuhnya dari pembaringan, duduk berhadapan dengan Soo Hyun yang asik menggonta-ganti chanel tv.

"Wajar saja, kalau bisa kau harus lebih agresif lagi, kau harus lebih memanjakan dia. Bila perlu bawakan dia makanan setiap hari sampai dia bosan," ucap Soo Hyun menggebu-gebu seraya bersandar di sofa.

"Issh, issh, ishh ... Oppa bahkan belum pernah pacaran tapi sudah menasehatiku!"

"Siapa yang membuat aku tidak memiliki kekasih sampai sekarang? Kau selalu mengusir calon kekasihku," ucap Soo Hyun pura-pura marah, mengingat kembali bagaimana dulu So Eun  secara terang-terangan mengungkapkan ketidak sukaan terhadap teman wanitanya.

"Tapi kau harus bersyukur aku membebaskanmu dari patah hati. Setelah wanita itu pergi darimu bukankah dia memiliki kekasih dan berselingkuh dengan bosnya? Feeling- ku tidak pernah salah, dia memang bukan wanita baik-baik," ucap So Eun panjang lebar. Beranjak dari duduknya So Eun kemudian pergi, meninggalkan Soo Hyun yang terdiam.

"Kim So Eun!" teriak Soo Hyun mengentikan langkah So Eun menaiki tangga. Gadis itu berbalik menatap kakaknya penuh tanya.

"Kau boleh menyayangi dan menyukai seseorang, tapi jangan pernah mencintainya."

"Wae?" So Eun mengernyit belum mengerti dengan apa yang dikatakan kakaknya.

"Ketika kau mencintai seseorang, kau harus siap untuk merasakan sakit, rasa cinta akan membuatmu bahagia dan hancur dalam sekejap."

So Eun terdiam sebelum akhirnya gadis itu tertawa.

"Arraseo, Haraeboji," goda So Eun dengan mengedipkan sebelah matanya.

So Eun berlari menaiki tangga masih dengan suara tawa yang dapat Soo Hyun dengar.

"Aish, dasar apa dia tidak bisa melihat ketampananku? Aku tidak setua haraeboji," gerutunya.

***
Kim Bum membuka matanya dengan berat ketika sinar matahari mulai memasuki kamar apartemennya. Menegakkan tubuh lemasnya dan bersandar di kepala ranjang.

"Aaww ...," ringisnya sambil memegangi kepala yang berdenyut. Bukan pusing yang berputar yang dirasakan pria tampan itu, tapi rasa pening yang begitu mencengkram seolah rambutnya diremas dengan sangat kuat.

Ini pasti efek karena dirinya semalam begadang, menunggu kabar dari seseorang yang tak kunjung menghubunginya. Bahkan sampai larut malam Kim Bum masih menunggu notifikasi  yang masuk ke ponselnya. Tapi nihil. Tidak sedikitpun benda elektronik itu bergetar, yang membuatnya menjadi insomnia mendadak. Pagi ini kepalanya menjadi pening karena kurang istirahat.

Meraih ponsel hitam miliknya di atas nakas, Kim Bum mengetikkan pesan singkat pada seseorang. Direbahkannya kembali tubuhnya dengan selimut tebal mambalut tubuh kekar itu. Beberapa menit kemudian terdengar dering nada pesan masuk, dirabanya ponsel itu dengan mata setengah terpejam, dengan cepat Kim  Bum mengetikkan balasan.

Pria itu terlelap setelah meletakkan kembali ponselnya. Menyelam kembali ke dunia mimpi dengan tenang, sebelum akhirnya suara bel terdengar nyaring yang ditekan dengan tidak sabaran. Kim Bum mengerang kesal, di saat dirinya sakit ada saja yang mengganggu.

Kim Bum mencoba mengabaikan suara itu, tetapi tamuny kali ini tidak mengenal kata menyerah. Lantunan suara intercome tidak pernah jeda sesikit pun membuat Kim Bum mengerang frustasi. Meski dengan kepala pening, pria itu tetap berjalan menuju pintu masuk. Mata Kim Bum terbelalak saat melihat sosok mungil itu berada di balik pintu.

Bagaimana bisa So Eun tahu apartemennya?

Kim Bum meremas rambutnya, seketika rasa pening di kepalanya menghilang, pria itu berlari ke kamarnya. Meraih ponsel hitamnya di atas meja dengan kasar, memeriksa kembali pesan yang dikirimnya beberapa waktu lalu.

Kim Bum mengerang saat melihat pesan yang dikirimnya bukan pada teman sebangkunya, tapi pada Kim So Eun? Pria itu merutuki kebodohannya sendiri mengirim pesan pada gadis yang membuatnya sakit kepala.

Di luar sana So Eun semakin menjadi-jadi, tak sedikitpun suara intercome terjeda meski hanya sekejap saja.

Secepat kilat Kim Bum menyembunyikan semua fotonya yang terpajang rapi di didnding bercat putih sebelum Kim So Eun merusakkan intercome miliknya yang baru terpasang beberapa bulan lalu.

Dengan cekatan pria itu menyembunyikan semua fotonya dan dimasukkan ke dalam lemari kosong. Tak lupa Kim Bum mengenakan penyamarannya dengan terburu-buru, hampir saja tompel hitam yang seharusnya terpasang di pipi malah tertempel di keningnya, segera Kim Bum perbaiki penampilannya sebelum bergegas membuka pintu apartemennya.

Kim Bum mengatur napasnya sejenak sebelum memasang wajah lesu seperti beberapa waktu lalu.

Ceklek

Suara pintu terbuka, membuat orang yang ada di luar terperanjat kaget. Namun seketika wajah kaget itu berubah dengan senyum manis. Peluh  mulai membajiri wajah Kim Bum, bahakan liurnya pun sulit untuk ditelan.

"Kau benar-benar sakit? Lihatlah keringatmu banyak sekali. Ayo istirahatlah di dalam," ujar So Eun, mendorong Kim Bum masuk ke dalam apartemen.

"Apartemen ini sepertinya tidak asing," gumam So Eun meneliti setiap sudut ruangan yang dilaluinya. Kim Bum memejamkan matanya sekejap, jangan sampai So Eun mengetahui jati dirinya. Mereka baru pacaran kemarin tidak mungkin mereka putus sekarang, 'kan?

"Aaww ... kepalaku sakit," ringis Kim Bum kemudian memegangi kepalanya,  mengalihkan perhatian So Eun ketika meneliti setiap sudut apartemennya.

"Kau baik-baik saja?" ujar So Eun khawatir, dipapahnya Kim Bum menuju kamar. Direbahkannya Kim Bum pada ranjang, mata pria itu terpejam sesekali ia meringis memijit kepalanya pelan.

"Aku akan menyiapkan obat, setelah memasak untukmu," ujar So Eun setelah menyelimuti Kim Bum.

Gadis itu beranjak dari kamar. Setelah mendengar suara pintu tertutup Kim Bum membuka sebelah matanya. Memastikan jika So Eun benar-benar pergi. Menghembuskan napas lega, Kim Bum kembali bergelung dalam selimutnya.

Berbeda dengan Kim Bum yang asik terlelap, di dapur So Eun menggaruk kepalanya ketika melihat isi kulkas yang penuh bahan makanan.

"Apa yang harus dimasak? Ke dapur saja aku tidak pernah," keluhnya sebelum menutup kulkas berpintu empat itu. So Eun mengeluarkan ponselnya dari tas punggung, diketiknya beberapa kata di mesin pencarian.

"Wah banyak sekali makanannya, aku buat ini saja," ucap So Eun dengan mata berbinar, memilih salah satu resep makanan yang ingin dimasaknya.

Dikeluarkannya semua peralatan yang ada di rak penyimpanan, bahkan gadis itu saja bingung harus menggunakan perlatan untuk memasak.

So Eun mulai memakai apron, mengikat kepalanya dengan kain merah yang terletak di atas meja dapur. Tak lupa So Eun menggenggam erat wooden spatula yang baru ditemukannya di antara alat masak Kim buk.

"So Eun fighting," ujar gadis itu menyemangati dirinya sendiri.

So Eun mulai sibuk dengan aktivitas memasaknya, sangat berbeda dengan kondisi Kim Bum yang masih tidur pulas ke alam mimpi.

So Eun menatap hasil karyanya dengan bahagia, setelah satu jam lebih berkutat dengan alat masak akhirnya makanan itu tersaji di atas meja makan. Gadis itu bergegas pergi ke kamar Kim Bum, diketuknya pelan pintu bercat coklat itu.

"Bum-ah makananya sudah siap," ucapnya lembut.

Pintu terbuka, menampilkan sosok tinggi pria berkacamata dengan rambut yang acak-acakan, seketika membuat So Eun terpesona. Mata sayu khas bangun tidur mampu menghipnotis gadis itu sejenak.

"Ehem."

So Eun tersadar dari tatapan terpesonanya, gadis itu tersenyum kikuk ketika menatap mata Kim Bum.

"Anu ... makananya sudah siap."

"Gomawo," ucap Kim Bum seraya mengelus kepala So Eun membuat jantung gadis itu ingin keluar dari tempatnya.

Mereka berjalan beriringan menuju dapur. Kim Bum hanya bisa mematung melihat seisi dapurnya berantakan tidak karuan, panci-panci tertumpuk di washtafel, wajan dan spatula masih berada di atas kompor, dan piring serta bumbu dapur berjejer rapi di luar tempatnya. Keadaan dapur Kim Bum seperti habis dirampok maling, setelah makan mungkin ia akan membersihkannya.

So Eun menuntun Kim Bum ke meja makan. Jika dapur dalam keadaan kacau Kim Bum harap makananya lebih indah dari keadaan dapurnya. Kim Bum duduk di kursi berdampingan dengan So Eun. Matanya terbelalak dengan mulut terbuka lebar melihat hasil masakan gadisnya.

Sungguh sangat luar biasa makanan yang tersaji, bahkan Kim Bum tidak pernah membayangkan bisa makan makanan itu. Telor rebus, bubur dengan brokoli serta dua slice  roti panggang hitam putih. Ya ... hitam putih, satu sisi berwarna putih, sedangkan satu sisinya berwarna hitam ——gosong.

Kim Bum menelan ludahnya melihat santapannya hari ini, bahkan ia tidak yakin jika brokoli itu sudah dibumbui garam.

"Ayo makan, coba masakanku," ucap So Eun bangga.

"Jadi selama satu jam lebih kau memasak ketiga bahan makanan ini?" tanya Kim Bum yang dijawab dengan anggukan oleh So Eun.

Melihat wajah bahagia So Eun membuat Kim Bum tidak tega jika tidak makan hidangan yang dibuat gadis itu. Dengan ragu ia mulai menyumpit brokoli terlebih dahulu, susah payah Kim Bum membuka mulut menerima benda hijau itu masuk dalam pencernaanya.

So Eun menatap Kim Bum tegang, bagaimana pun juga ini adalah masakan pertamanya. Melihat Kim Bum mengunyah brokoli itu saja membuat perasaanya senang luar biasa. Setidaknya makanan yang ia buat bisa dimakan.

"Bagaimana?" tanya So Eun antusias.

Ekspresi wajah Kim Bum datar, tidak ada kata yang terucap dari bibirnya.

"Aku ke toilet sebentar," ujar Kim Bum masih dengan ekspresi wajah biasa. Pria itu berjalan keluar dari dapur, merasa So Eun tidak bisa melihatnya lagi segera Kim Bum berlari ke arah toilet. Dimuntahkannya sayuran hijau itu di tempat sampah. Kim Bum salah menduga jika brokoli itu lebih aman dari makanan lainnya tapi ternyata lebih berbahaya.

"Berapa kilo gadis itu memasukkan garam? Asin sekali," gumam Kim Bum sebelum berkumur di washtafel.

"Aku bersumpah tidak akan membiarkan So Eun masuk ke dapur lagi," gumam Kim Bum, menatap pantulan dirinya di depan cermin.

Pria itu kembali ke dapur, tempat di mana So Eun berada. Namun tak seorang pun yang dilihatnya berada di dapur. Ke mana perginya gadis nakal itu? Apa dia sudah pergi? Pikir Kim Bum ketika melihat kursi yang diduduki So Eun kosong.

"So Yi Jeong."

Kim Bum membeku mendengar panggilan itu terlebih pria itu tahu siapa si pemilik suara. Tubuh tegapnya berbalik, menghadap sosok gadis cantik yang memegang sebuah bingkai foto berukuran 10R. Kim Bum sangat tahu foto siapa yang So Eun pegang.

"Benar, 'kan?"

Suara dingin So Eun membuat Kim Bum membeku, sepantai apapun ia menyembunyikan bukti tetap saja akan terbongkar. Kim So Eun bukan gadis yang ceroboh, dia sangat teliti.

"Aku bisa jelaskan," sahut Kim Bum mencairkan kebekuannya.

So Eun berdecih, ujaran Kim Bum sudah mengakui semuanya bahwa dia adalah So Yi Jeong. So Eun mendekat tatapan hangat beberapa saat lalu berubah menjadi dingin. Dilepaskannya kacamata yang Kim Bum kenakan, bahkan semua penyamarannyadilepas oleh So Eun tanpa ingin melawannya. Jemari lentik So Eun dengan lembut mengusap pipi mulus Kim Bum, menatap mata pria itu dengan tajam.

"Kenapa? KENAPA KAU MEMBOHONGIKU?! Aku sungguh mencintai Kim Sang Bum. Sebenarnya kau siapa? So Yi Jeong atau Kim Bum?!"

Kim Bum menggenggam tangan So Eun yang masih menangkup pipinya. Dia tahu jika gadis di depannya ini tengah kecewa, tapi ia tidak bermaksud berbohong. Kim Bum harus segera mengatakan yang sejujurnya pada So Eun.

"Aku punya alasan sendiri," ucap Kim Bum merebut kembali foto yang So Eun pegang.

"Sebenarnya kau siapa?"

"Aku Kim Sang Bum, kekasih Kim So Eun," ujar Kim Bum dengan yakin. Senyum So Eun perlahan mengembang, pria yang ada di hadapannya benar-benar Kim Bum bukan Yi Jeong, meski mereka orang yang sama.

So Eun sangat membenci nama Yi Jeong, karena menurutnya nama itu untuk seorang playboy. Perut So Eun tiba-tiba berbunyi, gadis itu tersenyum malu ketika Kim Bum menahan tawanya.

"Lapar?"

So Eun mengangguk kaku, gadis itu merutuki dirinya sendiri karena perutnya lapar di saat yang tidak tepat.

"Aku akan buatkan  makanan untukmu."

Belum sempat So Eun menyahut, Kim Bum segera menggendongnya di pundak seperti orang mengangkut beras.

"Yak! turunkan aku!" teriak So Eun kencang.

Kim Bum mendudukkan So Eun di atas meja makan, mengurung So Eun dengan tubuhnya.

"Kenapa kau tidak malu sama sekali padaku?" So Eun berpegangan erat pada bahu Kim Bum, kini tinggi mereka sejajar membuat Kim Bum tidak perlu menunduk lagi.

"Karena aku bebas bisa melakukan apa pun yang kumau, seperti ini."

Cuup

TBC
14/7/19

Maafkan diriku yang lama update 😥 aku tau bagaimana rasanya menunggu. Tapi aku juga harus menyelesaikan beberapa tugas termasuk riset.

Sedikit bocoran, mungkin bulan depan akan ada ff baru tapi genre fantasi untuk cast tetap bumsso 😄 kalau ada yang penasaran aku up premisnya nanti diChapter selanjutnya (18).

Sampai berjumpa dichapter selanjuynya 😘


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top