8#Hottra

"Aihhh, cantikkk!"

"CK!"

"Yahh, jangan cemberut dong, nanti ilang cantiknya!"

"Apaan sih, berisik, bawel!!"

Junali menjauhkan wajahnya dari tangan Prilly yang sedari tadi mengganggu wajahnya yang dimake-up tipis dan rambut panjangnya.

"Kasi lipgloss dikit!"

"Uhhg!"

"Ayo dong Jun, penyamaranmu harus sempurna!"

"Ya Tuhan, mimpi apa sampai takdir jadi beginiiii?"

Junali menggerutu tetapi terpaksa diam saat Jinily mengoles lipgloss kebibirnya.

"Kok enak, kaya biskuit!"

"Ihh Jun, jangan dijilat, astaga, habiskannn, ihhh!"

Jinily mencubit bibir Junali gemas, karna dia menjilat pemerah bibir yang ia sapukan ke bibir Junali lalu dijilat pria itu karna berasa seperti biskuit. Bukan karna ia menjentikkan jari lalu membayangkan biskuit tapi memang pemerah bibir itu berasa.

"Enak lho, Jin, coba deh!"

"Apa sih Jun, tanpa menjilat dari aromanya aja udah tercium, kamu ya tadi menjentik jari disuruh membayangkan pemerah bibir malah membayangkannya yang berasa, ngaku!"

Junali terkekeh sambil membenahi rambut panjangnya yang 'fake'.

"Sudah belum ini? Dandannya gak usah tebel-tebel, ntar kaya perempuan keseleo kodrat beneran!" Junali bertanya sekaligus protes. Ia sengaja tidak menyebut kata selain perempuan keseleo kodrat, atau wanita pria. Ia geli mengingat sekarang ia harus menjadi perempuan untuk masuk kedalam Castil. Pura-pura melamar pekerjaan menjadi pelayanan, dan harusnya ia memang tidak berdandan berlebihan.

"Nanti kau temui penjaga, kau katakan pada penjaga kau mau melamar pekerjaan!"

"Aku sendiri saja? Kau tidak ikut?"

"Mereka akan mengenali aku, Jun..."

"Lalu bagaimana nanti kalau darahku terlanjur habis, kau tidak datang-datang?"

"Aku mengendap dari belakang, Jun, tak bisa bersamamu!"

Tik.

"Hanya aku yang bisa melihatmu!!"

Jun menjentikkan jarinya sambil berkata tidak didalam hati.
Jinily mengeryit heran. Apa maksudnya? Dan ia tidak merasakan perubahan apa-apa disekitarnya.

"Ayoo!"

Langkah Jinily terseret beberapa waktu karna terkejut, mendadak ditarik Junali.

"Junnnn, apa-apaan ini?" Protes Jinily.

"Sttt, berisik, kita harus buktikan kalau kau sekarang tak terlihat manusia lain selain aku!"

"Ap... apa maksudmu?"

"Aku sudah menjentikkan jariku dan berkata hanya aku yang bisa melihatmu, bukan?"

Jinily membuka mulutnya membentuk huruf O.

"Tapi kau jangan cerewet, jangan bawel, karna kau tidak terlihat tapi bisa terdengar!"

Jinily terdiam saat diseret Junali lagi. Benarkah ia tidak terlihat? Belum bisa dibuktikan karna mereka belum bertemu seorangpun.

Mendekati pintu gerbang Castil Jinily berdebar-debar. Sudah berapa lama ia tidak berada di Castilnya, ia tak tahu. Ia melihat Castilnya tidak banyak perubahan. Bangunan yang clasic, dikelilingi rumput yang terlihat tidak segar. Bahkan ada pohon yang hanya tinggal rantingnya saja.

"Selamat siang, nona!"

Junali terkejut dengan sapaan penjaga yang ia lihat dari balik pagar gerbang. Disebut nona ia merasa geli. Tadinya ia terkejut karna ia pikir penjaga melihat Jinily.

"Saya Liliput, tuan!"

Jinily menutup mulutnya saat Junali memperkenalkan diri. Liliput? Seenaknya saja menyebut nama. Kenapa membuatnya ingin terbahak mendengarnya?

"Kenapa tertawa?!"

Seperti geledek, sang penjaga bertanya setelah mengangkat wajahnya yang menyoroti Junali dari ujung rambut keujung kaki. Junali menutup mulutnya pura-pura habis terkekeh karna penjaga itu rupanya mendengar Jinily terkikik akibat mendengar nama yang disebutnya.

"Ma.. af, tidak, tuan, saya tidak tertawa tapi nahan buat tidak bersin, terdengar seperti tertawa!" Junali berusaha untuk membuat penjaga itu tidak marah.

"Ada apa kesini? Mencari siapa?" Penjaga itu terdengar tegas.

"Saya mau melamar jadi pelayan, apakah masih ada lowongan, tuan?"

Junali berkata sambil menahan diri untuk tidak muntah karna mendengar suaranya sendiri yang dibuat seperti perempuan. Oh Tuhan, mimpi apa? Bukan aktor disuruh berakting. Jadi perempuan pula.

Si penjaga menyorot dari kepala hingga kaki kembali. Penjaga itu sama sekali terlihat tidak menyadari kehadiran Jinily. Jinily lega, akhirnya ia yakin benar-benar tidak terlihat.

"Sepertinya wajahmu tidak asing!" Penjaga mengerutkan kening.

"Maksudnya, tuan?"

"Ah, mungkin karna sudah lama tidak melihatnya!"

"Melihat siapa tuan?"

"Putri Ily! Ah, kenapa kau lancang mau tahu saja!!"

Jinily mengerutkan kening. Ia menoleh dan menatap wajah Junaly yang dikatakan mirip dengannya.

Junalipun meraba wajahnya sendiri. Mirip? Mirip darimana? Apa karna Jinily yang mempermak wajahnya makanya jadi mirip?

"Maksudnya, putri Ily putri raja Felix yang hilang itu?"

"Jangan banyak tanya! Sekarang kau masuk, aku antarkan kedalam!"

"Untuk bertemu dengan madam Djelita?"

"Bertemu pelayan senior dulu!"

"Carmaleta!"

"Kenapa kau tahu!?"

Penjaga berbalik mendengar ada yang menyebut Carmaleta. Padahal bukan Junali tapi Jinily.

"Siapa yang tidak tahu, tuan? Bukankah gadis-gadis desa banyak yang kemari ingin jadi pelayan saat ada pengumuman, utusan castil mengatakan pelayan senior yang sudah 20tahun bekerja di castil bernama Carmaleta!"

Penjaga berbalik lagi sambil melangkah. Kemudian ia berbalik kembali menghadap pada Junali yang ingin mengikuti langkahnya lalu terhenti mendadak.

"Jalan duluan!"

Junali melangkah didepan penjaga seakan dikawal.

"Karna Carmaleta yang sudah 20tahun bekerja aman-aman saja, maka dari itu tak ada yang percaya menjadi pelayan di Castil Secret berbahaya!" Jinily berbisik tapi Junali tak menoleh.

"Kau bicara apa?"

"Tii.. dak, tuan!"

Junali menyikut Jinily. Maksudnya supaya Jinily tidak banyak bicara. Banyak bicaranya Jinily saat ini membuatnya dalam bahaya.

Sesampainya didepan sebuah pintu dilantai bawah Castil, penjaga melibas lonceng didepan pintu itu. Bunyi lonceng terdengar berisik karna dilibas berulang kali, tetapi belum ada juga yang keluar.

KRIEETTTT!
Saat pintu terlihat terbuka terdengar suara deritnya yang membuat Junali tiba-tiba merinding.

Saat ia menoleh pada Jinily, Jinily memeluk lengannya lalu mengusapnya seolah menenangkan.

"Tambah merinding dielus!"

PAAAK!

Bunyi kulit bertemu kulit membuat penjaga berbalik kebelakang. Junali menepuk tangannya sekali.

"Maaf tadi ada nyamuk!"

"Nyamuk?" Nampak perempuan setengah baya dengan sorot mata tak lembut menyelidik.

"Ini Liliput, Carmaleta!"

"Liliput?" Carmaleta mengeryitkan dahinya, tatapannya yang dingin tak membuat Junali gemetar. Hanya memang hawa dibalik pintu terasa tak nyaman.

"Ya, Lilianz Putia disingkat Liliput!" Sahut Junali.

"Baiklah, silakan masuk!" Wanita setengah baya itu berkata pada Junali yang menyamar menjadi pelamar sebagai pelayan lalu menoleh kembali pada penjaga yang mengantarkan padanya, "Pito, kembali berjaga!"

"Siap, Ketua Pelayan!"

Penjaga yang disebut Pito itu menghentakkan kaki, balik kanan dan membubarkan langkah kembali kepenjagaan semula.

"Dan kau, ikut aku!" Carmaleta berkata pada Junali.

"Kita kemana, nyonya? Anda tidak mau bertanya apa-apa pada saya? Mau apa saya hingga datang kemari?"

"Tidak ada yang lain yang dibawa kehadapan saya kecuali ingin menjadi pelayan di Castil ini!"

"Hmm, baiklahh!"

Junali mengiringi langkah Carmaleta. Melewati lorong dan taman menuju suatu ruangan, hawa lain terasa membuat bulu kuduk Junali meremang. Mungkin ia hanya merasa ngeri teringat cerita Jinily mengenai madam Djelita ibu tirinya. Sesosok wanita yang begitu berambisi untuk abadi dengan Raja Felix ayah putri Ily, hingga melakukan apa saja untuk mencapai ambisinya itu.

Sementara Jinily ingin sekali berkomentar tetapi menahan diri karna benar kata Junali, suaranya hanya akan membuat keadaan Junali dalam bahaya.

Jinily ingin berbelok arah saat ia melihat arah jalan menuju tempat peristirahatan ayahnya. Tetapi tertahan karna Junali menarik tangan lalu menyelipkan jari mereka.

"Jangan kemana-mana? Selesaikan satu-satu!" Junali berbisik ditelinga Jinily. Sangat lirih agar suaranya tetap tenggelam diantara langkah kaki yang berdetak-detak seiring mereka melewati ruangan demi ruangan.

Menurutnya akan kacau kalau mereka tidak bersama menyelesaikan misi menjadi tumbal bagi madam Djelita terlebih dahulu, dan berhasil menjadi pelayan adalah langkah awal.

Jinily menurut, meski hasrat bertemu ayahnya dan ingin mengetahui keadaan beliau sangatlah besar.

"Carmaleta!"

Langkah Carmaleta terhenti saat mendengar panggilan. Kemudian ia mendongak melihat keasal suara.

"Kakak!" Lirih ucap Jinily. Junali memperat selipan jarinya. Ia berharap Jinily tidak ceroboh.

"Tahan dirimu, ingat, selangkah saja kita salah jalan, misi kita bisa gagal!" Junali berbisik dari jarak wajah mereka yang sangat dekat.

"Calon pelayan baru?" Sementara dari atas sebuah balkon ruangan, perempuan yang Jinily sebut sebagai kakak bertanya.

"Iya, putri!"

"Kalau ada yang cocok menjadi pelayanku ya, aku tidak suka dengan pelayan yang kau berikan kepadaku minggu lalu!"

"Kenapa, putri?"

"Dia sering sekali melirik suamiku! Pelayan nakal!"

Apa? Suami? Jadi, kakaknya sekarang sudah bersuami? Sejak kapan? Sebenarnya ia sudah berapa lama meninggalkan Castil?

"Kau terlalu cemburu saja, dia tidak seperti yang kau sebut!"

"Kau membelanya?"

"Ti... tidak!"

Dan Junali melihat mata Jinily melebar menyaksikan seorang pria keluar dari pintu balkon dan mengatakan pembelaan.

"Kenapa?"

Junali menatap Jinily yang sedang menengadah dan menatap tanpa kedip ke balkon saat ini. 

"Shazan!"

Junali mendengar Jinily berdesis dengan mata yang menatap nanar kepada pria yang bersama kakaknya dibalkon itu.

"Berhentilah terlalu cemburu, putri! Tidak akan ada yang berani mengganggu pangeran!" Carmaleta berkata sambil melanjutkan langkahnya.

"Ganggu saja kalau tak ingin selamat, pokoknya aku minta satu pelayan lagi!"

"Putri!"

Pria itu mengikuti langkah sang putri menuju kepintu balkon dan menghilang dibaliknya.

Suami? Pangeran Shazan. Sekarang Shazannya sudah menjadi suami kakaknya. Jinily merasa hancur lebur seketika.

"Liliput!"

Junali menoleh pada Carmaleta, setelah ia sepertinya merasakan aura terkejut dan kesedihan mendalam pada Jinily.

"Saya, nyonya?"

"Beristirahatlah diruangan ini, sementara aku mempersiapkan seragammu!"

Carmaleta membuka sebuah ruangan lalu meminta Junali masuk kedalamnya.

Pintu berderit, ruangan yang minim cahaya nampak pengap sebelum Carmaleta membuka Gorden dan jendela yang berteralis disudut ruangan.

"Ini ruanganmu, sampai ada pelayan baru lain yang melamar!"

Carmaleta berkata sambil menutup pintu ruangan yang kembali berderit.

Junali tidak terlalu peduli kalimat Carmaleta, yang ia pedulikan adalah Jinily sekarang.

"Shazan, yang kau katakan kau rindukan?"

Tak ada jawaban saat tanya lolos dari Junali. Ia hanya melihat kaca yang mulai mengcrystal dilensa Jinily.

Junali meraih tubuh yang melemas setelahnya. Rupanya sedari tadi Jinily sedang mengumpulkan kekuatan untuk menopang tubuhnya.

"Mereka tidak salah, Jun, mereka pasti tahunya aku menghilang entah kemana, betulkan, Jun?"

Jinily menangis tersedu dan Junali membiarkan bening crystal itu luruh membasahi bajunya. Tubuhnya yang terguncang ia rangkum hangat. Sengaja tak mengucapkan sepatahpun kata, karna ia tahu bagaimana rasanya terluka.

Ia membiarkan Jinily menumpahkan sepuas-puasnya perasaan patahnya. Karna ia tahu kata tak dapat menolong Jinily saat ini. Hanya tangan yang terbuka untuk merangkum menenangkannya. Junali memejamkan matanya diatas kepala Jinily yang menyangga dagunya.

"Seharusnya aku tidak kembali, seharusnya aku ikut kau saja keduniamu, Jun!"

#######
Banjarmasin, 11 September 2020

Hai hai, jumpa lagi!
Selamat membaca cerita yang sungguh sangat abstrak ini.




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top