22#Hottra

"Kenapa aku tidak dimasukkan kedalam toples saja, Jun, biar kau tidak keberatan gendong aku seperti ini!"

"Tidak berat, kaukan kecil, ringan, lebih berat saja aku sanggup!"

"Main fisikk!"

"Kecil mungil cabe rawit dan aku sayang!"

"Ahh, sayangggg, terima kasihhh!"

Jinily yang berada dipunggung Junali, makin erat memeluk lehernya. Sudah berkilo-kilo meter mereka berjalan, keringat Junalipun sudah beberapa kali ia seka tetapi tidak ada tanda kelelahan pada pria yang nampak tak ada beban didekapnya dari belakang.

Tentu ia diam-diam menjentikkan jarinya, membayangkan kalau tubuhnya seringan kapas. Ia juga menjentikkan jarinya, membayangkan Junali memiliki tenaga ekstra agar tetap fit. Biar bagaimanapun Junali dalam masa penyembuhan. Junali memaksa segera  menemani Jinily kembali ke Castil hanya karna merasa sudah sehat.

"Aduuuh! Junnn, aku lelahhh, tasmu berat sekaliiii!" Jerit Lanaya.

Lanaya. Mereka baru sadar Lanaya berada dibelakang mereka dengan ransel Junali dipunggungnya.

Saat Jinily mengeluh kakinya pegal saat baru saja beberapa meter berjalan menyusuri hutan terlarang, Junali menawarkan pada Jinily agar naik kepunggungnya saja.

"Alahhh, kau manja sekali, baru juga beberapa meter!" Usik Lanaya sebelumnya saat mendengar keluhan Jinily yang terduduk lelah. Apalagi saat ia melihat Junali ikut duduk disamping Jinily dan menyeka keringatnya. Lanaya diam-diam mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Kau sudah tidak kuat?" Junali bertanya sambil menyisih rambut dikening Jinily.

"He-eh!" Angguk Jinily.

Junali meraih bahu dan menenggelamkan kepala Jinily kedalam dekapnya.

"Lelah sekali, Jun, kakiku rasanya pegal!" Jinily memijat kakinya yang tertekuk. Junali ikut memijit kaki Jinily.

"Terima Kasihhhh!" Jinily meraih jari Junali yang memijit kakinya lalu menyelipkan dengan jarinya sambil mengucapkan terima kasih.

"Sama-samaaa!" Junali menyentil hidung Jinily lalu menepuk bahunya agar Jinily bersender disana.

Jinily menyenderkan kepalanya dibahu Junali lalu memejamkan mata.

"Ngantuk?" Junali menoleh dan menunduk memarkir hidungnya diujung kepala Jinily.

"Sedikittt!" Sahut Jinily dengan suara serak nan manja lalu menengadah hingga hidung Junali yang tadi singgah dipucuk kepalanya berpindah tempat keujung hidungnya. Junali menggesekkan hidung mereka dengan menggelengkan kepalanya berulang kali.

So sweet.
Tapi tentu saja bagi Lanaya pemandangan tersebut membuat kepalanya bagai berasap. Meski ia sudah mendapatkan peringatan sebelum memaksa kembali ke Castil bersama Jinily sekaligus Junali, tetap saja rasanya bagai menyulut bara diatas panggang.

"Uhhh, dasar putri manja! Coba seperti aku, aku ini supergirl Jun, pasti takkan merepotkanmu!"

Junali mengerucutkan hidungnya dan dibalas Jinily dengan kerucutan yang sama.
Mereka seolah menghiraukan ucap Lanaya. Terlebih Junali sama sekali tak ingin tahu bagaimana Lanaya, yang ia pentingkan Jinily. Mau Lanaya supergirl, wondergirl, batgirl, baginya Lanaya mirip joker.

"Kita harus sampai diujung hutan sebelum tengah malam, kau tau sendiri kalau tengah malam apa yang kita hadapi!" Ucap Junali lirih setengah berbisik. Bukan karna takut didengar Lanaya. Tetapi ia ingin suaranya terdengar lembut ditelinga Jinily.

"Lalu bagaimana? Sebut saja hot mantramu, Jun, masukkan aku kedalam toples saja!" Sahut Jinily yang melanjutkan memejamkan mata dibahu Junali.

"Setuju! Masukkan saja dia didalam toples Jun lalu masukkan kedalam ransel, beres! Dan kita lanjut!" Celetuk Lanaya sambil mengerling.

Lanaya membayangkan bagaimana ia dan Junali akan melangkah bersisian sementara Jinily berada didalam toples bahkan ditaruh didalam ransel. Ia membayangkan lengannya dan Junali bersentuhan saat menyusuri jalan. Kalau dia terpeleset Junali akan menahan tubuhnya. Kalau ada binatang buas, Junali akan melindunginya.

Saat itu Lanaya mengkhayal sambil bersender disebuah pohon, dengan salah satu kaki yang terangkat dan tertekuk dibatangnya. Matanya terpejam dengan kepala menyender dibatang pohon. Melihat Jinily diperlakukan manis, ia jadi berhalusinasi. Kalau Jinily didalam toples maka bukan Jinily yang mendapatkan perhatian, tapi dia. Tentu saja, pikirnya.

Tanpa sadar ada yang merayap dikaki dan kepalanya.

"Aduhh! Aduhhh!"

Lanaya menggerakkan kepala, mengusap leher lalu lengan dan kakinya.

Junali dan Jinily berpandangan. Tentu saja biar bagaimanapun menganggap seolah Lanaya tidak ada tetap saja nyatanya ada.

"Junnn, aku dikerubungi semut merahhhh!!" Jerit Lanaya sambil menggerakkan tubuhnya agar semut merah yang berasal dari batang pohon dan tanah yang diinjaknya berjatuhan.

"Juunnnnn, tolongggg!" Lanaya makin melolong dengan tangan berusaha melemparkan semut-semut merah itu. Rambutnya dan pakaian yang dikenakannya mulai acak-acakan.

Meski sedari tadi Lanaya berusaha agar Junali membantu dan menaruh perhatian padanya, Junali terlihat bergeming.
Dan tak lama karna Lanaya terus menjerit-jerit meminta bantuan pada Junali, bukan Junali yang berdiri, tetapi Jinily. Biar bagaimanapun ia merasa tidak berprikemanusiaan dan tak berempati kepada sesama perempuan kalau Lanaya dibiarkan disiksa semut merah lama-lama. Meskipun ia geregetan juga karna sadar Lanaya tidak minta empati padanya tapi pada Junali. Untung saja Jinily masih punya rasa tak tega melihatnya yang nampak prustrasi karna semut merah rupanya sudah memasuki pakaian dan menggigit kulitnya.

"Makanya jangan jadi ulat bulu, gatal, mau minta garuk sama laki orang! Akhirnya kan benar-benar gatal digigit serangga!"

Jinily setengah mengomel mengibas tubuh Lanaya dengan kain panjang yang tadi tersemat dilehernya. Diam-diam ia menjentikkan jari, agar semua semut merah yang berhasil masuk kedalam pakaian Lanaya, terjatuh ketanah.

Lanaya menepis tangan Jinily saat mengibas seekor serangga yang tersisa dari rambutnya. Jauh dari ucap terima kasih.

Jinily menepuk-nepuk kedua telapak tangannya tanda selesai.

"Aku tidak minta kau bantu, jangan merasa aku ada hutang budi padamu!" Cetus Lanaya sinis.

"Heiii, dengan orang yang membantumu kenapa kau tidak sopan?" Protes Junali tak senang mendengar ucap Lanaya yang tak ada rasa terima kasih.

"Maksud diakan kau yang membantu menggaruk, Jun!" Celetuk Jinily.

"Tapi sayang, dia lebih suka membelaiku daripada menanggapi ulat bulu!" Tambah Jinily terarah pada Lanaya.

"KAU!!" Geram Lanaya mengepalkan tangan.

"Sudahlah kekasihku, kau naik saja kepunggungku, kita lanjutkan perjalanan!" Junali berkata sambil mengambil ransel yang ia turunkan saat duduk mengikuti Jinily sebelumnya.

"Lalu aku bagaimana? Aku juga lelah Jun, aku juga perempuan sama seperti dia!" Keluh Lanaya dengan wajah memelas.

"Kau bilang kau supergirl yang tak akan merepotkanku, kalau begitu, kau bawakan ranselku, nih!" Junali menyerahkan ranselnya pada Lanaya.

Wajah memelas Lanaya berubah menjadi kesal. Junali tak peduli. Ia sudah menduga wajah memelas itu hanya akting saja.

Dengan berat hati Lanaya menerima ransel lalu sebentar saja ransel itu berpindah kepunggungnya. Dia melangkah dibelakang Junali dimana Jinily bertengger dipunggungnya. Pemandangan menyebalkan tapi ia tak berdaya karna tak sanggup mensejajarkan langkah dengan Junali apalagi mendahuluinya.

Beberapa kali Lanaya menendang ranting, bukannya rantingnya yang melayang, malah kakinya berbenturan dengan batu.

"Aduhhh, Jun!"

Beberapa kali ia mencari perhatian bahkan sempat kakinya mengait ranting dan terjerembab. Junali sempat berbalik namun ia meneruskan langkahnya sambil berteriak, "kalau kau berulah terus, kau akan tertinggal sendirian, dan srigala jadi-jadian akan memangsamu!"

Lanaya segera berdiri. Ia hanya pura-pura kesakitan. Sakit memang, tapi tidak sampai mencederai kakinya. Daripada diserang srigala jadi-jadian lebih baik ia tetap mengikuti dua sejoli yang membuatnya hampir benar-benar gila karna menempel terus seolah menganggapnya tak ada.

Berbagai cara sudah ia lakukan agar Junali dan Jinily tidak bisa drama didepannya, meski yang drama sebenarnya adalah dirinya.
Ia ingin Junali tahu ia sederajat dengan Jinily karna sebagai pelayan hanyalah menyamar.

"Jangan mentang-mentang dia putri kau lebih memilihnya menjadi kekasihmu!" Cecarnya  saat melihat Junali dan Jinily berikrar sebagai sepasang kekasih didepan hidungnya.

"Aku lebih dulu kenal dia daripada kau!" Sahut Junali.

Sebetulnya saat itu ia ingin fokus pada Jinily yang baru saja ia akui sebagai kekasihnya.

"Cinta tidak pandang waktu, bukankah cinta pandangan pertama itu mungkin, buktinya kau membuatnya cemburu saat perhatian padaku ketika kita pertama bertemu di Castil!" Cecar Lanaya.

Rupanya kesan pertama di Castil sudah membuat Lanaya tergoda pada Junali. Diam-diam ia sadar ada Putri Ily yang mampu ia lihat meski saat itu tak ada yang bisa melihatnya. Diam-diam, ia mencuri dengar apa yang mereka perdebatkan. Diam-diam, ia mengetahui alasan kenapa sampai Junali tidur dibawah. Diam-diam, ia menyadari kalau Liliput seorang pria.

"Tidak ada yang mengalihkan duniaku selain memandangnya!"

Junali berkata seraya menyentuh wajah Jinily.

"Bukan pandangan pertama ataupun bukan karna dia putri!" Lanjut Junali dengan telunjuk yang menggesek pangkal hidung Jinily yang runcing.

"Tapi karna selama berada disini dia tak mengajak serta keputriannya, dia patuh padaku yang bukan siapa-siapa bahkan tak punya apa-apa!" Tutur Junali serius.

"Junn...." sela Jinily tak ingin Junali merendahkan dirinya.

"Sttttt!" Telunjuk Junali mendarat dibibir tipis Jinily memotong ucapnya, seolah ia mengerti Jinily tak ingin dipuji sedemikian rupa dan tak ingin Junali merendah sedemikian rupa.

"Rumah ini warisan, aku tak punya apa-apa!" Ucap Junali merangkum wajah Jinily.

"Akupun hanya membawa diriku saja, aku menumpang padamu!" Balas Jinily sambil mengangkat tangan memyentuh lengan Junali yang menangkup wajahnya.

"Aku akan bertanggung jawab selama kau disini!" Janji Junali makin menunduk hingga runcing ujung hidung mereka beradu.

"Aku percaya!" Lirih Jinily merapatkan kelopak netranya yang mengabur sebab tak berjarak. Tubuhnya merinding saat filtrum-nya tersentuh kenyal Junali.

"Uuuhhhh!!" Lanaya menggepal tangannya kuat-kuat hingga didepan dada dengan wajah memerah akibat adegan bertemunya tiga indera dari dua orang lawan jenis didepannya.

Sampai Lanaya dengan sikap tubuh kasar meninggalkan kamar saat itu,  Junali dan Jinily seolah tak terganggu dengan kehadirannya.

Membuka mata sambil menarik nafasnya dalam-dalam untuk menetralkan detak jantungnya, Junali melihat Jinily melakukan hal yang sama. Saat lensa mereka bertemu Jinily menggigit bibirnya menahan sipu yang tak tahu malu menyebabkan semburat pink merayap diwajah halusnya. Junali mencubit dagu yang tertunduk  menghindari binar lensa lentiknya.

"Junnnn, aku lelahhhh, tasmu beratttt!" Jerit Lanaya lagi menepis ingatan serta penyesalan kenapa ia memilih tersiksa dan ada diantara dua orang yang sedang dimabuk cinta?!

"Aku menyesaaaaaal kembali bersama kalian!!"

Lanaya menjerit. Bagaimana tidak menyesal, diantara dua orang yang sedang berdua-duaan, yang ketiga adalah setan. Dan Lanaya tidak ingin jadi yang ketiga itu apalagi dianggap antara ada dan tiada.

"Simpan jeritanmu itu Lanaya, kau sendiri yang memaksa, bukankah sudah aku peringatkan? Nikmati saja seolah kau sedang nonton drama korea!"

#########
Banjarmasin, 24 Desember 2020

Perjalanan menuju Castil belum berakhir. Siksa apalagi yang akan diterima Lanaya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top