21#Hottra

"Jawaban apa yang ingin kau dengar? Apa kau percaya kalau aku lebih suka melalui hari-hariku seperti saat ini, ada kau yang sedang menunggu aku pulang jika aku berada diluar?"

Mendadak Jinily seolah tak memiliki pita suara, bahkan merasa memiliki gendang telinga yang masih berfungsi dengan baik saja ia seakan meragukannya mendengar ucap Junali. Benarkah ucapnya itu? Kenapa ucapan sesederhana itu mampu membuat dadanya bergeluduk seperti petir diluar sana yang terdengar jauh. Kepalanya tertunduk, netranya sulit untuk sekedar bergeser menemukan netra lain yang baru saja berucap. Apakah ia terlalu berlebihan menganggap ada yang istimewa dari kosakata yang sudah ia dengar?

Ah. Jinily menghela napasnya. Rasanya tidak mungkin ucapannya itu mengandung makna tertentu. Ia seorang putri yang sedang dikutuk. Seorang putri yang tidak normal. Ia seolah bukan manusia. Bagaimana mungkin.....

"Kenapa?"

Tanya terdengar lemah saat ia rasakan lengannya disentuh. Lensa Jinily akhirnya bergerak akibat jari hangat yang menyentuhnya.

"Tii... tidak..." geleng Jinily saat berhasil menemukan lensa lain yang tak berkedip menyergap lensanya.

"Kau tak percaya apa yang aku ucapkan?" Tanya Junali masih dengan lekat tatapnya yang makin membuat Jinily merasa tak berdaya.

"Aku... aku ini tidak normal!" Degup jantung yang tak beraturan akibat tatap dan ucap yang bersamaan membuat Jinily makin gugup dan tergagap.

"Tidak normal bagaimana?" Junali mengeryitkan alisnya. Ia berusaha bangun dari berbaring dan duduk sambil tetap menatap Jinily.

"Aku ini bukan gadis normal Jun. Bagaimana bisa disebut normal? Tidur saja masih didalam toples!" Tutur Jinily.

Sejujurnya ia merasa bersedih menyadari bahwa dirinya bukanlah manusia yang normal.

"Ya kalau begitu tidak usah tidur ditoples! Bisakan?"

"Junn, jangan bercandaaa...."

"Aku serius, kalau bisa tidur diluar toples kenapa harus didalam toples? Toples itu hanya membuatmu merasa berbeda!" Ucap Junali terdengar serius.

Jinily menatapnya tanpa kedip. Tidak ada nada bergurau tetapi entahlah, ia merasa Junali hanya memaksakan diri agar ia merasa normal.

"Heii aku benar-benar serius!" Ujar Junali lagi meyakinkan kalau tidak ada gurauan dalam ucapnya. Ia ingin menganggap Jinily normal meski pada kenyataannya tidak seperti itu.

"Lalu aku tidur dimana? Aku tidak bisa tidur dikamar sebelah yang besar dannn ...." Jinily menggantung ucapannya teringat saat hari pertama mencoba tidur dikamar sebelah. Kamar kosong orangtua Junali yang telah lama tidak ditempati.

"Mau tidur disampingku?"

Jinily melebarkan matanya. Ditelinganya ucap Junali adalah sebuah gurauan yang tak lucu baginya. Apalagi tatap matanya seolah menggoda.

"Dasar Mesum!!" Jinily berdiri dan menghentakkan kakinya merasa Junali mempermainkannya.

"Mau kemana, kenapa merajuk? Akukan cuma bercanda!" Junali meraih tangan Jinily saat Jinily terlihat ingin angkat kaki dari hadapannya.

"Aku sedang serius, kenapa kau malah bercanda, artinya kau hanya sedang main-main sekarang, ucapanmu tidak bisa dipegang," cemooh Jinily tak suka lalu menarik tangannya agar terlepas dari genggaman Junali.

"Tidakkkk!" Sanggah Junali mengeratkan genggamannya.

"Apa yang tidakkk? Raut wajahmu itu tidak bisa berbohong!" Protes Jinily menghempaskan kembali dirinya ditepi tempat tidur.

"Yaa maaff!" Pinta Ali dengan wajah yang sama sekali tidak bisa menahan senyumnya.

"Minta maaf saja terdengar dan terlihat tidak tulus!" Rutuk Jinily masih tidak terima melihat wajah Junali yang sedang menggigit bibir bawahnya seolah-olah menahan tawa. Bagi Jinily wajah itu tersirat sedang tidak seserius dirinya.

"Yang tulus itu seperti apaaa?" Tanya Junali benar-benar berusaha mencoba menahan senyum kembali menggigit bibir bawahnya melihat Jinily tersungut lucu dimatanya.

"Yang tidak senyum-senyum dan menjaga bicaranya agar tidak memancing kerusuhan denganku!" jawab Jinily dengan nada yang masih tidak bisa menerima senyum diwajah Junali.

"Aku sedang serius...," ujar Junali  menatap Jinily yang masih cemberut.

"Kalau serius, kenapa senyum-senyum?" Bantah Jinily dengan nada marah tapi terdengar manja.

"Aku senyum karna aku memikirkan kalau aku sedang bicara bukan dengan manusia sekarang!" Sahut Junali sambil memiringkan wajahnya.

"Apaa katamu?? Kau..." Tunjuk Jinily melebarkan matanya. Ia benar-benar merasa setiap ucap Junali sebenarnya tidak seserius yang ia pikirkan.

"Bukan manusia, tapi kau angel!"

Kali ini Jinily terdiam. Meski hampir saja ia membantah mendengar awal dari ucapan Junali, sebelum kalimat akhirnya membuat ia bungkam.

"Apalagi? Aku tidak serius bagaimana? Kau bukan manusia, sudah jelas bukan, bagiku kau itu Angel!"

Jinily menutup sebagian wajahnya dengan sebelah tangannya. Angel. Malaikat.

"Kau Angel dari Castil, Angel yang terluka, Angel yang..."

"Ahhh, kau iniii!" Jinily seakan merasa malu mendengar serentet puji yang dilontarkan Junali padanya. Entah itu namanya melayang, gede rasa atau apapun itu namanya, ia tak pernah merasakan dipuji sedemikian rupa meski oleh Shazan sekalipun. Mereka pasangan castil yang kaku dan dikelilingi oleh aturan.

"Dan aku akan bersamamu kembali ke Castil, Lanaya ada benarnya, tugasmu belum selesai, kau harus amankan Castil sebelum lebih banyak lagi korban!" Junali memegang bahu Jinily sambil berkata dengan nada yang benar-benar serius kali ini.
Ia takkan membiarkan Jinily kembali ke Castil tanpa dirinya. Ia serius dengan perkataan kalau ia tidak siap dengan ketidak hadiran Jinily saat ia kembali kerumah, karna ia merasa hari-harinya terlengkapi saat ada yang menunggunya pulang kerumah.
Lagipula tidak mungkin Jinily tidak melepaskan kutukan selamanya. Tidak mungkin ia tidur didalam toples sampai seumur hidupnya.

DUGGGG!!

"Junnn!"

Teriakan Jinily tertahan saat Junali refleks meraih toples diatas nakas dan melemparnya hingga terpantul kedinding dan benda itu tidak pecah justru menggelinding.

"Kau takkan bisa memecahkan toples itu untuk membebaskan aku, kalau kita tidak melepaskan kutukannya, Jun!" Ucap Jinily dengan suara bergetar. Ia makin menyadari kalau ia benar-benar tak normal. Toplesnya tidak mudah dipecahkan atau dihilangkan meski dibuang jauh-jauh.

"Aku akan menemanimu, untuk melepaskan kutukan itu, agar kau tidak merasa berbeda, putri Ily!"

Jinily tertegun mendengar Junali menyebutnya putri Ily. Ah, kenapa ia merasa dipanggil Jinily lebih manis? Membuat ia seperti manusia biasa justru.

"Putri Ily?" Desis Jinily nyaris tak terdengar.

"Iyaa, kau putri!" Junali menyentuh pipi Jinily dengan ujung jari-jarinya.

"Tapi aku masih dikutuk, kau bilang selama masih dikutuk, berarti aku Jin!" Jinily meraih jemari yang masih menyentuh pipinya itu.

"Aku akan menemanimu sampai kutukanmu berakhir!"

Junali berkata dengan yakin, kalau kali ini menemani Jinily kembali ke Castil tanpa paksaan seperti sebelumnya. Ia menemani Jinily dengan tanggung jawab.

"Janji, apapun yang terjadi kau tetap temani aku, Jun?" Tanya Jinily saat netranya serasa kabur.

"Tentu, aku janji! Pegang saja kata-kataku!" Janji Junali pasti.

"Terima Kasih, Jun, aku beruntung tidak sendirian setelah semuanya hilang dari hidupku!" Bisik Jinily kelu.

Sesaat ia teringat apa yang sudah hilang darinya.

"Ada aku!" Junali berkata selirih Jinily lalu tubuh mereka tak berjarak saat dekapan hangat mengiringi ucap terakhir mereka.

Berdetik-detik pelukan itu membuat mood mereka membaik. Junalipun tak menyadari sedari tadi tak ada batuk yang sebelumnya seolah mengganggu. Rupanya tubuh mereka sama-sama memproduksi hormon oxytocin yang membuat kepercayaan mereka pada satu dan yang lain meningkat disamping mood mereka yang membaik saat sedang saling mencurahkan isi hati dan berpelukan.

Sesaat denyut dijantung Jinily bagai berhenti saat ia mendongak menatap Jinily yang sedang menatapnya lekat-lekat. Napas mereka yang hangat seolah bertabrakan diantara jarak yang tertinggal sedikit saja.

KRIUKKK!

Batuk karna flu berat Junali dan denyut dijantung Jinily, tidak mengganggu, ternyata mereka harus terganggu dengan suara perut Junali yang bernyanyi.
Sesungguhnya ada lega karna sesaat tadi Jinily seolah kehabisan napasnya.

"Kau lapar? Ohya, kau harus minum obat, aku harus membuatkanmu bubur, aku sampai lupa!" Jinily melepas pelukan dan beranjak berdiri.

"Kau tunggu disini ya, sebentar aku buatkan dulu!"

Didepan pintu Jinily berbalik lalu cepat-cepat pergi keluar kamar tanpa menunggu jawaban Junali lalu menuju dapur, meninggalkannya yang termangu, sendirian.

"Jinily, putri Ily, my angel ...."

Junali memegang dadanya sendiri. Degupannya tak biasa. Sedari tadi ia tak bisa menahan napas yang terhembus hangat. Degupannya mengalahkan geluduk petir yang bersahutan bahkan cuaca tak menghentikan basah tubuhnya yang dialiri keringat.

Junali melepas pakaian yang dikenakannya. Mendadak ia merasa tak butuh jaket tebal dan pakaian yang saat ini melekat ditubuhnya. Mendadak ia tak merasa tubuhnya sedang tidak nyaman.

Senyum mengembang dibibirnya teringat Jinily. Pembicaraan mereka memang belum tuntas, tetapi ia merasakan sesuatu yang berbeda yang hanya butuh waktu sesaat lagi untuk memastikan.

Junali melangkah menuju jendela dimana gordennya masih terbuka hingga rintik diluar sana jelas terlihat.

"Putri Ily ya kau putri, bukan Jin!" Lirih Junali menyebut namanya lagi.

Junali memejamkan mata. Ia ingin berkesempatan mengatakan lebih banyak lagi apa yang ia rasakan selama bersama dengan putri castil itu. Putri yang diam-diam membuat ia khawatir jika ia terlambat pulang kerumah. Putri yang membuat ia cemas kalau-kalau saat ia kembali sudah tidak ada didalam rumah karna kembali diam-diam dengan menjentikkan jarinya.

Junali yang bertelanjang dada,  sesaat menegang karna ia merasakan punggungnya disenderi sesosok tubuh dari belakang. Hangat menerpa dari hembusan udara yang ia perkirakan dari hidung runcing yang menyentuh punggungnya.

"Apa yang kalian lakukan???"

Junali nampak kaget berbalik mendengar suara Jinily.
Jinily berdiri didepan pintu yang terbuka dengan tangan membawa nampan berisi bubur buatannya untuk Junali. Tangannya nampak gemetar menahan agar nampan itu tak terjatuh karna pemandangan didepannya sungguh membuat jantungnya hampir jatuh.

"Ya Tuhan, kenapa kau disini?"

Junali mendorong tubuh yang tadi mendekap punggungnya. Ternyata ia salah mengira. Ia pikir Jinily yang datang memasuki kamar dan mendekap punggungnya. Ia tak pernah berpikir kalau yang datang ternyata...

"Lanaya, kenapa masuk kekamarku tanpa mengetuk pintu???" Geram Junali benar-benar tak menyangka.

Lanaya tersenyum sinis. Ada apa dengannya? Sementara Junali cemas menghampiri Jinily yang hampir saja membanting nampan ditangannya. Ia cepat-cepat mengambil nampan lalu menaruhnya diatas nakas dan mencegah langkah Jinily.

"Kau benar-benar bergurau ternyata, Jun!" Ungkap Jinily dengan dada yang sesak.

"Bukan seperti yang kau lihat!" Bantah Junali.

"Kauu...." Jinily tak sanggup mengungkapkan apa yang ada dipikirannya.

Melihat Lanaya bersedekap dengan wajah tersirat kemenangan karna membuat Jinily dan Junali berhadapan dengan wajah tegang, Jinily merasa sangat terbakar.

Jinily menghampiri Lanaya dan....

Plakkk!

Lanaya tetap tersenyum meski telapak tangan Jinily telah melayang kewajahnya.

"Apa maksudmu, jalang?" Desis Jinily marah dengan sikap Lanaya yang seolah menantangnya.

"Kau bilang aku jalang, kau berlama-lama dengannya dikamar ini untuk apa?" Sahut Lanaya tak merasa bersalah.

Ia hanya merasa Jinily dan Junali terlalu lama meninggalkannya. Ia menyusul dan menemukan Junali berdiri membelakangi pintu dengan bertelanjang dada. Dari belakang saja punggungnya nampak menggoda untuk disandari.

"Mau lama atau sebentar itu bukan urusanmu, Lanaya!" Junali yang menyahut lalu menarik lengan Jinily menjauhi Lanaya.

"Urusanku kalau aku berada disini!"Ucap Lanaya.

"Kau ini kenapa? Kau gila ya datang kesini hanya untuk mengacau saja!" Junali semakin geram pada Lanaya. Gadis yang terkesan polos saat menjadi pelayan di Castil ternyata tidak selugu kelihatannya.

"Aku takkan membiarkan dia hidup tenang dan tak mau kembali ke Castil hanya karna dirimu!" Ucap Lanaya tanpa basa basi.

"Ya Tuhannn!" Junali menutup wajahnya sesaat lalu menghempaskan tangannya tak mengerti. 

"Dia akan kembali ke Castil denganku! Kau pergi saja duluan!" Ucap Junali akhirnya.

"Aku tidak percaya jika tidak pergi bersama kalian!" Tolak Lanaya keras kepala.

"Lanaya, kau akan menyesal jika bersama dengan kami!" Ucap Junali lagi.

"Kenapa harus menyesal? Aku lebih tenang jika bersama kalian, aku tidak akan cemas akan kalian bohongi!" Ujar Lanaya dengan senyum arogan.

"Kami ini sepasang kekasih Lanaya, apa kau akan kuat melihat kami berdua? Kau mau jadi obat nyamuk bakar?"

Jinily menengadah menatap Junali mendengar ucapnya. Sementara kecut bertaburan dari raut wajah Lanaya. Tanpa sadar ia akan menjadi saksi dari sebuah kepastian.

"Benar begitu bukan? Kau kekasihku?" Lirih Junali berucap saat menunduk menyentuh dagu Jinily dengan ujung jarinya.

Ini adalah seolah sebuah pernyataan yang tertunda. Ini ikrar yang dikemas tak biasa. Bukan dengan aku cinta padamu. Tetapi dengan sebuah pengakuan kepemilikan. Sebuah kecupan mendarat dianak rambut yang jatuh dikening Jinily tanpa penolakan lalu berakhir dengan sebuah pelukan.

Sesaat tenggelam dalam hangat tanpa helaian penutup yang mengurungnya, Jinily melonggarkan lalu menengadah menatap netra lentik yang sudah mengunci pandangannya.

"Iya, kau kekasihku!"

#########
Banjarmasin, 20 Desember 2020

Bagaimanakah perjalanan Junali dan Jinily kembali ke Castil sebagai sepasang kekasih dimana ada obat nyamuk yang mengawalnya?
Sampai jumpa di bagian 22

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top