17#Hottra
"Teman itu bukan sedikit-sedikit ingin pergi berlalu, kau kira tempat ini persinggahan semu? Ini duniaku, kalau diduniamu, aku yang menurut padamu, diduniaku kau yang harus menurut apa kataku!"
Jinily terdiam. Mencoba menyadari saat ini posisinya.
'Benar, ini dunianya, bukan duniaku!'
Helaan nafasnya terdengar kasar. Terhembus begitu saja dan hembusan hangat itu menyentuh kulit Junali yang dingin. Sebelah lengan mendekapnya, sebelah lagi menyelip dijarinya. Sesaat Jinily melihat pori-pori kulit lengan Junali mengembang.
Jinily melepaskan tubuh dingin itu. Mengurai selipan jari dengan dingin yang saling membentur. Ia membalikkan badan membelakangi Junali yang membiarkan uraian itu.
Junali berharap Jinily tak terpaksa tinggal karna tuturnya. Kalau tidak mau menurut, berarti pergi memang sudah pilihannya. Ia tak berhak untuk menahan gadis itu kembali ke dunianya. Dunia Castil. Dunia 1hari sama dengan 30hari.
"Kalau ingin pergi, aku tak akan menahanmu!" Ucap Junali akhirnya sambil menatap nanar punggung Jinily.
Jinily merasa ada yang sakit didalam dadanya. Sesak sesaat. Entahlah. Kenapa Junali begitu cepat berubah? Baru saja menahan, sekarang berkata tidak akan menahan.
"Plin plan!"
"Plin plan?" Ulang Junali mendengar ucap Jinily.
Plin plan bagaimana? Junali merasa sudah berusaha menahannya. Dia kira menahan tangannya untuk tidak menjentik itu untuk apa? Dia kira mendekapnya agar tak pergi itu untuk apa? Tapi Jinily justru melepaskannya bahkan membalik badan seolah tak ingin menatapnya.
"Untuk apa kau menghentikan jentikan jariku kalau kau sekarang bicara tak akan menahan?" Jinily membalik badannya lagi menghadap Junali.
"Kalau kau merasa terpaksa, aku harus bagaimana? Aku hanya ingin yang bertanggung jawab mencari makan disini aku, bukan dimanjakan dengan jentikan jarimu itu!" Cecar Junali mengulang kembali harapnya.
Jinily terlihat membuang pandangannya kearah lain. Bagi Junali sikapnya itu seakan melengos tak sudi menatapnya. Sekeras kepala itukah Jinily? Merasa harus lebih dominan? Ah tidak. Mereka pasti selalu akan berbenturan kalau tidak ada yang mau mengalah.
"CK. Ok, aku pergi!" Jinily berbalik dengan kecewa. Junali tidak benar-benar menginginkannya tinggal.
"Hei!!"
Jinily hampir menarik bibirnya. Tersenyum tipis-tipis, mendengar Junali berteriak seolah menahannya, saat ia mengangkat tangan ingin menjentikkan jarinya.
"Sebelum pergi kau harus habiskan dulu makanan itu!"
Napas Jinily kembali terhempas dengan dada yang nampak turun naik saat menarik dan mengeluarkan udara.
"Kau benar-benar tak sudi memakannya? Mhhh, padahal aku sudah buatkan sepenuh hati! Kau pikir menjentikkan jari sambil memikirkan makanan yang enak itu mudah?" Tukas Jinily dengan nada dibuat kesal bukan memelas.
"Bukan tidak sudi, makanku tak banyak, kalau aku tak sanggup menghabiskan, siapa yang menghabiskannya? Mubazir!" Balas Junali.
Jinily tak tahu saja, selain karna hal itu, sesungguhnya Junali tidak ingin dia pergi tapi untuk memaksanya tinggal merasa tak ada daya.
"Ya sudah, aku akan menemanimu makan! Tapi kalau kau telanjang begitu bagaimana aku bisa makan?"
Junali melebarkan mata. Telanjang katanya. Enak saja. Memangnya ia tak melihat handuk yang melingkar dipinggangnya ini. Atau jangan-jangan sedari tadi Jinily seolah tak melihatnya?
"Apa maksudmu? Jangan sampai ya kau sempat menjentikkan jarimu sambil berpikir 'Junali seolah tak pakai apa-apa'!" Tuduh Junali dengan mata yang melotot.
"Enak sajaa, kau yang sedari tadi mesum, sambil memelukku saja kau sempat merinding bukan?" Dasar Cabul!!" Sergah Jinily tak mau kalah. Akhirnya apa yang membuatnya seolah membuang muka tadi hampir saja ia ungkapkan.
Saat melihat pori-pori kulit Junali melebar, bulu kuduk Jinily ikut meremang. Itulah sebabnya ia melepas pelukan Junali dan membalik badan sambil mengusap lengannya yang dingin akibat bersentuhan dengan kulit lembab sehabis mandi Junali.
"Itu karna kau menghempas napasmu terlalu keras dan mengenai kulitku!" Junali membela diri, "kau saja yang mesum! Cabul teriak cabul!" Lanjut Junali balas menyergah.
"Mau ditemani makan tidak? Kalau iya cepat pakai baju sana, nanti masuk angin minta kerokin, bilang saja kau ingin aku tetap disini!" Ancam Jinily sekaligus menuduh.
"Terlalu percaya diri! Dasar Jin cabul, teramat fokus dengan roti sobek orang!" Balas Junali tak mau kalah.
"Apa? Roti sobek? Roti sobek itu tanpa lemak, buncit begitu mengaku sixpack!" Cicit Jinily makin tak sabar.
"Kau!!" Tunjuk Junali sama tak sabar.
"Pakai baju tidak? Kalau terlalu lama akuu..."
"Iya, iyaa! Aku kekamarku, awas kalau berani-berani pergi, apa aku harus bawa jarimu supaya tidak bisa menjentik?" Junali balik mengancam setelah memotong ancaman Jinily.
"Enak saja, kau ituu...!"
KRIUUKKK!
Kali ini yang memotong ucap Jinily adalah teriakan dari yang disebut roti sobek oleh Junali itu. Jinily menatap perut dimana terdapat gundukan yang menyangga handuk. Junalipun menunduk kearah yang sama.
"Pakai baju sana, nanti cacingmu komplin lagi!"
Junali menahan tarikan bibirnya. Cacing disebut, Junali bukan teringat pada cacing-cacing yang baru saja berteriak minta diisi, tetapi...
"Jangan cabulll!"
"Apa sih? Sedari tadi cabul-cabul terus! Mau aku buka handukku biar kau lihat cacing yang lebih besar?"
"EEEEE!" Jinily menutup wajahnya terkejut melihat Junali seolah ingin membuka lilitan handuk dipinggangnya.
Tapi tawa terdengar panjang dan menjauh sesaat setelah Jinily hanya menahan napas dengan tangan yang masih menutup netranya.
"Dasar cabul!"
Jinily menghela napasnya lega saat mengintip dari balik jarinya Junali pergi menjauh, sebelum ia mengumpat dan menggenggam tangannya kearah kemana perginya pria itu.
"Lama-lama mungkin bisa gila hidup dengan pria cabul seperti dia!" Umpat Jinily sambil memegang dadanya yang bergemuruh karna sedari tadi menarik urat leher melulu dengan Junali.
Menggelengkan kepala, ia melangkah kearah meja makan. Jinily menata kembali hidangan diatas meja meski sudah tertata.
"Ada-ada saja!"
Jinily duduk didepan meja yang penuh hidangan. Akhirnya, setelah makanan itu mereka makan bersama, apakah ia benar-benar harus pergi? Sebenarnya apa susahnya menurut pada Junali? Lagipula kan dia cuma meminta dia yang mencari duit buat makan mereka, kenapa ia memaksa memberi jalan pintas dengan jentikan jarinya. Harusnya jentikan jarinya ia gunakan untuk dalam keadaan gawat darurat saja. Seharusnya ia bisa mengendalikan jari-jarinya.
"Mhhh!" Jinily melenguh sambil menyangga keningnya dengan jari dimana sikunya menyangga meja. Padahal ia bermaksud baik. Ingin memberi solusi karna mereka sedang kelaparan bukan ingin membuat Junali merasa tidak bisa bertanggung jawab.
Jinily mengangkat tangan lalu memandangi ibu jari dan telunjuknya.
"Hanya gara-gara jari..."
"Mau pergi tanpa pamit?"
Jinily terhenyak mendengar tuduhan Junali yang datang dari belokan kamarnya memasuki area dapur dimana terdapat meja makan yang ada dihadapan Jinily. Dengan kaos hitam yang pas ditubuhnya dan celana selutut longgar, Junali mendekat.
"Tii...dak, kenapa menuduh sembarangan?"
"Iyakan sedari tadi pikiranmu tak pernah disini, masih memikirkan kekasihmu makanya kau memilih kembali kesana?"
Junali menuduh lagi membuat Jinily mengeryit. Apa katanya? Memikirkan Shazan? Tidak sama sekali.
"Bila terlalu lama berpikir artinya iya!"
"Tidak sama sekali!" Tegas Jinily sebenar-benarnya. Sama sekali ia tak terpikir ingin kembali ke Castik karna Shazan. Ia ingin kembali karna sudah tidak ada pilihan lain.
"Lalu kenapa kau harus pergi?" Junali bertanya.
"CK, pertanyaanmu seolah aku yang ingin!" Jinily berdecak.
"Yakan... kau..."
KRIUKK!
Lagi-lagi perut Junali bernyanyi tanpa kompromi.
"Lebih baik makan dulu, perut lapar membuat kau tak dapat berpikir jernih!"
Jinily mengambil piring kosong lalu menaruhnya didepan Junali. Ia mengambil tempat berisi nasi putih dan menuangkannya dipirimg tersebut.
"Ayo makan, jangan dilihat saja! Ini enak, aku membayangkan ayam yang digoreng dengan lengkuas yang di parut dan dimasak bareng dengan ayam nya. Wanginya pun pasti menggugah selera, makanya perutmu sedari tadi protes terus, apalagi kau seolah lima belas hari tidak makan bukan, ayam inii..."
"CK. Kapan aku bisa makan kalau kau bicara terus?" Potong Junali sambil berdecak mendengar Jinily mengoceh tak henti-henti.
Meski begitu, Jinily tersenyum senang saat Junali mulai menikmati hasil jentikan jarinya dengan lahap.
"Enak?" Jinily bertanya dengan menyamarkan senyumnya saat Junali menatap dengan kepala yang masih menunduk hampir menyuap makanannya.
"Kenapa kau tidak mencoba sendiri? Memangnya kau tidak lapar?" Junali balik bertanya dengan sendok yang menggantung diudara. Ia menatap Jinily yang hanya melihatnya makan dengan heran. Mau tahu enak atau tidakkan harusnya dicoba sendiri.
"Aku cuma mau tahu, apa isi pikiranku sama dengan seleramu?" Ujar Jinily lagi.
"Maksudnya bagaimana? Nih, coba sendiri!" Junali mengulurkan sendok berisi nasi dan lauk yang harusnya hampir masuk kedalam mulutnya, demi agar Jinily mencoba sendiri.
Meski maksud Jinily, bukan seperti yang dimaksud Junali, ia menerima juga suapan dari sendok yang diulurkan pria itu.
"Maksud aku, kan rasa makanan ini hasil dari pikiranku sebelum menjentikkan jari, Jun, apa kau suka?"
"Kau suka tidak setelah merasakannya?"
"Suka, kan seleraku!"
"Aku juga suka!"
"Benarkah?"
"Tapiii... bohong!"
Jinily melebarkan matanya, tepat saat Junali tertawa melihat Jinily yang seolah protes. Jinily meraih serbet dan melemparkannya pada Junali. Junali menyambut serbet dengan tawa tak lepas. Entah kenapa ia suka melihat Junali tertawa. Tawanya terdengar renyah seolah tanpa beban dan menular, meski ia menahan agar tetap cemberut.
"Ya sudah, kau tidak usah makan, biar makanannya tidak habis dan kau tidak jadi kembali ke Castil, kau disini saja, Jin!"
#######
Dalam perjalanan, dari Kota Baru kembali ke Banjarmasin, 21 Nopember 2020
Haiii...
Masya Allah, sudah hampir setengah bulan ya tidak update.
Kebeneran pas liburan ke Jawa Timur kemarin, aku lanjut kegiatan organisasi ke kabupaten Kota Baru, 6 jam perjalanan dari Banjarmasin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top