16#Hottra

"Jini!! Syukurlah!!"

Junali mendekap erat dengan perasaan girang seolah baru menemukan sesuatu setelah kehilangan.

Tubuh Junali menggoyang tubuh Jinily, dalam dekapannya yang sangat erat hingga Jinily tenggelam dalam lengannya yang merangkum kuat.

Sesungguhnya Jinily juga merasa kesenangan karna pertemuan mereka kembali. Namun tubuhnya terasa terhimpit dan kehabisan napas akibat rangkuman posesif itu. Hidungnya seolah tak dibiarkan mendapat udara. Jinily menggoyang kepala dan mengangkat dagunya membiarkan oksigen kembali memenuhi dadanya dengan udara.

"Mmhhhh, Junnn!" Jinily menggoyang tubuhnya melepas pelukan erat Junali.

"Kenapa? Kau tak suka bertemu lagi denganku?" Junali bertanya dengan nada khawatir.

Mendadak ia merasa percuma sudah merasa kehilangan lalu kesenangan karna bertemu kembali kalau ternyata Jinily tak mengharapkannya.

"Aku kehabisan napassss....." sahut Jinily sambil memukul lengan Junali.

Junali tertawa tanpa suara mendengar keluhan Jinily, tersadar ia sudah lupa diri memeluknya erat-erat sampai kehabisan napas.

"Ngekepnya keterlaluan, rindu padaku yaaaa?" Pertanyaan Jinily berbarengan dengan tatapnya kewajah Junali.

"OMG. Kenapa wajahmu??"

Belum sempat menjawab tanya Jinily, Jinily langsung saja mencercanya karna baru saja menyadari, wajah Junali menghitam. Dengan kedua tangan, ia menangkup wajah itu, lalu meringis karna terasa kasar.

Junali ikut menyentuh wajahnya dan merasakan kekasaran yang sama.

"Ternyata, aku sudah tiga bulan menghilang!" Tutur Junali membuat Jinily terlihat berpikir.

"Oh ya? Baru tiga hari, jadi 3bulan?" Rupanya Jinily juga baru menyadari akan hal itu.

"Harusnya kau jadi nenek-nenek karna umurmu 1hari sama dengan 30hari bukan? Tapi ini tidak?"

Junali memandangi Jinily dari ujung rambut keujung kakinya yang ditekuk. Kedua tangannya mengusap lengan Jinily. Seolah keheranan, tak ada perubahan pada Jinily.

"Aku menyesuaikan dengan dimana aku berada Juna, aku 24tahun, ya tetap saja 24 tahun, apalagi aku terkena kutukan lagi!" Tukas Jinily sambil beranjak duduk ditepi tempat tidur diiringi Junali.

"Lagi? Siapa yang mengutukmu? Bukankah Tungkara sudah binasa jadi abu?" Junali bertanya-tanya dengan nada heran.

Jinily terdiam sejenak. Sebenarnya ia enggan mengingat kembali mereka semua yang sudah menghancurkan kebahagiaannya di Castil tercinta.

"Shirin, Juna, iblis Tungkara merasukinya, ayahku ternyata hanya mayat hidup!" Jinily menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Sedih menyelip dalam benaknya tatkala mengingat kondisi ayahnya. Terlebih mengingat, pertemuannya dengan ayahnya tadi pagi waktu castil adalah terakhir kalinya. Itupun ayahnya tidak dalam keadaan sadar.

Junali menoleh pada Jinily yang terguncang karna sesegukan. 

"Aku sekarang benar-benar sendirian, Juna, meski aku dikutuk aku tak ingin melepaskan kutukanku dan kembali kesana!"

Jinily berkata disela isak yang terdengar sangat menyedihkan. Tentu, tak ada yang terisak karna bahagia. Menangis bahagiapun takkan terdengar terbata. Junali menarik napasnya sendiri karna merasa dadanya ikut sesak. Ia tahu pasti dan dapat membayangkan perasaan Jinily saat ini. Orangtua satu-satunya dinyatakan seperti 'mayat hidup', kakak satu-satunya merebut kebahagiaannya secara paksa,  lalu untuk apalagi Jinily kembali ke Castil, karna semua harapan bahagianya sudah tidak berada dalam genggamannya lagi.

Tak dapat berkata-kata, Junali hanya mengangkat sebelah tangan lalu telapak tangannya menyentuh puncak kepala Jinily. Jinily makin terisak meski tak ada kata belasungkawa dari Junali terhadapnya. Justru sikap kecil yang ditunjukkan Junali yang sangat berarti baginya.

Saat Junali menarik kepalanya, secara bersamaan Jinily menjatuhkan kepalanya direngkuhan Junali. Setelah mengusap kepalanya, Junali mengusap bahunya yang makin terguncang.

"Jangan bilang kau sendirian! Bukankah kau sekarang bersamaku?"

Akhirnya Junali dapat mengucapkan serangkaian kalimat setelah sekian waktu membiarkan Jinily menangis.

Sebenarnya Junali merasakan apa yang Jinily rasa. Ia tahu rasanya sendirian. Tapi ia laki-laki, tak mungkin menangisi kesepiannya. Mungkin caranya salah dengan menjerat gadis-gadis, lalu menghempaskannya begitu saja demi kesenangan, tapi begitulah caranya mengusir kesepian karna merasa sendiri.

"Kita ini sama-sama sendirian, Jini, kau tahu?"

Jinily menengadah menatap dagu menghitam Junali. Ia mencari kalimat yang tepat untuk bertanya kemana ayah ibunya? Apakah Junali tak punya saudara? Kenapa dia sendirian?

"Ayah ibuku sudah meninggal, aku tak punya saudara, aku hanya ditinggali rumah, tidak ada surat wasiat ditemukan didalam rumah ini, kerjaku tidak menentu, sesuka hati karna merasa tak ada yang membutuhkan aku untuk aku hidupi!"

Cerita Junali mengalir begitu saja. Seolah menjawab semua tanya Jinily yang hanya singgah dipikiran belum meluncur dari bibirnya yang mengatup. Junali ingin ia tahu,  Jinily memiliki teman senasib meski kasusnya berbeda.

"Jadi kau jangan pernah berkata kau sendirian lagi, kau punya teman senasib, aku!"

Junali menunduk menatap Jinily yang masih belum melepaskan tatapnya. Junali menghapus sisa airmata disudut netra Jinily.

"Temankuuuu!" Seru Jinily dengan  suara serak sambil mengeratkan pelukannya hingga hidungnya menggesek lipatan lengan yang mengeluarkan kelenjar apokrin.

"Ya, temankuuuuu!" Junali membalas lengan Jinily yang mengerat.

"Huuahhh, Junaa!!" Pekik Jinily mendadak melepas pelukan.

"Kenapa?" Junali refleks terkejut.

"Berarti kamu tidak mandi berapa lama?" Jinily berkata tapi dengan polosnya mendekatkan hidungnya ke ketiak Junali.

Junali mencium lengannya sendiri. Ia baru sadar, baunya sudah tidak sama dengan saat baru mandi. 12jam yang lalu waktu castil. Kalau 24jam sama dengan 30hari, berarti 15hari dia tak mandi.

Junali menunduk menatap Jinily yang menengadah menatapnya, masih betah dekat-dekat, kejahilan Junali kumat. Ia mengangkat lengannya, setelah itu menjepit kepala Jinily.

"Mmmmhhhhh, Junnaaaa!!!"

Jinily bergerak ingin melepaskan diri dari jepitan nakal ketiak yang mengandung kelenjar apokrin itu. Tahu kan kelenjar keringat bernama apokrin? kelenjar keringat apokrin terdapat pada bagian tubuh yang memiliki banyak folikel rambut seperti kulit kepala, pangkal paha, dan ketiak. Aromanya, tergantung produksi keringat dari orang tersebut. Bisa dibayangkan bukan?

"Habisnya sok-sokan!" Junali berkata saat Jinily berhasil melepaskan diri dari lengannya.

"Sok-sokan apa?" Jinily mencelos.

"Sok-sokan tidak suka bau ketiakku, tapi dari tadi nemplok keenakan!!" Tuduh Junali, membuat Jinily melebarkan mata terlebih mendengar tawanya yang menggoda.

"APA? Dasar cabul!!" Jinily menjewer telinga Junali.

"Adududuhhhh! Sakit nii, merah pasti kupingku!" Protes Junali.

"Biarin! Biar tahu rasa! Sana mandi!!"

Tunjuk Jinily menunjuk arah asal karna tak tahu kamar mandi berada dimana.

KRIUKKKK!!

Junali memegang perutnya, Jinily ikut memandang kearah yang terlihat rata itu.

"Lapar?" Jinily tak sengaja bergumam setengah bertanya.

"Sudah tahu nanya!" Tukas Junali.

"Ya kalau lapar makanlah!" Balas Jinily.

"Makan angin!" Sahut Junali asal.

"Ha? Maksudnya?" Jinily terperangah heran.

"Aku baru ingat! Aku tak punya persediaan makanan!" Tutur Junali Jujur.

"Ya, beli!"

Junali terdiam. Bukankah ia tak punya uang? Alangkah sombongnya dia tadi berkata Jinily tak sendirian. Dia sendiri saja tidak punya apa-apa, bagaimana kalau Jinily numpang tinggal bersamanya? Ia harus memberi makan Jinily dengan apa?

"Ehh, Jun! Mau kemana?"

Jinily tersentak karna Junali bergerak meninggalkannya melangkah menuju pintu kamar.

"Sebentar, aku mau cari duit dulu, setelah itu mau cari makanan buat kita!"

Beruntung meski dalam keadaan perut meronta-ronta minta diisi, pikirannya masih bisa berfungsi dengan baik. Ada rasa tanggung jawab karna bukan karna isi perutnya tapi ada perut lain yang harus ia pikirkan.

"Dengan perut yang lapar?" Terheran Jinily bertanya.

"Daripada kita kelaparan lebih lama, kalau aku diam saja, kita tak akan bisa ngisi perut kita dengan makanan!" Ungkap Junali lagi membuat Jinily merasakan ada denyut didalam nadinya yang menyentak.

"Jun!"

"Jin! Kalau aku sendirian dirumah menahan lapar tidak masalah, tapi tidak mungkin aku biarkan kau kelaparan...."

Jinily menatap Junali tanpa kedip. Bukan nadinya yang berdenyut kali ini, tapi jantungnya.

"Bisa tidak, kau mandi saja dulu!"

"Kalau aku mandi, nanti kitaa..."

"Jun, dengar aku kali ini, kau mandi dulu, bersihkan wajahmu, baru kau keluar rumah, kau akan lebih segar!"

"Aku..."

"Kalau aku jadi bebanmu, aku kembali saja ke Castil!"

"Eh, kenapa begitu?"

Junali menarik tangan Jinily yang seketika membalikkan badan entah apa yang mau dilakukannya. Kembali ke Castil? Junali tahu Jinily hanya akan menemukan luka disana.

"Aku akan mandi! Ya aku akan mandi!"

Junali mengalah, lalu melangkah mengambil handuk didalam lemarinya.

"Aku mandi, iyaa aku mandi!"

Sekali lagi Junali berkata melihat delikan mata Jinily, sambil menggantung handuk dipundaknya.

Junali melangkah keluar dari kamarnya. Tidak ada kamar mandi didalam kamarnya. Kamar mandi adanya didekat dapur.

"Sudah tiga bulan memangnya airnya masih bisa lancar!" Junali merasa was-was.

Jinily mendengar ucapan Junali sambil menggeleng.

Tik.
'Air, lancarlah mengalir!'

Jinily menjentikkan jarinya dan menyebut keinginannya.
Dan sepertinya berhasil. Karna didalam sana, terdengar bunyi cipratan air tanda Junali sudah membasahi tubuhnya.

Jinily tersenyum, melirik kearah kitchen set yang berdebu. Dapur yang tidak higienis karna selama 3bulan ditinggalkan.

Tik.
'Bersih, berkilau, harum dan segar!'

Seketika dapur nampak bersih dari debu, sarang laba-laba dan kelembapan.

"Beres!"

Jinily menuju lemari es.

"Astaga, bau apa ini?"

Dengan jentikan jarinya, Jinily membuat dapur yang tadinya nampak suram menjadi segar.

Meja makan berdebu, seketika mengkilap. Dengan taplak meja yang berkibar diudara sebelum membuat meja makan menjadi rapi, setelahnya meja tersebut dipenuhi makanan.

Tik.
"Beres!!"

Jinily menjentikkan jari-jarinya, lagi dan lagi, untuk membereskan semuanya. Ya, ia sedang dikutuk. Ia sedang memiliki kekuatan. Junali tak perlu buru-buru keluar untuk mencari uang dan makanan, untuk itulah ia memaksa Junali agar membersihkan dirinya terlebih dahulu, lalu ia membereskan semuanya.

"Jinily, apa yang kau lakukan?"

Jinily terkejut karna keasikannya memandangi makanan diatas meja dengan senyum puas mendengar ucap bernada tanya Junali.

"OMG! Kau porno!"

Jinily melebarkan matanya sambil menutup wajah dengan jari yang direnggangkan sedikit.

Didepannya menjulang Junali dengan handuk melilit dipinggang. Setengah badannya polos bahkan terlihat buliran bening dari leher menuju six-packnya. Six-pack? Ah, tidak, agak buncit sedikit. Jinily menarik bibirnya sedikit.

"Kenapa kau? Cabul!!" Cela Junali setelah ikut menunduk melihat buliran air yang mengalir itu.

"Idihh! Cabul teriak cabul!! Sana pakai baju!" Seru Jinily seraya mengusir Junali.

"Kau belum menjawab tanyaku? Apa-apaan ini?" Junali membalas dengan nada protes.

"Aku menyiapkannya untukmu, Jun!"

Junali memandangi meja makan. Ia menelan salivanya. Sesungguhnya semua terlihat menggiurkan, tapi naluri lelakinya sebagai penanggung jawab sepertinya terusik.

"Junn, kita sama-sama lapar, solusinya makanan, aku bisa membantu kita!" Jelas Jinily.

Ia menyadari saat wajah Junali menunjukkan ketegangan dengan berkacak pinggang. Ia berharap Junali memahami maksudnya. Ia ingat ketika berada didalam hutan, saat Junali protes dengan caranya melindungi mereka sementara Junali merasa dialah yang paling bertanggung jawab dengan keselamatan mereka berdua.

"Akukan sudah bilang, aku yang akan keluar dan mencari uang sekaligus makanan, Jini!"

"Junnn!"

"Sudahlah!"

Junali berbalik dan mulai melangkah meninggalkan tempat itu.

"Ya sudah kalau kau tak menghargai apa yang sudah aku lakukan!"

Junali menghentikan langkahnya mendengar ucap Jinily.

"Ketahui saja, aku hanya ingin peduli padamu, jika kau tak suka, aku kembali saja keduniaku, buat apa aku disini, kalau tidak kau butuhkan..." lirih Jinily berucap. Ia tak nyaman jika Junali tak menyukai apa yang sudah ia usahakan.

Padahal ia berkhayal Junali akan sangat senang karna hidangan lezat sudah tersedia meski ia tidak terlalu susah payah menjadi koki karna Jari dan pikirannya adalah koki otomatis saat ini.

Jinily mengangkat bahunya dengan wajah pasrah. Saat tangannya terangkat dan mulai menjentik, Junali berbalik.

"Heiii!! Apa-apaan kau ini!!"

Junali melangkah cepat dan menepis tangan Jinily yang hendak menjentik. Ia memegang jemari Jinily untuk mencegahnya menjentik dan pergi. Namun Jinily berkeras melepaskan jarinya dari selipan jari Junali yang dingin karna baru selesai mandi.

"Kenapa lagi sih, Jun? Kau itu tak butuh aku, aku hanya akan jadi benalu, dan aku tak mau!" Jerit Jinily disela usaha melepaskan diri tapi Junali erat menggenggamnya.

"Siapa yang mengatakan itu? Itu katamu bukan kataku!" Junali menatap Jinily saat gerakan memaksa melepaskan dirinya melemah karna Junali harus mendekapnya.

"Katamu aku temanmu, teman itu saling bantu, Jun, bukan menunggu!" Lirih ucap Jinily dalam dekap kulitnya yang membeku.

"Teman itu bukan sedikit-sedikit ingin pergi berlalu, kau kira tempat ini persinggahan semu? Ini duniaku, kalau diduniamu, aku yang menurut padamu, diduniaku kau yang harus menurut apa kataku!"

#########
Banjarmasin, 03 November 2020

Bagaimanakah kisah Juna dan Jini selanjutnya? Dapatkah mereka mempertemukan kesamaan visi dan misi hingga bisa sama-sama berdamai dengan hati dan tidak saling mengedepankan ego yang tinggi?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top