15#Hottra
"Junnnnnnnnnn!"
Jinily histeris tatkala menyadari ia memeluk ruang yang kosong. Junali menghilang. Junali kembali kedunianya. Jinily merasa tak percaya kalau ia melupakan sesuatu. Melupakan jika ia lepas dari kutukan, maka tugas Junalipun berakhir.
"Dia menghilang? Sebenarnya siapa dia?"
Terdengar pertanyaan dari Shirin. Sementara Jinily masih menutup wajah setelah menyadari kalau ia sudah ditinggalkan Junali.
"Apa dia yang membawamu pergi dari sini? Apa dia yang telah menculikmu?"
Kali ini pertanyaan berasal dari Shazan. Dan seketika Jinily merasa darahnya naik keubun-ubun. Kenapa menganggap Junali seperti itu? Kenapa Junali yang disalahkan?
"Apa katamu? Kau bilang dia menculik aku? Sebenarnya kau ini kenapa? Apa kau mudah dihasut? Dia bilang apa padamu sampai kau mau menikahinya dan melupakan aku??" Cerca Jinily dengan dada yang turun naik.
Rasanya ngos-ngosan karna ada sesak yang tertampung didadanya dan itu berupa amarah. Tangannya menunjuk Shirin saat mengatakan 'dia'.
"Yang bilang apa-apa bukan aku tapi Tungkara!" Shirin membela dirinya.
"Kau sama saja, mudah terhasut dengan si peot itu, kau sudah tahukan dia seperti apa? Dia tak peduli padamu, kau hampir saja mati karna dia rakus, sekarang temanku yang jadi korban!" Sentak Jinily berapi-api.
"Si peot siapa?" Tanya Shazan terheran-heran.
Jinily menghela napasnya. Shazan benar-benar tak tahu apa-apa. Dia tak tahu keberadaan Tungkara dan siapa dia sebenarnya.
"SHAZAN!"
Teriakan Shirin bukan hanya mengejutkan Shazan, Jinilypun terkejut.
Bahkan lebih terkejut lagi dengan apa yang ia lakukan selanjutnya. Telapak tangannya yang mengeluarkan cahaya kemerahan seketika menerjang kepala Shazan dan Shazanpun ambruk seketika setelah menggelepar dan mengerang dilantai.
"AAARRHHGG!!"
"Aap...appa yang kau lakukan padanya?" Jinily tak percaya Shirin melakukan itu pada Shazan.
"Kau jangan ikut campur, dia suamiku, kau sudah tak berhak atasnya!" Jerit Shirin berapi-api.
"Siapa yang inginkan dia?" Jinily mencelos tak terima.
"Meskipun kau masih menginginkannya, kau tidak akan bisa karna saat dia terbangun dia sudah tak ingat kejadian yang ia lihat saat ini!" Ungkap Shirin dengan nada kemenangan.
"Licik! Ternyata kelicikan Tungkara sudah menurun padamu!" Tunjuk Jinily.
Ia melihat mata Shirin merah menyala. Rupanya Shirin sudah dipengaruhi dan tanpa sadar telah mewarisi ilmu sekaligus tabiat Tungkara.
Tak ada yang sadar saat Tungkara menjadi abu cahaya merah yang membakarnya menyusup ketubuh Shirin hingga membuat matanya menyala-nyala kini.
"Sebaiknya kau menyingkir!" Teriak Shirin.
"Kenapa? Kau takut Shazan masih mencintaiku, dan takkan terpengaruh padamu yang sudah berguru dengan iblis Tungkara seperti madam Djelita?" Jinily tak gentar menghadapi Shirin yang seolah kesetanan.
"KAU!!" Geram Shirin menunjuk wajah Jinily.
"Harap tahu saja, aku saat ini hanya peduli pada ayah, aku tak peduli pada kalian!!" Tegas Jinily.
"Buat apa peduli pada mayat hidup? Sesungguhnya ayah sudah mati, tak ada penawar lagi untuknya, ia hanya pengundang pelayan untuk dijadikan tumbal, mereka melihat ayah masih bernapas, padahal hidupnya sudah berakhir!!"
"AP... APA?!!!"
Jinily terperangah tak percaya.
"AAA.... AY...YAH!!"
Dadanya berdegup kencang. Rasanya dunia makin runtuh saja. Jadi untuk apalagi dia disana?
"Put... ri... I... ily..."
Sesaat Shirin melihat tubuh Shazan bergerak dan menggumamkan nama Ily. Seketika panas dalam dadanya bergejolak. Meskipun ia mengatakan Shazan akan melupakan peristiwa hari ini, tetapi begitu tersadar, bukan namanya yang disebut pria yang sudah menjadi suaminya itu tetapi justru Ily, Shirin merasa dadanya panas. Ia meradang.
Buzzzz!!!
Cahaya merah dari telapak tangannya sekali lagi menghantam kepala Shazan membuat pria itu kembali terkulai. Setelah menjerit seperti sebelumnya.
Buzzzz!
Jinily yang tak siap hampir saja bernasib sama. Tetapi cahaya yang keluar dari telapak tangan Shirin justru tak bisa menyentuhnya. Sama ketika Tungkara melakukannya waktu itu.
"Haii JIN dan semua pengikut-pengikutnyaa, datanglah dan bawalah gadis ini sebagai sesembahan kami!!!"
Persis. Kejadian itu terulang kembali. Jinily tak ingin pasrah, kali ini ia jangan sampai kalah.
"AAAAAAAAA!!!"
Lagi-lagi api itu tak bisa menyentuh tubuh Ily. Seketika bayangan Junali berkelebat disaat ia terdesak. Untuk apa ia bertahan di Castil yang sudah tak bisa membuatnya tenang? Bukankah ia lebih baik dikutuk dan berharap Junali menemukan toplesnya lagi? Tapi mungkinkah Junali yang akan menemukannya? Kalau oranglain bagaimana? Kalau Junali ternyata tak ingat apa-apa bagaimana?
Buzzzzz!!
Ditengah kalut dengan pikirannya, Jinily tersentak karna tangan Shirin menghembuskan angin yang serasa menyedot tubuh mungilnya.
'Oh Tuhannn!'
Lagi-lagi Jinily merasa tak bisa bergerak melawan sedotan angin tersebut seperti waktu itu. Tubuhnya makin tertarik dan tersedot dibarengi dengan kabut yang menggumpal tubuhnya. Jinily pasrah. Hanya berteriak karna tubuhnya seperti berputar dipusaran angin.
"RASAKAN! Selamat jalan, adikku sayangggg!!"
Terdengar gelegar tawa terakhir digendang telinganya hingga ia terhempas disuatu tempat.
BRUUUKKKKKK!!!!!
"Auuwwhhhhhh!!!"
Jinily menjerit meski tubuhnya mendarat ditempat yang empuk.
"Yaa Tuhannn, dimana akuu??" Sungut Jinily sambil mengusap lengannya yang beradu dengan sesuatu yang empuk. Tadinya ia mengira didalam toples berisi serupa kapas berwarna pink seperti semula. Tapi ini kenapa bukan didalam toples yang empuk?
"Kenapa aku bukan mendarat ditoples seperti yang lalu?" Jinily bertanya-tanya. Ia mengedarkan pandangan.
Netranya nanar mengenali ruangan itu. Sebuah kamar. Memang bukan seperti kamarnya yang wangi bunga lily. Tempat tidur dimana ia mendaratpun bukan dilapisi sutra yang lembut. Dari warna biru tua bercorak merah bola-bola, ia meyakini itu bukan kamar perempuan. Kamar siapa?
"Masih bagus bukan dijalanan!" Sungutnya lagi.
"Shhhh, Ya Tuhannn, sakittt!" Jinily mengusap sikunya. Ia merasakan sakit meski mendarat dikasur karna ia tertindih lengannya sendiri.
Jinily kembali mengedarkan pandangannya keseisi ruangan. Pandangannya jatuh pada sebuah ransel. Jinily bergerak mendekati ransel itu dan mengamatinya.
"Sepertinya aku pernah lihat ransel ini?" Gumam Jinily memandangi ransel itu.
Isi ransel itu berantakan seperti habis dibongkar pemiliknya. Ia meraih pakaian yang robek dibagian lengannya.
"Junali???"
Seketika ada senyum lepas dari bibirnya melihat pakaian itu. Ia mengenali ransel dan pakaian itu milik Junali.
Jinily meraih kemeja yang dilepas Junali hingga menyisakan kaos hitam yang ia pakai hingga tertidur malam itu ditengah lolongan srigala.
"Junnnn! Syukurlah!"
Ia tak mengerti kenapa matanya terasa panas. Lelehan hangat mengalir dari sudut matanya lalu memeluk kemeja itu. Entah kenapa ia sungguh senang dan lega karna mendarat ditempat yang sama dengan Junali. Ia akan berjumpa lagi dengan pria itu. Ia tak harus menjelaskan lagi siapa dirinya. Ia berharap Junali justru tidak lupa saat terhempas kembali kekamarnya sendiri. Ia berharap Junali tak merasa semua yang mereka alami adalah mimpi.
Jinily duduk ditepi tempat tidur sambil tetap meremas kemeja itu dan mendekap didadanya.
"Tuhann, terima kasih telah membuat Shirin mengutuk aku seperti Tungkara!"
Berbeda saat dikutuk pertama kali dimana tak ada rasa syukur justru menyesali, kali ini ia merasa ini kutukan terbaik. Untuk apa tetap ada diantara kemunafikan. Dimana cinta tak secara alami tumbuh dalam hati tetapi harus menggunakan mantra yang bersekutu dengan iblis. Iblis yang tak pernah mati meski tubuh pengabdinya sudah menjadi abu. Tungkara menjadi abu, sang iblis hinggap ditubuh Shirin. Jinily tak dapat membayangkan seumur hidup akan menderita ditengah kesengsaraan. Ayahnya koma, kakaknya kesetanan, kekasihnya dibawah pengaruh seorang iblis. Cinta apakah itu?
Yang ia sesali sekaligus harus ia ikhlaskan hanyalah tentang ayahnya. Seandainya bisa ia ingin membawa ayahnya ikut bersamanya. Tetapi ayahnya seolah sudah menjadi mayat hidup. Yang tak berdaya. Hanya sebagai pengundang pelayan yang pada akhirnya menjadi tumbal.
"Yaa Tuhan!"
Jinily sudah tak bisa berbuat apa-apa. Ia tak mungkin kembali lagi ke Castil. Apa ia harus melupakan dari mana ia berasal?
Jinily menghempas tubuhnya kepermukaan tempat tidur sambil masih memeluk kemeja kotak-kotak merah itu dengan pikiran yang berkelana. Ia memejamkan mata mengingat peristiwa demi peristiwa yang membuatnya harus terdepak dari Castilnya. Castil yang dulunya surga sekarang sudah bagai neraka. Bukan semenjak ayahnya mempersunting Madam Djelita, tetapi semenjak ia memergoki ritual madam Djelita demi menjerat hati ayahnya selamanya dengan darah para perempuan. Airmatanya makin meleleh saja. Kelopak matanya makin rapat. Ia tak tahu berapa lama ia melayang tertidur, sampai tubuhnya terasa tertindih tubuh lain dengan keras dan mengejutkannya seraya terdengar gumam, "Ya Tuhannn, aku harus apa?"
"Aduh!!" Jinily tak sadar menjerit karna terkejut.
Junali tersentak duduk dan memandangnya. Tetapi pandangannya tak tepat kearahnya. Jinily mengibaskan tangannya didepan Junali. Tapi tak ada respon kalau Junali menyadari keberadaannya. Junali justru terlihat seperti kebingungan.
'Ya Tuhan, dia tak melihat aku, aku tak terlihat olehnya!' Batin Jinily.
Junali bahkan terlihat mengambil selimut dan mengibas-ngibaskan ke permukaan tempat tidurnya. Dan apa yang dilakukannya tentu saja membuat Jinily merasa tubuhnya seolah dipukul.
"Heii, jangan asal kibas!"
Tangan Junali menggantung diudara. Setidaknya Jinily merasa senang suaranya terdengar oleh Junali. Ia sadar saat ini Junali tak memiliki kekuatannya.
"Jangan ganggu aku! Keluar dari rumahku!" Usir Junali pada permukaan kosong tapi tadi sempat ia rasakan tersentuh olehnya. Jinily menyadari tak bisa dilihat tapi bisa didengar dan dirasakan.
"Kau takut? Pria cabul penakut ternyata!" Jinily terkekeh. Mendadak ia ingin menggoda Junali.
Junali terlihat mengeryit. Jinily menyadari pasti Junali mengenali suaranya. Ia ingin tahu apa pria itu lupa padanya.
"Haii, pria cabul! Pasti memikirkan aku ya?"
Jinily sengaja mengulang sebutan 'pria cabul', ingin tahu bagaimana reaksi Junali mendengarnya.
Junali mendekatkan tubuhnya ketempat tidur. Menekuk sebelah lututnya lalu menggapai-gapai kepermukaan. Ia ingin membuktikan kalau ia merasakan ada yang tersentuh saat ia menghempaskan punggungnya. Ia menarik kemeja kotak-kotak yang seolah tergeletak padahal sedang dipegang oleh Jinily. Lalu ia meraba permukaan empuk itu.
Dalam rabaannya, Jinily tak sempat menghindar saat Junali tersentuh bahu dan dadanya.
"Gak ada akhlak tangannya!" Jerit Jinily protes.
Sementara Junali seketika teringat Hot Mantra.
"SHIRTLESS!!"
BUZZZZ!!!
Asap tebal berpendar dipermukaan tempat tidurnya. Semakin lama semakin menipis dan memudar. Sesosok mahluk yang sejak awal ia pikirkan makin jelas terlihat.
"Jinily!! Benarkah ini kau!!?"
Junali mengguncang tubuh Jinily antara percaya dan tidak. Sebelum Jinily protes, Junali menaikkan sebelah kakinya yang masih dilantai lalu kedua kakinya sudah menekuk dipermukaan tempat tidur, lalu meraih tubuh Jinily dan memeluknya erat-erat.
"Jini!!! Syukurlah!!"
#########
Banjarmasin, 1 November 2020
Wellcome November, rezeki mencariku, rezeki mencari kita semua yang percaya, hanya butuh keyakinan untuk menjemputnya.
Sekilas info, alhamdulilah, Atas Nama Yang Maha dan Surga Untuk Bidadari, sudah bisa didapatkan dalam versi cetak. Semoga bisa menjadi buku yang bermanfaat karna ilmu yang terdapat didalamnya, karna cintaNya, karna namanya, karna kalian yang lembut hatinya.
Dari Banjarmasin,
💙
Puspa Mekar
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top