11#HOTTRA

"Putri Syirin! Hebat! Kau selalu berhasil membawa tetesan darah kehidupanmu kehadapanku!!"

Suara tawa terdengar seakan memuakan bagi Shirin karna wajahnya makin mengeras saja.

"Terserah apa katamu Tungkara, aku hanya ingin keluar dari jebakan ini!"

Gelegar tawa terdengar makin menggila⁰! saat Putri Syirin mengakhiri kalimatnya.

"Kau merasa terjebak? Bukankah kau sudah menikmati segala yang harusnya dinikmati Madam Djelita yang tolol itu, kau juga menikmati apa yang harusnya dinikmati adikmu!" Suara Tungkara menggelegar bagai memenuhi ruangan.

"Kalau tahu begini, lebih baik adikku yang menikmatinya!" Ketus Putri Syirin berucap.

"Jangan munafik!!!" Gertak Tungkara membuat Putri Syirin bergidik.

"Siapa yang munafik? Lebih baik tidak memilikinya daripada tiap hari aku merasa cemburu pada orang yang sudah tidak ada!" Bela Syirin mematahkan ucap Tungkara.

"Apa maksudmu? jangan sampai kau membuatku marah!"

Tungkara mengeraskan wajahnya.  Tetapi diwajah Shirin tak nampak ada ketakutan melihat murka Tungkara.

"Kau tahu bukan, dalam pikiran Shazan itu hanya ada Ily, dia selalu melihat gadis-gadis baru mirip dengan Ily, rasanya percuma aku cantik dan awet muda kalau tak dapat membuat suamiku melupakan raut adikku!" Ketus Shirin berucap dengan nada putus asa.

Sepertinya hari ini adalah puncak dari segala rasa yang ada didalam batinnya. Merasa percuma dengan apa yang sudah ia lakukan selama ini.

"Jangan tolol, menyerah tak membuatnya lupa raut adikmu, Putri!" Tungkara berkata dengan nada tak enak membuat darah Shirin seakan naik keubun-ubun.

Entah kekuatan dari mana kali ini ia tidak merasa lemah seperti sebelumnya.

"Aku tidak tolol, lihat saja yang baru saja aku bawa, tadi malam suamiku memandanginya sambil menggumamkan nama adikku, kau pikir aku tak punya hati sepertimu? Berkhianat pada madam Jelita, lalu membuat ayahku syok dan tak sadar diri sampai sekarang!!" Keras ucap Shirin dengan nada marah tanpa takut.

"CUKUP! Jangan banyak bicara!! Apa kau ingin aku masukkan kedalam toples dan aku buang seperti adikmu yang tolol itu!!" Ancam Tungkara membuat Shirin bungkam.

Bertahun-tahun ia disuguhkan cerita itu saat seistana kehilangan Putri Ily, adiknya. Ayahnya mengerahkan seluruh pasukan untuk mencari dimana keberadaan Ily sampai beliau mengijinkan Madam Jelita membawa seorang yang ia sebut peramal dan penyihir hebat yang biasanya sering menemukan orang hilang secara gaib. Dialah Tungkara.

Madam Jelita tak menyadari telah menyeret seseorang yang akan menikamnya dari belakang. Tungkara tidak melaksanakan tugas sesuai dengan rencana. Ia justru berkhianat. Dengan bola mantranya ia tunjukkan kepalsuan seakan Madam Jelita yang berbuat, padahal diapun ikut ambil bagian terhadap hilangnya putri Ily.

Melihat kenyataan bahwa putri Ily didalam bola mantra itu terlihat hancur menjadi debu didalam toples, raja Felix ayahnya terkena serangan jantung dan koma hingga saat ini. Sementara madam Jelita terbakar hidup-hidup didalam penjara karna tidak mendapatkan asupan darah sekaligus diam-diam dengan ilmunya ia membakar madam Jelita dari jarak jauh.

Tungkara tidak ingin didahului Madam Jelita yang berniat membeberkan ulahnya pada Raja. Hal itu ia ketahui dari Carmalita yang membelot. Carmaleta tidak ingin ia terseret dan memilih memihak kepada Tungkara dan mengabdi padanya. Lalu mereka mengarang cerita didepan putri Shirin yang percaya.

"Jun, kau tidak usah terpancing, asal kita tahu saja bagaimana mereka!"

Jinily berbisik pada Jun yang sedari tadi geram mendengar perdebatan Tungkara dan Shirin. Ia begitu marah kenapa kedua-duanya nampak jahat tak terkira? Ia memandang kasian pada Jinily. Tubuhnya yang dicengkram dua pengawal sedari tadi bergerak seolah ingin melepaskan diri. Untuk itulah Jinily mendekat dan berbisik kepadanya.

"Mereka sudah keterlaluan!" Geram Junali ditenggorokan menahan emosi.

"Bicara apa kau pelayan?!"

Meski sedang berdebat dengan Putri Shirin, Tungkara mendengar berisik Jinily dan Junali meski hanya berbisik.

Hening.

Sebenarnya Junali sama sekali tidak ketakutan. Ia sudah siap bila harus terjadi seperti yang mereka harapkan. Darahnya siap menetes untuk menjebak Tungkara dan Madam Jelita tadinya. Ternyata posisi madam Jelita sudah digantikan putri Shirin.

"Aargggggggg!!"

Semua mata menoleh pada putri Shirin. Tubuhnya nampak bergetar.

"Tungkara!!"

Shirin terlihat menggigil. Tubuhnya makin bergetar hebat.

"Begitu masih saja tolol! Kau sudah tidak bisa lepas dari perjanjian, kau harus menyelesaikannya, sudah bagus hanya melanjutkan perjanjian hitam madam Jelita!"

Brakkkk!!!

Putri Shirin nampak tersungkur. Lalu tubuhnya makin menggigil dilantai.

"Kakakkk!" Jinily menutup mulutnya.

Kenapa Shirin? Kenapa kakaknya? Apa kata Tungkara tadi? Melanjutkan perjanjian hitam madam Jelita. Licik Tungkara. Rasanya Jinily ingin menghabiskannya sekarang juga. Ia bisa berkesimpulan bahwa Shirin sebenarnya hanya terpaksa melakukan semua ini. Ia tak punya pilihan lain.

"Mulailah ritualnya, gantung pelayan itu!!"

Tak berusaha berontak, Junali justru bersiap dengan apapun yang akan dilakukan terhadapnya.  Saat tangan dan kakinya diikat lalu ia digantung dengan kaki berada diatas dan kepala berada dibawah, darahnya seakan mengalir kesatu arah. Tentu kearah kepalanya.

Melihat itu sebenarnya Jinily merasa tak tega. Wajah Junali terlihat memerah beberapa saat setelah tergantung.

Beruntung sepertinya Tungkara tak curiga kenapa korbannya sedari tadi tidak ada perlawanan. Ia yakin, pelayan yang dikorbankan hanya merasa pasrah akan nasibnya.

Tungkara mengarahkan telapak tangannya kepada Junali. Sebuah cawan sudah siap menerima tetesan darah dari tubuh yang tergantung itu.

Srettttttt!

Luka langsung menganga dan mengeluarkan tetesan darah dari leher Junali.

"Junnnn!"

Jinily seketika menangis melihat Junali yang terlihat berjuang menahan rasa sakit akibat sayatan. Ia memejamkan matanya.

Tik.
"Tidak terasa sakit!" Bisik Junali diam-diam sambil menjentikkan jarinya.

"Kau menantangku, pelayan??!!"

Tungkara berteriak murka. Ternyata ia mendengar ucap Junali.

"Tu... tung... kaa... raaahhh!" Lirih ucap Shirin agar Tungkara fokus padanya.

"Sebelum kau, aku akan terlebih dahulu menikmati tetesan demi tetesan ini!" Tungkara mengambil cawan yang sedang ditetesi darah dari leher Junali yang tersayat kuku tajamnya yang menghitam.

"Tu... tung... kaa... rahhh!" Rintih Shirin makin menggigil.

Shirin yang juga haus akan darah segar, yang biasanya akan diteteskan langsung kemulutnya, hingga setelah gigil ditubuhnya menghilang, ia akan menjadikan sisa cairan merah itu masker untuk kulit wajahnya, menunggu dengan tak sabar seolah tak kuat menahan getaran ditubuhnya.

Slrupppppppp!

Dengan rakus, Tungkara menghirup darah dari cawan sampai tak tersisa. Lalu setelahnya, ia terbahak dengan gelegar tawa yang menjijikkan bagi Jinily. Licik. Tak peduli pada Shirin. Dan ia tak sabar Tungkara menerima akibatnya.

"Aaarrghhhhhh!!"

Tungkara terlihat memegang lehernya. Jinily menarik bibirnya sinis.

"Ini saatnya!!" Geram Jinily didalam tenggorakan. Dadanya terasa perih karna sedari tadi menahan emosi jiwa.

Melihat Shirin yang tersungkur, menggigil tak berdaya karna butuh darah. Terlebih melihat Junali yang tergantung dengan wajah memerah lalu darah mengucur dari lehernya.

Meski sebelumnya ia tahu, mereka  sudah cukup matang menyusun rencana. Jinily berharap Junali tak melupakan kekuatan yang bisa ia gunakan untuk bertahan. Tinggal menjentikkan jari, pikirkan luka akan segera tertutup setelah dirobek paksa. Karna jika tidak, Junali akan kehabisan darah dan bisa saja ia benar-benar mati.

WUSSSS!
Asap mengepul keluar dari ubun-ubun Tungkara. Jinily mengeluarkan pisau lipat dan melemparkannya keujung tali dikaki Junali hingga terputus, dan Junalipun terjatuh kelantai.

"Kee... ke... naa... pa...? Arrghhhhh!" Tungkara makin terlihat tak bisa menguasai dirinya akibat tenggorakannya seperti tercekik dan terbakar. Lalu rasa panas itu seolah menjalar keseluruh tubuhnya.

"TIIDDAKKKKKK!"

BUZZZZ!!!
Tungkara makin berasap dan terlihat meleleh seperti lilin. Teriakannya tak berarti. Ia benar-benar hancur. Meleleh menjadi seperti tumpukan lilin, tanpa tahu apa yang terjadi padanya. Dari tubuhnya yang hancur terlihat beterbangan seperti abu. Abu-abu itu seolah membaur dengan udara dan hilang tanpa bekas. Yang tertinggal hanyalah tongkat yang terjatuh saat ia meleleh.

"Tu... tung... kaa... rahh!"

Lalu bagaimanakah nasib Shirin?
Entah kenapa Jinily lebih mengkhawatirkan Junali. Ia justru dengan cepat terduduk mendapati Junali yang tadi ambruk.

"Junnn!"

Jinily mengangkat kepala Jun dan memangkunya.

"Astaga Jun, darahnya masih mengalir, kau tidak menjentikkan jarimu agar lukamu tertutup!!" Tangan Jinily terasa gemetar menyentuh leher Junali yang berlumuran darah.

"Ya Tuhannn, kenapa aku sampai lupa, tanganmu terikat!!" Jinily makin panik menyadari kelalaiannya.

"Junnnnn!!"

Jinily benar-benar cemas saat ia membuka ikatan tali ditangan Junali, sementara wajah Junali sudah kelihatan pucat dengan mata yang tertutup.

"Junnnnnnnn!!"

Jinily mengguncang tubuh Junali lalu memeluknya.

"Junnn!"

Rasanya Jinily kehabisan akal jika Junali terlanjur tak sadarkan diri dan tak sanggup lagi menjentikkan jarinya. Mata Jinily makin membasah, tak sanggup membayangkan jika hal itu terjadi. Junali makin kehilangan banyak darah. Dan ia tak punya kekuatannya lagi untuk menbantunya. Jinily makin tersedu.

"Junnn, jangan tinggalkan aku Junnn!!"

#########
Banjarmasin, 2 Oktober 2020

Banyak momen yang akan datang dibulan Oktober.
Bismillah, welcome Oktober!
Rezeki mencariku.....❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top