Story 12: Kimung Anakku
Cerita ini kubuat untuk ikut lomba di Lontara. Karena nggak menang, aku masukin ke lapak kumcer ini saja. Semoga pada suka yaa.
Selamat membaca~
***
Kimung,
Saat kamu membaca surat ini, Bunda sudah tidak ada lagi di dunia. Kamu mungkin masih sering bertanya-tanya tentang bagaimana perasaan Bunda kepadamu dan apa artimu bagi Bunda. Semoga surat ini mampu menjawab tanya dalam hatimu.
Mung, Bunda memutuskan untuk mengadopsi kamu dengan banyak sekali tantangan. Ditentang keluarga sendiri, dihujat sana-sini, dikatai depresi dan putus asa. Mungkin mereka bingung, bagaimana mungkin ada perempuan yang mau mengambil anak seorang pemerkosa? Bahkan orang tua kandungmu saja tidak mau menerima keberadaan dirimu.
Mungkin Bunda memang depresi karena tak beruntung dalam menemukan pasangan hidup. Mungkin Bunda putus asa dalam kesepian, tanpa momongan di usia yang terlampau matang. Kamu tahu? Usia Bunda adalah 39 tahun saat mengadopsi kamu, Mung. Bayangkan pandangan orang tentang Bunda saat itu. Bayangkan pandangan almarhum orang tua Bunda saat itu.
Perempuan, sendirian, mengambil seorang anak laki-laki buah dari sebuah tragedi. Bunda tidak akan pernah menutupi ataupun memperhalus situasi yang menyebabkan kelahiranmu, Mung. Kamu tahu itu, karena Bunda ingin kamu belajar dari kejadian nahas tersebut.
Bapakmu adalah pria bejat, Mung. Ia nodai gadis berusia 17 tahun yang baru pulang bekerja dari rumah Bunda. Ia hancurkan masa depan seorang perempuan dengan trauma yang tak tertahankan. Ia redupkan semangat sesama insan yang harusnya masih bisa menyambut hidup dengan penuh harapan.
Ah, maafkan tetesan air yang berbekas di kertas surat ini ya, Mung. Bunda selalu menitikan air mata tiap kali mengingat gadis itu. Ibu kandungmu adalah anak yang baik. Periang, rajin, dan semangat menuntut ilmu. Ia selalu datang ke rumah Bunda setelah pulang sekolah, membantu ibunya menjadi asisten rumah tangga di sekitar perumahan Bunda. Dulu, Bunda yang masih bekerja sebagai konsultan lepas masih sering bertemu ibu kandungmu di rumah. Namun, setelah Bunda mendapatkan pekerjaan yang lebih stabil di sebuah perusahaan besar, kesempatan bertemu itu pun makin jarang Bunda dapatkan.
Ibumu hanya seorang gadis yang ingin membantu perekonomian keluarga, Nak. Sangat mulia hatinya. Ia bekerja sambil sekolah di rumah Bunda. Tapi, karena hari itu Bunda sedang lembur di kantor, ia pun terkena imbas. Ia menunggu Bunda pulang untuk mengambil upah bulanan yang lupa Bunda letakkan di rumah. Ibumu hanya tinggal berdua dengan Nenekmu saat itu, Mung, dan nenekmu tengah sakit sehingga ibumu amat membutuhkan upahnya hari itu juga.
Setelah kejadian itu, Ibumu hancur, Mung. Dunia ini bukanlah tempat yang aman bagi perempuan. Pelaku tidak tertangkap, malah polisi sibuk bertanya tentang pakaian Ibumu dan mengapa ia 'berkeliaran' di malam hari. Bisa kamu bayangkan betapa kejamnya seseoramg terhadap orang yang tertimpa musibah? Waktu pulang dari rumah Bunda, Ibumu hanya pakai seragam, Mung. Seragam sekolah. Sejak kapan pakaian seperti itu dianggap mengundang pria datang? Pelaku biadab, tapi polisi-polisi itu juga bangsat!
Bunda tak sanggup melihat kehancuran sesama perempuan tepat di depan mata. Gadis dan anaknya tak berdaya di bawah sistem yang menyudutkan mereka. Sistem yang penuh stigma dan tidak berperikemanusiaan. Maka, saat Bunda tahu bahwa gadis yang bekerja di rumah ibu itu hamil, Bunda yang maju untuk mengisi ketimpangan yang sistem berikan pada mereka.
Bunda berjanji mendampingi saat tahu bahwa ibumu hamil, juga memastikan kebutuhan mereka terpenuhi. Ibumu hampir gila, Mung. Selama hamil, ia tersiksa. Perubahan biologis, psikologis, dan kenyataan bahwa dirinya tidak bisa lagi sekolah membuat kondisinya amat buruk. Sampai akhirnya ia melahirkan dirimu dan meregang nyawa karena pendarahan.
Tak terbayangkan hancurnya hati Nenekmu saat itu. Seketika sebatang kara digerus takdir kejam. Suaminya mungkin meninggal karena kecelakaan beberapa tahun lalu, tapi apa yang terjadi pada anak gadisnya adalah pembunuhan. Pria bejat yang sampai sekarang tidak diketahui sosoknya dan pihak-pihak yang abai dalam menangani kasus ibumu adalah pembunuhnya.
Akhirnya Bunda berjanji pada Nenekmu untuk mengadopsi dirimu, Mung. Bunda berjanji untuk mengurus keturunannya, membesarkan dan mendidik dengan sungguh-sungguh sehingga kamu dapat tumbuh sebagai sosok yang bisa beliau sayangi dan banggakan. Bunda juga mengajaknya tinggal bersama Bunda. Membantu mengurus rumah dan dirimu selama Bunda bekerja. Meskipun sempat enggan karena segan merepotkan, akhirnya Bunda berhasil membujuk Nenekmu.
Tahu apa yang lucu, Mung? Saat kamu berada dalam dekapan Bunda untuk pertama kali, Bunda merasa pulang ke rumah. Nyaman, tenang, dan terasa begitu alami. Seperti inilah yang memang seharusnya terjadi dalam hidup Bunda dan dirimu.
Bunda membawamu dan Nenekmu ke istana Bunda. Rumah sederhana di perumahan yang aman, jauh dari tempat Bapakmu itu beraksi. Ya, Bunda pindah rumah. Bunda tidak ingin kamu tumbuh di lingkungan pemerkosa. Kamu lebih baik dari itu. Bunda akan membuat kamu menjadi sosok yang baik, dan hormat pada sesama manusia.
Kimung Azim. Laki-laki pelindung. Nama itulah yang kusematkan kepadamu. Nama yang berisi doa, harapan, dan tujuan Bunda dalam membesarkanmu. Bunda ingin semua orang tahu bahwa di tangan Bunda, kamu tidak akan menjadi seperti Bapakmu.
Kamu ingat Pak Toto dan Bu Mira? Orang tua Bunda? Mereka amat geram terhadap Bunda saat itu. Bunda benar-benar sendirian, Mung, bahkan tak dapat dukungan dari orang tua sendiri. Tak cukup keluarga besar memandang Bunda sebagai aib, orang tua Bunda sendiri tak berhenti memandangmu sebelah mata. Bunda dikeluarkan dari lingkaran sosial keluarga besar. Disarankan untuk tidak datang dalam acara-acara keluarga agar suasana bisa tetap nyaman. Seolah Bunda adalah perusah di tengah kebahagiaan mereka.
Orang tua Bunda pun tak lelah membisiki Bunda, berusaha membuat Bunda melihat dari perspektif mereka. Mungkin mereka resah, takut jodoh makin lari menjauh dari anaknya. Mungkin mereka juga ngeri dengan penghakiman dari mulut para keluarga besar. Entahlah. Rasanya sudah lama sekali hal itu terjadi, Mung.
Mereka bilang, kamu anak haram, Mung. Kamu akan tumbuh menjadi anak sial. Noda kotor untuk keluarga kita. Bunda tak peduli. Jika mereka ingin mencoret nama Bunda dari keturunan mereka, Bunda ikhlas. Toh mereka telah memiliki keturunan lain, keturunan yang sesuai harapan mereka.
Mungkin semua orang terheran-heran, mengapa Bunda begitu gigih mempertahankan dirimu ketimbang keluarga Bunda sendiri. Jujur, Bunda tak tahu bagaimana menjawab keheranan tersebut. Mereka harus ada di posisi Bunda yang bisa melihat mata indah dan polosmu. Matamu adalah favorit Bunda sejak kamu bayi karena bahkan sejak usia beberapa hari saja Bunda merasa kamu selalu menatap Bunda seolah Bunda adalah duniamu.
Mereka juga harus merasakan kehangatan yang kamu berikan ke hati Bunda sejak dirimu masih bayi. Nenekmu kandungmu memang banyak membantu Bunda dalam mengurusmu. Namun, kamu juga telah membuat semuanya menjadi mudah, Mung. Kamu tumbuh sebagai anak yang tidak begitu rewel, suka tertawa, dan menyenangkan saat diajak bermain. Bunda begitu mengasihimu. Bunda mencintaimu sampai-sampai fakta bahwa darahku tidak mengalir di tubuhmu terlupakan begitu saja.
Selama beberapa tahun, Bunda merasakan kebahagiaan yang tak terhingga. Denganmu di sisi, Bunda seperti larut dalam rasa yang berbunga-bunga. Kamu adalah jantung hatiku, Mung. Alasan Bunda bisa kembali menikmati hidup yang sempat hampa untuk sekian lama. Keluarga kita memang tak sempurna, tapi Bunda merasa utuh. Untuk pertama kali dalam puluhan tahun, Bunda merasa hidup Bunda memiliki arti dengan keberadaan dirimu.
Bunda adalah pekerja keras. Saat proyek Bunda berhasil, Bunda merasa puas. Bunda merasa bahwa semua jeri payah Bunda tidak sia-sia. Namun semua itu tidak ada apa-apanya dibanding saat Bunda menghabiskan waktu bersama kamu, Apalagi ketika melihatmu tumbuh menjadi sosok anak amat yang amat menyenangkan, Mung. Amat dewasa dan pengertian.
Sejak dini, kamu sudah memperlihatkan kecerdikan. Dirimu saat balita selalu mengutarakan rasa ingin tahu dan selalu menantang orang dewasa untuk menentukan sikap terhadapmu. Meskipun begitu, Bunda tidak mau kalah cerdik darimu. Bunda selalu belajar, mencari cara memberi jawaban untuk setiap pertanyaan-pertanyaan yang kamu berikan. Bunda amat bangga dengan semua nilai-nilai kehidupan yang Bunda tanamkan dengan tegas kepada dirimu dan alasan mengapa Bunda menanamkannya. Kamu bisa menyerap semua didikan Bunda sampai di usia tujuh tahun, Bunda lupa bahwa kamu masih anak-anak.
Maka saat usia lima tahun, Bunda merasa kamu sudah cukup besar untuk tahu bahwa dirimu tidak lahir dari rahimku, Mung. Meskipun begitu, Bunda juga sampaikan betapa besar rasa cinta Bunda kepadamu. Kamu menerimanya meskipun belum sepenuhnya paham semua ucapan Bunda. Waktu berlalu, diam-diam kamu pinta Nenekmu untuk menceritakan tentang ibumu. Tentu saja Nenekmu tidak sanggup menceritakan semuanya kenyataannya sekaligus. Beliau hanya ingin menanamkan semua kenangan baik tentang ibu kandungmu. Bunda menyetujuinya.
Namun, saat dirimu beranjak SD, Bunda dan Nenekmu harus bicara dengan pihak sekolah tentang asal-usulmu terkait akta kelahiran yang ganjil. Saat itu, kamu yang sudah cukup umur mencuri dengar percakapan kami di sekolah. Bunda ingat bagaimana kamu yang periang mendadak diam seharian, lalu bertanya tentang kata 'perkosa' saat makan malam.
Nenekmu menangis, tapi Bunda menguatkan diri dan menceritakan hal yang sebenarnya padamu. Bunda ceritakan bagaimana manusia bisa begitu kejam terhadap sesama manusia, karena itu kita harus berusaha untuk menjadi bagian dari manusia yang membantu sesama. Bunda menatap matamu sungguh-sungguh saat memintamu agar selalu memilih untuk membantu sesama manusia. Jadi solusi alih-alih bencana, tampilkan diri sebagai laki-laki pelindung alih-alih perusak. Seolah menyambut harapan Bunda dengan tekad yang sama, dirimu yang masih begitu kecil mengangguk tegas. Bukan main bangganya Bunda melihatmu saat itu.
Hidup kita bukan tanpa ujian. Dimulai dari kebangkrutan perusahaan tempat Bunda bekerja yang berdampak pada perekonomian keluarga kita. Belum habis Bunda pontang-panting mencari pekerjaan baru, Nenekmu harus pergi meninggalkan kita karena serangan kanker ganas yang terlambat kita deteksi. Ditambah hujatan sana-sini yang masih mengiringi langkah kita, semua membuat Bunda merasa ingin berteriak, Mung. Cobaan bertubi-tubi itu sempat membuat jiwa Bunda lelah.
Lelah, tapi belum putus asa.
Apalagi Bunda memiliki anak semanis dirimu. Tak peduli berapa kali Bunda dihantam kenyataan pahit, Bunda selalu punya percikan semangat untuk bangkit.
Dirimu amat peka terhadap situasi dan perasaan orang lain. Selama masa sulit kita berdua, kamu selalu hadir sebagai penenang. Kamu mendamaikan jiwa resah Bunda yang berjuang untuk kestabilan hidup kita. Sementara itu, Bunda terlalu sibuk bertahan sebagai orang tua tunggal yang harus mendapatkan pekerjaan baru.
Dengan latar belakang karir yang baik, Bunda pun berhasil mendapatkan pekerjaan setelah tiga bulan berusaha. Bunda pulang wawancara kerja dengan membawa soto ayam, makanan kesukaanmu. Namun, betapa hancurnya Bunda saat melihat dirimu menangis di samping rumah, Mung. Terkejut, Bunda segera menghampiri dan memelukmu. Kamu menumpahkan semua perasaanmu saat itu.
"Kenapa Kimung harus jadi anak haram, Bun? Kenapa Kimung nggak bisa jadi anak Bunda?" Raunganmu dalam dekapan Bunda masih terngiang di kepala. Tanpa sempat Bunda cerna apa maksud semua itu, Bunda menenangkanmu. Mengajakmu masuk rumah, dan menyuruhmu mandi sementara Bunda menghangatkan soto ayam. Malam itu, Bunda tidak bertanya padamu. Bunda tidak meminta penjelasan akan sikapmu sebelumnya. Usiamu baru sepuluh tahun, Mung. Bukan dirimu yang bertanggung jawab dalam memberikan penjelasan pada Bunda.
Keesokan harinya, Bunda ke sekolah dan mencari tahu apa yang menimpa dirimu. Karena bekerja, Bunda memang jarang mengantar dan menjemputmu ke sekolah, Mung. Maka bisa kamu bayangkan betapa terkejutnya Bunda saat tahu bahwa dirimu ternyata telah menjadi korban perundungan di sekolah. Setelah menuntut dengan sengit kepada pihak sekolah, barulah Bunda mendapat penjelasan bahwa kamu kerap disebut 'anak pungut' dan 'anak haram' oleh teman-teman sebayamu. Bukan main geramnya Bunda saat itu. Bunda pun mengancam untuk menuntut sekolah itu karena tidak melindungimu dan mempersiapkan kepindahanmu ke sekolah baru.
Keluarga kita memang tidak pernah menyembunyikan fakta bahwa dirimu bukan anak Bunda, tapi ejekan teman-teman satu sekolahmu telah menusuk hati Bunda teramat dalam. Di sisi lain, Bunda jadi menyadari sesuatu. Tak peduli betapa bahagianya keluarga kita, dirimu akan terus merasakan gesekan yang amat menyakitkan di luar sana. Orang-orang di sekitar kita selalu ingin tahu, dan asyik menggali luka lama untuk mereka nikmati dalam tiap pertemuan-pertemuan menjemukan. Pada akhirnya, anak-anak mereka mampu meniru ucapan mereka, mengira hal tersebut mengasyikkan, dan akhirnya menghunjammu dengan kebengisan.
Padahal tak ada yang salah denganmu, Mung. Kamu sempurna. Kamu anak Bunda yang sempurna.
Seolah tahu bahwa kita tinggal berdua melawan dunia, Bunda merasakan aura yang berbeda saat kamu beranjak remaja, Mung. Di usia 13 tahun, tak peduli seberapa sering Bunda bawel dan menyikapi dengan tegas dan keras, kamu tak pernah terlihat enggan seperti remaja pada umumnya. Kamu meresapi semua ucapan Bunda dan berusaha untuk bertahan di sekolah. Prestasimu luar biasa, tapi kamu juga berjiwa sosial. Temanmu banyak dan pribadimu menyenangkan. Bunda rasa kamu telah menjadi salah satu sosok remaja yang populer di sekolah. Meskipun begitu, tak pernah sekalipun kamu berulah untuk membuktikan diri. Jika Bunda bilang tidak, kamu langsung menurut. Jika Bunda bilang harus, kamu langsung mengerjakan. Kamu tumbuh melebihi ekspektasi Bunda, menjadi anak yang diimpika seluruh orang tua.
Sayangnya, semua tak berjalan lama.
Di tahun pertamamu saat SMA, Bunda melihat perangaimu berubah. Konsentrasimu pada ponsel mulai meningkat, kadang disertai senyum malu. Bunda tahu gelagat itu. Geli, Bunda pun mulai memancing agar kamu bercerita.
Katau, ada perempuan yang menarik hatimu. Katamu, ini mungkin cinta pertama bagimu. Bunda ingat bahwa Bunda turut senang, tapi tetap memintamu untuk menghargai perempuan itu.
Waktu bergulir, dan Bunda menyadari bahwa tak hanya raut senang yang muncul tiap kamu memperhatikan ponselmu, Mung. Kadang ada juga raut kecewa, resah, dan khawatir. Bunda bertanya-tanya akan apa yang sudah terjadi antara dirimu dan perempuan yang kamu cintai. Meskipun begitu, Bunda tak pernah membayangkan badai yang selanjutnya akan datang.
Kelas dua SMA, masa yang seharusnya menjadi masa penuh kesan bagi tiap remaja, berubah menjadi petaka bagimu, Mung.
Seorang perempuan datang ke rumah dalam keadaan menangis dan marah. Ia mengatakan bahwa kamu telah menodainya, bahwa kini dirinya telah hamil, dan ingin meminta pertanggungjawabanmu.
Kuping Bunda mendadak pengang, hanya terdengar dengungan nyaring yang panjang. Bunda berhenti bernapas selama beberapa saat demi mencerna ucapan perempuan itu. Namun, ketika Bunda bertanya padamu dan dirimu tidak menyangkal, saat itulah hati Bunda hancur sehancur-hancurnya.
Hidup Bunda jungkir balik, Mung. Untuk pertama kalinya Bunda merasa limbung, tak punya pegangan dan terombang-ambing. Semua kepercayaan Bunda terhadap dirimu runtuh. Bisikan-bisikan orang tua dan keluarga besar Bunda menyusup masuk ke kepala. Dengan berat hati, Bunda membenarkan ucapan mereka dan mengusirmu dari rumah.
Bunda mengaku kalah. Anak seorang pemerkosa ternyata tak bisa berubah menjadi pelindung sesama manusia.
Kecewa dan sakit hati, Bunda tidak ingin mendengar penjelasanmu lagi. Bunda tidak sanggup lagi menaruh kepercayaan ke bahumu. Bunda membebaskanmu dari semua ekspektasi Bunda dan Bunda tidak ingin lagi berhubungan denganmu. Tujuh belas tahun terbuang sia-sia. Selama ini, Bunda hanya hidup dalam ilusi yang fana.
Bunda tidak bergeming meskipun keluarga perempuan itu datang dan mengabarkan tentang pernikahanmu. Ya, kamu memang bertanggung jawab. Namun, bukankah kamu telah menggoreskan luka terlebih dahulu? Tak adakah satupun ajaranku yang tersangkut di hatimu, Nak, sampai kau begitu tunduk pada nafsu?
Bunda tahu, kamu tengah terluka saat membaca ini. Tapi, bertahan sebentar lagi ya, Mung? Saat itu, Bunda merasa telah menjadi batu. Kini, batu itu memintamu membasuhnya dengan maaf agar dapat tenang meninggalkan dunia.
Lima tahun berlalu begitu saja. Bunda sudah sebatang kara, Nak. Orang tua sudah tak ada, keluarga pun menjauh karena menganggap Bunda adalah perempuan tua yang gila. Bunda menjalani hari semata-mata demi memenuhi tanggung jawab pada perusahaan yang telah berbaik hati menerima Bunda di kala susah. Namun, jika boleh jujur, saat itu Bunda hanya menjalani hari sambil menunggu ajal saja. Apalagi, ternyata di usia renta, Bunda juga mengetahui bahwa kondisi jantung Bunda tidak baik.
Saat itulah Istrimu datang, Nak, ke rumah Bunda. Membawa anak kalian. Buah hati kalian. Ia menangis dan berlutut di hadapan Bunda, meminta maaf telah menjadi sosok yang merenggut kebahagiaan Bunda. Perempuan itu pun akhirnya menceritakan semua pada Bunda.
Dia bercerita bahwa anak yang dia bawa adalah hasil hubungannya dengan pacar yang kabur karena tidak mau bertanggung jawab. Dia bercerita bahwa dirinya tahu kamu mencintainya dengan sepenuh hati karena kamu pernah mengungkapkan perasaanmu dengan tulus. Dia juga bercerita bahwa terlepas dari apa pun yang ia perbuat, kamu telah menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab untuknya. Kamu perlakukan anak yang bukan darah dagingmu sendiri itu dengan baik dan penuh kasih sayang. Dia juga terluka melihatmu tidak bisa bahagia karena hubunganmu dan Bunda yang terputus.
Jangan marahi istrimu karena mendatangi Bunda dan membawa kabar tersebut sehingga membuat kejutan di jantung Bunda yang mulai lemah.
Ya, Bunda memang terkena serangan jantung tepat setelah pembeberan fakta tersebut. Sakit, sesal, semua menyatu, menyerang fisik Bunda hingga Bunda tak kuat menahannya lagi. Tapi, pada akhirnya, Bunda benar-benar bersyukur karena mengetahui fakta itu. Bunda menunggu kondisi Bunda membaik, namun sampai saat ini, kondisi itu tak kunjung datang. Dokter malah menemukan komplikasi di ginjal dan paru-paru Bunda.
Merasa tak bisa bertahan lebih lama lagi, Bunda pun mempersiapkan surat ini dan Bunda meminta perawat untuk memberikannya jika kelak kamu mendengar kabar tentang Bunda dan mendatangi rumah sakit ini.
Kimung, anakku yang penyayang, kamu telah memenuhi harapan Bunda sebagai seorang pelindung. Kamu lindungi semua orang yang kamu cintai. Kamu bahkan begitu takut menampakkan dirimu lagi kepada Bunda karena takut menyakiti hati Bunda. Padahal hati seorang ibu mana yang bisa sakit melihat kedatangan sosok anak yang begitu ia rindukan, Nak?
Kimung Anakku, setelah kepergianmu, hati Bunda terasa begitu hampa. Bunda begitu larut dalam keangkuhan Bunda, mengajarkanmu arti tanggung jawab dan melindungi sesama tanpa mempraktikkannya dengan baik. Pada akhirnya, Bunda adalah seorang munafik. Bunda hanya manusia yang ingin dianggap suci dan welas asih, sementara memperlakukanmu seperti sebuah proyek kerja yang harus sukses sesuai ekspektasi.
Bunda tampil sebagai sosok orang tua, namun membentukmu dengan bayang-bayang latar belakang orang tuamu yang ternyata selama ini Bunda anggap berantakan. Bunda menyimpan benih ketakutan tentang dirimu, lalu menghakimimu layaknya orang lain yang memandangmu saat kamu tumbuh, Nak.
Bunda telah bersikap tidak adil pada Kimung, dan Bunda mohon maaf sedalam-dalamnya.
Bunda mohon maaf karena Bunda sudah salah paham sama Kimung. Kamu anak baik, tumbuh dengan baik dan terbentuk menjadi sosok yang baik. Kamu menunaikan doa Bunda yang paling utama, menjadi pelindung untuk sesama manusia. Kamu telah menjadi pelindung keluargamu.
Seharusnya Bunda bisa lebih memahami dan mempercayaimu, bukan ikut menghakimi seperti orang lain.
Bunda mohon maaf karena belum pernah bilang betapa bangganya Bunda pada Kimung. Bunda bangga melihatmu tumbuh berbakti pada Bunda dan Nenek. Bunda bangga melihatmu sabar setiap mendengar celaan orang lain tentang apa yang tidak pernah kamu lakukan. Bunda bangga melihatmu bisa berdiri tegak dan terus berjalan sambil memikul pandangan tentang orang tua kandungmu.
Terakhir, Bunda mohon maaf karena pernah berkata bahwa kamu bukan anak Bunda.
Mung, kamu telah mengakui dan mangasuh anak hasil hubungan istrimu dengan laki-laki lain. Kamu bekerja keras melindungi dan mengangkat kehormatan mereka. Kamu telah melebihi semua ekspektasi Bunda, Mung.
Bunda bangga dan bahagia punya Kimung sebagai anak. Bunda harap, meskipun hubungan kita tidak berakhir baik, Kimung juga masih bisa mengingat Bunda sebagai orang tua. Setidaknya Bunda, di akhir hayat ini, menyimpan nama Kimung sebagai buah hati Bunda. Kimung adalah anak Bunda selamanya. Semoga kamu sekeluarga selalu diberkahi ketentraman dan kebahagiaan.
Salam sayang dan rindu,
Bunda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top