HOPE | 6

Story by: saskiafadillaaa

Happy Reading ❤

***

"Tantangan dan rintangan. Dua hal yang mendebarkan sekaligus merepotkan.

Jika berhasil melewatinya, maka akan jadi suatu kisah yang menyenangkan untuk diceritakan di masa depan."

Keberuntungan dan Shagita sulit untuk berada di jalan yang sama.

Mereka sampai ke rumah dengan keadaan paling menyedihkan se-kompleks Perumahan Raya Indah. Setelah mendorong sejauh tiga kilometer, mereka baru menemukan pom bensin itu pun sia-sia karena perumahan tempat mereka tinggal jaraknya sudah tinggal lima ratus meter. Namun itu lebih baik, daripada harus jalan terseok-seok dengan badan menggigil.

Bunda adalah orang pertama yang menyambut mereka meski Angga menepikan motor di seberang rumahnya sendiri--di depan rumah Shagita, wanita setengah baya itu niat sekali keluar hujan-hujan hanya untuk mengomeli Angga.

Shagita jadi tidak enak. Apalagi kondisi Angga lebih parah darinya. Jaket kulit tahan air yang diberikan Angga masih menggantung di pundaknya saat dia mulai masuk ke dalam rumah. Segera dia berganti pakaian, cuci muka dan gosok gigi, tidak perlu mandi, sudah tadi dengan cara yang alami.

Hal pertama yang Shagita ingat setelah kondisinya lebih baik adalah tas!

Astaga, bagaimana mungkin dia lupa di dalam tas itu ada novel "HOPE". Bagaimana kalau basah? Yang lebih parah disana masih ada seragam yang besok akan digunakan. Belum lagi buku-buku. Meski tadi Shagita sudah menyimpan tas itu diatas motor lalu ditutupi payung, sempat mereka terguyur air dari mobil yang berkendara dengan kecepatan tidak kira-kira.

Shagita mengeluarkan semua isi tasnya. Sebagian seragamnya basah. Dia berdecak kemudian beralih pada novel "HOPE".

"Untunglah, nggak apa-apa," gumamnya. Novel itu hanya sedikit basah di bagian ujungnya. Buku-buku yang lainnya juga tidak terlalu parah. Hanya seragamnya yang parah. Mungkin cipratan air itu tepat mengenai bagian tas dimana seragamnya terletak.

Dengan sisa tenaganya, Shagita bangkit. Dia beranjak ke belakang untuk menjemur seragamnya sekaligus mengeringkannya dengan hair dryer. Satu tangannya yang bebas mengacungkan novel "HOPE", sesekali bergantian mengeringkan ujung novel yang basah.

Setelah dirasa cukup, Shagita beranjak. Tubuhnya dia hempaskan begitu saja ke kasur. Rasanya sudah seabad dia tidak bertemu dengan kasur karena rasanya, astaga, sangat nyaman sekali.

Baru ingat, hari ini Shagita belum membaca bab selanjutnya. Bab tiga. Kira-kira apa yang akan terjadi di bab tiga? Tanpa membuang waktu lagi, Shagita membuka novel "HOPE" dan mulai baca bab tiga. Dia hanyut dalam bacaannya. Mencerna dan mengingat setiap detail kata untuk bekalnya di dunia nyata.

Shagita tidak sembarang percaya begitu saja. Dia sempat memikirkan bagaimana cara kerja keajaiban novel itu. Menghubungkannya dengan teori-teori yang bisa diterima akal sehat.

Novel itu mempunyai pola dan cara sendiri dalam menciptakan keajaibannya. Shagita dapat menyimpulkan keajaiban novel itu terjadi begitu dia selesai membaca satu bab dan besoknya apa yang terjadi dalam satu bab yang sudah dia baca, semuanya akan persis terjadi menimpanya di dunia nyata. Yang pertama langsung terjadi karena Shagita sudah 'berniat' membaca tapi tidak jadi sebelum adegan itu persis menimpanya. Dan dialog yang persis sebelumnya ... Shagita belum sepenuhnya yakin. Ini sulit dipercaya tapi itu faktanya.

Dari mana novel itu berasal, Shagita sudah menanyakannya pada penjaga perpustakaan. Beliau bilang novel baru datang secara bersamaan, terlalu banyak sehingga saat itu dia tidak begitu memperhatikan. Tentang keajaibannya, Shagita tidak bercerita pada siapapun kecuali pada Angga. Dan Shagita menyesal karena sepanjang jalan dia malah dikatai tidak waras.

Namun, dia tidak pernah menyesal mempercayai novel "HOPE". Dia begitu yakin akan banyak keajaiban dan kebahagiaan yang menantinya di ujung sana. Karena baginya, buku adalah teman sejatinya. Teman yang begitu baik dan tidak akan mampu mengkhianatinya. Teman yang akan membuatnya tahu apa definisi bahagia. Teman yang tidak akan menorehkan luka padanya. Itulah sebabnya Shagita begitu menyukai novel. Fiksi. Terlebih tentang kisah remaja yang selalu berakhir bahagia. Sekali lagi dia berharap, dia ingin menjadi bagian itu juga. Bagian dari endingnya yang bahagia. Dan novel "HOPE", mungkin jalan yang diberikan takdir untuk mencapai kata 'bahagia'.

Shagita tersenyum membaca kalimat terakhir novel itu.

Bahagia dimulai dari hal-hal yang sederhana. Bisa dekat dengannya, melakukan hal yang kita suka bersamanya, itu sudah lebih dari cukup mendefinisikan kata 'bahagia'.

***

"Shagita, lo ada waktu?"

Ya! Panggung sudah dimulai.

Shagita menoleh perlahan dengan angin yang menerbangkan anak rambutnya, cukup mendramatisir keadaan.

"Kenapa?" tanyanya dengan suara yang tiba-tiba berubah lembut. Sangat lembut.

Ini, nih. Kelebihan pemeran utama wanita. Apa-apa jadi bagus.

"Gue mau ajak lo ke gramedia, beli buku latihan soal buat olimpiade," ucap Samudera dengan senyum khasnya yang membuat lutut Shagita gemetar.

"S-sekarang?"

Kacau! Kenapa setiap kali berhadapan dengan Samudera, dia selalu gagap? Lama-lama Samudera bisa ilfeel! Tidak!

Samudera menyampirkan tasnya ke pundak kanannya. Hari ini mereka telah selesai bimbingan untuk pertemuan kedua. Mereka sudah menetapkan jadwal untuk latihan setiap hari Selasa, Rabu dan Kamis. Sekarang hari kamis, itu berarti untuk bertemu dengan Samudera dan berlama-lama dengannya Shagita harus menunggu minggu depan. Tapi tenang, pemirsa. Shagita, kan, memegang kunci dunianya yang sekarang. Apapun akan terjadi dalam dunia fiksi. Dan ajakan ke gramedia itu mendadak, terlalu mendadak. Novel "HOPE" bermain dengan sangat baik.

"Iya, masa tahun depan," ujarnya melempar canda. Naasnya Shagita tidak bisa tertawa.

"Brian, lo ikut juga?" tanya Samudera.

"Kalian berdua aja. Gue ada acara keluarga. Sori, ya?"

Itu berarti? Shagita membelalak, dia benar-benar akan pergi berdua dengan Samudera!

"It's Ok."

Mereka pun beranjak dan pergi. Jika sekolah masih ramai, niscaya semua orang yang melihat Shagita berada di boncengan Samudera akan membuat cewek manapun iri. Samudera sosok sempurna yang selalu dipuja dan didambakan oleh semua kaum hawa di SMA Angkasa Jaya, Shagita salah satunya. Sekarang keberuntungan dan Shagita sedang berada di jalan yang sama.

Sosok tinggi tegap dengan seragam rapi dan licin itu kini berada di dekatnya. Berjalan di sisinya sambil sesekali berbicara ramah pada Shagita. Rambutnya tersisir rapi dan selalu dibentuk menjadi koma yang sempurna, memperlihatkan jidatnya yang membuat iman kaum hawa goyah karena sangat mempesona dan berkharisma.

"Kenalan kita kemarin-kemarin ngerasa belum afdhol, ya nggak, sih?" Samudra tertawa.

Iya!

Dan tentu, karena sudah membaca bab tiga, Shagita tahu apa yang akan dikatakannya.

"Karena kita belum tahu banyak satu sama lain?"

"Tepat!"

Shagita tidak bisa menahan senyumnya.

"Gue Samudera Tenggara dari kelas XI MIPA 1. Seperti yang lo tahu, selain Ketua Osis gue ikut klub badminton. Gue suka pelajaran kimia. Dan gue terbuka, jadi jangan sungkan," ucapnya seraya mengulurkan tangannya ke depan Shagita. Cewek itu menyambutnya dengan senang hati.

"Gue Shagita Kayla dari kelas XI MIPA 2. Gue nggak ikut ekskul apa-apa, sih. Hehe."

Shagita memejamkan mata lalu membatin. Kenapa payah banget, sih, dialog gue? Nggak bisa ditambahin apa? Ini mulut juga bicara seenaknya, nggak bisa diajak diskusi dulu!

"STO?" tanya Samudera sedikit terkejut.

Tuh, kan?

STO, singkatan dari Siswa Tanpa Organisasi. Ah, betapa memalukannya.

"Kenapa? Lo gampang sakit, ya, kalau kecapekan?"

Jawab iya, jawab iya! Tapi, ingat. Novel "HOPE" masih mengendalikan semuanya. Karena sekarang yang terucap dari mulut Shagita adalah, "Nggak juga."

MATI AJA GUE. MATI.

Shagita terus merutuki dirinya. Sebelum ke sekolah dia sudah melatih dialognya, mengubah beberapa termasuk yang ini. Sangat payah.

Harusnya Shagita jawab saja seadanya, jangan menutup-nutupi. Dia STO karena sehabis pulang sekolah masih harus bekerja. Shagita tidak seperti kebanyakan siswa lainnya yang bebas berorganisasi dan bebas bermimpi. Dia hidup sendiri dan itu sangat sulit. Setidaknya itu yang harusnya dia katakan supaya Samudera minimal ... care padanya? Atau kagum? Bukan mau sombong, tapi tidak banyak orang pandai membagi waktu untuk mengurus rumah, tugas sekolah dan tentu saja bekerja demi mempertahankan hidupnya masih bisa berprestasi di sekolah. Shagita juara umum jurusan MIPA, tanpa embel-embel bimbel atau yang lainnya. Semuanya kerja keras dia sendiri dan sekarang dia sedang menuai hasilnya. Ikut serta menjadi perwakilan olimpiade untuk sekolah sekaligus bisa dekat dengan Samudera, setidaknya di atas banyaknya beban Shagita, di beberapa waktu dia bisa merasakan kebahagiaan.

"Lo lebih fokus sama akademik kalau gitu, ya?"

Shagita bernapas lega. Ini tidak ada di dialog tapi cukuplah untuk membuatnya tidak terlihat terlalu payah. Novel nyebelin, siapa sih penulisnya?

Hah? Sebentar ...

"Shagita!" Samudera memanggil. Dia memperlihatkan buku latihan soal. Shagita segera lupa dengan pikiran melanturnya. Ketampanan Samudera dan sikapnya yang ramah haram untuk diabaikan.

Shagita memutuskan untuk berkeliling. Dia tidak berniat untuk membeli buku. Belum gajian. Uang tabungan peninggalan kedua orang tuanya pun kian hari kian menipis. Dan ... hutang. Shagita pusing memikirkan bagaimana cara membayar hutang pada teman kedua orangtuanya.

Shagita menyusuri satu per satu rak. Langkahnya selalu terayun begitu saja ke rak buku fiksi. Namun kali ini berbeda, dia memilih rak khusus buku latihan soal. Buku-buku yang berat dan berada di rak-rak tertinggi.

Ah, pasti karena novel itu.

Berkali-kali dia berjinjit, berusaha mengambil buku entah apa dari rak tertinggi. Konyol sekali, tapi Shagita suka bagian ini. Sebentar lagi ... sebentar lagi ...

Derap langkah kaki terdengar. Irama yang khas, khas seorang Samudera Tenggara. Tidak lama dari itu, Shagita merasakan dada bidang Samudera menyentuh punggungnya, tangannya yang kekar--tapi tidak sekekar Angga--terulur mengambil buku yang Shagita maksud dengan mudahnya. Kemudian, cowok berseragam rapi itu memberikan buku yang telah diambilnya. Dia sedikit menunduk demi mensejajarkan wajahnya dengan wajah Shagita.

"Gue lupa. Apa yang lo suka dan nggak lo suka?" bisiknya nyaris membuat Shagita pingsan karena jantungnya bertalu-talu terlalu cepat, sangat cepat.

***

Angga berhasil merebut bola basket dari Bintang dengan mudah. Berlari sedikit lalu melompat seraya mendorong masuk bola basket tepat ke dalam ring.

"Ah, nggak asik lo!" Bintang menghampiri Angga dengan napas tersengal-sengal. Tangannya bertumpu di atas lututnya yang ditekuk.

Cowok bertampang datar, cuek, ketus dan bermulut sambel goang itu tidak peduli pada Bintang--salah satu anggotanya yang kerap kali mengeluh.

"Payah banget lo," celetuk Galaksi. "Ga, benerin noh anggota lo!"

Angga menoleh ke arah Bintang hanya untuk berucap sinis. "Siapa dia?"

"Wah, parah lo!"

Bintang Ganesha Perdana, sosok cowok yang menjuluki dirinya fullsun, happy virus atau apalah itu. Cowok mungil yang selalu mengeluh jika tidak menemukan cheerleaders saat latihan. Cowok yang menjunjung tinggi penampilan, selalu memakai sunblock sebelum melakukan aktivitas. Hobi banget menggelar stand up komedi dadakan dan tidak tahu tempat. Melucu tapi garing. Minta dibanting.

Namun seburuk-buruknya sosok Bintang di mata Angga, dia punya posisi penting yang tidak bisa membuat Si Kapten Basket mendepaknya. Dia adalah PG terbaik di tim SMA Angkasa Jaya. Gerakannya cepat dan dia pandai mengatur irama permainan baik tim atau lawan. Karena terkadang Bintang selalu melempar jokes yang membuat lawan hilang fokus sehingga tim mudah menyerang. Jangan lupakan, dia juga jago mendribel hanya saja hari ini pengecualian.

"Makanya kalau latihan ajak ciwi ciwi yang kakinya panjang kayak sedotan dan glowing kayak member blackpink, dong! Biar gue-nya semangat!"

Rafael dan Farrel, dua cowok kembar berbadan tinggi besar itu menoyor jidat Bintang.

"Otak lo cewek mulu!" serunya secara bersamaan.

Bintang mendengkus. "Nggak apa-apa. Ini bukti konkret kalau gue masih normal. Nggak kayak Angga. Dia mau nikah kali ya sama bola basket?"

Bintang masih terus mengoceh sampai ketika matanya yang bulat menangkap objek yang pas untuk dijadikan bahan ceng-cengan kapten basketnya, dia tersenyum jahil. Dia mencolek lengan Angga, membuatnya mengalihkan perhatian dari bola basket.

"Tuh, tuh. Shagita! Cewek lo sama ..." Bintang menyipitkan matanya, "Samudera?" Matanya membola seketika.

Bintang beringsut menempeli Angga dengan wajah kepo tak tertolong.

"Lo marahan sama dia? Sudah kudugong, sih. Lo jadi cowok nggak peka, dasar peak!" sungut Bintang tidak nyambung sama sekali dengan Angga.

Angga yang risih dengan ocehan Bintang terpaksa mengalihkan tatapannya sejenak pada Shagita dan Samudera yang tengah berjalan bersisian. Dia memutar bola matanya. Siapa yang peduli dengan urusan cewek kebanyakan halu itu?

"Emang kali-kali dalam hubungan lo sama Shagita perlu ada tantangannya." Bintang masih asyik berceloteh. "Kedatangan orang ketiga, misalnya. Asikuy, drama Angga - Shagita tayang perdana mulai--anjir!"

Sebelum Bintang menyelesaikan kalimatnya, Angga melempar bola basket tepat kena ke pantat bahenol Bintang.

Kata Bintang, apa tadi? Tantangan? Sebenarnya hidup mereka sudah penuh tantangan bahkan rintangan sejak lama. Mereka hanya beristirahat sebentar saja, asal Bintang tahu.

Angga mengalihkan perhatiannya lagi pada bola basket. Namun ekor matanya yang tajam menangkap sosok siswi sedang berjalan di koridor dengan seragam asing, bukan dari SMA Angkasa Jaya. Detik itu juga dia mengenalinya. Dia kemudian tersenyum sinis.

***

PG: Point Guard. Tugasnya adalah membawa bola dan memberikan passing pada temannya. Biasanya dipegang oleh orang yang berbadan lebih kecil dan jago mendribel.

Makasih banyak-banyak yaa buat yang udah mampir. Sehat selalu. Bahagia selalu. 💚

Kiaaa 🌱

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top