HOPE | 4
"Hidup itu nggak semulus pantat bayi. Makanya, kita harus berjuang sendiri, untuk diri sendiri."
Satu hal yang membuat Angga emosi, ketika orang lain menghalangi jalannya dan mengatakan jika ambisinya menjadi atlet nasional disebut-sebut terlalu berlebihan dan dianggap obsesi. Siapapun yang mengatakan itu, pasti Angga benci. Termasuk Pak Rafi
"Siapa yang menyuruhmu latihan sampai sekeras ini, hah?"
Pak Rafi, pelatih tim basket SMA Angkasa Jaya tampak marah. Dia berkacak pinggang, otot-ototnya tegang. Sedangkan Angga sama sekali tidak mengindahkan peringatan untuk berhenti dari Pak Rafi yang berkali-kali meneriaki.
"Kalau untuk melampiaskan emosi, sebaiknya berhenti."
Dalam sekali lompatan, Angga berhasil memasukan bola ke dalam ring. Siapapun cewek yang melihat pemandangan itu, niscaya sekarang sudah terbaring.
Bola basket yang memantul mengisi ketegangan sore itu. Angga menunduk dengan napas terengah. Dia menyugar rambutnya ke belakang lalu menjambaknya sambil mengerang. Pak Rafi yang melihat itu mendekat. Beliau lalu menepuk pundak Angga beberapa kali, menenangkannya. Mengatakan jangan menyerah pada mimpinya. Semua keadaan yang menghalanginya, harus ia hadapi sebaik-baiknya. Setelah itu semua, cowok itu harus yakin. Atas semua kerja kerasnya selama ini, dia akan baik-baik saja. Segera setelah mencapai impiannya.
"Angga!" panggilan dari suara cempreng itu mengalihkan perhatiannya.
Dari sisi lapangan, Shagita tampak berjalan bersama dua cowok--yang satunya tampak familiar di mata Angga, tentu saja dia Samudera Tenggara.
Cewek dengan rambut sebahu itu berlari ke arahnya. Park Rafi tampak bersemangat menyambutnya sementara Angga bersikap biasa-biasa saja.
"Apa?!" tanyanya ketus, nyolot, ngegas.
Shagita mengelus jantungnya. Semoga dia selalu panjang umur jika bicara dengan Angga.
Di samping Angga, Pak Rafi menyikut lengannya. Ketegangan yang terjadi di antara mereka lenyap begitu saja. Sedikit informasi, Angga adalah aset berharga bagi Pak Rafi. Kemampuannya dalam basket haram diragukan. Namun jiwa Angga yang terlalu produktif sehingga terkesan berlebihan membuat Pak Rafi khawatir. Bagaimana jika suatu hari, saat pertandingan sudah di depan mata, Angga tiba-tiba cedera karena latihannya yang ekstra?
Pak Rafi mengenal baik Angga sehingga tidak heran kalau dia juga tahu Shagita. Teman Angga, yang biasanya menempel berdua kemana-mana. Jadi, saat Shagita mengatakan dia izin tidak pulang bersama pada Angga, Pak Rafi sedikit mengerutkan kening.
"Kalian lagi berantem?" tanyanya. Mata sipitnya bolak-balik menatap Shagita - Angga.
"Nggak usah ikut campur deh, Pak. Bapak udah tua," celetuk Angga tanpa meraba perasaan Pak Rafi yang senantiasa berjiwa muda.
Pelatih tim basket SMA Angkasa Jaya itu mencebik. Beliau sebenarnya baru berusia dua puluh tujuh tahun, masih single. Angga pernah dengan laknatnya menyebut Pak Rafi tidak laku. Setiap Angga melakukan hal itu, selalu, Shagita yang malu. Seperti sekarang.
"Maafin Angga, Pak. Dia kalau sekolah mulutnya ditinggal di rumah."
Pak Rafi memang selalu tidak keberatan dengan bercandaan anak-anak didiknya. Dia sangat ramah tapi tidak menghilangkan wibawanya sebagai guru olahraga tertampan di SMA Angkasa Jaya.
"Nggak apa-apa. Nanti mulut Angga bapak kasih les privat."
Cowok dengan nomor punggung 13 itu mendorong bola matanya ke atas dengan malas. Untuk memangkas waktu, dia bertanya, "Kemana?" Pada Shagita yang malah keasyikan mengobrol dengan Pak Rafi.
"Oh, ada perlu sama Samudera," ucap Shagita dengan wajah bersemangat.
"Ya udah."
"Ok. Nanti jam tujuh anter gue kayak biasa, ya?"
Angga hanya menjawab dengan gumaman sambil mengambil bola basket yang sudah menggelinding dan berhenti begitu jauh dari mereka.
"Dah, Angga! Pak Rafi, saya permisi dulu," pamitnya. Kemudian cewek itu segera berlari pada Samudera yang menunggu di sisi lapang.
Angga kembali memantulkan bola basket dengan gerakan pelan. Saat itu Pak Rafi mendekat, mencondongkan tubuhnya demi mendekatkan mulut ke telinga Angga, hanya untuk berbisik, "Saya mencium bau-bau gosong."
Jika saja Angga tidak ingat kalau Pak Rafi adalah gurunya yang merangkap sebagai pelatihnya, niscaya bola basket di tangannya sudah mendarat di wajah sok ganteng Pak Rafi.
***
"
Nggak pulang bareng Shagita?"
Pertanyaan itulah yang menyambut Angga begitu masuk ke dalam rumah. Tanpa harus menjawab, bunda mungkin sudah tahu jawabannya mengingat setiap kali Angga mengantarkan Shagita, ibunya selalu mengintip entah apa maksudnya.
"Kak Gaga, ih! Ditanya, bunda jawab!"
Anggia Pertama, gadis berumur enam tahun yang sedang aktif-aktifnya bermain itu menarik celana Angga. Hal itu cukup membuat Angga kesal lalu mendorong jidat gadis kecil itu. Perasaan Angga dimana? Dia bahkan tidak luluh dengan mata anak anjingnya!
"Nggak," jawabnya enggan.
"Tumben? Kalian berantem?" Pertanyaan kedua yang sama, hari ini dan Angga sudah bosan.
Angga dan Shagita memang sedekat itu, di sekolah mereka biasa bersama kemana-mana. Tapi itu berarti mereka harus menempel setiap saat, kapanpun, dimanapun bukan? Angga memang menjadikan Shagita tameng dari para cewek agresif yang berusaha mendekatinya. Tapi itu bukan berarti masing-masing mereka tidak punya privasi dan urusan pribadi lainnya, kan? Angga mendesah. Tolong, mereka bukan kembar siam apalagi pasangan. Yang bilang begitu, cari gara-gara!
"Dia ada urusan sendiri."
Secepat mungkin Angga melangkah untuk menghindari pertanyaan bundanya dan juga adik perempuannya yang merengek-rengek mengajak bermain boneka sebagai ganti 'Kak Tata-nya' tidak datang. Astaga!
"Jadi, kamu ninggalin dia sendiri? Dimana? Cepet cari sana!"
Ingin sekali rasanya Angga mengubur dirinya di pantai bikini bottom.
"Bun, dia udah gede. Biarinlah!"
"YA NGGAK BISA GITU DONG!" Bunda menjambak rambut Angga yang sudah seperti rambut singa. Ada saat saat tertentu dimana Angga selalu berpikir kalau sebenarnya Shagita adalah anak kandung mereka sedangkan dia adalah anak yang ditemukan di tempat sampah tetangga.
Cowok dengan tampang datar itu kini meringis sambil mengusap rambutnya yang dijambak bunda.
"Dia sama temen tim olimpiade-nya," jelas Angga ogah-ogahan sambil berharap bunda berhenti bertanya.
"Cowok?"
Benar kata orang, cewek adalah mesin pencari info tercanggih di dunia. Terus mengorek sampai ke dasar-dasarnya.
"Iya."
Melihat bunda terdiam, Angga cepat-cepat menaiki tangga menuju ke kamarnya di lantai atas. Di depan pintunya dipasang plakat bertuliskan 'Yang tidak berkepentingan dilarang masuk.' Cowok jangkung itu baru saja menarik handle pintu saat bunda berteriak, "Wah, dapet saingan sekarang. Wah!" Lalu tertawa seperti setan yang kerasukan.
Bundanya kenapa, sih?
Angga menggeleng lalu masuk ke kamar. Dia melempar tasnya ke kasur lalu merebahkan diri bersama keringat yang belum lepas dari tubuhnya.
Untuk beberapa saat, matanya terpejam. Tubuhnya terasa remuk redam. Tapi, tidak apa-apa. Dia menyukai dirinya yang seperti ini. Yang berjuang untuk dirinya sendiri. Sendirian, dan terasa nyaman.
Bagi sebagian orang, mungkin rumah tempat paling tenang. Namun itu tidak berlaku bagi Angga. Pintu kamarnya diketuk sedemikian rupa dengan sangat-tidak-sabaran seolah si empunya mampu mendobraknya. Sengaja, Angga menguncinya agar dia bisa tenang sejenak.
"Ngga! Bisa nggak, sih, berhenti dulu main basketnya? Kita lagi piknik!"
Angga kecil yang senang dengan bola basket menghiraukan gadis kecil yang tidak lain adalah Shagita. Masih tersimpan dalam memori Angga, gadis itu dulu berambut panjang, selalu di gerai. Baju kesukaannya adalah dress flower model vest skirt yang dibelikan ibunya sebagai hadiah ulang tahun ketujuh. Dress nya nampak sempurna dipadukan dengan flower crown pink yang menghiasi rambut panjangnya. Dia melangkah mendekati Angga. Dimana pun, cowok itu selalu tampak berkeringat. Bahkan saat memakai baju bagus dan rapi seperti itu.
Meski sulit dan tahu konsekuensinya, Shagita kecil berusaha merebut bola basket milik Angga. Dia tidak ingin diabaikan, tentu saja, siapa yang mau diabaikan?
"Angga, berhenti dulu!" teriak Shagita dengan suara terjepit. Dia kelelahan padahal berlari selama dua menit. Apa kabar dengan Angga?
"Makanya sana pergi, ganggu aja!" ketus Angga.
Shagita mengerucutkan bibirnya. Kesal sekali diusir Angga seperti itu. Namun, itu tidak membuatnya pergi dari sana dan bergabung bersama para orang tua yang tengah asyik mengobrol ria.
"Angga tunggu aku," ucapnya sembari menahan tangan Angga setelah memberanikan diri.
Dia mengangkat jari kelingkingnya kemudian. "Janji. Jangan pernah tinggalin aku. Kita jalannya sama-sama, ya? Kalau aku jatuh, tungguin. Bantuan bangun. Jangan tinggalin aku sendirian, kalau Angga ketemu sama orang lain terus tinggalin aku sendiri, gimana? Aku sama siapa?"
Angga membuka kelopak matanya perlahan. Kemudian dia mendecih sinis. Dari banyaknya mimpi, kenapa kenangan itu yang datang? Lagi, sekarang siapa yang meninggalkan siapa? Siapa yang sekarang sendirian?
Membuat janji itu, sungguh menyebalkan.
***
Makasih yang udah baca, vote dan komen. Sehat dan bahagia selalu, ya. 💚
Kiaaa 🌱
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top