HOPE | 3

"Ketika harapan menjadi kenyataan. Apalagi yang dibutuhkan?"

"Lo yang namanya Shagita? Gue, Samudera."

Sudah lama Shagita memimpikan momen seperti ini dan sudah lama pula cewek itu memikirkan respon yang pas seperti tersenyum cerita sambil menjabat tangannya lama-lama atau tersenyum simpul berlagak sok cool atau apapun itu selain membatu.

"Halo?" Samudera menjentikkan jarinya di depan wajah Shagita. Dengan begitu, jiwa Shagita perlahan kembali meski tidak langsung sepenuhnya.

"Y-ya," jawab Shagita seadanya.

Samudera tersenyum. Jenis senyum yang membuat lutut lemah.

"Yang juara umum, benar?"

"Y-ya," jawab Shagita tanpa berkedip. Terlalu terpesona dengan pahatan hidup di depannya.

"Lo udah dikasih tau buat ikut olimpiade kimia?"

"O-olimpiade?" Entah kenapa Shagita malah menatap Angga seolah dengan begitu dia bisa mendapatkan jawaban. Angga yang tadi sedang fokus makan menoleh pelan lalu mengangkat bahu acuh.

"B-belum."

"Jadi, Pak Indra meminta tiga orang perwakilan buat olimpiade nanti. Yang ikut gue, Brian dan lo."

"G-gue?" Shagita menunjuk dirinya sendiri. Kemudian dia merutuki dirinya, kenapa dia harus segugup ini? Hanya membuatnya terlihat bodoh saja.

Lagi. Cowok dengan rambut yang disisir rapi itu tersenyum.

"Iya. Katanya mulai besok kita bakal bimbingan. Masih lama, sih, buat bulan Mei tapi kalau latihan dari sekarang hasilnya pasti lebih maksimal, kan?" 

"I-iya iya." Shagita meremas ujung roknya, tangannya berkeringat dingin, dan … tidak lucu kalau sekarang wajahnya pucat.

"Lo sakit? Wajah lo pucat," ucap Samudera membuat Shagita ingin mengubur dirinya hidup-hidup.

"Eh? Nggak, kok, nggak!"

Lagi-lagi Samudera menarik kedua sudut bibirnya membentuk seulas senyum yang sangat menawan. Ini, salah satu yang Shagita sukai dari sosok Samudera. Dia terlihat ramah dan baik hati. Tidak seperti cowok di sampingnya, Angga. Galak, ketus, jarang senyum, pelit bicara. Terkadang sekalinya bicara banyak, Shagita selalu merasa dilempari segenggam bubuk lada.

Di sisi lain, Samudera merogoh sakunya lalu mengeluarkan ponselnya. Cowok yang notabenenya ketua OSIS itu kemudian memberikannya pada Shagita. 

"Ini nomor gue. Kalau ada apa-apa lo bisa langsung hubungi gue."

"N-nomor lo?" teriak Shagita tanpa sadar. Maksudnya, nomor seorang Samudera Tenggara itu sangat susah di dapat. Meski ramah, dia cukup tertutup untuk hal-hal pribadi. Kata orang, hanya guru, teman sekelas dan anggota OSIS yang punya nomornya. Di luar itu, skip! Dan sekarang ecek-ecek seperti Shagita mendapatkan nomor Samudera dengan cuma-cuma? Shagita terharu sampai ingin menyanyikan himne Pramuka.

"Kenapa?" tanya Samudera dengan alis berkerut.

"Nggak apa-apa," jawabnya. Kali ini dengan suara lebih pelan.

Shagita segera menyalin nomor Samudera di ponselnya. Setelahnya dia mencoba menelepon nomor itu, Samudera kemudian menyimpan kontaknya.

"Thanks. Jangan lupa besok, ya? Sepulang sekolah."

Cewek dengan jepit merah jambu itu mengangguk semangat. Sampai ketika Samudera hilang, baru dia bisa kembali bernapas dengan normal. 

***

Plak!

"Ini nyata."

Plak!

Shagita meringis, menatap layar ponsel di depannya bergantian dengan menatap pantulan dirinya di cermin. Kedua pipinya memerah. Selama beberapa saat dia berkali-kali mencubit bahkan menampar dirinya sendiri, berharap semua ini bukanlah sekedar imajinasi.

"INI NYATA!" teriaknya.

Tepat saat itu, pintu toilet di belakangnya tiba-tiba menjeblak terbuka. Sosok berambut panjang dan berwajah pucat muncul. Shagita hampir saja melemparkan ponselnya jika saja tidak menyadari kalau sosok itu memakai seragam yang sama, kedua kakinya masih utuh menapak di lantai, setidaknya tidak terbang.

Giska Amelia. Shagita membaca name tag yang tertera di baju bagian kirinya. Tanpa sadar dia menatap gadis itu terlalu lama sampai gadis itu sudah berada di hadapannya lalu menatapnya dengan tatapan hampa.

"Permisi," gumam gadis itu.

"Ah, iya." Shagita menyingkir ke sisi, memberikan ruang untuk Giska membasuh tangannya di wastafel.

Dari pantulan kaca, Shagita menyadari sesuatu. Giska seperti sudah habis menangis terbukti dengan matanya yang sedikit sembab dan memerah.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Shagita ragu. Biasanya dia tidak pernah sebasa-basi ini.

"Bukan urusan lo," ucapnya tanpa menoleh. Giska membasuh wajahnya berkali-kali membuat asumsi Shagita semakin kuat, gadis itu habis menangis.

Karena keadaan sudah begitu dan Shagita lebih meyakini kalau gadis di hadapannya ini adalah Angga versi cewek, dia pun pergi. 

Saat bel masuk berbunyi, Shagita tidak langsung kembali ke kelas. Setelah membayar makanannya dia lari ke toilet hanya untuk menormalkan detak jantungnya. Angga dia biarkan pergi duluan. Lagi pula Angga sepertinya senang saat Shagita tidak ada di sekelilingnya.

Shagita masuk ke kelas. Beruntung saat itu guru mata pelajaran sejarah indonesia belum masuk. Dia duduk di bangku kedua jajaran kedua dari pintu sementara Angga duduk di bangku paling belakang jajaran keempat dari pintu, tepat di pojok.

Memastikan tidak ada tanda-tanda guru akan masuk, Shagita beranjak lalu beralih duduk di bangku depan Angga yang kosong. Pemiliknya entah berada dimana, mungkin berkumpul di belakang kelas sambil main games.

"Ngga, gue dilirik sama Samudera!" serunya heboh, tidak bisa menyembunyikan raut bahagianya.

Angga tidak menjawab. Seperti biasa, telinga cowok itu disumpal dengan earphone sementara kakinya menyilang di atas kaki lainnya, lengannya dilipat di depan dada, punggungnya menyandar ke tembok, kepalanya menunduk dengan matanya yang terpejam. Sama sekali tidak terusik dengan kehadiran Shagita dan ocehannya yang sepanjang Anyer - Panarukan.

"Harapan gue terkabul, Ngga! Buku ini beneran ajaib, demi apa! Gue aja masih nggak percaya!"

Shagita mendengkus saat melihat Angga masih tetap nyaman di posisinya. Dia pun menggebrak meja Angga membuat seisi kelas memperhatikannya dan Angga? Membuka satu kelopak matanya dengan lambat lalu menoleh tanpa minat.

"Apa?"

"Ish, ngeselin!"

Angga memperbaiki posisinya. Kali ini dia memilih menelungkupkan kepalanya di atas meja. Shagita tidak akan membiarkan Angga nyaman. Cewek itu menarik beberapa helai rambut Angga lalu memainkannya, memelintirnya. 

"Lo nggak senang kalau misalnya masa-masa jomblo gue berakhir?"

Tidak ada jawaban tetapi Shagita tetap meneruskan.

"Harusnya lo juga cari pacar, dong! Mumpung masih muda, udah reyot tau rasa."

Masih tidak ada jawaban.

Shagita menggigit bibir bawahnya, ragu bertanya, "Lo marah?"

"Buat?" Angga menegakkan tubuhnya.

"Kengenesan lo!" 

Angga hampir memutar bola matanya. Dari dulu memang bicara dengan Shagita tidak pernah ada manfaatnya selain membuang waktunya.

"Sana! Gue mau tidur."

Shagita merenggut. "Di kelas bukannya belajar, malah tidur!"

"Bodo."

Dan Shagita tidak bisa untuk menahan lagi tangannya tidak menjambak rambut Angga.

***

"Sebelumnya bapak ucapkan terimakasih karena telah menghadiri pertemuan perdana ini. Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, olimpiade dilaksanakan bulan mei tapi persiapan harus dimulai dari sekarang untuk hasil yang lebih maksimal."

"Setiap sekolah memiliki perwakilan tiga orang untuk setiap mata pelajaran yang dilombakan. Dan kalian adalah tiga orang yang terpilih. Berdasarkan nilai tertinggi di angkatan kalian. Shagita, Brian dan Samudera. Selamat."

"Baiklah. Untuk pertemuan perdana ini, kita coba pretest saja. Bapak akan berikan seratus soal dengan berbagai tingkatan mulai dari yang termudah sampai hots. Silahkan. Samudera!"

Pak Indra kemudian memberikan tiga paket soal yang sudah difotokopi pada Samudera untuk dibagikan pada Shagita dan Brian. Shagita menerimanya dengan balas tersenyum. Seperti yang sudah-sudah, senyum Samudera seolah tidak pernah lepas dari wajahnya. Semakin Shagita perhatikan, dia semakin menyukainya!

Pertemuan diadakan di ruang kelas XII MIPA 6 yang berada tepat di samping lapang basket. Sehingga darisana Shagita bisa melihat Angga yang sedang men-dribble bola dan memasukkannya ke ring. Hari ini sebenarnya bukan jadwalnya latihan basket tetapi Shagita mengerti betul jalan pikiran Angga. Latihan ekstra. Dia sangat gila.

Shagita menggeleng. Bukan saatnya memperhatikan Angga. Dia pun memilih untuk membaca satu per satu soal. 

Beberapa menit berlalu dengan sunyi. Dering diponsel milik Pak Indra yang memecah keheningan itu. Beliau bercakap-cakap sebentar sebelum akhirnya memberitahu ada urusan sebentar yang mengharuskannya meninggalkan ruangan.

"Harus dikerjakan sampai batas waktunya," pesannya sebelum menutup pintu.

"Iya, Pak," sahut ketiganya.

Setelah merasa Pak Indra sudah tidak berada dalam radius 100 meter dan memastikan Samudera dengan Brian tengah hanyut mengerjakan soal, dia menarik pelan novel "HOPE" dari kolong meja. Seharusnya ada sesuatu yang akan terjadi saat ini. Bria seharusnya memecah keheningan dengan bertanya, "Ada yang tau penyelesaian soal ini gimana?"

Tepat!

Shagita mengulum senyum. Ini semua benar-benar terjadi. Diam-diam cewek itu melirik ke arah Samudera. Tampak cowok itu tengah membaca soal yang sudah Brian sebutkan nomornya tadi. 

Sebentar lagi. Sebentar lagi!

"Shagita, lo tau caranya?"

Shagita hampir saja bersorak jika tidak bisa menguasai dirinya sendiri. Untung saja dia masih waras. Dia menoleh dengan wajah seolah tidak tahu apa-apa. Dia pun menarik kursinya ke meja Brian, Samudera melakukan hal yang sama sehingga posisi mereka sekarang duduk melingkar di mengelilingi meja Brian.

"Yang ini, pertama kita harus tau dulu rumus molekul senyawa Timbal (II) Karbonat adalah Pb(CO3)2--"

Deg.

Bahu Samudera menyentuh bahunya. Shagita melotot kaget dan menghentikan penjelasan selama beberapa saat. Dia kemudian berdeham sementara detak jantungnya semakin kacau.

"E-entalpi pembentukan standar adalah entalpi pembentukan 1 mol senyawa yang berasal dari unsur-unsur penyusunnya dalam keadaan standar. Pb(CO3)2 secara standar terbentuk dari unsur Pb(S), C(S) dan O2(g) sehingga persamaan termokimia entalpi pembentukan standarnya adalah Pb(S) + C(S) + 3/2O2(g) → Pb(CO3)2(s) ∆Hfo =  - 699 kJ/mol. Jadi, jawaban yang tepat B," jelas Shagita dengan perasaan gugup yang tidak bisa ditolerir.

Samudera mengangguk. "Keren. Penjelasan lo gampang dipahami," ucapnya tulus. Matanya menatap langsung manik cokelat milik Shagita. Atas hal itu, jantungnya kembali berdetak dengan brutal.

"Haha, makasih."

"Gue harap kita semua bisa bekerja sama dengan baik untuk mengharumkan nama sekolah."

"Tentu," jawab Shagita seraya tersenyum manis pada Samudera. Cowok itu balas tersenyum lalu menepuk pundak Shagita dua kali seolah sedang memberikan suntikan semangat. Dan memang benar. Shagita langsung bersemangat.

Apa lagi sekarang yang kurang dalam hidup Shagita? Sekarang, dia hanya perlu menunggu waktu. Saat-saat ketika Samudera menyatakan perasaannya lalu mereka akan menjalin hubungan bersama. Momen itu akan sangat Shagita nantikan setiap harinya. Dia bersyukur menemukan novel "HOPE" yang perlahan mengubah jalan ceritanya yang dulu abu-abu sekarang lebih berwarna, karena Samudera.

Sementara itu, di sisi lain Angga memasukan bola basket dengan penuh emosi. Entah karena apa. Yang jelas bukan karena Shagita.

***

Makasih yang udah bacaa.

Bahagia selalu,
Kiaaa 🌱

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top