HOPE | 13

Story by: saskiafadillaaa

Happy Reading!

***
"Sama, tapi tidak selamanya. Selalu berbeda, juga fana. Ingat, ini dunia. Bukan surga." 

Hari ini, apapun yang terjadi Shagita sudah siap menghadapinya. Tapi … mungkin tidak untuk yang satu ini.

Shagita hampir memutar tubuhnya sebelum dia menyadari kalau hal itu tidak ada gunanya. Dia berpijak di kakinya, mengangkat satu tangannya lalu tersenyum kaku.

"Hai."

Di atas motor sport-nya, dan di balik helm full face-nya Angga menatap Shagita, cuek seperti biasanya.

"Berangkat sendiri," ucapnya. 

Tidak menunggu tanggapan Shagita, cowok jangkung itu langsung menancap gas meninggalkan Shagita dan asap dari knalpot. 

"Sebenarnya, kita ini apa?"

Shagita sekali lagi menghujat dirinya sendiri. Kenapa juga kemarin dia harus menanyakan hal se-tidak berguna itu?

"Kita ini nggak ada apa-apa. Ok, fine!" geramnya kemudian Shagita melangkah dengan kaki dihentak-hentakan. Kesal bukan main.

Pagi kali ini terasa berantakan. Dan, menyebalkan. Ya, apalagi sesampainya di sekolah dia melihat Angga dan Friska mesra-mesraan di parkiran. Double menyebalkan!

***

Dari dulu, yang namanya Shagita tidak suka dengan hal-hal berbau kerja kelompok. Selain melibatkan banyak orang, kerja kelompok menurutnya hanya buang-buang waktu. Kebanyakan mengobrol, pekerjaan tidak ada yang mengontrol. 

Hari ini, sesuai apa yang kemarin dia baca di novel "HOPE" mereka akan dibagi kelompok belajar. Biasanya, dari kelas sepuluh Shagita sering menawar pada wali kelas untuk disatukan dengan Angga. Banyak anak-anak kelas yang muak dengan sikap Shagita, banyak juga yang menganggapnya modus atau caper. Tapi, apapun pandangan orang Shagita benar-benar tidak peduli. 

Shagita kurang nyaman bekerja sama dengan orang yang tidak dekat. Dia punya jiwa sosial yang buruk. Selain buku, tidak ada yang membuatnya nyaman. Kecuali, Angga. Ya, sejauh ini hanya Angga. 

Mengingat hubungan mereka akhir-akhir ini yang sangat tidak jelas, tidak mungkin Shagita menawar pada Pak Surya untuk disatukan kelompoknya dengan Angga. Sialnya, Shagita satu kelompok dengan Laura persis seperti apa yang digambarkan di novel tersebut.

Masing-masing kelompok sudah berkumpul. Laura duduk di hadapan Shagita. Cewek berambut coklat itu tersenyum miring.

Tugas kali ini adalah mengerjakan soal-soal latihan. Diberikan lima puluh nomor. Jika anggota kelompok lima orang, maka masing-masing mendapat tugas sepuluh soal.

Suasana hening dan tenang. Namun, perasaan Shagita jauh dari kata tenang. Tangannya berkeringat dingin membuatnya tidak nyaman menulis. Menurut novel "HOPE" di saat seperti ini Laura akan memecah keheningan dengan pembicaraan yang sangat Shagita benci.

Shagita menggigit bibir bawahnya. Bagaimanapun, itu akan terjadi dan harus dihadapi. Saat ini, bukan waktunya untuk lari.

"Gue denger lo juara umum."

Ucapan itu pastilah ditujukan pada Shagita, seperti dugaannya. Laura berbasa-basi terlebih dahulu sebelum mengeluarkan bisanya.

"Kalian udah saling kenal?" tanya Emma, teman sekelas Shagita yang tidak terlalu dekat dengannya tapi Emma cukup ramah.

"Iya, kita temen dari SD." Lagi-lagi, Laura yang menjawab. "Kita deket banget, dulu. Iya, kan?"

Shagita hanya menatap lurus Laura. Dia hanya perlu diam saja. Jika dalam novel "HOPE" dia membalas ucapan Laura, disini Shagita memilih bungkam karena akhirnya hanya masalah yang dia dapat.

Namun, sepertinya masalah dan Shagita sudah menjadi sesuatu yang seakan sudah melekat. Meski dia tidak melakukan apa-apa, masalah itu datang tanpa bisa dicegah.

"Oh, ya?" Emma masih menanggapi Laura. 

"Iya. Kita harusnya deket lagi kayak dulu apalagi Shagita tinggal sendiri, ya nggak?"

Shagita berhenti menulis lalu menatap Laura.

"Waktunya sebentar lagi, lo nggak ngerjain soal?"

Shagita meremas ujung roknya. Jantungnya berdegup kencang. Akhirnya pertanyaan itu, ucapan itu lolos dari mulutnya. Sama persis seperti yang dia ingat di novel "HOPE".

"Sambil ngerjain kok ini, nona juara umum." Laura tersenyum menyebalkan.

"Kalian nggak penasaran apa orang tua Shagita meninggal karena apa?"

Tidak ada yang menjawab. Tapi suasana hening dan keberadaan guru yang entah dimana seolah mendukung apa yang sedang dilakukan Laura. Telinga-telinga dipasang. Sudah diasah sedemikian rupa supaya tajam hingga siap menerima informasi sekecil apapun untuk dijadikan materi gosip season selanjutnya.

"Laura. Bukannya itu nggak baik, ngomongin orang yang udah meninggal? Apa lo nggak merasa bersalah sama Shagita?" tanya Emma.

"Kenapa? Karena orang tua Shagita meninggal karena dia sendiri."

Bisik-bisik terdengar di sana-sini. Sampai derit kursi yang didorong keras mengalihkan perhatian semua orang. Angga berdiri lalu berjalan ke arah dimana Shagita duduk.

Angga akan menyelamatkannya. Itu yang Shagita baca dari novel.

Tiga langkah lagi, seharusnya Angga berhenti lalu menggebrak meja dan memarahi Laura. Namun yang terjadi adalah Angga berjalan lurus tanpa melirik Shagita barang sedetikpun.

Kenapa bisa beda?

***

Ada satu hal yang harus Shagita syukuri di bab kali ini. Di adegan berikutnya dia bertemu dengan Samudera.

Rasanya sudah lama sekali tidak bertemu dengan Samudera. Begitu jam pelajaran usai, dia mendapatkan pesan ajakan istirahat bersama dengan sosok ketua OSIS idaman kaum hawa itu.

Shagita senang bukan kepalang. Novel "HOPE" oke juga mengatur adegan. Tidak melulu di hal yang membuat Shagita berdebar ketakutan, tidak keruan. Selalu ada momen manis juga. Dengan itu, setidaknya dia optimis kalau dia bisa melalui konflik novel "HOPE" dan menyelesaikannya dengan baik. Happy ending, sudah sangat dia nantikan.

Shagita melangkah keluar kelas dengan perasaan bahagia. Sedangkan Angga, dia sudah diajak ke kantin dengan anak-anak basket serta … Friska. Second couple itu. Shagita menggerutu.

Begitu sampai di kantin, Shagita langsung menemukan keberadaan Samudera. Sosok itu seolah mempunyai magnet yang selalu menarik Shagita.

Segera cewek berambut sebahu itu melangkah menghampiri Samudera dengan perasaan riang gembira. Dia duduk di hadapannya begitu sampai.

"Udah lama?"

"Baru aja sampai," ucap Samudera seraya tersenyum. Shagita ikut tersenyum.

"Oh, ya. Ada apa?" 

"Brian ditarik dari KSN Kimia."

"Eh, apa?"

Tunggu sebentar.

Shagita mengerutkan keningnya. Bukannya di novel "HOPE" mereka sama sekali tidak membahas Brian? Kenapa tiba-tiba berubah?

"Via yang ikut KSN Fisika mengundurkan diri karena, lo tahu sendiri, kan?"

"Apa?"

Samudra terkekeh melihat wajah polos Shagita.

"Lo nggak baca berita? Di mading?"

"Eh, berita apa?"

"Tanggal study tour. Udah ditentukan."

"Kok? Cepet banget?"

Maksudnya, ini 'kan baru tahun ajaran baru.

"Ya, karena study tour angkatan sekarang kan katanya spesial. Ke Raja Ampat."

Shagita menganga. Tapi, kemanapun rencana study tour  itu, dia tidak akan pernah ikut.

"Jadi?"

"Jadi, Via nggak mau lewatin acara itu."

"Dan mengorbankan KSN?" tanya Shagita tidak percaya. "Itu … sayang banget, soalnya 'kan itu kesempatan langka. Kelas dua belas nanti kita belum tentu bisa ikut lagi."

"Tapi Via punya jalan sendiri. Dia mau menikmati masa mudanya, mungkin. Seru-seruan bareng temen. Soalnya peserta yang ikut KSN baru berangkat setelah yang lain udah sehari disana. Via nggak mau lewatin momen seru bareng temen sekelasnya."

Shagita mengangguk-angguk mendengar penjelasan Samudera.

"Itu udah pilihannya sih."

Samudera menyetujui. "Lagian Via anak orang kaya juga. Dia bisa kuliah dengan mudah kalau mau tanpa harus punya embel-embel prestasi, pun jadi." Samudera tersenyum kecut.

"Lo nggak ikut study tour?" tanya Shagita basa-basi.

"Liat nanti aja," ucap Samudera.

"Oh, ya. Brian bagus nilai fisikanya, jadi dia ditarik ke sana. Terus, perwakilan tiap sekolah 'kan tiga orang. Satu lagi, yang gantiin Brian siapa?"

Tatapan Samudera yang terus tertuju ke pintu masuk kantin mengalihkan perhatian Shagita. Dia ikut menatap apa yang Samudera tatap sejak tadi. Tidak ada apa-apa kecuali …

"Giska!"

Apa?

Samudera melambaikan tangannya dengan semangat. Senyum lebar tidak luntur dari bibirnya. Setiap milidetik semakin lebar apalagi saat Giska berjalan ke arahnya.

Mulut Shagita menganga. Cewek itu lagi?

Sampai akhirnya Giska duduk di samping Shagita, dia sadar sudah menganga terlalu lama. Segera, dia mengatupkan mulutnya.

Giska Amelia. Cewek berambut panjang, berwajah pucat dan datar yang tidak Shagita lupakan sosoknya. Ciri-cirinya serta sikap misteriusnya. Apalagi senyum yang Samudera berikan untuk Giska lebih lebar daripada senyum yang dia berikan untuk Shagita.

Merasa diperhatikan, Giska menoleh pelan. Tatapannya beradu dengan manik hitam milik Shagita. Seketika, Shagita merasa dirinya beku. Entahlah, dia selalu tidak tenang dengan cewek bernama Giska ini. Tampangnya terlihat baik, dia tidak seperti Laura. Tapi, Shagita selalu merasa Giska lebih berbahaya dari Laura.

Bahaya karena bisa saja dia mengambil Samudera yang sudah Shagita sukai sejak lama. Apalagi sikap Samudera yang sedikit berbeda pada Giska membuat pikiran-pikiran negatif terus menguasai pikirannya.

Lalu, satu pertanyaan yang sama kembali muncul ke permukaan. Sebenarnya apa hubungan Giska dan Samudera?

"Lo kenal dia?"

"Lebih dari itu."

Apa yang dimaksud 'lebih dari itu' tempo hari?

"Shagita, ini Giska. Temen sekelas gue yang bakal gantiin Brian."

Ini terasa berbeda. Memang nyatanya berbeda. 

Alur novel "HOPE", apakah masih bisa Shagita percaya?

***

Makasih yang udah bacaa. Sehat dan bahagia selalu, yaa. 💚

Kiaaa 🌱

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top