Hope

Tangannya menjulur ke atas, bergerak melakukan posisi seakan menggapai sesuatu. Ya, dia memang tengah ingin menggapai suatu hal. Hal yang membuat ia merasa putus asa, tapi dia ingin berhasil. Walaupun gagal seberapa kalipun. Walaupun diri merasa lelah, ia akan terus mencoba.

"Bukankah rasa ingin menggapai sesuatu adalah hal wajar?"

"Tak salah jika aku berharap."

"Tapi, aku lelah. Apa boleh beristirahat sejenak?"

Dalam guyuran hujan dia berusaha mati-matian, terus mencoba walau letih menyiksa diri. Menangis pilu bersama cuaca yang turut mengikuti. Reki selalu mencoba dan berusaha, tak pernah berhenti malahan. Lalu kenapa ia selalu gagal? Apa semua usahanya tak cukup untuk membuahkan hasil?

Reki tak iri, hanya saja dia tak ingin tertinggal. Pemuda itu sudah sering memperhatikan Langa sahabat barunya tersebut. Melihat perkembangan yang berhasil menyiksa diri. Hatinya tersayat tiap kali melihat perjuangan dengan hasil impas yang Langa lakukan.

Lengan bergerak menutup netra, membiarkan air mata mengalir tanpa seorangpun ketahui. Hujan menemani diri, mengajak sang pemuda tak berhenti untuk sekedar merengek. Tubuh sejak tadi terbaring pada tanah, hujan membasahi tubuh tanpa permisi. Tangan satunya lagi menggapai kain yang selalu berada pada kepalanya, kemudian ia lepaskan. Tanpa sadar bahwa ia baru saja memperlihatkan rambut dengan keseluruhan. Bibirnya ia gigit, menyalurkan rasa sakit dengan sengaja. Menangisi keadaan sendiri, merutuk Tuhan yang terkesan tak adil. Perjuangannya tidak membuahkan hasil, tapi kenapa dia bisa?

Setiap kaki terdiam pada tempat 'S' telinganya selalu saja menangkap apa yang tak ingin dia dengar. Diri selalu mencoba untuk menghiraukan segalanya, tapi hati selalu terkoyak dengan mudah. Ia marah, pada mental yang tak ingin bertahan walau diri mencoba bertahan.

Ingatan Reki tak pernah lepas pada kejadian yang membuat dia merasa kehilangan kemampuan untuk bertahan, rasa lelah mulai menerpa diri kala itu. Saat kaki bergerak untuk menjalankan skeatboard memberi penyiksaan kala pinggang disentuh oleh seseorang. Adam yang selalu mengoceh perihal cinta memegang pinggang sang pemuda tanpa permisi, mendekatkan tubuh dengan sengaja membuat Reki kesulitan menyeimbangkan diri. Hatinya bersorak saat kepala hampir menyentuh tanah, menjadikan tangan sebagai penyanggah walau tahu akan terasa sakit. Pada bagian terakhir ia merasa bahwa diri akan mati, hampir saja menabrak pemuda sialan berambut biru lantaran cara bermain skeatboard yang tak kalah menyebalkan. Sengaja berbalik arah membuat Reki yang sedang meluncur mulus hampir menabrak Adam. Membuat dia bergerak spontan lantaran kaget, menabrak tanah berbukit kecil, tanpa sadar memberi luka pada tangan yang tak bersalah. Saat itu, Reki tahu bahwa dia masih punya kekurangan dalam banyak hal. Karena itu pula dia merasa ingin mencoba lagi, walaupun akhirnya berhenti lantaran hati merasa letih.

Ia bangkit, lalu duduk pada tempat yang sama seperti saat berbaring tadi. Menengadah ke atas langit sebentar lalu mengambil skeatboard yang terletak begitu saja. Dia berdiri kemudian melangkah bersama pilu hati.

"Sudah aku peringatkan untuk berhenti dan menyerah. Lalu, kenapa kau masih saja bertahan?"

"Iya, memang jelas kita berbeda. Kau tinggi, aku tidak."

"Jika diperumpamakan seperti hari kemarin. Aku berada pada penginapan pesanan Shadow dan kau berada pada penginapan pesanan Cherry. Jelas sekali bukan perbedaan antara keduanya?"

Ia berteriak begitu saja kala Langa mengatakan bahwa dia akan tetap lanjut untuk melawan Adam. Hati sang pemuda terasa teriris saat itu, padahal dia sudah sering mengatakan pada sang pemuda agar berhenti.

"Aku sudah bilang bahwa kemarin adalah yang terakhir, kau juga sudah janji 'kan?" Bibirnya terasa keluh, mengulas senyum pilu di sela pembicaraan. Menghiraukan air yang terus menetes dari rambut, lara hati menutupi rasa dingin penusuk kulit maupun tulang. Tubuhnya tak menggigil sedikitpun walau badan yang basah beradu dengan cuaca pada malam hari.

"Tapi—"

"Apa kau tidak takut?"  Reki bertanya, berharap akan mendapat jawaban yang sama dengan isi hati walaupun diri tau tiap manusia itu berbeda.

"Tidak. Bukankah lebih menyenangkan bertanding dengan orang yang lebih kuat? Apalagi, jika kita berhasil mengalahkannya dan aku ingin mencoba."

Jelas, garis perbedaan antara keduanya begitu besar. Reki tersenyum kecut, miris melihat diri sendiri. Terkekeh lalu menatap lekat sang pemuda bersurai biru. Berlalu pergi menghiraukan teriakan Langa yang menyerukan dirinya, berpura-pura tuli padahal tidak. Melirik sekilas skeatboard yang ia bawa sejak tadi. Rasa merinding tak henti menyelimuti diri tiap kali mengingat kejadian itu. Lalu, kenapa sahabat barunya tak merasakan hal yang sama? Apa dia yang terlalu lemah? Reki tidak tahu apa alasan sebenarnya dan sekarang ia telah mengambil keputusan. Reki akan berhenti, dia akan meninggal tempat yang paling membuat hatinya berbunga-bunga lantaran senang.

"Itu menyenangkan dan aku ingin mencobanya. Apa itu salah?"

Maniknya memperhatikan begitu lekat skeatboard yang dia pegang. Memori masih mengingat tentang pemuda berambut merah sebagai pembuat papan dengan roda tersebut. Bertanya pada diri sendiri kenapa Reki bisa pergi begitu saja? Bukankah ia hanya ingin mengalahkan seseorang yang begitu kuat? Bukankah itu hal normal?

Langa mencoba menepis apapun yang dia pikirkan. Menghapus Reki dalam relung dalamnya ingatan. Kakinya mulai naik ke atas skeatboard, berselancar begitu saja. Berlatih menghiraukan ramainya bintang yang tengah menatap.

Langa ingin mencoba mengalahkan Adam dan membuktikan pada Reki bahwa ia berhasil. Sebagai bukti bahwa dia bisa dan pemuda itu tak perlu khawatir tadi.

Langa, dia tak tahu bahwa bukan hanya itu dalih hati Reki yang tengah gundah.

"Sialan, aku tak bisa."

Derap langkah kaki bertempo begitu cepat beradu dengan tarikan napas, laju lari tak menurun sedikitpun. Reki marah pada dirinya sendiri, kenapa bisa segitu lemah? Niat ingin melupakan dan pergi tapi hati terlanjur mengajak untuk kembali. Membuat semua alur yang telah terencana hancur begitu saja. Tangannya terkepal kuat, menghiraukan nyeri yang bisa saja terbentuk. Laju lari menurun berganti dengan langkah, lalu terhenti sepenuhnya. Memegangi lutut yang terasa keram, mengontrol napas senetral mungkin. Jantungnya berdegup kencang, takut dengan apa yang akan dia lihat nanti. Miya, salah satu sahabatnya itu melirik ke arah Reki.

"Lama." Bocah itu yang tak tahu akan keadaan berseru. Niat mengomeli Reki yang lama baru menunjukkan batang hidungnya tertahan kala manik hijau menangkap senyum berbeda dari biasanya. Remaja berumur 13 tahun tersebut mengembalikan fokus ke arah sebuah layar— menunjukkan proses balapan skeatboard yang tengah terjadi.

Reki membelalakkan mata tatkala melihat pemuda bersurai biru terjatuh dalam derasnya laju skeatboard, tanpa pikir panjang langsung berlari begitu saja. Semuanya seakan ia hiraukan, termasuk rasa penat yang disingkirkan perasaan khawatir. Ia berhenti berlari, napasnya masih tak teratur. Netranya menatap ke arah Langa yang tengah terbaring.

"Sudah aku bilang 'kan? Agar kau segera berhenti."

Ah ... menyebalkan, lagi-lagi ia menangis, lara hati seakan datang kemudian menghilang kala sadar mungkin saja pemuda di hadapannya ini akan berhenti.

"Dasar keras kepala."

"Bukan cuma kau yang berharap, kau tahu?"

"Aku berharap untuk bisa melampauimu, dan kau berharap untuk mengalahkan orang yang membuat aku bergidik Geri tiap kali melihatnya."

"Begitu lucu, tapi aneh. Benar 'kan?"

Dengan keadaan tangan yang patah, apa itu cukup membuat pemuda dengan ambisi tinggi tersebut berhenti? Mungkin tidak, mungkin saja iya.

Ia memeluk erat Langa, menangis dalam sunyinya ruang rumah sakit. Lupa bahwa diri sempat marah dengan sang pemuda. Mengulas senyum lembut dalam sela tangisan.

"Janji, kau akan menetapinya kali ini 'kan? Langa."

Walau bibir terasa agak keluh, ia tetap mencoba untuk mengucap.

"Sekali saja, aku mohon jangan paksakan dirimu lagi."

—fin—

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top