1: Harapan Kosong

Teng... Teng...

Suara alunan piano terdengar. Aula yang tadinya sunyi, kini bersuara. Nada nan indah itu mulai menghiasi ruangan besar itu. Sosok gadis dengan surai (h/c)-nya kini tengah memainkan sebuah lagu. Canon, lagu yang mudah untuknya. Tidak begitu sulit, namun sangat indah di dengarkan.

Lagu itu terus mengalun. Hingga akhirnya berhenti di peunjung akhir lagu. Gadis itu membuka matanya, dan sorak sorai mulai menghiasi aula musical. Gadis tersebut berdiri, dan mulai membungkukkan tubuhnya. Obsidiannya yang dingin menatap setiap manusia kasta tinggi yang menepuk tangannya, dan memberikan berbagai pujian. Tentu dia tak bisa mendengarkan semuanya, namun dia tau dari ekspresi mereka. Kecuali satu orang, yang dia yakini adalah orang yang pertama kalinya menyentuhkan kakinya di tempat ini.

"Sangat membosankan..."

Sosok pria berambut putih dengan penampilan sangar itu kini masih duduk di tempatnya. Tidak ada niat sedikit pun untuk berdiri, dan memberikan sebuah tepuk tangan untuk gadis yang kini tengah tampil di depan. Dia malah menguap, dan menaruh kakinya di kursi depan, yang padahal ada orang yang duduk di sana. Namun tak berani menegur, karena tampang seramnya.

Sedangkan teman di sebelahnya itu hanya memutarkan bola matanya.

"Itu tak sopan, Samatoki." ujarnya.

"Lalu, apa urusanku? Jyuto."

Sosok yang di panggil Jyuto itu hanya menghela nafas, sambil membenarkan letak kacamatamya. Seharusnya, dia memang tak mengajak temannya satu ini ke sini. Sedangkan sosok pria tinggi minim ekspresi di sebelah mereka, hanya menatap mereka.

"Tapi setidaknya, berikanlah sedikit kesopanan. Karena kau itu adalah seorang yakuza bukan?"

Samatoki berdecih pelan. Tanda tak suka. Ingin dia cepat cepat pergi dari sini, dan mengerjakan pekerjaan Yakuzanya yang menunpuk. Samatoki menghela nafas. Tak ingin melanjutkan perdebatan, Jyuto kembali menghadap kedepan. Namun, dia sadar gadis di depan itu menatap ke arah mereka bertiga.

Sadar sudah di ketahui salah satu dari mereka, (y/n) mengalihkan pandangan, lalu turun dari panggung. Mengabaikan pujian yang selalu dia dengar setiap selesai konser pianonya.

'Membosankan.'

Batinnya pelan tanpa minat. Kapan acara ini akan selesai? Mengapa dia harus bermain lagi nanti? Kapan dia bisa pulang? (y/n) hanya menghela nafas panjang. Rasanya seperti dicekik oleh tali yang terus melilitnya hingga tak bisa terbebas lagi. Namun, dia bisa apa? Memberontak? Tentu, ia tau konsenkuensinya jika memberontak.

(y/n) terkekeh pelan. Menertawakan nasibnya saat ini. Entah apa yang bisa dia lakukan sekarang. Kini dia mulai bosan.

'Ka-san, onii-san. Aku rindu kalian.'

"(y/n), kau hebat."

(y/n) menolehkan kepalanya, dan mendapatkan sosok pria paruh baya yang kini tengah menatapnya bangga. (y/n) hanya tersenyum, canggung.

"Terima kasih, Tou-san." Ucapnya pelan.

"Suatu hari, kau bisa menjadi pianis terkenal."

Elusan pelan, kini terasa di kepala (y/n). Lalu pria itu pergi, meninggalkan (y/n) sendirian. Kembali, ia menghela nafas. Rasa letih kembali menjalarinya.

"Kapan, ini selesai?"

***

Waktu kini telah menunjukan tengah malam, aula kini sudah sepi tak berpenghuni. Hanya tinggal beberapa orang yang tengah berdiri di atas panggung. Sosok pria dengan senyum manisnya, kini menatap setiap orang di sana, bangga.

"Kalian luar biasa! Konser sekolah menjadi sangat meriah!"

Senyuman tersipu malu, wajah bangga maupun sombong kini menghiasi wajah mereka. Kecuali dengan (y/n), ia masih setia dengan wajah datarnya yang khas. Tak ada yamg perlu ia banggakan, yang harus dia lakukan adalah bermain piano dengan kesempurnaan.

"Jika begini, kita bisa mengadakan konser lagi! Bisa saja lebih meriah."

Teriak riang dan bangga terdengar. Namun, lagi lagi tidak dengan (y/n). Dia hanya memutarkan bola matanya, jenuh. Pria itu menyadarinya, dan hanya menggeleng maklum.

"Baiklah, kalian bisa pulang! Dan tepuk tangan untuk kesuksesan konser hari ini!"

Suara tepuk tangan dan riuh pun muncul, sambil membawa langkah kaki perginya satu persatu dari mereka. Hingga akhirnya tersisa (y/n) dengan pria di depannya. Hening sesaat, tak ada yang mau memulai pembicaraan. (y/n) pun juga tak mau, ia ingin cepat pulang dan pergi tidur.

"(y/n)-san. Aku ingin berbicara denganmu." Ucapan itu membuat (y/n) menolehkan kepalanya ke arah sang guru. Wajahnya yang datar jelas jelas memancarkan raut kebingungan.

"Ada apa, sensei?" tanyanya.

"Aku ingin memberi tahukanmu sesuatu."

Pemberitahuan itu hanya bisa membuat (y/n) melongo. Rasanya dia merinding membayangkannya. Dan itu adalah tanda tak suka.

***

Beberapa minggu berlalu. Kini suara burung berkicau terdengar. Sang dewi malam kini mengudurkan diri, dan di ganti dengan sang raja mentari. Langit yang tadinya pekat, kini menjadi biru terang, dipadu dengan jingga. Sosok gadis bersurai (h/c) kini terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Perlahan, ia merengangkan ototnya, lalu beranjak dari kasur empuknya. Kakinya melangkah menuju kamar mandi, dan mulai membasuh tubuhnya.

Beberapa menit berlalu, (y/n) kini telah mengenakan seragam sekolahnya. Namun, ada yang berbeda, entah apa itu. (y/n) melangkah keluar kamar, ekspresinya masih sama, datar. Kakinya menuruni tangga, dan matanya mendapati sosok pria paruh baya dengan seorang wanita. (y/n) memutarkan bola matanya malas. Hari ini dia harus makan dengan 'dia'.

"Ohayō, (y/n)-chan."

(y/n) tak menjawab. Ia hanya terus berjalan, hingga sampai di bangku. Mengabaikan seorang wanita yang terpaut usia jauh dengannya. Perempuan itu hanya menatapnya, maklum. Namun tidak dengan sosok pria yang tengah duduk di meja makan sambil membaca laporan keuangannya.

"Kau harus sopan dengan kaa-san, (y/n)."

(y/n) kembali memutarkan bola matanya, malas. Perlahan, dia mebalikkan tubuhnya, dan menatap wanita yang di panggil dengan 'Kaa-san' itu dengan datar.

"Mou..."

"Berikan salam yang benar, (y/n)!"

"Setidaknya aku sudah membalasnya!"

Mengabaikan protes ayahnya, (y/n) malah menatap tajam ke arahnya. Dan mulai melangkah pergi menjauh.

"Dengarkan aku! (y/n)!"

'Sudahlah, aku sudah tak peduli!'

(y/n) mempercepat langkahnya. Lalu akhirnya sampai di ruang tamu. Ia mengambil sepatunya, mengenakannya dan mulai beranjak pergi dari rumahnya. Mengambil sepeda di garasi, ia mulai mengayuhnya dan membawanya ke sekolah.

Helaan nafas berat kini terlihat. Wajahnya yang tadinya cerah, kini gelap. Matanya kini memancarkan rasa bosan. Apa yang harus ia lakukan saat pulang nanti? Meminta maaf pada Ayah dan Ibunya? Tidak, tidak mau dan tidak akan pernah! Untuk apa dia meminta maaf kepada ayahnya, dan ibu tirinya itu? Lebih baik, ia menyimpan kata maafnya untuk orang lain. Asik melamun, membuatnya mengabaikan sosok pemuda di sampingnya.

"Jadi, sampai kapan seorang nona (l/n) melamun?"

(y/n) menolehkan kepalanya. Dan mendapati tiga orang sosok berambut hitam kini tengah mengayuh sepedanya di sebelahnya. (y/n) mengulas senyum senang.

"Sejak kapan kalian di sini? Dasar tiga Yamada!" Ketiganya hanya memberikan senyum ramah.

"Kami di sini semejak kau melamun, (y/n). Sepertinya kau memikirkan sesuatu yang rumit, lagi?"

(y/n) hanya tersenyum kecut. Dia bersyukur memiliki teman yang pengertian. Kecuali untuk adik adiknya. Siapa yang mau di tolong oleh seorang brocon? Mungkin (y/n) malah akan tertawa, dari pada merasa tertolong. (y/n) kembali mendengus. Pikirannya masih kalut tentang kejadian di rumahnya tadi.

"Mau bercerita?" Ichiro berucap. (y/n) hanya tersenyum tipis.

"Tidak. Tidak ada yang perlu di ceritakan."

"Siapa juga yang akan mendengarnya."

(y/n) menatap tajam pemuda berambut sebahu itu. Tatapan keduanya kini beradu dan mungkin ada petir imajiner mengikuti.

"Sudahlah!"

(y/n) dan Jiro kini menatap kearah sosok pemuda yang lebih muda dari mereka. Saburo menatap malas keduannya. Tanpa mempedulian keduanya, dia terus mengayuh sepedanya menjauh.

"Dasar kekanak kanakkan." ucap Saburo tajam.

'Sialan!' batin keduanya.

Tak lama, akhirnya keduanya sampai di sebuah bangunan bernuansa klasik. Banyak siswa mau pun siswi masuk ke dalam sana. Terkadang ada yang saling menyapa, terkadang ada yang saling merangkul dan bercanda gurau. (y/n) menghela nafas. Seandainya saja, dia memiliki teman perempuan yang bisa di ajak seperti itu ... ah, urungkan niat untuk memiliki teman. Berhadapan dengan mereka saja begitu sulit.

Keempatnya kini memakirkan sepedanya di parkiran khusus. Kaki mereka mulai melangkah pergi untuk masuk ke dalam bangunan megah itu. Selang beberapa menit, kini segerombol gadis tengah menggeromboli trio Yamada.

"KYA! BUSTER BROS!"

Tak ingin terseret, (y/n) langsung pergi meninggalkan ketiganya. Mengabaikan teriakkan ketiganya untuk meminta tolong. Tertawa pelan, (y/n) sudah sampai di dalam sekolahnya. Ia mengganti sepatunya dengan sepatu khusus, lalu kini mulai masuk ke dalam.

Sora Melody School, adalah sekolah dengan kelas tinggi. Sekolah yang menghasilkan musisi mau pun penyanyi berbakat di seluruh Jepang, mau pun dunia. Memegang semua genre musik, dari Clasic sampai Pop.

(y/n) kini memasukki kelasnya. Dia memasuki jurusan musik di bidang piano clasic. Mau tak mau dia harus masuk ke sana. Walau pun, dia ingin sekali memasuki kelas menyanyi.

(y/n) lebih suka bernyanyi dari pada bermain piano.

Namun, tuntutan ayahnya membuatnya harus bermain piano. Meneruskan keturunan katanya. Walau kau tau, itu adalah permintaan ibu mau pun kakak, sebelum meninggal.

Ya, ibu dan kakak (y/n) sudah meninggal saat (y/n) SD.

Dia tak bisa mengingat dengan jelas, namun yang dia ketahui adalah keduanya meninggal akibat kecelakaan. Tabrak lari. Sangat ironis pikirnya.

Keduanya adalah seorang Pianis terkenal. Sedangkan ayahmu? Dia adalah seorang Direktur perusahaan yang mengeluarkan lagu lagu Clasik dari instrumenltal Piano, Biola, dan lainnya. Tentu, perusahaan itu sangatlah terkenal di seluruh Jepang. Dan itu, berpengaruh pada (y/n) juga.

"Ohayo, (y/n)-san."

Sosok gadis dengan surai indigonya kini menyapa (y/n). (y/n) hanya menangguk dan tersenyum kecil. Jujur saja, dia nyaris tak mengenal semua murid di kelasnya. Kecuali satu orang, dan itu adalah gurunya sendiri.

(y/n) tak pandai berosialisai, dia tau itu. Dia juga jarang memiliki simpati mau pun empati yang terkadang terbesit di pikirannya itu merepotkan. Hal itu membuatnya menjadi gadis pendiam dan acuh. Selang beberapa menit, kini (y/n) sudah duduk di bangkunya sendiri. Menaruh tasnya, ia menatap ke arah jendela dan memperharikan pemandangan di sana. Matanya kini menatap segerombolan orang yang menggeromboli tiga laki laki. Buster Bros, tentu saja. Siapa yang tak mengenalinya?

(y/n) merasa beruntung memiliki teman sepertinya. Setidaknya, dia merasa di hargai jika bersama mereka. Bukan di paksa, namun di dengar. Bukan di tuntut, tapi di ajak. Itulah yang membuatnya betah bersama ketiganya.

Kembali terbesit dalam ingatan (y/n). Rasa iri pun ikut menyertainya.

'Enaknya, bisa bernyanyi tanpa ada halangan...

Apa yang ku harapkan? Bisa bebas dari kekangan ayah dan bernyanyi sepuasnya? Tidak mungkin...

Ayah akan terus menuntut dan mengejarku. Dia tidak akan mau melepaskan kekangan sialan itu.

Bernyanyi hanyalah harapan kosong, yang ingin ku capai.

Tapi, sama sekali tak bisa.'

Setetes air mata lolos dari mata (y/n). Kini, yang bisa dia rasakan adalah, rasa pahit mau pun getir hidupnya. Tak ada yang bisa memaksanya untuk tersenyum terus bukan?

(y/n) menunduk, membiarkan air matanya mengalir sejenak. Tanpa ada suara isakan sedikit pun. Teringat perkataan Senseinya saat sepulang konser kemarin. Dan itu semakin membuatnya terpuruk.

'Memang, pantaskah aku mendapatkannya?'

Tbc

Note:

WHY INI ANEH!!!
/banting hp/

Hei!┐( ̄ヮ ̄)┌

Balik lagi dengan w di sini
Huh, hutang banyak yak www
Banyak cerita yang perlu di selesaikan satu satu...

Ku ingin nangid:')

Ok see you next chapXD

©Katarina_294

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top