Luka Olehnya

Saat ini aku berada di sebuah cafe, aku baru saja menyelesaikan tugas bersama teman-temanku. Dan saat ini aku masih di cafe ini, sendirian, sedangkan teman-temanku telah kembali dengan urusan mereka masing-masing. Jika kalian bertanya kenapa aku masih disini? alasannya karena aku merasa nyaman disini, dan satu alasan terbesarku yaitu aku merasa familiar dengan cafe ini. Tapi bahkan setelah berlama-lama disini, aku masih tidak ingat kapan aku pernah datang kesini sebelumnya?

Aku yakin bahwa aku pernah ke tempat ini, suasana, aroma, bahkan penataan dan desain cafe ini, aku merasa tak asing lagi bahkan pesanan yang aku pesan rasanya aku juga pernah memesannya. Aku sedang memperhatikan pintu depan tempat para pelanggan masuk. Lalu seorang gadis usia 25-an datang dan berjalan sejalan dengan arah tempat aku duduk, lalu tiba-tiba...

"Maaf, apa kamu sudah menunggu lama? Ah aku minta maaf sekali padamu, padahal aku yang membuat janji tapi aku malah terlambat," ucap seorang gadis menghampiri gadis lainnya yang sudah duduk di kursi cafe tengah menikmati americanonya.

Gadis itu mendongakkan pandangannya, "Ah tidak apa, aku juga baru saja tiba. Duduklah, kamu ingin memesan apa?" ia pun melambaikan tangan untuk memanggil pelayan

Setelah si gadis yang baru tiba selesai memesan, ia pun langsung memulai pembicaraan dan maksudnya meminta gadis itu datang ke cafe.

"Aku bisa meminta bantuanmu, Di?" ucapnya memohon.

"Sebelum itu aku ingin bertanya padamu, bagaimana kamu tahu namaku? Lalu darimana kamu mendapat nomor teleponku? Kamu tahu aku siapa?"

"Aku bodoh bila tak mengenalmu, aku pasti tahu siapa kamu, kamu kan yang mengirim surat-surat itu? Kamu juga kan yang sering membantu Refon? Selama ini kamu juga yang sebenarnya selalu ada untuknya, bahkan aku telah banyak kecolongan darimu, Dian," ucap gadis itu tersenyum.

Gadis yang bernama Dian itu tergagap, "Ba...bagaimana kamu tahu? Dan apa maksudmu? Kecolongan? Aku tidak mengerti."

Gadis itu hanya tersenyum semakin lebar, "Seharusnya kamu ada disana. Seharusnya kamulah yang benar-benar nyata ada disisinya, sehingga ia akan tahu bahwa tidak hanya aku yang menyayanginya, bahwa kebahagiaannya yang hilang sebenarnya tak sepenuhnya hilang. Ada kamu, ada kamu yang benar-benar menyayanginya. Ada kamu yang begitu perduli padanya. Ada kamu yang sanggup menyiapkan bahumu kala ia menangis. Tapi ia malah menganggap bahwa semua itu adalah aku, bahwa hanya aku satu-satunya penopang hidupnya. Tapi kini aku malah mengingkari janjiku. Aku malah akan melakukan hal yang sama seperti orang-orang itu," gadis itu perlahan menerawangkan pandangannya.

"Kamu bicara apa, kamu salah Mauren. Tidak seperti itu, aku tahu bahwa kamulah yang dibutuhkannya bukan aku. Bagaimana bisa aku menggantikan tempatmu? Aku bahkan baru mengenalnya beberapa tahun, sementara kamu sudah lama mengenalnya dan berada disisinya. Jadi itu wajar bila kamu yang dia anggap orang yang berarti dihidupnya, bukan aku, bukan orang asing ini yang tiba-tiba bertemu dengannya dan jadi penguntitnya," Dian merendah.

Mereka sama-sama terdiam, meresapi perkataan masing-masing.

Dian memecah kesunyiaan itu, "Tunggu, apa maksudmu kamu melakukan hal yang sama dengan orang-orang itu? Apa kamu....?" Dian tak mampu melanjutkan ucapannya dan hanya dapat menutup mulutnya.

Mauren mengangguk,"Kamu benar, Di. Aku akan pergi, aku akan melanjutkan sekolahku keluar negeri dan aku akan tinggal disana, kemungkinan aku tak akan kembali kesini. Untuk itu, aku meminta bantuanmu, aku mohon Di, aku mohon kamu bisa menggantikanku untuk berada disisi Refon. Aku ingin kamu benar-benar berada disisinya mulai sekarang, kamu harus memberitahu Refon akan keberadaanmu dan mengobati lukanya. Obati lukanya yang mungkin akan lebih sakit setelah ini, yang mungkin tidak akan semudah dulu untuk menyembuhkannya. Aku mohon padamu, Di," Mauren menggenggam erat tangan Dian dan matanya nampak berkaca-kaca.

"Tapi aku?" ucap Dian ragu.

"Aku mohon padamu Di, aku mohon. Aku yakin kamu akan selalu ada disisinya, kamu akan menyembuhkan semua lukanya, dan kamu akan memberinya kebahagiaan dengan caramu. Kamu tahu, sejak awal aku tahu tentangmu, aku yakin padamu. Aku yakin kamulah orang yang tepat bagi Refon. Melihat semua yang telah kamu lakukan, aku tahu bahwa kelak ketulusanmu pada Refon akan membuatnya bangkit, akan membuatnya kembali pada Refon yang dulu ku kenal. Percayalah Di, suatu saat kamu akan mendapatkan bahwa senyuman yang hadir di bibirnya adalah karenamu." Mauren memberikan senyum tulusnya, meyakinkan Dian akan semua hal yang ia katakan.

"Aku masih tidak tahu, apa aku bisa?" keraguan masih membayangi Dian.

"Percayalah bahwa waktu yang akan menjawab semua keraguanmu, baiklah sepertinya aku harus pergi, aku titip Refon, semoga kamu berhasil" Mauren beranjak pergi dengan sebelumnya menepuk punggung tangan Dian untuk menyemangatinya. Sementara Dian hanya memandangi dan tersenyum tipis.

Aku ingat sekarang, tempat ini. Aku bertemu Mauren terakhir kalinya disini. Setelah hari itu ia benar-benar menghilang. Dan apa yang ia katakan tentang Refon benar, Refon menjadi orang yang sama sekali tak ku kenal, ya Refon saat ini. Aku tak tahu apakah aku dapat mengubahnya kembali? Apakah perkataan Mauren waktu itu bisa terjadi? Aku bahkan masih  tak yakin dengan diriku sendiri karena sampai saat inipun aku masih tak dapat mengubahnya. Berapa lama lagi waktu akan menjawab semua usahaku? 

Aku ingat saat itu, setelah kepergian Mauren, Refon menjadi lebih dingin. Bahkan yang biasanya ia akan tersenyum saat ada seseorang menyapanya, kali ini ia hanya berlalu meninggalkan orang itu. Saat seluruh teman-teman sedang asyik berbincang, ia hanya terdiam. Saat orang lain tertawa ia tak pernah ikut tertawa. Dan ia lebih sering berada di perpustakaan dan menyibukkan dirinya.

Saat itu aku yang tak tahan dengan apa yang terjadi padanya, akhirnya memberanikan diriku untuk berada di dekatnya, untuk mengatakan padanya bahwa selama ini aku ada. Aku memulai dengan mengajaknya mengobrol saat istirahat. Ya waktu itu, tak sengaja hanya tempat duduk di depannya yang kosong, dan pada akhirnya aku terpaksa duduk di depannya. Kalian tahu? Seumur hidupku aku tak pernah secanggung itu duduk dengan orang lain. Aku yang biasanya selalu cerewet tak berkutik di depannya. Setelah bosan dengan kediaman kami, aku mencoba memulai pembicaraan.

"Ekhem....apa baksonya enak?" aku langsung memukul mulutku, pertanyaan macam apa yang aku keluarkan? Kenapa pertanyaanmu konyol sekali? Padahalkan aku ingin mengajaknya berbincang? Kalau seperti ini yang ada Refon malah kabur.

Ia hanya terdiam, dan aku tak berharap ia menjawab pertanyaanku yang tadi. Aku pun kembali bertanya, "Apa kamu sering duduk disini? Kamu sudah mengerjakan tugas fisika dari bu Hilda? Aku sudah mencoba mengerjakannya, tapi kamu tahu? Itu sulit sekali dan anak-anak juga membahas kalau tugas yang diberikan sangat sulit, tapi itu harus dikumpul besok kan? Bagaimana ini?" aku berbicara panjang lebar padanya. Karena aku terlalu bersemangat jadinya malah curhat, bagaimana ini? Apa ia akan menganggap aku gadis aneh? Karena baru sekali bicara dengannya malah sok dekat lagi. Apa dia akan ilfeel padaku? Aku pun memandangnya kemudian. Hei lihat dia hanya diam saja, apa ia tak marah? Atau kesal? Kenapa ekspresinya datar sekali?

"Aku pergi dulu"

Apa tadi? Hei apa tadi dia bicara padaku?Benarkah? Waa...aku senang sekali. Setidaknya walau ia tak menanggapi ucapanku ia sudah mau bicara padaku sedikit. Baiklah Dian, semangat! Masih ada esok hari, baiklah Refon tunggu aku ya. Aku akan buat kau mau bicara banyak padaku, lihat saja nanti.

"Hei kau melamun lagi?"








































Akhirnya part ini selesai juga, maaf kelamaan update dan kalo part ini gak dapat feelnya. Moga masih ada yang baca sama voment ya. See you at next part!

Clevi







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top