Cinta itu......Egois

"Kamu masih bersamanya" ucap seorang lelaki

"Astaga, bisa tidak sih kalau kamu datang tidak mengejutkanku?" lelaki itu datang tiba-tiba dan mengejutkanku yang sedang termenung di ruang tengah.

"maaf. Kamu tidak ingin jujur?" tanya dirinya kemudian

"tentang apa? Aku bahkan tidak berbohong"

"tentang perasaanmu, tentang segala hal"

"haha, apa maksudmu? Aku tidak mengerti, perasaan pada siapa? Aku benar-benar tidak mengerti apa yang kamu maksud"

"sudahlah Di, jujurlah pada perasaanmu. Kamu tidak ingin mengatakannya pada Refon? Bahwa kamu mencintainya? Bahkan sudah bertahun-tahun?"

"untuk apa? Apa itu penting?"

"itu penting, sangat....sangat penting, setidaknya bila Refon tahu perasaanmu, Refon dapat bersikap lebih baik"

"Refon baik, bahkan sangat baik padaku, lalu apa masalahnya"

"tidak, bukan itu, setidaknya Refon tahu bahwa kamulah yang selama ini ada disisinya, kamulah yang selalu berusaha agar ia tidak kesepian, bahwa selama ini semua yang ia inginkan sebenarnya berada di dekatnya"

"itu tidak penting, aku mencintainya tulus, aku yang selalu ada disisinya adalah karena keinginanku, dan aku tidak pernah mengharapkan ia tahu bahkan ikut membalas perasaanku"

"jangan bohong, kamu boleh berbohong padaku tapi jangan coba untuk membohongi dirimu sendiri. Aku tahu kamu sakit bahkan terluka saat ia bersama perempuan lain, aku benarkan?" ucapnya menasehatiku. Dan aku hanya terdiam.

"Kata-kata bahwa cinta itu tidak  butuh balasan, itu bullshit. Cinta itu egois, cinta itu ingin memiliki. Karena itulah cinta" lelaki itu masih berbicara dan tampak kesal sementara aku hanya semakin menundukkan kepalaku dan mencoba merenungi semua perkataannya.

"tidak, siapa bilang aku begitu, aku tidak begitu, kamu yang mengambil kesimpulan bahwa aku seperti itu" ucapku membantahnya dengan kesal juga. Aku tak ingin ia tahu bahwa aku mulai terpengaruh.

"baiklah, aku tak akan memaksamu, bahkan selama ini aku juga tidak bisa memaksamu, kamu sangat keras kepala, Di" dia akhirnya menyerah untuk kesekian kalinya. Ya aku memang keras kepala. Aku akui itu.

"maafkan aku, aku, aku...aku hanya belum siap. Aku belum siap menerima sakit bila aku mengatakannya. Aku takut" mataku berkaca-kaca setelah mendengar semua perkataannya. Aku belum siap menghadapi apa yang akan terjadi nanti. Dan kurasa, aku tak akan pernah siap.

"aku juga minta maaf karena selalu mengatakan ini. Maaf aku menyakitimu dengan kata-kataku"

Keheningan menyelimuti kami. Tidak ada yang memulai perbincangan kembali. Dan aku masih sibuk dengan pemikiranku.

"andai aku jadi Refon dan tahu ada gadis sepertimu yang selalu ada disisiku, aku pasti tak akan melepaskanmu, aku pasti akan membahagiakanmu dengan sepenuh hatiku, Di" ucapnya memecah keheningan ini

"terima kasih, kata-katamu membuatku merasa bahagia, terima kasih" ucapku tulus.

"tidak perlu, aku hanya ingin yang terbaik bagimu, bukankah aku sahabatmu? Baiklah aku pergi dulu, kalau kau butuh apa-apa, hubungi aku" lelaki itu pergi dan aku hanya tersenyum memandanginya hingga tubuhnya hilang dari penglihatanku.

Lelaki itu, dia sahabatku. Sahabat yang aku dapatkan tanpa sengaja, saat ia sering melihatku menjadi stalker Refon. Ia yang selalu memintaku untuk jujur tentang perasaanku pada Refon. Dia yang selalu mendukungku dengan apapun yang aku lakukan. Bahkan ia yang menenangkanku saat aku bersedih menceritakan tentang Refon. Dia, dia adalah satu-satunya orang yang sangat dekat denganku setelah keluargaku.

****

Lelaki itu bagaimana keadaannya sekarang? Bahkan aku sudah merindukannya kembali padahal baru beberapa jam berlalu. Apa ia baik-baik saja? Apa kini ia tengah bersedih dan mengingat masa lalunya bersama wanita itu?

Saat di mobilpun ia tampak tak benar-benar fokus mengemudi. Dan apa ia baru sadar kalau aku hanya diam setelah tiba di rumahku? Haha, ini menggelikan, apa yang kamu harapkan Dian? Kamu berharap ia perhatian padamu? Bahkan ia mau menemanimu saja itu adalah sebuah keberuntungan besar bagimu.

Tapi sampai kapan aku akan begini? Selalu disisinya dan terus saja terluka secara perlahan? Ternyata semua yang dikatakan sahabatku itu benar, cinta itu egois, cinta butuh untuk memiliki.

****

Kini aku sedang di kantin. Sedang melihat dimana keberadaan Refon. Ah itu dia, disudut kantin tengah menikmati makan siangnya dengan tenang. Aku pun buru-buru menghampirinya.

"Ref, boleh aku bertanya sesuatu?"

"Hmm"

"Begini, andaikan, hmm.....andaikan ya, kalau ada seseorang yang menyukaimu dan menyatakan perasaannya padamu, apakah kamu akan menerimanya?"

"....."dia tak menjawab dan mengernyitkan dahinya bingung.

"maksudku begini, temanku, ya temanku, dia ditembak oleh seorang perempuan lalu dia mengatakannya padaku, jadi aku ingin bertanya, apabila kamu berada di posisi temanku, apa yang kamu lakukan?" aku menanyakannya dengan jantung yang berdetak sangat cepat. Bahkan aku merasa seperti akan pingsan. Aku hanya ingin tahu apa tanggapan Refon, mungkin saja suatu saat aku akan berani untuk mengungkapkan perasaanku padanya.

"mungkin aku akan mempertimbangkannya"

"mempertimbangkan bagaimana?"

"mempertimbangkan untuk menerimanya"

"benarkah? Secepat itu? Apa kau tetap menerimanya walaupun kau tak menyukainya?"

"ya, karena aku juga tak ingin menyakitinya dengan menolaknya"

"ta...tapi, itu sama saja memberi harapan palsu padanya kan? Dan itu lebih menyakitinya. Kau tahu?" ucapnya keras

"kenapa kamu marah? Bukankah kamu bertanya pendapatku?" Refon tambah kebingungan

"ma...maaf, aku hanya terbawa suasana, hahaha, iya mungkin karena disini panas ya, uh panas sekali" aku kelepasan. Aku berpura-pura mengibaskan tanganku di depan Refon. Dan Refon tampak tak peduli dan kembali asyik dengan makanannya.

Andai kamu tahu bahwa apa yang kamu cari ada di dekatmu, apa kamu akan bahagia? Apa kamu akan bahagia bila tahu bahwa aku mencintaimu dengan tulus?

Aku tidak tahu sampai kapan aku bertahan, sampai kapan cinta yang aku punya hanya akan memandangmu? Dan apakah bila ada orang lain yang dapat kau jadikan harapan seperti sebelumnya, apa aku masih akan tersenyum untukmu?

Kurasa bukan cintalah yang egois, tapi aku. Akulah yang egois, aku ingin kamu melihat padaku. Kamu bersandar padaku. Kamu menjadikanku alasan untukmu tersenyum. Aku yang menjadi warna untuk hidupku. Karena tanpa kamu sadari, selama ini kamulah yang menjadi alasan semua itu dihidupku.















Akhirnya part ini selesai juga, gak tahulah gimana feel di part ini, dan ngerasa ceritanya makin ngaco. Yang pasti moga masih ada yang baca, yang suka. Dan kalau berkenan meninggalkan vomentnya, aku ucapin makasih.

Clevi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top