Awal semuanya
Author POV
6 tahun lalu
Lelaki itu tampak berjalan menyusuri taman yang berada tak jauh dari rumahnya. Menghirup udara pagi yang bersih dan tanpa polusi. Berbagai macam bunga dan pohon-pohon tinggi pelindung. Di bawah pohon itu terdapat beberapa kursi untuk tempat beristirahat dan ditengah-tengah taman bunga itu terdapat jalan setapak untuk bersepeda ataupun pengunjung berjalan santai. Dan tak lupa kicauan burung memperindah suasana taman itu. Taman itu kali ini ramai karena merupakan hari libur, tapi tak perlu khawatir, karena taman ini cukup luas sehingga pengunjung tetap dapat menikmati keindahan taman ini.
Saat sedang berjalan santai, ia menemukan seorang gadis yang tengah membelakanginya. Gadis itu tampak sedang mengintip sesuatu yang berada tak jauh dari penglihatannya yaitu tepatnya sebuah kursi di sudut utara taman. Lelaki itupun mengarahkan pandangannya ke tempat yang dilihat gadis itu. Dan disana, di kursi itu, ada seorang lelaki lain yang tampak tengah menikmati suasana taman sambil memejamkan matanya.
Lelaki yang melihat itupun bergerak mendekati si gadis. Berdiri dibelakang punggungnya dan berniat mengejutkannya.
"Apa Refon baik-baik saja?" ucap gadis itu.
"Dia tampak baik," ucap lelaki dibelakangnya.
"Kurasa juga begitu, ia terlihat lebih baik dari kemarin. Kemarin ia tampak sangat menyedihkan," gadis itu menimpali.
"Benarkah?" tanya lelaki itu.
"Benar, kau tahu? Bahkan kemarin ia menangis walau tanpa suara," gadis itu masih sibuk berbicara tanpa menyadari adanya keanehan.
"Kau tahu banyak ya tentangnya?" ucap lelaki itu lagi.
"Ten..." gadis itu menghentikan ucapannya saat ia tersadar akan sesuatu. Ia pun lekas membalik tubuhnya.
"Kamu?" ucap gadis itu terkejut.
"Hai Di, kita bertemu lagi," ucap lelaki itu dengan tersenyum lebar.
"Ka--mu---kamu kenapa ada disini?" gadis itu terbata karena terkejut.
"Rumahku dekat dari sini kalau kamu lupa, berarti wajar bukan bila aku ada disini? Dan aku baru tahu ternyata kamu sangat mengenal Refon. Apa kamu sedang menguntitnya? Kamu mau apa dengan Refon?" lelaki itu bertanya penasaran.
"Kamu ini kenapa bertanya banyak sekali? Aku jadi bingung menjawabnya. Tapi aku juga tidak ingin memberitahumu," ucap Dian acuh dan kembali memfokuskan pandangannya pada Refon. Ya lelaki yang sedang duduk itu adalah Refon.
"Wah kalau begitu, tak apa bukan bila aku memberitahu Refon, bahwa ada seorang gadis yang selama ini menguntitnya," timpal lelaki itu sambil tersenyum geli.
Dian mendelik, "Kamu! Mau kamu apa sih? Kamu mengancamku?," tatapan gadis itu pun terlihat mengerikan di mata lelaki itu.
"Hahaha," tawa lelaki itu meledak.
"Huh--hah--huh," lelaki itu berusaha menghentikan tawanya, saat Dian terlihat tak main-main.
"Apa kamu pikir itu lucu? Kamu kira aku pelawak?" Dian yang kesal mengeluarkan omelannya.
"Baiklah, aku salah, maaf. Lagipula kamu percaya? Kamu percaya aku akan memberitahu Refon? Ayolah, aku hanya bercanda. Aku hanya ingin tahu alasanmu," lelaki itu memandang serius pada Dian.
Dian yang dipandangi demikian, menjadi gugup. Ia terdiam.
"Apa kamu menyukai Refon?" lelaki itu memecah keheningan.
Dian melotot mendengarnya, seakan memberitahu lelaki itu bahwa perkataannya benar.
"Oh jadi benar. Aku sudah menduganya tahu".
Dia menunjuk ke kening Dian, "Disini, tertulis nama Refon".
Dengan refleks Dian memegang keningnya dan mengerucutkan bibirnya. Melihat hal itu, tak ayal membuat lelaki itu tertawa kembali dan semakin membuat Dian kesal.
Karena kegaduhan yang mereka buat, Refon yang berada tak jauh dari mereka, mencoba mencari tahu asal suara itu. Untungnya lelaki tersebut menyadari dan segera menyeret Dian untuk kembali bersembunyi.
"He--mph," Dian mencoba berteriak tetapi mulutnya langsung dibekap oleh lelaki itu, dan tubuhnya diseret untuk bersembunyi. Lelaki itu hanya meletakkan telunjuk di bibirnya untuk mengisyaratkan agar Dian diam.
Setelah aman, ia melepaskan bekapan pada mulut Dian, "Kamu tidak lihat tadi?" lelaki itu berkata pelan sambil mengawasi sekitar.
"Apa?" tanya Dian polos.
"Refon, tadi Refon hampir melihat kita, maka itu aku mengajakmu bersembunyi, bukankah kamu tak ingin diketahui Refon tengah menguntitnya?"
Dian hanya mengangguk. Tak lama Dian pun berdiri.
"Kalau begitu aku pergi dulu dan terima kasih sudah membantuku tadi," Dian pun beranjak dari sana. Tapi ia menghentikan langkahnya saat lelaki itu menginterupsinya.
"Hei! Bahkan kau belum menjawab pertanyaanku tadi," lelaki itu cukup terkejut akan yang dilakukan Dian dan kembali bertanya.
"Untuk apa kau tahu?" Dian menjawab dingin.
"Tentu aku harus tahu, kau pasti sangat mengerti mengapa aku harus tahu kan? Ah sudahlah ayo ikut aku," lelaki itu menyeret Dian pergi ke suatu tempat.
****
Refon tampak memegang sebuah figura foto. Ia tengah berada di kamarnya. Ia menatap lekat orang yang berada di foto itu.
"Ibu, kenapa ibu pergi? Kenapa ibu meninggalkanku sendiri? Aku sendirian bu, aku tak punya siapapun. Bahkan kini ibu yang selalu ada untukku juga meninggalkanku. Bagaimana aku menghadapi Ayah, Bu?
"Lalu siapa lagi yang akan berdiri disisiku, Bu? Siapa yang akan membuat aku bertahan, Bu? Ayah, dia tak pernah menyayangiku, sementara Refan, ia bahkan tak pernah tahu apa yang terjadi Bu. Bagaimana aku hidup jika ibu tak disini? Bagaimana aku bahagia bila ibu pergi? Kenapa ibu tak mengajakku? Apa ibu tak menyayangiku?Apa--apa--hiks...hiks," Refon terisak pilu sambil masih menggenggam pigura ibunya. Ia nampak sangat terluka. Bahunya bahkan berguncang hebat.
Tanpa ia sadari, ada seseorang yang tengah mengamatinya sedari tadi, dibalik pintu kamar yang sedikit terbuka. Melihat bagaimana rapuhnya seorang Refon. Bagaimana terlukanya lelaki itu.
Dalam tangis ia berucap, "Kamu masih punya aku Ref, apa kamu begitu terluka hingga lupa padaku? Tenang saja mulai sekarang aku yang akan terus ada disisimu", orang itu pun berlalu.
***
Kini disinilah mereka -Dian dan lelaki itu-, disebuah cafe yang cukup ramai pengunjung. Mereka duduk di sisi samping cafe yang menghadap langsung ke jalanan dan memperlihatkan aktivitas diluar cafe.
Dian masih saja dengan kediamannya karena kesal dengan seenaknya di paksa oleh lelaki itu ke tempat ini. Sementara si lelaki -pelaku pemaksaan- hanya tersenyum melihat tingkah Dian.
"Ayolah Dian, sampai kapan kamu mau diam? Aku mengajakmu kemari karena ingin mendengar ceritamu. Oh dan yang perlu kamu tahu, ini bukan pertama kalinya aku melihatmu melakukan hal tadi," ucap lelaki itu agar Dian tak lagi bungkam.
Tak ada jawaban. Dian hanya terdiam di tempat duduknya mengamati suasana luar cafe. Tampak tak peduli dengan apa yang lelaki itu katakan.
"Aku melihatmu di sekolah, aku melihatmu saat kau memberikan bukumu untuk Refon yang saat itu tak membawa bukunya dan berakhir kamu yang menerima hukuman. Saat itu aku tak sengaja ada di kelas dan melihat semuanya."
Dian tampak mulai tertarik namun ia tak memindahkan pandangan dari jalanan, "Aku melihatmu yang diam-diam menyelipkan sebuah surat di loker Refon dan yang paling membuatku terkejut adalah saat kemarin di taman" perkataan lelaki itu mengejutkan Dian.
"A--aku" Dian tergagap dan tak mampu berucap.
"Apa yang kamu lakukan itu? Mengapa kamu malah menelefon Mauren? Padahal kamu bisa saja melakukannya sendiri. Padahal kamu bisa menghibur Refon saat ia bersedih kehilangan ibunya"
"Kamu tidak tahu, kamu tak akan pernah tahu"
"Tentu saja aku tak tahu, maka dari itu ceritakan padaku. Aku, aku hanya ingin menjadi temanmu, aku yang melihat ketulusanmu merasa bahwa kau adalah teman yang baik"
"Terima kasih tapi aku belum bisa mengatakan alasanku padamu. Tapi aku bersedia menjadi temanmu" Dian tersenyum dan lelaki itu balas tersenyum.
Seiring berjalannya waktu, mereka semakin dekat. Lelaki itu selalu berada disisi Dian, selalu mendengar apapun masalah yang sedang dihadapi Dian, yang kebanyakan hanya menceritakan Refon.
Dian, ia seperti bayangan Refon. Ia selalu ada dimana pun Refon berada. Ia ada tapi tak terlihat dan tak pernah disadari oleh Refon.
Dian melakukan segalanya, ia berada disisi Refon dengan berbagai cara. Sekolah di tempat Refon bersekolah. Mengamati Refon dari jauh kapanpun. Membantu Refon secara diam-diam. Mengiriminya surat untuk menyemangati Refon. Dan banyak hal lainnya.
Sedangkan Refon, ia berusaha bangkit setelah ibunya meninggalkannya. Ia selalu dikirimi sebuah surat yang terletak di lokernya setiap pagi. Surat itu berisi kata-kata penyemangat untuknya. Dan hampir setiap hari secara kebetulan, Mauren selalu hadir didekatnya. Hingga Refon berfikir bahwa semua surat itu dari Mauren.
Dan Dian, pengirim semua surat itu, ia hanya membiarkannya. Ia tak pernah mempermasalahkan Refon yang salah mengenali orang. Yang ia tahu, dengan suratnya Refon dapat bangkit. Dan dengan adanya Mauren, Refon mempunyai harapan yang baru lagi.
Akhirnya part ini selesai, maaf kalo lama update tapi udah panjang kan? Maaf kalo masih ada typo. Dan juga kalo feel di part ini gak ada. Dan buat reader yang kasih voment, makasih. Sampai jumpa di part selanjutnya. Moga updatenya bisa lebih cepet.
Clevi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top