Summer [2]: Hujan yang Mengguyur Tokyo

Playlist: Most Girls - Hailee Steinfeld
---------------

"Kau sedang apa?"

Tubuhku terlonjak kaget begitu mendengar suara bentakan tepat di belakangku. Tanganku yang memegang gelas ukur kaca, meluncur begitu saja hingga terdengar suara pecahan kaca yang bertemu lantai. Aku memandang seram, melihat pecahan kaca di sekitar kakiku.

"Astaga! Mengapa kau jatuhkan?" bentaknya lagi.

Aku memandang kesal ke orang yang sudah berada di sampingku. "Mengapa teriak-teriak, sih? Aku jadi kaget tahu tidak?"

"Minggir," lelaki itu menyenggol tubuhku hingga terdorong ke belakang, "siapa suruh melakukan hal-hal bodoh?"

"Hal bodoh apalagi, sih? Senpai, memang sengaja mencari masalah, kan?"

Akira Senpai berjongkok dan memunguti pecahan kaca akibat perbuatanku. Aku hanya diam, tidak berniat membantunya. "Mencari masalah? Jelas-jelas aku menyuruhmu mengambil pipet, tapi kau malah bermain-main dengan gelas ukur. Masih mengatakan aku yang salah?"

Aku hanya diam, tidak menjawabnya. Memang sih, aku yang salah. Hanya saja, dia tidak perlu berteriak-teriak, kan? Kalau yang lain melakukan kesalahan, dia pasti hanya bilang 'tidak apa-apa' atau 'kau masih belajar' tapi kalau itu aku, dia pasti berteriak seperti orang gila.

Baiklah, aku tahu dia pasti agak mendendam padaku karena beberapa waktu yang lalu. Namun, itu perlombaan pertamaku dan tidak menyangka akan melakukan kesalahan cukup fatal. Kalau saja di final aku tidak cepat-cepat memencet bel di pertanyaan terakhir, mungkin kami bisa mendapat juara pertama. Namun, kebodohanku membuat kami hanya mendapat juara kedua. Hari itu, benar-benar menjadi neraka. Aku dimusuhi habis-habisan oleh Senpai ini, bahkan dia terus saja mengomel selama perjalanan ke Tokyo.

Dendamnya benar-benar tidak mudah surut. Meskipun Kobaya Sensei mengatakan semua baik-baik saja dan tidak menyalahkanku, tapi Akira Senpai sama sekali tidak peduli. Contohnya saja hari ini, dia ada latihan praktek untuk kelas fisika. Padahal, aku tidak ada urusan untuk bergabung di sini, tapi dia terus menyuruhku mengambil ini dan itu.

Kusenderkan pinggangku di meja belakang. Melihatnya yang sibuk membersihkan pecahan kaca. Wajahnya yang tampak serius, bibirnya yang mengerut kesal, matanya yang menatap tajam mencari pecahan kaca. Tampan, tapi psiko.

"Hanya diam saja?" Lamunanku terbuyar, aku tidak sadar kalau lelaki di depanku ini sedang menatapku dengan raut paling mengerikan. Aku memalingkan muka. "Memang begini ya anak orang kaya. Tidak pernah bertanggung jawab."

Diam. Aku tidak berniat menjawabnya, meski pada kenyataannya bukan seperti itu. Aku bisa apa? Jujur saja, beberapa kali saat dia menyindirku seperti ini, aku ingin mengatakan semuanya. Aku ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Namun, apa yang akan terjadi nanti? Aku justru menggali lubung ke dalam neraka.

Aku ingin berteriak, kalau dia salah dan aku tidak seperti yang dia ucapkan, tapi semua itu tertahan di ujung bibir. Andaikan saja, aku bisa mengatakan semua isi pikiranku, andaikan aku bisa jujur padanya. Aku ingin mengatakan semuanya, aku dan dia tidak berbeda. Hidup di dunia yang sama. Lagi-lagi, hanya bisa diam dan mematung. Aku tahu, sikapnya begini hanya padaku, dan orang-orang kaya sejenis teman-temanku. Dia selalu bersikap baik dan sopan pada anak tim lomba lain, bahkan tidak segan untuk membantu. Namun ... tidak padaku.

"Aku pulang dulu," ujarku melewatinya yang hanya menatapku tanpa suara. Aku mengambil tasku di bangku dan keluar dari ruang tim lomba.

Aku lelah. Benar-benar lelah dengan semua drama ini. Aku bisa mendengar jelas suaranya mengomel dengan jengkel. Abaikan saja, Suzume.

Dengan sengaja, aku menutup pintu dengan cukup kencang hingga menimbulkan suara berdebum. Ada suara teriakan Akira Senpai yang menggema memanggil namaku. Masa bodoh, aku terus berjalan meninggalkan ruang klub dengan langkah cepat. Aku menukar sepatu di loker dan buru-buru ingin meninggalkan lingkungan sekolah. Lagi pula, aku sudah terlambat untuk pergi bekerja.

Ah, sial. Langkahku tertahan begitu menyadari hujan sedang menyerang dengan rintik yang cukup deras. Aku lupa membawa payung.

Aku tidak tahu berapa banyak kesialanku yang sedang datang menimpa bertubi-tubi. Senior yang menyebalkan, rintik hujan yang sedang mengguyur Tokyo, Takeo yang tidak bisa datang menjemput, dan juga ini jam untuk pergi bekerja. Memang semua harus menjadi satu untuk memecah otakku.

Bukannya aku berniat menyalahkan Takeo, hanya saja aku kecewa begitu membaca pesan karena dia tidak bisa mengantarku bekerja. Namun, dia sudah berjanji akan mengantarku ke kafe. Memang sih, aku harusnya bersedih karena Takeo memberitahuku kalau Ibunya dilarikan ke rumah sakit. Pasti saat ini dia sedang terkejut, dan harusnya aku memberinya semangat dan bukan mengeluh seperti anak kecil. Toh, selama ini Takeo selalu ada untukku.

Lagi pula, kalau dipikir-pikir ini kesalahanku. Mengapa juga aku tidak membawa payung? Padahal sudah jelas saat ini sedang musim hujan karena akan ada pergantian musim semi ke musim panas.

Biasanya, aku pasti akan menyukai menimkmati waktu melihat hujan hingga rintiknya benar-benar berhenti. Namun, hari ini tidak. Ishikawa Sensei sudah memberitahuku kalau hari ini akan ada reservasi untuk acara penting. Pasti aku sedang ditunggu, tapi hujannya juga masih cukup deras.

"Kupikir kau sudah kabur pulang, ternyata sedang melihat hujan seperti orang bodoh."

Mengapa, sih, aku harus bertemu orang ini di saat begini? Aku hanya meliriknya yang sudah berada di sampingku, mengeluarkan payung berwarna hijau muda. Andaikan aku bisa meminjam payungnya. Sayangnya, aku masih punya ego untuk tidak melakukan itu.

"Mau kuantar? Tapi kau pasti tidak mau, kan?" Aku melongok tidak percaya, kalimat itu keluar dari bibirnya. Meski memang nadanya sangat menyebalkan hingga aku ingin menenggelamkannya.

"Kau serius?" tanyaku tak percaya.

"Kalau kau mau. Kau, kan, tahu kalau aku hanya naik sepeda, bukan mobil mewah senama BMW."

"Mau," ucapku cepat, sebelum dia berubah pikiran.

"Kau sedang buru-buru, ya? Memang di mana supirmu? Ikut aku sini."

Aku tidak menjawab pertanyaannya dan hanya mengekorinya melewati jalan kecil yang tak terguyur air hujan. Tempat parkir sepeda, memang di sini ada tempat khusus untuk siswa yang membawa sepeda beroda dua itu.

"Kau mau kuantar ke mana?"

"Kafe dekat sini."

Akira Senpai menatapku bingung. Mungkin tidak menyangka dengan jawaban yang keluar dari bibirku. "Ah, bertemu dengan teman-temanmu itu, ya?"

Aku menggeleng pelan. "Kau akan terkejut kalau kuberi tahu."

Akira Senpai memberiku kode untuk naik di bangku belakang sepedanya. "Nih, kau yang pegang payung agar kita tidak kehujanan. Jangan hanya untuk menyelamatkan dirimu sendiri dari hujan."

Aku membuka payung hijau muda itu dan memegangnya. Tangan kiriku berpegangan pada pundak Senpai.

"Memang kau memiliki rahasia super, ya?" tanyanya sembari mengayuh sepeda keluar dari area sekolah.

"Kalau aku cerita, kau mungkin akan lebih benci padaku. Nanti belok kanan di pertigaan itu."

"Kau sudah menilaiku seperti itu, ya?" ujarnya dengan nada dingin.

Entah mengapa bibirku ini dengan mudahnya ingin menceritakan semuanya. Kebohongan ini, drama memuakkan ini, hidup yang dirangkai dengan tipu muslihat. Aku ingin menceritakannya, dan aku berharap Akira Senpai mau mendengarkanku.

"Aku anak beasiswa dan juga aku mau pergi kerja part-time."

Tubuhku menabrak pungungg Akira Senpai begitu dia mengerem sepedanya dengan mendadak. Aku mengadu karena hidungku terasa berdenyut. Nyaris saja, payung di tanganku ikutan meluncur.

"Kau bercanda?" Kali ini dia menoleh ke belakang dan menatapku dengan sorot mata tak percaya seolah aku mencoba menipunya. "Kau berbohong, kan?"

Aku mengangguk. "Iya, aku berbohong. Berbohong tentang semua ini. Hidup mewah? Orang kaya? Rumah di Azabu? Yap, itu semua kebohongan yang dianggap nyata. Kalau kau tanya sebuah fakta, aku anak beasiswa yang nyaris tidak mampu untuk masuk di sekolah swasta tanpa bantuan beasiswa."

Akira Senpai kembali mengayuh sepedanya. Kali ini dia tidak bersuara atau berniat berkomentar satu dua patah kata. Mungkin dia memberiku ruang untuk bercerita.

"Aku bahkan tidak tahu dari mana keberanian bibir ini untuk mengucapkan sebuah kebohongan yang begitu indah. Waktu pengenalan sekolah, aku tidak sengaja bertemu Takeo dan teman-temanku yang lain. Anehnya, mereka mengira aku adalah bagian yang sama dengan mereka. Aku berusaha menghindar, aku tidak mau terlibat. Namun, mereka menarikku ke dalam sana dan memaksaku membuat kebohongan ini. Aku tahu, aku memiliki pilihan untuk menolak. Aku tahu, aku ini mungkin memang menginginkan semua ini. Tiba-tiba semua itu membuatku merangkai sendiri kebohongan ini. Kukatakan rumahku di dekat Azabu, kubiarkan orang mengatakan aku anak orang kaya, aku memakai pakaian bagus, aku dekat dengan teman-temanku dan membiarkan mereka memberi pakaian mereka seolah itu sudah biasa. Aku membiarkan semuanya begitu saja. Namun, aku takut untuk jujur. Bagaimana kalau mereka menjauhiku? Bagaimana kalau mereka mengatakan aku pembohong? Bagaimana kalau mereka menjadi musuh? Bagaimana kalau mereka menjadikanku korban bully? Semua itu belum ada yang terjadi, namun aku sangat takut. Aku tahu, aku bodoh, aku melihat mereka mengganggu anak yang tidak mampu. Aku takut jika aku berada di sana, tapi aku hanya bisa diam. Mengikuti gaya hidup mereka? Aku terpaksa harus bekerja demi bisa ikut mereka berbelanja, pergi ke kafe keren, minum alkohol hingga mabuk. Terlalu banyak drama yang melelahkan."

Tanpa sadar, aku menitikkan air mata. Sial, mengapa aku harus menangis, sih? Mengapa juga aku harus menceritakan masalah ini pada Akira Senpai? Memangnya, aku berharap apa? Dia akan memahamiku? Bagaimana kalau dia justru membocorkan segalanya?

Kau memang gegabah, Suzume.

"Mengapa kau ceritakan padaku?"

Aku tersenyum tipis mendengar pertanyaannya. Itu juga yang kutanyakan. "Aku sendiri tidak tahu. Mengapa aku membongkar rahasiaku di hadapanmu?"

"Aku tidak akan mengatakan pada yang lain."

Satu kalimat itu, cukup satu kalimat itu. Entah mengapa hatiku begitu terenyuh, seolah ada beban berat yang terangkat.

"Di ujung gang nanti belok ke kiri nanti ada kafe dengan papan nama Brotherhood," aku tidak tahu apa yang terjadi tapi aku merasa inilah Akira Senpai yang sebenarnya, "Aku tahu ini mungkin konyol tapi aku merasa memiliki teman untuk berbagi masalah. Kau tidak menyalahkanku? Tidak menghinaku? Bukannya itu hobimu, Senpai?"

"Aku tidak suka cara teman-temanmu memperlakukan anak beasiswa. Mereka menyebalkan, dan kau juga menyebalkan karena berteman dengan mereka. Aku memang suka menilai orang sesukanya, karena kebanyakan orang seperti mereka selalu seenaknya. Menipu dan memeras uang orang lain, tapi merasa paling baik. Kau tahu? Berbohong itu tidak baik, tapi aku juga tidak bisa menghakimimu. Masalahmu itu rumit, aku tahu. Aku hanya ingin bilang, lebih baik menjadi dirimu sendiri. Sekeras apa pun dunia membencimu, tapi dunia lebih membencimu ketika tahu kau berbohong. Sudah sampai."

Akira Senpai menghentikan sepedanya tepat di kafe Brotherhood. Aku bisa melihat ada Ishikawa Sensei yang sedang mengelap kaca depan kafe. Yumi tidak terlihat, mungkin sedang membereskan bagian dalam kafe.

Aku turun dari sepeda dan menyodorkan payung milik Akira Senpai. "Namun, dibenci dunia itu menyakitkan. Saat aku terlena dunia menyayangiku, aku akan berusaha agar dunia tetap melakukannya. Setidaknya, biarkan ini bertahan hingga aku lulus. Terima kasih tumpangannya."

"Aku hanya memberimu saran. Aku pergi dulu."

Akira Senpai mengayuh sepedanya meninggalkanku. Punggungnya kian menjauh, entah mengapa kata-katanya membuatku merasa menjadi manusia paling berdosa saat ini.

"Kekasihmu?" Aku terlonjak kaget begitu Ishikawa Sensei sudah berada di belakangku. Matanya terlihat jahil ingin menggodaku. "Pantas saja kau lama."

"Bukan begitu. Bukan kekasihku, hanya orang menyebalkan yang tiba-tiba bertingkah baik hati."

"Namun, kau suka? Akhir-akhir ini banyak sekali lelaki yang datang, ya? Jadi ... kau memilih yang mana? Lelaki yang membawa mobil itu juga sangat tampan, tapi yang ini juga tidak kalah tampan."

"Jangan menggodaku!" teriakku sembari berlari masuk ke dalam kafe. "Yumi-san, tolong aku!"

Word 1796

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top