Summer [1]: Keanehan Akira

Playlist: Generation Why - Conan Gray

Harumi

Kau sudah siap-siap untuk besok? Jangan sampai ada yang tertinggal @Suzume

Musim panas sudah tiba dan kau harus bersama Senpai yang menyebalkan

Takeo

Besok berangkat jam berapa? Mau kuantar?

Wah, tidak terasa, ya, sudah memasuki musim panas

Suzume

Sudah kok. Hanya dua hari, jadi tidak perlu membawa terlalu banyak @Harumi.

Besok jam delapan, tidak usah, aku langsung berangkat sendiri saja @Takeo

Selamat musim panas, teman-teman

Shizuko

Semangat Suzume! Kau pasti bisa!

Kalau sudah pulang, kita harus jalan-jalan bersama

Akemi

Pokoknya kau harus menang! Temanku ini memang paling best!

Rei

Suzume mau ke mana?

Ada apa ini? Mengapa aku tidak tahu apa-apa

Ayo, pergi ke festival musim panas

Harumi

Dasar si bodoh satu ini! Temanmu akan pergi lomba

Bagaimana bisa sih kau tidak tahu?

Ayo! Tunggu Suzume pulang! Kita harus pergi bersama

Rei

Oh ya? Maafkan, aku tidak tahu hehehe

Semangat Suzume!

Kau yang terbaik!

Suzume

Terima kasih teman-teman

Kalian memang yang terbaik

Aku tidak sabar pergi dengan kalian!

Takeo

Kau tidak tidur?

Besok terlambat bangun, loh

Akemi

Iya, nih

Cepat tidur!

Suzume

Selamat malam, kalian juga cepat tidur

*Hontou no Koto Itte Kudasai*

Jam sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Tanganku memutar-mutar arloji di pergelangan tangan dengan cemas, aku menunggu di stasiun tapi orang bernama Akira Kojima belum juga menunjukkan batang hidungnya. Aku menurunkan ransel yang menempel di pundak sembari mengecek ponsel, namun pesanku belum juga dibalas.

Sesekali aku memperhatikan lalu lalang orang yang lewat, tidak satu pun ada batang hidung dari Senpai yang kucari-cari. Di mana, sih? Bagaimana kalau ketinggalan kereta? Mataku berusaha menyipit dan fokus mencari orang yang sekiranya menunjukkan gelagat sama denganku.

Nihil. Aku tidak menemukan apa pun. Coba saja kalau aku yang datang terlambat, pasti sudah dicaci-maki.

"Kau dari mana saja, sih?"

Aku terlonjak kaget begitu suara muncul di balik pundak. Refleks aku menoleh ke belakang, menemukan orang yang sedari tadi kucari. Lama? Apa tidak salah?

Hari ini dia memakai topi hingga membuat rambut-rambut yang menutupi wajahnya tersibak sempurna, seolah ingin memamerkan ketampanan yang selalu tersembunyi. Penampilannya terlihat berbeda dengan setelan kaus dan celana jeans selutut yang dipakainya. Dia menggantungkan ransel hanya di sebelah pundak kirinya. Tangan kanannya dimasukkan ke saku celana, melihatnya begini membuatku merasa sedang dipandangi oleh model ternama. Apalagi, style yang dikenakannya saat ini benar-benar boyfriend look sekali.

"Aku? Kau tidak lihat ponselmu, ya? Kau yang sama sekali tidak bisa dihubungi!" omelku kesal. Aku memakai ransel yang tergeletak di bawah kaki. "Harusnya aku yang bertanya, dari mana saja kau, Senpai?"

"Kau itu yang lama! Ayo cepat! Kita bisa ketinggalan kereta!"

Tiba-tiba saja Akira Senpai menggandeng tanganku dengan cukup erat. Belum juga keterkejutanku berkurang atau sempat mengajukan sebuah protes, dia sudah berlari cukup cepat hingga membuatku kewalahan mengikuti langkahnya. Tubuhnya tinggi jenjang tampak menjulang seolah menghalangi sinar matahari untuk menerpaku.

Suara pengumuman kereta mengatakan jika kereta yang kami tumpangi akan segera berangkat, membuat Akira Senpai mempercepat larinya. Tak peduli jika menabrak beberapa orang. Aku yang digandeng, hanya bisa berusaha mengekorinya dengan kecepatan yang sama. Padahal, aku paling payah dalam pelajaran olahraga. Jantungku terasa dipompa terus-menerus, hingga bisa saja meledak.

Akira Senpai melompat ke salah satu gerbong kereta, yang kuikuti juga. Kakiku tak sengaja terantuk dengan pinggiran kereta, dengan sigap dia menahan tubuhku agar tidak menabraknya.

Entah sejak kapan juga, pautan jari kami sudah terlepas. Aku menetralkan jantungku yang berdegup kencang dengan memijatnya pelan. Bukan, tentu saja bukan, karena jarinya yang bersentuhan denganku. Ini pasti karena olahraga pagi yang mendadak.

"Kau di mana saja, sih?" Dia berkacak pinggang di depanku, tangan kirinya asyik mengarahkan botol minum ke bibirnya. Namun matanya tak lepas menatapku dengan sorot tajam.

"Kau memberiku nomor ponsel, tapi kau tidak melihatnya? Kau tidak lihat aku sudah menghubungimu beberapa kali?" Aku tidak akan mengalah untuk kali ini. Sudah jelas siapa yang slaah, bukan aku.

Dia mengerutkan dahinya sembari mengeluarkan benda bernama ponsel dari kantong celananya. Aku menunggunya mengucapkan permintaan maaf atau apa pun, tapi nihil. Dia hanya melihatnya sebentar kemudian mengembalikan lagi ke kantong celana.

"Tidak ingin berkata maaf?" ucapku sebal. Aku meneguk botol minum yang kubawa di ransel. Segar sekali, seolah inilah namanya nikmat dunia di saat tenggorokan kering keronta. Aku menyenderkan tubuhku di dinding kereta, kakiku terasa gemetaran.

Mata tajam itu menatapku seolah ingin memberi sebuah kutukan. Tak lama dia mengedikkan bahu. "Aku sudah sampai dari tadi, kok. Kau saja yang terlalu kecil sampai tidak kelihatan. Jangan salahkan aku."

Hah? Mataku melotot sempurna melihatnya yang tidak mau merasa bersalah, bahkan masih bisa-bisanya membela diri. Dia melewatiku dan mengambil duduk di bangku kosong, aku mengambil langkah cepat untuk menyusul tepat di sebelahnya.

"Minta maaf, dong. Jelas-jelas kau yang salah! Coba kalau aku yang salah, kau pasti marah-marah."

"Diamlah. Lebih baik kau belajar dibanding menunggu permintaan maafku yang tidak berguna. Memang sebegitu penting, ya? Tidak, kan?" gerutunya. Dia melepaskan kacamata bulat yang menempel di wajahnya dan memejamkan mata.

Anehnya, meski masih sangat kesal tapi aku selalu suka saat-saat bisa memperhatikan wajahnya dengan jelas. Ini aneh dan tidak masuk akal.

Tunggu, kenapa ini terasa tidak adil, ya? Dia tahu kalau dia salah tapi tidak mau meminta maaf padaku. Benar-benar keterlaluan. Menyebalkan sekali ini. Sudahlah, aku tidak mau memusingkannya lagi. Lebih baik aku mengambil buku sebelum orang di sebelahku mengomel. Padahal dia hanya perlu mengatakan maaf, sesusah itu, ya?

Perjalanan kami terasa cukup panjang, meski kota yang kami tuju cukup dekat dari Tokyo. Selama itu pun, tidak ada perbincangan. Dia sibuk tidur, aku sibuk membaca. Sesekali dia terbangun dan bertanya sudah berada di mana, lalu kembali memejamkan mata.

Suara speaker dari petugas kereta berbunyi, mengatakan kalau stasiun pemberhentian selanjutnya adalah tujuan kami. Buru-buru, aku membangunkan Akira Senpai yang tampak tertidur pulas. Aku tidak tega melihatnya, tapi kalau tidak dibangunkan kami bisa-bisa sampai di kota orang tidak dikenal.

"Senpai, bangun. Sudah tiba, nih." Aku mengguncangkan tubuhnya pelan.

Ada suara erangan yang menunjukkan penolakan. Dia mengucek matanya pelan, beberapa kali mengerjapkannya, membuat penyesuaian untuk matanya. "Kacamataku?" erangnya pelan. Aku mengambilkan kacamata yang dia letakkan di pahanya.

"Nih, pakailah."

Akira Senpai memakai kacamata bulatnya. Aku merapikan buku-buku dan memasukkan ke dalam ransel. Beberapa orang tampak mulai mendekati area pintu keluar kereta. Aku pikir, Akira Senpai akan meninggalkanku dan bergabung dengan orang-orang itu. Nyatanya tidak, dia menungguku yang kewalahan memasukkan buku.

"Sudah?" tanyanya, begitu aku menurunkan resleting tasku.

Aku mengangguk menanggapinya sembari bangkit berdiri dan ikut berbaris dengan orang-orang di sana. Akira Senpai mengekor di belakangku. Tangan kanannya berpegangan pada pegangan kereta, satunya memegang pundakku. Entah mengapa aku merasa seperti dia sedang menjagaku agar tidak terdorong-dorong oleh kerumunan. Ini hanya perasaanku saja, kan?

Orang seperti dia, tidak mungkin melakukan hal seperti itu padaku!

Word: 1.083

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top