Spring [9]: Senpai Itu Menyebalkan!
Playlist: Shoot Me - Day6
--------------------
"Bodoh sekali, sih! Hanya begini saja tidak bisa. Aku benar-benar tidak bisa kalau sekelompok dengan anak ini! Bodoh sekali!"
Aku mengelus dada, memang dia kira hanya dirinya saja yang emosi? Emosiku juga sudah dipuncak dan siap meledak. Belum lagi dia selalu mencecar setiap kelakuanku. Tidak sengaja mematahkan pensil, dimarahin. Menjawab jawaban salah, dimarahin. Menyenggol lengannya, dimarahin. Tidak bisa datang latihan, dihukum menulis 'aku bersalah' sebanyak lima ratus kali. Bahkan, bertanya rumus saja, aku dicecar habis-habisan seperti ini. Siapa bilang neraka hanya ada waktu kita mati? Ini neraka kehidupan yang nyata dan jelas.
"Siapa juga yang mau sekelompok denganmu? Ini terpaksa, ya! Lagi pula aku hanya bertanya, tinggal dijelaskan, bukannya marah-marah," sungutku tidak mau kalah. "Pelit sekali, sih."
"Aduh sudahlah kalian, dari hari minggu lalu kalian bertengkar terus. Ayolah, Akira, kau ajari Suzume, dong. Kalian kan sudah dipilih Kobaya Sensei langsung, nilai kalian yang paling tinggi waktu tes pertama." Mika Senpai lagi-lagi berusaha membujuk orang keras kepala ini. "Kau tahu, kan, Suzume masih tingkat pertama. Kau pasti lebih banyak paham dibanding Suzume."
"Ralat, aku yang paling tinggi. Dia nomor dua. Lagi pula, anak ini memang bermalas-malasan."
Aku berkacak pinggang sembari menyodorkan lembar soal ke meja di hadapannya. "Ya sudah, kerjakan saja sendiri, Orang Sombong!"
Kalau saja waktu itu aku tidak emosi dan mengerjakannya lebih santai, mungkin nilaiku tidak akan setinggi itu. Sial, aku tidak tahu kalau tes yang dilakukan minggu lalu –saat aku datang terlambat—itu adalah tes untuk mememilih anggota yang akan dijadikan tim untuk dikirim lomba di luar kota. Sialnya lagi, nilai kami paling tinggi sehingga kami dijadikan pasangan.
Seminggu ini benar-benar mimpi buruk. Aku harus benar-benar mencari waktu untuk kerja freelance, mencari waktu untuk belajar bersama dengan si penggila buku ini. Belum lagi, dia selalu mengajak ke perpustakaan jam sepuluh malam, karena dia baru selesai kerja freelance—sama sih sepertiku. Selama itu juga, aku sama sekali tidak bisa pergi dengan teman-temanku. Takeo yang paling banyak protes karena aku semakin sulit ditemui.
"Suzume-san, jangan marah. Akira, minta maaf dong ke Suzume. Kau ini kasar sekali, sih?" Mika Senpai menahan tanganku begitu aku berniat membereskan barangku dari meja.
Aku melirik lelaki di sebelahku yang masih diam saja, sampai wajah Mika Senpai memohon. Aku menghela napas panjang, tidak tega melihat Mika Senpai seperti itu. Kali ini aku akan mencoba mengalah lagi.
"Percuma bicara dengan orang kasar seperti dia, Senpai," ucapku sembari meletakkan kembali tasku. "Biar aku saja yang mengalah!"
Tanganku langsung mengambil buku kumpulan rumus dan membaca lagi soal yang sempat kubuang ke meja Senpai menyebalkan satu ini. Mika Senpai menghela napas sembari tersenyum.
"Aku tinggal dulu, ya," katanya yang kuberi anggukan.
"Kerjamu itu hanya bermain-main saja, ya? Soal semudah ini sampai tidak bisa mengerjakan, apa jangan-jangan nilaimu itu juga hasil sogokan? Itu kan yang suka kau lakukan dengan teman-temanmu? Menggunakan uang."
Aku diam saja, tidak berniat membalas omongannya. Aku tahu akan percuma, kami sudah sering berdebat untuk masalah seperti ini dan dia akan berakhir dengan menghinaku. Kali ini memang dia sangat keterlaluan, tapi aku bisa apa? Tidak ada yang tahu kalau aku bukan anak orang kaya, menanggapinya justru bisa membuatku keceplosan dengan hal-hal yang tidak perlu.
Tangannya yang sedari tadi hanya berpangku di depan dada, tiba-tiba sibuk menulis sesuatu di kertas. Aku meliriknya, dia sedang menuliskan rumus yang dari tadi kutanyakan. Dasar, memangnya harus menghinaku dulu, ya?
Dia menyodorkannya ke mejaku, dengan cepat aku meremas kertas itu dan meletakkan kembali di mejanya. "Tidak perlu!"
Aku meliriknya tajam, dia membalas tatapanku dengan tatapan yang tidak kalah tajam. Mungkin juga terkejut dengan yang baru saja kulakukan. Dia menggerutu tidak jelas, yang pasti tidak terima dengan tingkahku.
"Tidak tahu terima kasih," cetusnya kesal.
Aku kembali sibuk menulis rumus yang tadi susah payah kuingat. Sebenarnya, tadi aku sudah membaca rumusnya, hanya saja gengsi dong jika aku semudah itu kalah dari dirinya. Di mana harga diriku kalau hanya senilai kertas rumus? Padahal dia mengatakan hal yang menyakitkan seperti itu.
"Kau mencatat rumusku," wajahnya tepat berada di sampingku, sampai aku menahan napas karena terkejut, "wah, padahal gayamu sombong sekali."
"Apa, sih?" sungutku tidak terima. "Aku tuh sudah tahu, enak sekali menuduh orang."
"Oh ya? Padahal itu tadi rumus yang aku modifikasi sendiri, loh. Buku mana yang kau lihat?"
Aku membulatkan mataku, tanpa sadar aku langsung menoleh ke samping. Sial, wajahnya dekat sekali. Mataku dan matanya hanya berjarak beberapa centi, hingga aku bisa jelas menatap kedua bola mata yang tersembunyi di balik kacamata. Tatapannya sangat tajam seolah bisa membunuh siapa saja hanya melalui tatapan mata. Tatapan menyelidik, seperti dia bisa mengerti semua yang aku pikirkan.
Dia memutar bola matanya. "Kenapa melihatku sedekat ini membuatmu jatuh cinta? Sampai tidak berkedip."
Buru-buru, aku membuang muka. Sial, bagaimana bisa aku terpana seperti itu? Sial, sial, menatap bola matanya sampai seperti itu.
"Kau tuh yang dekat-dekat. Kenapa? Kau suka denganku, ya?" balasku tak kalah sewot.
"Bermimpi sana!"
*Hontou no Koto Itte Kudasai*
Aku mengelap meja dengan malas, entah mengapa hari ini rasanya sangat melelahkan sekali. Pesan dari Takeo juga belum sempat aku balas. Terlalu banyak yang harus dikerjakan, sampai tidak ada waktu untuk bersantai. Untung saja hari ini kafe tutup lebih cepat dari biasanya.
"Kau belakangan ini sibuk sekali, ya, Suzume-chan?" Yumi menepuk pundakku lembut, aku tersenyum simpul menanggapinya. "Ada masalah?"
"Ada orang yang sangat menyebalkan, satu minggu ini benar-benar terasa seperti sedang di neraka. Aku seperti tidak memiliki waktu untuk bernapas."
"Kekasihmu?" tanya Yumi sembari membantuku menata kursi yang berantakan.
"Yah! Bukan! Dia itu seperti iblis, kalau aku sampai berpacaran dengannya, berarti aku akan masuk neraka," cetusku sebal, sampai tanpa sadar memukulkan kain lap ke meja.
Yumi terbahak melihatku. "Hati-hati nanti tumbuh benih-benih cinta, loh."
"Jangan didoakan seperti itu, dong!"
Yumi duduk di bangku hadapanku. Kedua tangannya menopang dagu, sibuk memperhatikanku sembari tersenyum penuh arti.
"Ada apa, sih?" tanyaku, terganggu dengan sikapnya yang tidak bisa kutebak. Yumi hanya menggeleng, tapi masih tersenyum penuh arti. Aku sampai bingung dibuatnya. "Kau membuatku malu tanpa alasan kalau seperti itu."
"Suzume ini orangnya ceria sekali, ya? Aku pikir kau ini agak sombong dan pendiam, ternyata cukup cerewet juga, ya? Mungkin, dia hanya belum mengenal Suzume. Mungkin saja dia juga berpikir sepertiku, tapi kalau Suzume mau sabar, dia pasti akan memahami Suzume." Yumi memamerkan senyumnya hingga lesung pipinya tampak, manis sekali.
"Kau mengira aku sombong? Astaga, apa mukaku seperti itu? Kalau orang itu, sih, kupikir tidak akan berpikir begitu. Dia sudah salah paham dari awal, dia tuh seperti suka menilai orang dari sudut pandangnya sendiri. Teman-temanku bahkan benci sekali, aku tidak berani cerita ke mereka. Aku takut mereka akan memarahi orang ini, padahal aku ingin sekali cerita."
Aku mengambil bangku di samping dan mendaratkan pantatku. Dengusan kesal berhasil lolos dari bibirku. Yumi memperhatikanku sembari tersenyum kecil.
"Percaya, deh! Aku dulu juga kenal orang yang seperti itu."
Yah, memang sih aku merasa kalau Akira Senpai itu tidak jahat. Aku hanya merasa dia mungkin memiliki alasannya sendiri, sama sepertiku. Bukankah setiap orang memiliki caranya sendiri untuk bertahan hidup? Entah berbohong, bersikap sok kuat, atau pun mati-matian menjadi diri sendiri.
Word: 1178
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top