Spring [8]: Terjebak di Neraka Baru

Playlist:  Hazel - Carlie Hanson
-------------------------

Gebrakan meja yang tepat menusuk gendang telinga, berhasil membuatku gelagapan. Aku berusaha mengangkat wajah yang menempel di meja, melirik sebal ke Harumi yang baru saja melakukan tindakan anarkis itu.

"Eh? Maaf, kau lagi tidur, ya?" katanya begitu menyadari aku mengerang kesal. Aku mendongakkan kepala sembari berpangku tangan. "Emi, Emi, kau sudah tahu beritanya? Hanbin, keluar dari iKON."

Aku bisa merasakan beberapa pasang mata yang menoleh ke arah kami, seolah ingin tahu topik yang akan dibahas Harumi. Yah, aku tahu, sebagian besar anak perempuan di kelas ini adalah penggila idol-idol Korea Selatan. Selain itu, kehadiran Harumi dan teriakannya itu menandakan dia akan membawa gosip-gosip yang sedang panas, jadi wajar banyak ingin tahu.

"Katanya dia beli narkoba, astaga apalagi ini? Habis kasus Seungri, sekarang kasus Hanbin. Kau sudah beli tiket mereka, kan? Kau masih mau menonton? Padahal biasmu itu Hanbin, kan?" cetus Akemi yang sudah tampak berapi-api dengan topik yang dibawa Harumi.

Harumi sedikit berjengit dan menempelkan pantatnya ke meja. "Entahlah, aku kecewa sekali dengan YG. Aku ingin percaya kalau Hanbin tidak pakai dan cuma beli, hanya saja berita yang beredar justru membuat aku ragu. Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Jujur saja, aku tidak tertarik untuk datang konser, iKon tanpa Hanbin tuh ... tidak tahu deh." Harumi memukul-mukul tangannya ke meja. Ada suara isakan kecil, aku mendongak dan menemukan Harumi yang sedang menangis.

"Hey! Jangan menangis," hiburku, mengelus-elus tangannya.

"Iya, sudahlah jangan menangis," tambah Akemi, "kau harus rasional. Tunggu saja beritanya berakhir bagaimana, jangan termakan spekulasi dari media dulu."

"Menjadi k-popers itu berat, ya?" cicitku pelan.

"Berat sekali! Waktu idolmu tersandung kasus, itu rasanya berat sekali. Kalau gosip beradar tentang idolmu, rasanya ingin berteriak dan membela dia mati-matian, seperti membela belahan jiwa," jawab Akemi sembari menempelkan wajahnya di meja.

Aku memperhatikan wajah Harumi yang terlihat murung. Ada jejak bekas air mata di wajahnya. Padahal setiap pagi dia selalu datang dengan heboh dan bercerita tentang lelaki yang dikencaninya. Melihatnya seperti ini, seperti sedang diputuskan kekasih.

"Aku ingin sekali mendatangi Hanbin, aku ingin mengatakan kalau dia harus kuat. Dia pasti sedang rapuh sekali," gumam Harumi sembari menatap ponselnya. Aku melirik sedikit, di sana ada foto lelaki berambut cokelat tua, matanya agak sipit dan menatap tajam, bibir merahnya tersenyum kecil.

"Itu, ya?" tanyaku, menunjuk foto yang ada di ponsel Harumi. Dia mengangguk menanggapiku. "iKon, ya? Aku hanya tahu lagu mereka yang love scenario. Lagunya bagus sekali, sekali dengar tapi membuat terngiang-ngiang sepanjang hari."

"Hanbin yang membuat lagu itu. Kenapa? Kenapa coba harus Hanbin? Kenapa harus orang sehebat dia ...," Harumi mengacak rambutnya dengan frustrasi. "Kenapa YG tidak menahan Hanbin? Tidak masuk akal!"

"Ada apa?" tanya Shizuko yang baru muncul di balik bahu Harumi sembari memberikan tasnya padaku. Aku mengambil tas Shizuko sembari meletakkan di meja belakangku.

"Hanbin," jawab Akemi seolah memberi kode ke Shizuko.

Shizuko melirik Harumi sekilas, kemudian mengangguk-angguk seolah mengerti semua masalah yang sedang Harumi rasakan. Dia menepuk-nepuk pundak Harumi pelan.

"Semua orang juga lagi sedih, kok. Mereka juga tahu ini tidak adil buat Hanbin," hibur Shizuko. "Ada petisi juga, kan? Aku sudah isi, kau sudah?"

Harumi mengangguk lemah.

Suara ketukan pintu membuyarkan semua obrolan dan keributan di kelas. Semua mata tertuju pada seorang lelaki paruh baya di depan sana. Takeda Sensei. Harumi dan Shizuko bahkan sudah duduk di bangkunya.

"Ohayou gozaimasu," sapanya.

"Ohayou gozaimasu, Sensei," balas kami serempak.

"Hari ini saya mau menyampaikan beberapa hal. Saya akan umumkan beberapa nama yang lolos untuk bergabung dalam tim lomba sekolah. Ayatsuki Haruka, Suzume Yamashita, Sayaka Misa menjadi perwakilan kelas 1-A untuk tim lomba. Sepulang sekolah akan ada pertemuan di ruang tim lomba yang ada di ujung koridor lantai 2, dekat ruang klub jurnalistik. Kalian tahu, kan?"

Astaga, aku lolos? Demi apa? Neraka macam apa yang akan aku temui?

Takeo dan Rei menoleh ke arahku, mereka menunjukkan ekspresi tidak percaya. Aku hanya mengerutkan dahi, tidak tahu harus bagaimana.

"Si jenius!" ledek Rei sembari mencolek daguku yang langsung mendapat pukul dari Takeo. "Aw, singanya marah."

Shizuko menjawil pundakku sembari berbisik, "Selamat, kau hebat sekali! Aku bangga deh, memang kebanggaan Glass Squad."

"Memang kebanggaan kita, kan? Suzume, berikan sedikit kepintaranmu untukku," rengek Akemi yang menggamit lenganku.

"Padahal kau tidak pernah kelihatan belajar, main sama kita juga sampai malam. Kapan kau belajar? Hebat sekali, sih." Kali ini Harumi melongokkan kepalanya ke depan. Tampaknya dia sudah tidak sesedih tadi, dia sudah bisa tersenyum. "Jadi iri deh. Kau sama sekali tidak perlu khawatir nilai turun, tidak khawatir dipaksa ikut bermacam-macam les."

Les? Yah, aku ingin sekali ikut berbagai macam les, belajar dengan tutor. Sayangnya, aku tidak mungkin bisa berada di lingkungan yang seperti itu. Terlalu jauh untuk aku gapai.

"Kau harus mengajari kami kalau ada ujian! Padahal kau bilang hanya belajar dari tutor, kau tidak mau mengenalkan tutormu padaku?" timpal Takeo, "jangan hanya disimpan sendiri ilmunya."

Aku hanya tertawa kecil menanggapi mereka.

"Eh ... tim lomba? Astaga, bagaimana ini?" cetus Akemi heboh, hingga kami menatapnya bingung.

"Ada apa?" tanya Rei ikutan panik.

"Itu kan .... Senpai yang menyebalkan itu, loh. Kau bertemu dengannya, dong? Bagaimana ini?" jawab Akemi yang membuat ketakutanku semakin menjadi. Yah, aku sudah menyadari ini sejak namaku disebut, neraka yang akan aku temui. Aku benar-benar tidak mau kalau harus bertemu dengannya, dia menyeramkan sekali.

"Ah! Akira Senpai! Iya, ya, bagaimana bisa aku lupa orang menyebalkan itu?!" omel Harumi dari belakang. Tangannya mengetuk-ketukkan jari di meja.

"Bagaimana kalau kau tidak jadi bergabung? Kalau kau dirisak bagaimana?" cecar Takeo panik, "Iya, benar! Kau tidak jadi bergabung saja, ya? Dia pasti mengganggumu!"

"Benar, benar. Kemarin aku dan Takeo bertemu dia di kantin, kau tahu dia seenaknya menabrak pundak Takeo," tambah Rei. "Lalu dia menatap kami sinis, padahal dia yang mulai duluan. Orang gila!"

Takeo mengangguk-angguk setuju. "Hampir saja kemarin ada perkelahian, kalau teman-teman perempuannya tidak meminta maaf. Menyebalkan sekali."

Benarkah? Mengapa menyeramkan sekali, sih?

"Hanya saja itu tidak bisa dibatalkan begitu saja. Aku akan jauh-jauh dari dia. Aku janji."

*Hontou no Koto Itte Kudasai*

Aku terengah-engah begitu sudah sampai di depan ruang tim lomba. Pintunya terbuka sedikit, sehingga aku bisa mendengar suara-suara percakapan di dalamnya. Aku memukul-mukul dada pelan, berlari dari kantin ke lantai dua itu melelahkan.

"Halo." Aku mengetuk pelan pintu ruang tim lomba, sembari melongokkan kepala.

Mendadak semua percakapan mereka yang bising menjadi sangat hening. Semuanya menatapku dengan sorot yang tidak bisa kugambarkan. Ada yang penasaran, ada yang terganggu, ada yang mengerutkan dahi. Sayaka dan Haruka sudah berada di dalam, mereka duduk bersebelahan.

Ternyata, ruang tim lomba itu mirip dengan dengan laboratorium biologi, waktu itu aku tidak sempat mengintip rungannya. Waktu daftar pun, formulir sudah disiapkan di depan ruang klub. Ada meja dan bangku panjang yang bersekat-sekat, mejanya panjang berbaris ke belakang lima dan bangku-bangku yang diisi di antara meja. Di depan ada papan tulis yang ukurannya setengah dari papan kelas. Wah! Dindingnya putih bersih, tapi kenapa ruangannya agak berbau obat.

Seorang gadis yang berdiri di dekat papan tampak ingin bertanya. Buru-buru aku berujar, "Suzume. Suzume Yamashita," ucapku setengah terengah karena jantungku terasa masih dipompa dengan cepat. " Maaf terlambat." Aku membungkuk sedikit.

Gadis yang di depan menaikkan alisnya sedikit, tampak berpikir. "Oh! Ayo, silakan masuk. Kau duduk di sini ya." Gadis itu menujuk sebuah bangku kosong di sisi kanan meja paling depan.

"Iya, Senpai." Buru-buru aku langsung duduk di bangku yang ditunjuk.

Aku merasakan aura tidak enak di sampingku. Diam-diam, aku melirik dan ... sial, lelaki di sebelahku ini kan Senpai yang waktu itu. Akira Senpai. Astaga, dia melirikku tajam seolah ingin membunuhku. Memang sih, aku pasti menyebalkan sekali karena sudah seenaknya masuk, belum lagi dendam pribadi yang dia punya dengan gengku. Kenapa aku sangat sial, sih?

Harusnya tadi aku menolak saat Takeo memaksaku menemaninya makan. Ah, menyebalkan sekali. Kalau begini namanya, bukan berjauhan tapi jadi sangat dekat!

Lagi pula, kenapa sih aku akhir-akhir ini terus-terusan terikat dan tidak bisa menolak Takeo? Apalagi sesudah kejadian di Osaka, aku dan Takeo lebih sering pergi bersama. Dia sering mengajakku makan dan nonton film, tentu saja berdua. Kurasa, tidak ada yang menyadari kalau hubunganku dan Takeo ... agak serius? Atau hanya aku yang merasa seperti itu? Bisa saja dia juga melakukan hal itu ke Akemi, Shizuko, bahkan Harumi.

Aku menggelengkan kepalaku cepat. Fokus, fokus.

"Kau kenapa?" tanya Senpai menyebalkan itu. Sorot matanya masih melirikku tajam dari balik bingkai kacamatanya. Aku menggeleng lemah. "Ini kerjakan. Jangan melamun saja, yang lain sudah mulai dari tadi."

Dia menyodorkan lembaran kertas yang berisi soal-soal. Di atasnya tertulis latihan pertama tim lomba. Oke, Suzume, sekarang waktunya fokus.

Aku melirik kertas lelaki di sebelahku. Akira Kojima, 2-B. Eh? Aku terkejut begitu tangannya menutup lembar jawaban, refleks aku langsung mendongak, berusaha mencari tahu ada apa.

Sialnya, yang kutemukan adalah wajah sewot yang melirikku remeh. "Kerjakan sendiri, jangan menyontek! Sudah datang terlambat, tapi melihat jawaban orang. Anak orang kaya memang seenaknya saja!" gerutunya dengan suara berbisik.

Astaga. Aku membulatkan bola mataku, tak percaya dengan kata-kata yang baru saja kudengar. Gila, gila, ini gila. Dia kira aku mau menyalin jawabannya? Aku mengurut pelan dahiku, rasanya seluruh aliran darahku akan meledak saja.

Aku membalasnya dengan lirikan sinis, dan fokus ke lembar soalku. Sial, dia kira aku tukang sontek? Aku membaca soal-soal yang tertulis di kertas, beberapa materi sudah pernah aku dapatkan di kelas, beberapa materi sudah pernah aku pelajari sendiri. Dia kira aku bodoh?

Tanganku kananku sibuk mengisi lembar jawaban, sedangkan tangan kiriku mengetik-ketikkan angka di kalkulator. Nilaiku harus lebih tinggi dari Senpai menyebalkan ini. Beberapa kali aku mengembuskan napas kesal, aku tahu lelaki ini terganggu dengan kelakukanku. Biarkan saja, biar dia tidak bisa fokus.

"Bisa diam?" tegurnya dingin.

Tuh kan, lelaki ini memang menyebalkan. Aku tidak tahu deh kenapa dia harus sesewot ini. Yah, memang sih yang waktu itu kami cukup keterlaluan. Hanya saja, meski wajahnya cukup tampan, tapi kelakuannya memang menyebalkan dari sana. Tidak salah kalau teman-temanku emosi menghadapinya.

"Orang mau bernapas, kok! Hak semua orang," balasku tidak kalah sewot.

Word: 1.645

Akira Kojima

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top