Spring [7]: Glass Squad
Playlist: We Like 2 Party - Big Bang
------------------------------
"Jangan seperti itu, nanti tanganmu terluka." Takeo mengambil pisau di tanganku dan menggeser posisi di sebelah. "Hati-hati, dong. Kalau terluka bagaimana?"
Aku memperhatikan Takeo yang dengan cekatan memotong daging. Tadi, aku kepayahan sekali dalam memotongnya, tapi melihat begitu lincah tangan Takeo, entah mengapa daging itu terlihat mudah sekali dipotong.
Sudah hari kelima sejak kami sampai di Osaka, villa keluarga Harumi benar-benar mewah. Meskipun tidak begitu besar, tapi benar-benar memamerkan mewah keluarga Suzuki. Banyak barang antik mahal yang dipajang, berbagai lukisan dari seniman terkenal, kamar besar dengan kasur berukuran king size, belum lagi dengan peralatan dapur super lengkap dan canggih. Kulkas di villa ini mirip dengan yang sering kulihat di acara-acara kuliner TV—saat para koki mengambil bahan memasak. Kata Harumi, memang sengaja tidak begitu besar agar wartawan tidak berdatangan saat keluarganya sedang berlibur. Tidak besar tapi super mewah. Meski begitu, penjagaannya tetap ketat. Ada enam bodyguard yang menyambut di hari kedatangan kami, juga ada sekitar lima sampai enam pembantu rumah tangga yang dipekerjakan. Hanya saja, semua pembantu disuruh pulang sampai kami balik ke Tokyo, alasannya karena Harumi ingin merasakan suasana berlibur yang asyik –bukannya, dimanja dan dimasakkan seperti biasanya. Kalau aku sih pasti suka sekali kalau dilayani.
Bisa dibilang ini hari terakhir kami di Osaka. Besok pukul sembilan, rencananya kami akan bertolak ke Tokyo karena itu malam nanti kami mengadakan pesta BBQ.
Omong-omong, soal Takeo dan aku tampaknya kami berdua sepakat untuk bersikap seperti biasa. Tentu saja tidak ada pembicaraan tentang kesepakatan ini, hanya merasa lebih baik begitu. Toh, Takeo juga tidak membahas masalah di Circle K, dia juga tidak menggodaku lagi. Aku memutuskan untuk berhenti merasa pede dari sikap Takeo. Itu cuma perasaanku saja! Jangan berlebihan!
Tentang liburan di Osaka, lima hari ke belakang kami hanya bermain-main di villa. Habisnya, di sini terasa lengkap, ada kolam renang, ruang bermain, studio kecil untuk menonton film. Sesekali kami keluar untuk mencari cemilan dan mengunjungi taman bermain. Oh ya, kalau soal bir di rumah ini sudah ada rak khusus yang menyimpan berbagai macam merek minuman beralkohol itu. Ayah Harumi bahkan memiliki gudang penyimpanan anggur fermentasi sendiri.
"Woi!" Lamunanku terbuyar begitu Takeo menjentikkan jari tepat di hadapanku.
"Apa?"
Takeo mendekatkan wajahnya ke arahku. Dekat sekali, sampai aku takut untuk bernapas. "Jangan melamun, aku dari tadi bicara tidak kaudengarkan. Kejam sekali, ya? Lihat dagingnya, sudah cukup belum potongannya? Atau kurang kecil?"
Astaga malu sekali aku. Tanganku berpura-pura sibuk memberantakan daging yang sudah dipotong. "Cukup, cukup, kalau terlalu kecil nanti waktu dibakar jadi mudah gosong. Begini saja sudah cukup. Oh ya, aku masak pudding dulu, ya."
"Mau aku bantu?" tanya Takeo.
"Boleh, tapi berikan dulu itu pada Akemi dan Shizuko." Aku mendorong Takeo yang memegang piring berisi daging mentah. Baunya amis darah.
Takeo berlalu dari hadapanku. Aku mengembuskan napas panjang, baru sadar jika sudah menahan napas. Aneh, ini aneh, wajah Takeo yang begitu dekat membuatku sesak napas. Ayolah Suzume, berpikir yang masuk akal! Tidak mungkin, kan, kalau kau menyukai Takeo? Jangan bercanda, kau dalam masalah kalau sampai berani menyukainya. Ingat semua kebohongan ini, ingat! Kau dan dia tidak selevel! Dia itu dari keluarga super kaya raya.
Aku mengambil panci berukuran sedang yang tergantung di dinding dan menuangkan bubuk cokelat, tapi pikiranku sama sekali tidak bisa fokus. Sampai-sampai aku kebingungan sendiri dengan langkah-langkah membuat pudding yang harusnya sudah kuingat di luar kepala.
Tidak sengaja tanganku menyenggol mangkuk kaca hingga pecah di lantai, membuat aku sedikit berjengit, terkejut. Nyaris saja kakiku menginjak pecahan kaca. Pikiran ini benar-benar membuat kacau segalanya.
"Eh? Apa itu?" Suara Harumi terdengar dari ruang tengah. Tak lama dia muncul dengan Rei mengekor di belakangnya, tampaknya mereka baru saja menyiapkan alat panggang untuk nanti malam, terlihat dari noda hitam di wajah mereka. "Diam dulu! Jangan bergerak! Kau tidak apa-apa?" tanyanya panik.
Aku menggeleng lemah.
Rei dengan sigap mengambil sapu di dekatnya dan menyapu serpihan kaca yang bertebaran di lantai. "Harumi, ambilkan sandal milik Suzume. Aduh, kau ini harusnya pakai sandal saja, kalau terluka bagaimana?"
"Sebentar, ya." Harumi berbaik mengambilkan sandalku yang berada di depan kamar.
Aku tertawa kecil. "Aku tadi tidak fokus. Maaf, ya. Kau jadi repot, deh."
"Namanya juga teman. Pasti saling bantu, kan?" Rei menaikkan sebelah alisnya. Memang dia suka bertingkah menyebalkan tapi juga sangat peduli.
"Ada apa ini? Kok banyak pecahan kaca?" Takeo yang sudah berdiri di depan dapur tampak terkejut. Matanya menatap nyalang pada pecahan kaca di sekitarku. "Kau terluka?" tanyanya dengan nada cukup tinggi.
"Suzume tidak sengaja memecahkan mangkuk. Ini sandalmu, pakai dulu." Harumi yang muncul di belakang Takeo, menyodorkan sandal milikku.
"Terima kasih." Aku segera memakainya sebelum benar-benar terluka karena pecahan kaca.
"Kau terluka? Sudah kubilang hati-hati, kan? Tadi saja hampir teriris pisau, sekarang kalau kena kaca bagaimana? Bisa sobek kakimu," omel Takeo dengan nada lebih tinggi, aku tahu dia benar-benar marah. Aku hanya bisa menunduk malu. Dimarahi begini kan memalukan, memang sih ini salahku.
"Sudahlah, yang penting Suzume baik-baik saja, kan?" Rei berusaha menengahi. Rei melemparkan senyum padaku seolah mengatakan tenang, aku bantu.
"Iya, sudahlah. Jangan marah-marah, kau ini!" tambah Harumi sembari mengedikkan mata ke arahku.
"Nah, sudah selesai! Mungkin masih ada sisa sedikit pecahan kaca, yang penting pakai sandalmu. Kau juga Takeo, pakai sandalmu," ucap Rei sembari membuang pecahan kaca di tong sampah.
"Terima kasih, Rei-kun."
Rei menggamit tangan Harumi, tampaknya pekerjaan mereka masih banyak. Memasang alat panggang pasti tidak mudah, terlihat dari noda hitam di wajah mereka.
"Kau mau membantu kami atau Suzume?" tanya Rei pada Takeo sebelum dia berbalik arah.
"Suzume," jawab Takeo dingin dan membuatku semakin merasa bersalah, meski aku tidak tahu mengapa aku merasa bersalah. Toh, mengapa juga Takeo harus marah?
Aku berpura-pura sibuk dengan panci berisi bubuk cokelat yang belum kuapa-apakan sejak tadi. Takeo di sebelahku, tapi aku pura-pura tidak sadar dan sibuk sendiri. Entah mengapa aku merasa tidak bisa menatapnya.
"Sini kubantu," Takeo mengambil panci di tanganku yang kuaduk-aduk, "buat apa diaduk-aduk? Hanya bubuk saja."
"Tidak apa-apa, suka-suka aku." Aku merebut lagi panci dari tangan Takeo. Namun, tangan Takeo lebih kuat dari dugaanku.
"Marah?"
"Pikir sendiri." Aku menunduk, jariku sibuk mengetuk meja. Bodoh, mengapa juga air mataku mau menetes.
"Maaf," gumamnya pelan. "Kau menangis?"
Aku memejamkan mataku rapat-rapat, berharap air mata yang nyaris menetes itu tidak meninggalkan jejak di mataku. "Minggir," seruku, mendorong Takeo yang mencoba mengintipku.
"Maaf," ulangnya dengan suara lebih jelas. "Maaf, ya?"
"Tidak tahu." Suaraku terdengar serak, ah sial. Harusnya aku bersikap dingin, justru bertingkah lemah begini.
Sebuah tangan terulur di punggungku, mengelusnya pelan. Pasti Takeo. Aku tetap diam, tidak ingin bicara, salah sendiri menyebalkan. Memangnya, mengapa dia yang marah? Toh, yang terluka aku, bukan dia.
"Ambil air lima ratus mili," perintahku.
"Buat hapus air mata?" tanyanya yang membuat emosiku memuncak.
"Ya bukan, Bodoh! Buat pudding-nya! Menyebalkan."
"Ya bilang, dong. Aku kan tidak tahu," godanya dengan tawa kecil yang mampu kudengar jelas.
Aku merebut panci dari Takeo yang tampaknya kebingungan dengan air lima ratus mili. Bisa kulihat raut wajahnya yang berubah serius dan mengukur air di gelas.
"Seberapa?" tanyanya dengan wajah seriusnya itu.
"Lima ratus mili."
"Ya tahu! Itu tuh seberapa?" Raut wajah Takeo berubah kesal, refleks tawaku menyembur melihat ekspresinya yang menggemaskan itu. "Suzume sengaja, ya? Balas dendam nih!"
"Biarin!" Aku merebut gelas yang dipegang Takeo dan mengukurnya sendiri, karena sudah sering, aku jadi tahu takarannya tanpa perlu gelas ukur. "Segini! Hebat kan aku?"
Takeo manggut-manggut seolah melihat aku sedang melakukan pekerjaan hebat. Dia terlihat antusias sekali dengan pekerjaan yang kulakukan, memang dia berakhir tidak membantuku sama sekali karena kebingungan. Yang dilakukannya hanya mengekor ke sana-sini, sampai aku dibuat risih.
*Hontou no Koto Itte Kudasai*
Alunan musik dari speaker menemani malam kami. Rei dan Takeo yang sibuk memanggang, Harumi yang menyiapkan bir, Akemi dan Shizuko yang sibuk mengambil cemilan, juga aku yang sibuk menyiapkan piring. Aku memperhatikan dua orang lelaki yang tidak jauh dariku, lelaki berpotongan pompadour dengan highlight ungu yang terlihat jarang-jarang tampak asik mengganggu lelaki berpotongan undercut yang lebih tinggi darinya.
"Rei! Awas dagingnya gosong!" pekik Takeo yang menjauh saat Rei memainkan tusukan sate BBQ.
Tawaku menyembur saat Takeo terguling ke tanah dengan posisi tengkurap. Rei yang ada di sana sudah jelas tertawa paling bahagia. Aku menghampiri mereka, karena merasa makanan kami akan hancur dengan menggabungkan dua orang itu untuk bekerjasama.
"Wah! Suzume menertawaiku, tega sekali." Takeo mengomel sembari berusaha berdiri dan membersihkan celananya yang kotor.
"Kalian sudah berbaikan? Tadi seperti ada pasangan akan putus," goda Rei sembari menyenggol pundakku. Omong-omong, tinggiku dan Rei sama, sehingga dia sering dikatai kerdil oleh Takeo. Karena memang dia terlihat cukup pendek untuk ukuran lelaki.
"Siapa yang pacaran?" bentakku sebal.
Takeo dan Rei tertawa keras sembari saling tos karena berhasil membuatku sebal. Aku memukul lengan Takeo yang dibalasnya dengan cubitan di pipi.
"L-lepasin," ucapku tak jelas, cubitan Takeo cukup membuatku kesulitan bicara.
"Kau yang lepas duluan!" perintah Takeo yang membuatku menginjak kakinya. "Aw, sakit!"
"Biarin!" Aku menekan cubitanku di lengan Takeo.
"Baiklah, aku menyingkir. Kalian mau menyuruhku menyingkir, kan? Bilang dong, jangan pamer kemesraan seperti ini." Rei berlari kencang sebelum aku sempat melemparnya dengan sandal. "Obat nyamuknya sudah kabur!"
Fokusku kembali ke Takeo yang sudah sibuk membalik-balikkan sate BBQ yang mulai kecokelatan. Aku membantunya mengambilkan sate baru untuk dipanggang. Takeo yang terlihat serius tuh benar-benar berbeda, seperti bukan dia yang biasanya.
"Kok tiba-tiba membantuku?" tanyanya, tidak mengalihkan pandangan dari sate. Aku membantunya menata sate yang sudah penuh di piring. "Mau berduaan, ya?"
"Nanti berantakan kalau kau dan Rei yang mengerjakannya. Jangan bicara yang aneh-aneh, deh."
Aku membawa piring yang penuh ke meja dan mengambil piring baru. Takeo masih tampak sibuk memanggang, sesekali mengecek tingkat panas api. Akemi dan Shizuko sudah kembali dan sibuk bermain kartu dengan Rei yang sudah menganggur.
"Takeo-kun, Suzume-chan, lihat ke sini!" pekik Harumi –yang entah sejak kapan sudah di dekatku—membuatku dan Takeo terkejut.
Ternyata Harumi berniat mengajak selfie, Akemi berlari ke sebelah Takeo, aku berdiri di depan Takeo. Anehnya, hari ini kami memiliki outfit yang mirip.
"Teriak kacamata!" pekik Harumi.
"Kacamata!" seru kami serempak bersamaan dengan suara jepretan dari ponsel Harumi. Iya, benar. Kami memakai kacamata berlensa bening. Sesuatu yang sangat jarang terjadi. Tampaknya Harumi juga menyadari hal itu.
"Wah! Kita squad kacamata nih?" ujar Rei yang mungkin baru menyadari kesamaan kami semua.
"Bagaimana kalau Glass Squad?" usul Shizuko, seolah menemukan ide untuk nama geng kami.
"Terdengar keren." Takeo manggut-manggut sembari memasang senyum tipis.
"Setuju!" pekik kami bersama, "Glass Squad!"
Word: 1.741
Ps: yang belakang anggap saja Akemi, ya. Hehehe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top