Spring [5]: Kelas Kecantikan Bersama Akemi

Playlist: Side To Side - Ariana Grande ft Nicki Minaj

-------------------------------------------------

Jam menunjukkan pukul delapan, aku meletakkan ponsel sembarangan usai melihat jam. Tidak tahu kemarin apa yang terjadi, tiba-tiba saja aku sudah di kasur mewah bersebelahan dengan Akemi. Memang sih, kemarin aku minta menginap di sini.

Tunggu ... kemarin aku tidak mabuk, kan? Aku berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi, tapi ingatanku terputus di saat aku minum satu gelas bir karena kalah game. Apa yang sudah terjadi tadi malam?

"Eng, Suzume-chan, sudah bangun?" Aku menoleh ke Akemi yang masih bergelung di selimut dengan mata terbuka sedikit. "Kau mabuk sekali, ya? Tidak kusangka."

Aku membelalakan mata mendengar ucapan Akemi. "Serius? Aku mabuk sekali? Aku melakukan hal-hal konyol, ya? Malunya," desahku.

Tiba-tiba Akemi memeluk tubuhku erat, membuat aku sedikit terkejut. "Kau tidak ingat, ya? Kau memeluk Takeo seperti ini, loh." Akemi mengeratkan pelukannya. Astaga, apa aku benar-benar melakukan hal itu. Oh tidak, aku tidak bisa bertemu dengan Takeo lagi. Aku malu. "Kau percaya? Tidak, tidak, kau tidak sampai seekstrim itu, kok. Lucu sekali ekspresimu."

Akemi terbahak-bahak, membuatku mengerucutkan bibir dengan sebal.

"Jadi, semalam aku membuat onar apa saja?" tanyaku sembari menoleh ke arah Akemi.

Aku nyaris menutup telingaku saat mendengar cerita Akemi tentang liarnya aku semalam. Katanya, aku tertidur pulas di pangkuan Takeo setelah aksi rebut-rebutan botol, tapi tidak lama aku terbangun dan membuat bir yang akan diminum Takeo tumpah karena tiba-tiba kepalaku menyeruak. Belum lagi aksi aku tidak mau pulang dan minta digendong, tapi saat Takeo akan menggendong, aku justru menangis keras. Parahnya lagi, Rei dan aku teriak-teriak tidak jelas serta nyaris naik ke panggung, berniat menyumbangkan lagu. Untung saja, teman-temanku sigap menyeret kami ke dalam mobil sebelum membuat kekacauan yang tidak-tidak. Di dalam mobil, kata Akemi, aku muntah dan membuat kami berhenti di pinggir jalan. Tahu-tahu Rei sudah berjalan-jalan dan nyaris ditabrak mobil.

"Aku harus merasa bersalah sekali ke Takeo-kun, ya?" ucapku menyesal. Untung saja, aku tidak bisa ingat hal-hal memalukan itu. Kalau aku ingat, lebih tidak punya muka untuk bertemu Takeo.

"Takeo sabar sekali, loh. Aku sampai sadar dan tidak jadi mabuk karena tingkahmu dan Rei. Kalian benar-benar, deh, duo pembuat onar." Akemi terbahak-bahak sampai aku ikut tertawa malu. "Ayo, makan, kemarin aku sudah minta buatkan sup pengar untuk mabuk. Kau benar-benar harus mengendalikan mabukmu. Mungkin, pengalaman mabukku juga sama sepertimu, melakukan hal gila."

"Emi-chan," rajukku, "tidak perlu dibahas, ya? Aku malu sekali, nih."

Akemi tertawa pelan. Aku mengikuti Akemi yang keluar kamar. Gara-gara membahas mabukku, aku sampai tidak sadar dengan kamar Akemi yang luar biasa mewah. Desain interiornya didominasi dengan warna putih dan emas, lemari kaca yang berlapis emas di sekelilingnya, meja rias berwarna putih bersih dengan berbagai macam produk kosmetik dan perawatan kulit yang harganya pasti sangat mahal. Lantainya saja dilapisi karpet berbulu putih dengan beraneka ragam boneka yang berserakan di lantai, sehingga membuat kamar ini terlihat penuh. Irinya, aku sangat ingin memiliki kamar yang seperti ini. Bukan kamar kecil yang harus dibagi dengan dua adikku.

Begitu keluar kamar pun, aku disuguhkan penampakan yang tak jauh beda dengan rumah Shizuko. Istana pribadi. Desain interior mewah yang menekankan pada warna emas, menunjukkan kemewahan dari si pemilik rumah. Pinggiran tangganya saja, kata Akemi, dibuat dari emas karena Ayahnya pecinta emas, sehingga sebagian besar perabotan dan peralatan di rumah ini pasti berbau emas murni.

"Itadakimasu," ucapku dan Akemi sembari menangkupkan kedua tangan.

Akemi menyeruput sup pengar dan berkata 'wow' dengan ekspresi benar-benar bahagia. Aku menyeruputnya juga dan tahu alasan dari ekspresi Akemi. Sup pengar ini benar-benar enak, memang beda jika tangan koki mahal yang membuat ini. Akemi cerita jika Ibunya menyerahkan kebutuhan memasak ke koki khusus yang sudah dipilihnya sendiri. Tidak main-main. Ayahnya saja pemilik hotel bintang lima, yang cabangnya ada di mana-mana. Pantas saja, kalau di rumah sendiri semua harus tertata rapi dan sempurna, termasuk urusan makanan.

"Yang lain ke mana?" tanyaku.

"Sudah pergi kerja pasti. Onii-chan baru lulus kuliah jadi sudah kerja di kantor dengan Ayah, kalau Ibuku sih pasti bertemu teman-temannya. Urusan orang-orang tua, aku tidak tahu." Akemi mengibas-kibaskan tangannya seolah tidak peduli dengan ketidakhadiran keluarganya. "Nanti kau pinjam bajuku saja, ya? Kalau ke rumahmu dulu pasti memakan waktu, kan?"

"Iya, aku pinjam saja, ya? Oh ya, memangnya Harumi dan Shizuko sudah bangun? Kita pergi jam berapa?"

"Jam sepuluh, tadi aku cek ponsel sih mereka sudah mengirimi pesan untuk segera bersiap-siap dan mau ketemuan langsung di mall saja, kata mereka."

"Oh begitu."

*Hontou no Koto Itte Kudasai*

Akemi sibuk membongkar-bongkar isi lemarinya. Aku sudah melihatnya mencoba enam atau tujuh baju, dan dia merasa tidak cocok. Padahal, semuanya sangat cantik saat dipakai Akemi, aku sampai benar-benar minder, nih.

"Kau suka sekali pakai baju sabrina, ya?" tanya Akemi begitu melihat aku mengambil baju sabrina berbahan rajut dengan warna Khaki.

Aku tertawa kecil menanggapi Akemi. "Habisnya, aku merasa ini cocok untukku."

"Iya, sih. Tulang selangka milikmu terlihat jelas, jadi harus dipamerkan. Kalau aku, sih, tidak bisa terlihat jelas sepertimu. Benar-benar iri, deh." Akemi merajuk sembari menusuk-nusuk tulang selangkaku sampai aku merasa geli.

"Wah! Kau ini tidak bersyukur, ya? Kau punya badan mirip gitar Spanyol begini, masih iri padaku? Kau masih iri padaku yang kering keronta begini?" Aku mencubit lengan Akemi yang dibalas Akemi cubitan di pipiku.

Akemi memasang wajah ngambek. "Pokoknya, aku iri sekali. Rambutmu juga! Lurus dan tebal, coba lihat punyaku? Ikal begini. Harusnya, kau curly rambutmu. Pasti jadi cantik sekali!"

"Aku tidak bisa curly rambut, aku payah sekali untuk urusan begituan. Apalagi soal make up, benar-benar tidak jago, deh."

"Aku ajari, deh!" serunya dengan semangat sembari mengambil tee putih gading dan midi skirt berbahan jeans. Kelihatannya, dia sudah tidak galau lagi mau pakai baju apa.

Sedangkan, aku mengambil celana pendek hitam berbahan kain. Cukup senada untuk dipadukan dengan pakaianku. Aku dan Akemi memiliki ukuran badan yang hampir sama, meski lekuk tubuh Akemi tidak bisa disamakan denganku yang tidak memiliki bentuk indah. Sekali lagi, lekuk tubuh Akemi benar-benar bak seorang model. Tinggi, langsing, kulitnya putih cerah, rambut ikalnya menambah kesan seksi pada dirinya.

"Aku cantik, tidak?" tanya Akemi memamerkan pakaian yang sudah lengkap menempel di tubuhnya.

Aku menjawabnya dengan acungan jempol. Habisnya, dia benar-benar cantik. Pakaian yang dikenakannya memang tidak seksi, tapi bentuk tubuhnya terlihat jelas. Dan itu cantik sekali.

Akemi menarik tanganku ke meja riasnya. Dia menyuruhku untuk mengikuti yang dia lakukan. Memakai skincare, katanya. Aku bahkan baru tahu kalau anak SMA sudah memakai skincare, aku pikir hanya untuk orang-orang tua yang takut keriput.

Tanganku mengikuti Akemi yang mengambil produk bertuliskan toner, menepuk-nepuk lembut di wajah. Lalu berganti ke botol kecil bertuliskan serum ... eh, tapi kok ada snail? Euh, ini dari lendir snail? Rasanya, memang agak lengket-lengket gitu. Aku juga mengikuti tangan Akemi yang mengipas ke wajah, seolah meminta serum segera menyerap ke kulit wajah. Akemi mengambil moisturizer, bahannya kental mirip dengan lotion tangan tapi lebih cair.

"Terakhir, harus pakai sunscreen! Sinar matahari tuh jahat buat kulit kita," seru Akemi, tangannya memencet botol berwarna biru muda ke tangannya.

"Wah! Belum make up saja, banyak sekali step-nya, ya?" Aku mengambil botol sunscreen dari tangan Akemi dan memakainya. Agak aneh, lengket-lengket begitu dan terasa tebal di wajah. "Kok aneh, sih? Lengket begitu."

"Namanya juga sunscreen, dari dulu memang begitu. Agak terasa lengket. Jelas sekali banyak step-nya! Kalau malam, jauh lebih banyak lagi. Sekarang sini, biar aku make up-kan. Kau harus perhatikan baik-baik, ya? Kalau masih pertama belajar memang masih sering gagal, tapi kalau sudah mahir pasti ketagihan."

Aku mendekat ke Akemi yang mulai mengoleskan krim berwarna putih yang katanya untuk mengecilkan pori-pori di kulitku. Dia juga mengenalkan produk yang disebut BB Cushion, katanya ini ringan dan cocok buat dipakai sehari-hari. Hasilnya juga glowing dan kulit kelihatan lebih sehat. Akemi memberiku BB Cushion miliknya yang tidak cocok di shade wajahnya karena terlalu putih, dan cocok di kulitku. Memang sih, aku ini tidak suka keluar rumah, jadi banyak yang mengatakan kulitku terlalu putih dan menjurus ke pucat.

"Wajahmu bersih sekali, ya? Tidak ada jerawat, juga mata panda, jadi kita skip bagian concealer. Bulu alismu tipis-tipis, ya? Harus digambar nih. But, harus pelan-pelan dan jangan ketebalan. Kita tidak membuat alis menanjak ala-ala make up barat. Cukup soft dan terlihat alami." Akemi mengeluarkan benda mirip pensil dan membuat bingkai di alisku. Kemudian dia mengambil produk yang disebut eyebrow dengan tiga shade warna cokelat –dari cokelat tua hingga muda—mengisi di bingkai alisku yang tadi dia gambar. Akemi merapikan alisku dengan benda mirip sikat. Terakhir, produk bertuliskan Browcara –kata Akemi itu kepanjangan dari brow mascara, karena mascara dulu hanya produk untuk melentikkan bulu mata—dipoles untuk membuat bulu-bulu tipis di alisku lebih terlihat. "Lihat! Alami, kan? Tidak terlihat seperti alis palsu." Akemi memuji hasil karyanya sendiri. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi Akemi, tidak tahu harus berkata apa lagi, ini terlalu sempurna.

Kini alisku terlihat berwarna cokelat muda –warnanya tidak mencolok, sehingga mirip alis asli—bentuknya indah sekali karena Akemi menggambarnya dengan berbagai macam produk. Wah! Akemi, benar-benar jago. Untuk satu alis saja membutuhkan berbagai macam produk, ya? Akemi mengoleskan produk yang disebut eyeshadow ke kelopak mataku, katanya karena kulitku putih jadi cocok dengan warna coral. Rasanya agak geli saat Akemi memoleskan eyeshadow di kelopak mata bagian bawah, sampai aku mengedip-kedipkan beberapa kali agar tidak menangis. Aku mengintip ke kaca dan benar saja daerah mataku jadi terlihat segar. Akemi juga memakaikan bulu mata palsu yang membuat bulu mataku tampak lentik tapi sangat natural.

"Ini blush on, pemerah pipi biar kesannya seperti malu-malu kucing," kata Akemi sembari mengenalkan mengoleskan produk itu ke pipiku. "Terakhir lip tint, kita pakai warna agak orange biar terlihat senada dengan eyeshadow-nya."

"Cantiknya!" seruku gembira begitu melihat penampilanku di cermin. Dandanannya tidak terlihat tebal, kesannya seperti tidak memakai make up dan membuat wajahku lebih fresh.

"Sekarang, giliranku berdandan. Tampaknya, kita akan agak telat datang ke mall, tapi tidak apalah, ya?"

Aku mengangguk semangat menanggapi Akemi. Berlama-lama di sini kelihatan lebih menarik, dibanding ke mall.

Tangan-tangan lincah Akemi bergerak memoles wajah cantiknya. Aku memperhatikannya dengan serius, ingin sekali aku mencuri kemampuan Akemi satu ini.

"Oh ya, aku punya beberapa skincare yang tidak cocok di aku, kau mau? Mungkin kau harus latihan pakai skincare, biar wajahmu tidak menua dengan cepat. Nanti bilang ke ibumu untuk memborong skincare. Itu barang wajib! Tidak baik kalau cantik sendirian dan tidak memedulikan anaknya."

"Mau! Mau! Nanti aku minta ibu untuk membelikanku skincare yang banyak sekali!" bohongku. Minta ibu? Buat makan saja susah, mana mungkin bisa meminta ibu untuk membelikan barang-barang mewah ini.

"Tentu saja, wajah itu aset yang berharga. Kau juga harus mengenal jenis kulitmu, tidak semua skincare cocok di wajah kita. Seperti kulitku yang normal tapi agak berminyak, tidak cocok kalau dikasih skincare untuk kulit kering, bisa makin berminyak. Sering-sering juga lihat U-tube, banyak tutorial yang bagus-bagus."

"Wah, begitu ya? Akan aku ingat ilmunya, Senpai," godaku yang membuat Akemi mendorongku karena malu.

Akemi juga mengajariku untuk men-curly rambutku agar terlihat natural dan indah. Dia bilang ada berbagai macam model curly, kalau untuk sehari-hari tidak perlu sampai membuatnya terlalu rapi. Agak messy membuat rambut lebih bagus.

"Lihat. Bagus, kan? Rambutmu jadi terlihat lebih bervolume. Begini saja kalau ke sekolah, pasti semua lelaki meilirikmu," goda Akemi sembari mencolek daguku sampai aku malu sendiri. "Cukup curly bagian bawah-bawahnya saja, tidak perlu terlalu tinggi."

Padahal, Akemi tidak pernah mencatok rambut karena rambut ikalnya. Tetapi, dia banyak sekali ilmunya. Aku benar-benar iri dengan putri konglomerat satu ini.

Akemi mengambil kantong kain dan memasukkan berbagai skincare, juga make up yang diberikan untukku. Ah, benar-benar deh. Kalau aku harus menabung dan membeli sendiri, aku rasa tidak akan sanggup. Dengan kebohongan yang tertata rapi ini, aku justru bisa mendapat hal-hal yang tidak pernah aku duga.

Hanya saja ... semua ini akan berlalu sampai kapan?

Word: 1.975

Akemi Fujihara

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top