Spring [4]: Bisikan Nakal

Playlist: Bad Things - Machine Gun Kelly, Camila Cabello

------------------------------------------- 

Aku menarik-narik rok span ketat yang terlalu pendek di kakiku. Harumi berkali-kali juga menepis tanganku, katanya rok ini tidak ada apa-apanya dengan pakaiannya. Memang, sih, hanya saja ini terlalu minim dan tidak biasa. Pakaian Harumi jauh lebih menunjukkan kemolekan tubuhnya, aku baru tahu jika anak SMA bisa memiliki tubuh seindah ini. Dia mengenakan kamisol putih bermodel V dipadukan dengan rok span super ketat yang hanya menutupi bagian pantatnya.

Tadinya, aku datang dengan atasan sabrina dan celana jins panjang, tapi Akemi dan Harumi langsung menarikku ke toilet. Rupanya, Akemi membawakanku span pendek yang membuatku memamerkan kakiku yang tak begitu panjang. Mereka sudah menebak jika aku akan salah kostum, dan tentu saja dugaan mereka benar. Kupikir saat mereka mengatakan musik jazz, itu tempat live music dengan makanan ala kafe untuk tempat nongkrong. Ternyata, aku salah besar! Ini memang live music, tapi ini lebih mirip tempat diskotik yang remang-remang. Tentu saja, tanpa dentum-dentuman bising, tanpa orang-orang mabuk yang saling joget dan menggoda. Namun, bukan berarti tempat ini tidak menguarkan aura diskotik. Lihat saja pakaian wanita-wanita di sini, begitu minim. Belum lagi para lelaki yang kuperhatikan sengaja datang mampir ke meja wanita yang tidak dikenal, yah tentu saja untuk hal buruk.

Aku saja sudah didekati oleh lelaki yang minta nomor ponsel. Untung ada Shizuko dan Rei yang membantuku pergi dari lelaki itu. Benar-benar menakutkan. Kini, aku harus terjebak dengan teman-teman yang sudah menipuku besar-besaran. Memang sih, tempat ini lebih baik daripada diskotik yang kubayangkan.

"Suzume-chan sudah ganti ponsel?" tanya Shizuko menyadari ponsel baru yang dari tadi kumainkan.

"Wah! Aku baru sadar, nih. Akhirnya ya, Suzume," timpal Akemi.

Yah, benar ponsel baru. Hadiah dari Takeo. Aku terkejut dia memberiku sebuah ponsel. Jadi ini maksudnya, kalau dia tidak suka melihatku kesusahan. Takeo juga menulis sebuah pesan di dalam kado tadi. Dia bilang kalau tidak perlu mengatakan kepada yang lain jika dia memberiku ponsel, karena dia tahu itu membuatku tidak nyaman. Benar-benar teman yang perhatian, hampir saja aku jatuh cinta dibuatnya.

Tidak salah, kan? Mana ada teman yang sebaik ini! Hanya saja, aku harus ingat kalau Takeo dan orang-orang di meja ini adalah anak-anak konglomerat yang memandang harga ponsel dengan sebelah mata.

"Ah? Iya nih. Aku masih harus mengurus isinya, sih," jawabku. "Nanti masukkan aku ke dalam grup obrolan, ya?"

Harumi yang ada di sampingku, langsung mengintip ponselku. "Tentu dong! Eh? Ini kan keluaran terbaru? Wah, keren! Keluargamu pasti kaya sekali nih. Jadi iri deh," celetuk Harumi yang membuatku malu. Yah, malu karena sudah berbohong. Dibilang berbohong, sih, memang tidak. Hanya saja, aku tidak mau mengatakan faktanya, dan membiarkan mereka berpikir seperti yang mereka mau. Suzume itu anak orang kaya. Terserah mereka saja.

Aku melirik Takeo yang sudah menatapku. Dia melemparkan senyum samar, tapi tampak ramah sekali. Anehnya, jantungku menjadi tidak terkontrol. Apa-apaan ini? Suzume, jangan berharap yang tidak-tidak. Aku tahu, dia ganteng, baik, kaya sekali, tubuhnya juga atletis, bicaranya kasar tapi perhatian, tipikal badboy yang meluluhkan hati. Dan karena aku tahu semua itu, aku juga tahu kalau tidak mungkin dia akan suka aku.

"Eh, minggu depan sudah golden week. Mau berlibur ke mana, nih?" kata Rei membuyarkan obrolan kami.

Ah iya, tidak terasa sudah mau golden week. Aku biasanya hanya menghabiskan waktu di rumah dan membaca tumpukan buku novelku. Hanya saja, mereka pasti berbeda.

"Ke villaku dong. Lagian kalau mau booking tempat lain, pasti sudah full booked semua. Lagi pula, kita sudah lama tidak ke Osaka, kan?" usul Harumi yang disambut anggukan semangat oleh teman-temanku yang lain.

Mereka berlima ini memang sudah berteman dari sekolah dasar, jadi sudah sedekat itu sampai sering pergi bersama. Apalagi Akemi dan Takeo yang keluarganya saling kenal, jadi mereka sering bertemu bahkan sebelum masuk sekolah dasar. Kata mereka, meski gaya hidup mereka terbilang nakal untuk anak di bawah umur, mereka tetap ikut les privat. Pasti sih, mereka kan calon penerus perusahaan di keluarganya.

Kalau aku sih ikut les privat dengan uang pribadi, karena ingin membuat keluargaku berada di ekonomi yang lebih baik. Aku harus lebih berjuang dibandingkan yang lain. Belum lagi beban karena aku anak pertama.

Seorang waiter mengantarkan pesanan kami. Tiga botol bir yang aku tidak tahu jenis apa atau pun namanya, juga beberapa makanan ringan.

"Yey! Waktunya pesta!" terian Rei yang dengan semangat membagikan gelas berukuran besar ke kami. Aku hanya bisa meneguk ludah melihat gelas ini.

"Yuhu! Party, party, party." Akemi dan Harumi bersenandung gembira sambil bertepuk tangan dan menggoyangkan kepala mereka. Terlihat seperti dua anak kecil yang menunggu mainan.

Mataku melirik ke Shizuko yang terlihat anggun dengan pose menopang dagu di tangan. Matanya menatap melas ke gelas-gelas yang berpindah tangan, seolah sudah bosan dengan rutinitas yang terjadi di tempat ini.

"Sini kubantu." Takeo berdiri membantu Rei membuka tiga botol bir dan menuangkan isinya ke gelas kami hingga penuh. Dan, entah sejak kapan, Takeo yang tadi duduk di sebelah Akemi tiba-tiba sudah berada di sebelahku. Ah, benar-benar, pikiranku jadi ke mana-mana deh. "Pernah minum?" tanyanya yang membuyarkan lamunanku.

Aku menggeleng pelan sembari menatap isi gelasku yang masih penuh. Mataku melirik ke teman-temanku yang lain, mereka sudah meminum bir di gelas mereka. Punya Rei bahkan sudah sisa seperempat. "Bagaimana, nih? Aku takut mabuk, kalau pulang pasti dimarahin. Tidak mabuk juga pasti bau alkohol. Aku tidak usah minum, deh."

"Tidak seru, dong! Harus minum! Menginap saja di rumah mereka," balas Takeo sembari menggerakkan jempolnya ke arah Akemi, Harumi, dan Shizuko. "Boleh menginap, kan?"

Sejenak aku berpikir opsi yang diberikan Takeo. Tampaknya akan dibolehkan saja, sih. Hanya saja, aku memang tidak berniat untuk menyicipi minuman beralkohol ini. Baru juga masuk SMA, masa sudah senakal ini, sih?

"Tidak perlu, deh. Nanti pasti ditanya macam-macam."

"Ayolah, coba saja dulu. Kapan lagi coba minum? Minum segelas saja, deh. Tidak tambah lagi. Setuju?"

"Aku coba tanya dulu, deh." Aku mengetikkan pesan ke Ibu kalau aku akan menginap di rumah Akemi karena tugasku belum selesai. Aku merasa bersalah karena bohong ke Ibu. Dosaku semakin banyak, deh. Dewa-Dewa, ampuni dosaku, ya?

"Kalau tidak boleh, tidak usah dibalas. Bilang saja besoknya, kalau kau ketiduran jadi tidak bisa balas waktu tidak diizinkan. Bagaimana?"

Aku menepuk pundak Takeo dengan keras. "Wah! Takeo-kun licik juga, ya! Kau pasti sudah jago nih. Aku jadi anak tidak berbakti karena kau, nih."

"Aw! Aku kan hanya mau bersamamu. Tidak boleh, ya?" Takeo memasang wajah sedih yang dibuat-buat sembari mengelus pundaknya yang kupukul. Aku terkikik melihatnya yang terlihat konyol dengan raut ditekuk begitu.

"Tukang bual," ledekku sembari tanpa sadar meminum bir dengan sekali teguk dan membuatku terbatuk-batuk.

Ah, bodoh sekali. Bagaimana bisa aku minum dengan santai seolah minum jus jeruk? Tenggorokanku rasanya seperti dibakar, persis seperti meminum minuman soda dalam sekali teguk.

Takeo menepuk-nepuk bahuku pelan, sembari tertawa dan meledekku lucu. Benar-benar, deh. "Kau ini! Tidak pernah meminum bir, tapi langsung diteguk dengan santai. Memangnya ini air mineral? Hati-hati, dong!"

"Astaga, kenapa kau, Suzume?" tanya Harumi, tapi raut mukanya terlihat geli dengan tingkahku. Dibandingkan merasa sedih. Yah, memang sih, aku ini memalukan sekali. Akemi dan Shizuko ikut menertawaiku. "Kalau soal minum, kau harus minta diajari Takeo-kun. Dia yang terbaik!" Harumi memamerkan kedua jempolnya.

"Tersedak bir nih pasti," timpal Rei yang langsung tertawa keras-keras, pasti wajahku sudah memerah sekali.

Takeo masih setia menepuk bahuku, padahal sudah kubilang tidak apa-apa. Dia bahkan menyuruhku menyantap kentang goreng berlumuran saus keju, agar tenggorokanku tidak sakit. Aku benar-benar sudah tidak apa-apa, tidak sesakit itu juga.

"Oh ya, aku malam ini boleh menginap di rumah Akemi, tidak?" tanyaku begitu ada pesan di ponselku yang mengatakan kalau aku boleh menginap. Kalau begini, kan, berarti aku boleh mencoba hal-hal baru. Sedikit menjadi nakal tidak apa-apa, kan? Plin plan sekali, sih. Tadi aku merasa berdosa, sekarang kegirangan karena diberi izin.

"Tentu saja boleh!" Akemi menjawab dengan girang, "Kau ... jangan bilang kau kabur biar tidak ketahuan sedang nakal, ya?"

"Ketahuan, ya?" Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal.

Lagi-lagi, teman-temanku tertawa. Aku mulai terbiasa dengan mereka yang mudah sekali tertawa untuk hal-hal kecil.

"Besok pergi belanja, yuk?" ajak Shizuko. Di antara kami semua, Shizuko tipikal orang yang suka belanja. Setiap hari yang dibuka di ponselnya pasti online shopping. Dia bahkan tidak ragu-ragu untuk membeli barang atas dasar lucu, iseng, atau penasaran. Padahal, barang yang datang kadang tidak sesuai ekspetasi. "Tapi hanya perempuan-perempuan saja, Takeo dan Rei tidak usah ikut."

"Ya, iya, dong! Siapa juga yang mau ikut? Lebih asik main game di rumah. Iya kan, Takeo?" cibir Rei.

"Tentu saja! Kaki kita yang berharga ini tidak layak menemani kalian belanja," tambah Takeo sembari memutar bola matanya, yang membuatku mencubit lengannya. Habisnya, ekspresi yang dikeluarkan Takeo tuh menyebalkan. "Aw! Sakit tahu! Kau ini kejam juga, ya?"

"Salah sendiri menyebalkan!" balasku.

"Dasar lelaki! Ayo, besok belanja. Lagi pula besok hari libur!" seru Akemi dengan semangat. Harumi ikut-ikutan menimpali seruan Akemi sambil tos dengan Shizuko. Tak lama, mata mereka bertiga menatapku, menunggu jawaban.

"Tapi, sampai sore saja, ya?" cicitku.

"Pokoknya ikut loh, ya!" Harumi menunjukku dengan wajah berseri. Memang hal-hal tentang belanja tuh membuat perempuan girang.

"Harusnya, kau tidak ikut. Temani aku bermain game. Mau?" ajak Takeo. Lagi-lagi aku melemparkan cubitan di lengannya. "Iya deh, iya, perempuan memang lebih memilih belanja."

"Takeo ini genit sekali, sih? Kasihan Suzume, kau ganggu terus," omel Akemi. "Eh! Ayo, kita bermain sambung kata, yang kalah minum satu gelas! Setuju?"

"Setuju!" seru teman-temanku yang lain. Aku hanya melirik Takeo yang memberi kode 'ada aku' seolah aku tenang saja.

Permainan sambung kata benar-benar seru. Rei yang paling banyak kalah, dia sudah minum hampir lima gelas. Terlihat sekali kalau sudah mabuk, pipinya merah sekali. Aku dan Shizuko belum kalah sama sekali, tapi Shizuko sudah menggantikan satu gelas bir bagian Akemi –yang terlihat sudah mabuk. Takeo juga sudah minum dua gelas, tapi belum terlihat mabuk.

"Eh? Bintang!"

"Salah! Suzume, akhirnya kalah," teriak Akemi.

"Minum, minum, minum, minum," seru Harumi, Akemi, dan Shizuko bersamaan.

Aku menepuk dahiku, merutuki kebodohanku. Harumi menuangkan bir ke dalam gelasku hingga penuh, bahkan sedikit tumpah.

"Aku jadi ksatrianya." Takeo mengangkat tangan sambil berusaha mengambil gelasku. Namun, tangan Harumi lebih cepat.

"Tidak boleh, dong! Suzume juga harus belajar minum. Ya, kan?" tanya Harumi yang diberi anggukan oleh yang lain.

Takeo menatapku dengan dahi berkerut sembari mengucapkan 'semangat' tanpa suara. Aku mengambil gelas dari Harumi sembari meneguk ludah.

"Menakutkan sekali, nih. Satu gelas penuh," ucapku.

Aku menegak bir pelan-pelan. Awalnya, aku kesusahan meneguknya, tapi begitu sisa setengah aku seperti membiarkannya memenuhi tenggorokanku hingga habis tak bersisa. Teman-temanku bertepuk tangan dengan heboh, hingga mengundang beberapa tatapan dari yang pengunjung lain. Ada yang penasaran, ada yang ikutan tertarik, ada juga yang terlihat mencibir.

Badanku terasa ringan dan kubiarkan ambruk di kursi. Sekarang aku tahu, mengapa mereka menyukai bir, semua bebanku seolah terangkat. Aneh, benar-benar aneh. Aku jadi ingin minum lagi. Tanganku meraih botol di hadapanku dan menuang ke gelasku.

"Eh, eh, anak ini sudah mabuk, ya?" pekik Takeo yang mengambil botol dari tanganku.

Aku mengerang marah, ingin memaki Takeo yang merebutnya. Tanganku berusaha meraih tangan Takeo yang tinggi, tapi itu terasa jauh, jauh, dan ... tiba-tiba saja gelap. Benar-benar gelap.

Word: 1.862

Shizuko Kudo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top