Spring [3]: Istirahat Siang yang Melelahkan
Playlist: Without Me - Halsey
--------------------
"Serius sekali, sih." Akemi menepuk pundakku cukup keras. Sembari merogoh uang di kantongnya dan memberikannya ke Harumi. "Aku yang bayar bagiannya Suzume, deh."
Bukan itu masalahnya. Akemi pasti tahu maksudku.
"Tapi, kan ...," Ucapanku terputus melihat Harumi yang mengibas-ngibaskan tangannya tepat di depan wajahku.
Dengan gaya angkuh khas Harumi, dia duduk di atas mejaku dengan kaki disilangkan. Tidak peduli pada beberapa mata yang memandangnya dengan sorot tak suka atau mencaci. Terlihat cantik dan anggun dengan tingkahnya yang liar, benar-benar Tuan Putri keluarga Suzuki. "Suzume-chan harus mulai terbiasa. Dia sekolah pakai uang kita, berarti dia harus kerja buat kita juga." Pandangan Harumi jatuh pada gadis berkacamata yang berusaha menahan air matanya. "Haruka, cepat belikan pesanan kita di kertas itu. Jangan lupa, belikan juga roti melon enam, ya! Jangan lama!"
Gadis bernama Haruka itu hanya menggangguk patuh dan berlari ke luar kelas. Bahkan dia hampir menabrak Satoshi–si raksasa tukang makan, julukan dari Rei. Sudah hampir sebulan, kalau perhitunganku tidak salah, aku merasakan sekolah seperti di neraka. Aku tidak tahu pantaskah menyebut ini neraka atau tidak? Mati-matian aku berusaha menghindar dari geng sialan ini, nyatanya, aku terus-terusan ditarik kembali ke dalamnya.
Aku menggembungkan pipi, sulit untuk tidak merasa tertekan dengan situasi ini. Takeo–yang duduk di bangku depanku—menjetikkan jari tepat di wajahku. "Anak ini memang terlalu baik. Pertahankan ya Suzume, jangan seperti si iblis Harumi!"
Harumi berdecak sebal mendengar sindiran Takeo. Kusandarkan punggung ke bangku, berusaha menenangkan diri. Selalu beradu argumen setiap waktu istirahat. Tidak Akemi, tidak Harumi, tidak Rei, selalu saja bertingkah seenaknya. Takeo dan Shizuko juga tidak banyak membantu, hanya menonton dan berkomentar seperlunya, itu pun tidak membelaku.
Waktu itu aku sudah berusaha duduk dengan anak lain di bangku depan, tapi Akemi langsung menyeretku duduk di sebelahnya. Mana tahan aku harus di sini, setiap hari yang mereka bicarakan; mengerjai orang, pergi jalan-jalan, pergi diskotik, belanja. Bisa gila aku. Uang dari mana untuk mengikuti gaya hidup mereka? Aku cuma mau jadi anak biasa-biasa saja.
"Suzume-chan, nanti malam ikut pergi, yuk? Hanya lihat musik jazz saja, tidak ada acara ke diskotik," ajak Harumi.
Sudah ketiga kalinya dalam hari ini dia memaksaku ikut dalam acara mereka nanti malam. Jujur saja, aku tidak tertarik dan itu pasti menghabiskan banyak uang. Namun, mereka pasti akan curiga jika aku terus-terusan menolak.
"Terserah. Aku ikut saja."
Harumi menepuk-nepuk puncak kepalaku, masih dengan posisinya di atas meja. "Bagus Suzume! Good girl, bad girl," bisiknya dengan nada sengaja dibuat sensual. Harumi memang cocok jika disuruh memerankan aktris seksi. Gerak tubuh dan gaya bicaranya sudah mirip Miyabi kalau kata Takeo, tapi aku dilarang bilang-bilang.
"Gayanya mirip jalang, kesukaanmu kan, Rei-kun," ejek Takeo.
"Lima juta buat malam ini, ya," goda Rei sembari menyentuh dagu Harumi.
"Menjijikkan!" Harumi mengusap-usap dagunya dengan kasar. Tidak peduli kalau suaranya sudah menjadi pusat perhatian banyak tatap mata di kelas.
Rei menepuk pundak Harumi sembari tatapannya mengarah pada para gadis yang lirik-lirik ke arah kami. Lagi-lagi, dengan gaya angkuh yang sudah khas Harumi sekali, dia menatap balik anak-anak itu sembari mengacungkan jari tengahnya dengan santai. Matanya sengaja diputar dengan malas, lalu melipatkan kedua tangan di depan dada. Sembah Putri Harumi.
"Sinting!" komentar Takeo menanggapi tingkah Harumi. "Memang kau tidak pernah dimarahi, ya? Bertingkah tidak sopan seperti ini."
Harumi tidak mengacuhkan ucapan Takeo.
"Haruka mana, sih? Lama sekali," rengek Akemi sembari menempelkan kepalanya di pundak Shizuko. "Hari ini kok Shizuko-chan tidak banyak bicara, ya?"
"Emi-chan minggir dulu," Shizuko mengibaskan pundaknya yang ditiduri Akemi, "baca novel nih, jangan ganggu."
"Hah? Novel? Sejak kapan Shizuko suka baca yang seperti itu?" cibir Takeo dengan alis dinaik-turunkan.
Shizuko menurunkan novel yang menutupi wajahnya. Telunjuknya ditempelkan pada bibir mungil itu sembari mengeluarkan desisan kecil. Aku tertawa kecil memperhatikan Shizuko yang sedang dalam mode jangan-ganggu-atau-kalian-semua-mati.
"Seriusan, nih! Shizuko kerasukan apa? Kok bisa baca novel?" Takeo masih giat mengganggu Shizuko, meski yang disindir sama sekali tidak peduli. Takeo menarik-narik novel dari Shizuko.
"Jangan ganggu, Takeo!" protesku, "itu novelku nanti rusak, kalau Takeo tarik-tarik." Aku memukul tangan Takeo.
Takeo tertawa tanpa suara sembari menunjuk novelku yang sedang dibaca Shizuko. "Tuh kan, dibilang juga apa. Ternyata diracuni Suzume, toh."
"Kenapa? Takeo tidak suka?" sungutku, dengan bibir sengaja dimanyunkan.
"Tidak, dong. Buat Suzume sih aku suka terus," goda Takeo sembari menyentil dahiku.
Aku meringis kesakitan. "Menyebalkan," cibirku sembari mengambil kaca di meja Akemi, melihat dahiku yang baru saja disentil. Jarinya yang panjang itu selalu berhasil meninggalkan jejak merah di dahiku.
Tingkah Takeo selalu membuatku merasa aneh. Bukannya berniat besar kepala, tapi aku selalu memperhatikan Takeo. Yah, tidak tahu kalau di luar sekolah, mungkin waktu ke diskotik dia dekat dengan semua gadis di sana dan tebar pesona.
Hanya saja ini aneh. Lagi pula, aku mau memikirkan apa, sih? Takeo suka padaku? Akemi dan Harumi jauh lebih cocok untuk menjadi tipenya Takeo. Atau juga Shizuko yang anggun. Yang pasti, kecuali seorang Suzume.
Tanganku memainkan ponsel yang aku pinjam dari Akemi. Jangan tanya ke mana ponselku! Ponsel jadul itu bahkan malas kukeluarkan. Barang rongsokan tidak berguna. Apalagi mereka pernah menertawaiku, begitu melihat aku memakai ponsel jadul itu. Dengan terpaksa aku beralasan ponselku tercebur air dan belum dapat ganti.
Cafe Brotherhood. Dicari pegawai freelance untuk bagian kasir, silakan kirim lamaran ke kafe.
Mataku menangkap iklan yang muncul di instalook Akemi. Pegawai freelance? Apa lebih baik aku mencoba daftar, ya? Mereka pasti akan sering mengajak aku pergi ke luar. Kalau aku tidak punya uang pasti akan curiga, kan?
Aku membuka akun instalook kafe Brotherhood. Gayanya retro sekali. Dindingnya banyak poster-poster dengan quote beraneka ragam, juga tokoh-tokoh terkenal seperti Marilyn Monroe, Katy Perry, Billy Crudup. Lantainya juga eksentrik dengan hitam putih seperti papan catur. Menunya ditulis pada dinding-dinding dengan hand lettering script, kapan-kapan aku harus belajar menulis seperti ini. Yang paling menarik perhatianku adalah meja dan kursinya yang bundar dengan sentuhan warna merah darah. Lampu gantung yang dipasang tengah ruangan memberi kesan temaram. Lagi pula kafe seperti ini tidak akan jadi tempat nongkrong teman-temanku, kan?
Aku harus coba daftar. Kafenya juga dekat dari sekolah, pasti tidak akan makan waktu. Mungkin nanti aku harus mampir sebentar.
"Suzume-chan, kau punya instalook? Kita belum saling follow, ya?" tanya Shizuko sembari menurunkan novel yang dibaca.
"Hah? Aku tidak punya," jawabku malu-malu.
"Wah, iya ya. Ayo buat instalook! Masa kau tidak punya? Ketinggalan zaman sekali, loh," ledek Rei sembari menjitak kecil kepalaku.
"Loh, kalian baru tahu? Sudah kuhasut tapi masih nanti-nanti, katanya," tambah Akemi sembari mengapit leherku.
Takeo tertawa sembari menyahut, "Pantas saja aku cari-cari kok tidak ada, ternyata belum punya. Aku mau stalking jadi tidak bisa, deh."
Harumi menoyor kepala Takeo. "Woi! Cabul!" Harumi mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Ayo sini, mana emailmu? Aku buatin akun instalook, biar tidak diledekin anak-anak ini."
Begitulah Harumi, meski kesannya angkuh tapi baik kalau pada teman. Tipikal tsundere. Aku tertawa kecil sembari membacakan emailku.
"Omong-omong, kalian tahu anak yang bernama Akira Kojima, tidak? Anak kelas 2. Menyebalkan sekali," Rei sedikit menggebrak meja, hingga Harumi berjengit dan menoyor kepala Rei, "masa kemarin dia marah-marah tidak jelas."
Akemi melongokkan kepala ke arah Rei, tampak penasaran. "Marah kenapa? Mungkin kau yang berbuat onar, ya? Kau ini suka sekali mengganggu orang."
Takeo dan Harumi mengangguk setuju dengan ucapan Akemi.
"Enak saja! Kemarin, aku mengambil bola yang tidak sengaja terlempar jauh gara-gara Hideo. Eh, ternyata bolanya masuk ke ruang tim lomba. Terus, anak yang namanya Akira itu langsung marah-marah, aduh mana gayanya tengil sekali. Culun sekali, belum lagi pakai kacamata bulat begitu. Waktu aku selidiki, ternyata dia cuma anak beasiswa. Sudah pakai beasiswa, masih bisa sombong." Rei melipat kedua tangan di depan dada, raut wajahnya tampak sebal sekali.
"Wah! Kok menyebalkan sekali, sih? Anak beasiswa saja sombongnya selangit," timpal Harumi. "Nanti tunjukkan anaknya, aku penasaran."
"Benar, benar, harus diberi pelajaran. Mentang-mentang, dia kakak kelas, mana bisa seenaknya? Memang ini sekolah punya dia? Dia saja menumpang kok di sini, kita itu yang bayar uang sekolah dia," tambah Akemi.
Aku melirik Takeo yang mengangguk semangat, seolah setuju dengan semua ide untuk mencari tahu anak bernama Akira Kojima. Padahal, kalau mereka mencari tahu tentangku, pasti langsung ketahuan kalau aku ini anak beasiswa.
"Suzume kok diam?" tanya Akemi.
Aku hanya menggeleng pelan.
"Suzume, sih, pasti tidak mau ikut-ikut. Dia ini anak yang baik," jawab Takeo yang langsung kuberi tatapan diam-sana-jangan-sok-ikut-campur.
word: 1.349
Harumi Suzuki
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top