Spring [3.5]: Brotherhood Cafe
Playlist: You Need To Calm Down - Taylor Swift
-----------------------------
Tanganku ditarik paksa oleh Harumi, padahal aku sudah menolak untuk ikut ke ruang tim lomba. Untuk apa juga, sih, mendatangi Akira Senpai? Takeo meletakkan tangannya di pundakku dan mendorong agar aku berjalan lebih cepat.
Rei menunjuk-nunjuk ruangan yang berada di ujung koridor. Ruang tim lomba.
Harumi dan Akemi berjalan di depan mendahului Rei. Mereka melongok ke ruang tim lomba. Aku mengintip mereka dari jauh, aku tidak mau ikut-ikut.
"Ayo," ajak Takeo menggandeng tanganku. Shizuko yang berada di dekatku juga mempercepat langkahnya.
"Di sini, ada Akira Senpai?"
Aku terkejut begitu Harumi mengatakan hal itu sembari berkacak pinggang. Berani sekali, sih? Memangnya dia tidak takut, ya? Aku melirik Rei yang melebarkan bibir, tampak terkejut dengan ucapan Harumi. Tampaknya Shizuko dan Takeo juga, mereka saling lirik dengan wajah canggung.
"Kenapa?"
Sebuah suara muncul dari balik tengkukku, sampai aku merinding dibuatnya. Aku menoleh dan menemukan seorang lelaki berkacamata tengah berkacak pinggang menatap kami.
Samar-samar aku mendengar Rei bersuara, "Itu, orang itu."
Ah, orang ini yang namanya Akira Kojima? Aku pikir gayanya akan benar-benar kumal, culun, bau, dan jelek, tapi ... ini kok tampak berbeda, ya? Maksudku, agak berbeda dari ekspetasi yang kupikirkan. Kacamata mata bulat yang bertengger di wajahnya, sama sekali tidak membuatnya tekesan culun. Entah mengapa menurutku dia cukup tampan. Kulitnya yang kuning langsat menampilkan kesan seksi, dia mirip Heiji Hattori di komik Detektif Conan. Astaga, apa yang aku pikirkan? Aku bahkan tidak bisa berhenti menatap kedua bola matanya.
Memang, sih, dari tadi wajahnya menyebarkan aura permusuhan yang cukup pekat. Matanya tajam menatap kami satu per satu, sampai dia berhenti di Rei.
"Oh, kau mengadu ke temanmu?" ucapnya disertai sebuah senyum kecil, bibirnya yang tertarik sedikit itu menunjukkan kalau dia sedang meremehkan Rei.
Oke, aku tarik semua ucapanku yang mengatakan dia tampan. Dia menyebalkan sekali. Takeo menarikku mundur hingga berada di balik punggungnya.
"Wah, sombong sekali, ya? Akira Kojima ...," Takeo menunjuk-nunjuk tag nama yang berada di seragam Akira Senpai, "kau penerima beasiswa itu, kan? Kau bahkan bisa bersekolah di sini karena uang kami, tapi sombong sekali."
Takeo tertawa, tawa yang membahana hingga beberapa orang yang berada di dekat sini menjadikan kami sebagai objek tontonan. Beberapa orang dari ruangan tim lomba bahkan sudah melongok mencari tahu.
"Terus? Uang kalian? Wah, kau bahkan tidak tahu jika ini uang pemerintah. Kau pikir, anak beasiswa makan dari uang kalian? Lucu sekali." Akira melewati Takeo dan sengaja menabrak pundaknya cukup keras hingga Takeo terdorong ke belakang.
Aku bisa melihat Takeo hendak melemparkan sebuah tonjokan, tapi tanganku menahannya. Takeo melirikku, matanya menyorotkan suatu emosi yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.
"Bisa minggir?"
Harumi dan Akemi tampak menghalangi pintu ruang tim lomba, hingga Akira Senpai tidak bisa lewat. Harumi memasang senyum khasnya, senyum angkuh yang biasa digunakan saat menggangu Haruka. Akemi hendak menyingkir, tapi tangan Harumi menahannya.
Aku tahu dia akan memaki Senpai yang menyebalkan ini. Harumi maju langkah, mempersempit jarak antara dia dan Akira Senpai. Tubuhnya yang lebih pendek membuatnya agak mendongak untuk menatap Akira Senpai –yang omong-omong terbilang cukup tinggi untuk ukuran anak SMA.
"Uang pemerintah? Kau pikir bisa mendapat fasilitas ini dari mana kalau bukan uang kami? Ini sekolah swasta elit, bukan sekolah murah," Harumi melirik ke ruang tim lomba dengan tatapan meremehkan, "bekerja keras di sini? Mencari uang dari lomba, ya? Menyedihkan."
Harumi menyenggol pundak Akira Senpai sembari menggandeng Akemi. Aku bisa merasakan aura tegang di sini. Rei mendorong pundakku agak keras, hingga aku hampir terjengkal. Untung saja, ada Takeo yang menahan. Tampaknya, Rei ogah berlama-lama di sini. Mungkin juga agak menyesal karena menyebabkan keributan ini.
Aku mengembuskan napas panjang. Semoga saja aku tidak diterima masuk di tim lomba, aku menyesal minggu lalu ikut tes. Kalau sampai aku diterima, aku tidak yakin bisa hidup dengan tenang setelah semua ini.
"Aku ke klub dulu, ya?" Akemi berbelok ke ruang klub menari, yang berada dua ruang dari tim lomba. "Hari ini ada latihan."
Beberapa orang di klub menari sudah menarik lengan Akemi, tampaknya penasaran dengan apa yang baru saja terjadi dan menunggup gosip yang akan diceritakan Akemi. Kami melambaikan tangan ke Akemi yang sudah hilang dari pandangan.
"Menyebalkan sekali, sih! Kenapa kau harus berurusan dengan orang seperti itu, sih, Rei," geram Harumi, menghentak-hentakkan kaki kesal.
"Dia itu sakit jiwa!" jawab Rei dengan volume keras hingga beberapa pasang mata kembali memperhatikan kami. Astaga, aku benar-benar lelah.
"Sudahlah, nanti malam kita harus bersenang-senang," hibur Shizuko, yang sedari tadi tidak banyak bicara.
Harumi mengacungkan jempol dengan malas. Rei memeluk leher kedua perempuan itu dengan semangat. "Siap berpesta!" serunya.
"Mau ke mana, Suzume?" panggil Takeo, menghentikan langkahku yang akan berbelok ke arah loker.
"Pulang. Kenapa?" balasku sembari mengipasi wajah dengan tangan, entah mengapa panas di lapangan bisa merambat sampai di sini. Aku meletakkan sepatu ke loker dan mengambil alas kaki biasa.
"Suzume tidak pergi bersama-sama? Sekalian lanjut nanti malam, kan. Pinjam baju Emi saja." Takeo melepaskan seragamnya dan memasukkan ke tas dengan sembarangan. Berantakan sekali Takeo ini. Aku selalu penasaran dengan apa yang ada di balik perut Takeo. Sayangnya, dia selalu merangkapnya dengan pakaian futsal. Hush, apa yang kau pikirkan sih, Suzume.
"Ada perlu lain, nanti aku langsung ke sana. Kirim alamatnya, ya! Sampai jumpa, Takeo-kun." Aku melambaikan tangan ke Takeo sembari berlalu pergi.
"Mau aku jemput?"
"Tidak usah, aku tidak mau merepotkan Takeo-kun," balasku sembari berlari kecil.
Kalau dijemput nanti malah bingung membuat alasan. Lebih baik keluar uang untuk naik bis daripada membuat kekacauan lain.
"Suzume-chan, tunggu sebentar," tiba-tiba Takeo menarik tanganku pelan, "ini untuk Suzume. Jangan ditolak, ya."
Takeo menyodorkan kotak berukuran tanggung yang dilapisi kertas kado polkadot merah. Ada pita di atasnya juga.
"Hah? Apa ini?" tanyaku bingung.
"Hadiah buatmu. Aku tahu ini cuma hadiah kecil, tapi aku mau Suzume menerimanya. Aku tidak suka melihatmu kesusahan."
"Apa maksudnya? Takeo, jangan membuatku bingung. Aku tidak mau merepotkanmu dengan memberiku hadiah. Lagi pula, aku tidak kesusahan apa-apa, kok."
Aku menyodorkan kembali hadiah yang diberikan Takeo padaku.
"Kalau tidak diterima, akan aku buang, loh," ancam Takeo. "Pasti Suzume akan marah kalau tahu apa isinya. Jadi diterima saja, daripada aku buang dan membuatmu marah."
"Baiklah, terserahmu saja. Aku pergi dulu ya. Terima kasih hadiahnya." Aku memeluk hadiah yang diberikan Takeo sembari berlari kecil.
Beberapa orang sibuk berkumpul di lapangan, aku lihat Rei sudah berada di sana dan melambaikan tangan padaku. Kalau tidak salah, hari ini ada pemilihan anggota klub sepak bola, pantas saja ramai sekali di lapangan.
Di luar, banyak mobil terparkir untuk menjemput majikan-majikan mereka. Anak sepertiku kok masih bisa ya bertahan di sini? Aku pikir, sekolah ini akan lebih baik dari Horikoshi Gakuen karena tidak dibeda-bedakan. Kenyataannya, mungkin lebih baik di sana daripada di sini.
Aku berjalan melewati gang-gang, ternyata tempatnya tidak berada di jalan utama. Namun, itu lebih baik. Kalau aku diterima, kecil kemungkinan akan ketahuan anak-anak di SMA. Niatku memang ingin bertanya-tanya dulu sih, lagi pula aku tidak membawa surat lamaran kerja. Penting membahas gaji dulu, daripada tenagaku diperas seperti sapi perah tapi hanya digaji sedikit.
Aku membuka pintu kafe yang menimbulkan suara lonceng berdenting.
"Irasshaimase." Lelaki muda dengan rambut diikat menyambutku. Aku menundukkan kepala untuk membalas ucapannya. "Silakan duduk di sini."
Lelaki itu mengantarku ke sebuah meja kosong dekat kasir. Aku menggeleng pelan dan membuatnya mengerutkan alis.
"Lowongan di instalook," ucapku pelan.
"Ah, mau mendaftar. Sini, duduk di sini." Dia duduk di bangku yang tadi ditujukan untukku. Tangannya dilambaikan hingga seorang gadis—yang terlihat lebih tua dariku—di kasir mendatanginya. "Ambilkan kertasku yang ada di laci."
"Baik."
Aku mengekor duduk di hadapan lelaki muda ini. Apakah dia pemiliknya?
"Boleh aku lihat surat lamaranmu? Masih SMA, ya? Wah,
"Eh?" pekikku setengah terkejut, "Tunggu-tunggu, aku mau tanya-tanya dulu. Soal jam kerja, gaji, dan hari libur juga."
Lelaki muda itu menjentikkan jari seolah mendapat pencerahan dari apa yang baru saja kuucapkan. Dia terkikik pelan kemudian membuka ponselnya. Entah sedang mencari apa, tapi wajahnya terlihat agak serius.
Poni yang menutup setengah matanya disibak sehingga terlihat jelas pahatan indah dari wajah itu. Mengapa tadi aku tidak menyadari ini ya? Tulang rahang yang tegas, hidung yang mancung, mata sipit yang meyorot keramahan. Meskipun dahi lelaki ini terbilang cukup lebar, tapi itu semua tidak melunturkan keindahannya.
"Nah ketemu!" ujarnya, membuatku terkaget karena merasa menjadi tersangka yang diam-diam memperhatikan wajahnya yang tampan itu. "Oh ya, sebelumnya perkenalkan namaku Kazuo. Kazuo Ishikawa. Kau?"
"Suzume Yamashita. Ishikawa-sama?"
Wajah Ishikawa-sama memerah, entah karena apa. "Aku jadi malu dipanggil begitu. Panggil saja Sensei. Kalau Sama terkesan terlalu keren untukku, kurang pantas. Lihat tuh, Yumi-chan menertawakan kita."
Aku melirik gadis yang tadi membawakan kertas ke sini. Wajahnya merah karena berusaha menahan suara tawanya. Tahu-tahu saja, aku sudah ikutan tertawa. Tampaknya Ishikawa-sensei dan Yumi memiliki hubungan yang lebih dari partner kerja.
"Oh ya, Yamashita-san. Begini aku mau menjelaskan tentang sistem di sini dulu ya." Ishikawa-sensei menunjukkan ponselnya padaku. "Ini gaji kuberikan setiap minggu sesuai jam kerjamu yang diakumulasi. Gajimu per jam dihitung 900 Yen, nanti akan ada mesin finger print di belakang sana untuk mengakumulasi jam kerjamu. Jadi, aku sama sekali tidak mencurangi anak di bawah umur, kau bisa cek sendiri juga. Untuk jam kerja akan aku sesuaikan dengan jadwal sekolahmu dan aku diskusikan lagi dengamu kalau saja terlalu berat. Sekarang, giliranmu membuatku terkesan. Jadi, apa yang membuatku harus menerimamu jadi karyawan di sini?"
Ishikawa-sensei menopang dagu di kedua tangannya, lalu gadis bernama Yumi juga ikut-ikutan memperhatikanku.
"Aku penerima beasiswa di Hoshigami Gakuen, tidak berniat sombong tapi aku itu berarti aku cukup pintar. Aku juga bisa membantu bagian dapur, karena aku cukup pandai membuat roti. Lalu, aku pikir tidak akan rugi untuk menerimaku di sini."
"Yumi, kau dengar itu? Tidak berniat sombong, tapi kau sudah sombong," Ishikawa Sensei menertawakanku yang entah mengapa tidak mengurangi ketampanannya, "Aku suka gayamu, kau diterima!"
Aku melongo, tak percaya dengan yang baru saja kudengar. Maksudku, memangnya menerima pegawai itu semudah ini? Atau lelaki ini agak bodoh? Aku melirik Yumi yang melemparkanku senyum paling ramah. Ini tidak bercanda?
Lamunanku terbuyar oleh suara bel yang menandakan seseorang datang. Ishikawa Sensei buru-buru berdiri dan menyambut dengan ramah. Lelaki yang tampak seperti karyawan kantor mengangguk kaku sembari mengikuti langkah Ishikawa-sensei.
"Suzume-chan, sini bantu aku," panggil Yumi yang kusambut ceria. "Aku akan mengajarimu beberapa hal, kebetulan kafe sedang sepi. Tapi kau jangan mengira kafe ini tidak laku, ya?"
Wah. Yumi benar-benar tahu isi pikiranku. Aku pikir ini kafe tak laku yang membuatku agak kaget karena mereka membutuhkan pegawai part-time. Aku tersenyum kikuk menanggapi ucapannya.
"Kau benar-benar berpikir begitu, ya?" tebak Yumi yang membuatku menggaruk tengkuk malu-malu. "Wajar, sih. Kalau siang memang sepi, tempat ini lebih ramai saat sore dan malam. Jadi, kami sangat membutuhkan bantuanmu saat malam. Oh ya, kau bisa bekerja besok, kan?"
Aku mengangguk semangat. "Tentu saja, tapi hari ini aku hanya bisa sampai sore. Tidak apa, Yumi-san?"
"Tidak apa, tenang saja. Sini mendekat."
Yumi benar-benar ramah. Dia menjelaskan segalanya dengan detail, bahkan tidak marah saat aku harus mencoba beberapa kali alat penggiling kopi. Ini benar-benar pertama kali, sayangnya ini juga sangat seru. Yumi bilang, aku akan diberikan bagian memasak kue tapi dia mau mencoba kue buatanku dulu. Aku tidak sabar untuk mulai bekerja.
Word: 1.866
Rei Tanaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top