Your Honeymoon Specialist!



Rasanya Win pengin mengetuk palu ala Hakim Agung karena frustrasi. Sudah nyaris setengah jam sepasang klien di depannya ini berdebat masalah kamar menghadap kolam renang atau menghadap pantai.

Win memang sangat memuja bulan madu. Tapi nggak gini-gini amat juga. Bisa-bisa, kalau mereka terus ribut gara-gara hal semacam ini, bulan madu mereka malah kacau dan berganti jadi pertengkaran rumah tangga.

"Babe, kita kan pengin langsung punya baby. Jadi, kita butuh suasana rileks. Suara ombak pantai tuh menenangkan. Daripada suara berisik orang di kolam berenang... Bisa-bisa kita nggak tenang karena takut diintip," rengek si perempuan dengan ekspresi yang sebentar lagi mewek.

Win nyaris terbatuk-batuk kaget mendengar kalimat 'takut diintip'. Memangnya mereka bakalan pasang poster 'Lagi bulan madu nih!' di luar kamar?

Si suami tampak mengernyit nggak sepakat. "Ya ampun, babe. Siapa yang mau ngintip sih? Kamar yang menghadap pantai kan cuma jendelanya aja yang pemandangannya ke pantai, nggak ada pintu langsung keluar. Kalau yang menghadap kolam renang, kan ada pintu buat langsung ke kolam renang. Tinggal buka pintu, kita bisa langsung nyebur. Lebih asyik, kan? Harga kamarnya juga sama." Pria berotot itu ngotot.

Bibir si istri mulai manyun. Tanda-tanda buruk. Win harus bertindak sebelum mereka betul-betul menggelar pertengkaran rumah tangga di sini. "Eh, Mas Jay dan Mbak Jane, gini aja deh. Soal kamar nggak perlu diputuskan hari ini. Kalian diskusi lagi aja di rumah. Nanti kalau sudah ada keputusan, bisa hubungi saya lagi. Gimana?"

Alis Jane mengernyit menatap Win. "Memangnya, kamarnya nggak bakal diambil orang lain, Mas Win?"

Win menggeleng. "Nggak. Tenang aja. Bisa di-keep dulu kok. Honeymoon Express sudah lumayan lama kerja sama dengan hotel itu, jadi bisa diatur. Butuh berapa lama? Dua hari? Tiga hari?"

"Secepatnya deh. Maksimal besok sudah ada keputusan," jawab Jay cepat.

Win tersenyum lebar, profesional. Dalam hati ber syukur mereka nggak ngotot menyelesaikan diskusi dengan aroma peperangan itu sekarang. Setelah bersalam-salaman, Jay dan Jane pamit. Win bisa duduk lega sambil menghela napas. Ada-ada aja.

"Pak, ada telepon di line dua," suara Mook terdengar di Intercom. Baru juga bernapas lega sebentar.

Win menekan tombol line 2. "Ya, halo...?"

"Hei, Win. Sibuk?" Win langsung duduk tegak. Bright. Kayaknya Win butuh terapi khusus nih soal Bright. Setiap kali berinteraksi dengan pria ini, Win masih aja deg-degan. Padahal sekarang sudah jelas banget Bright calon suami orang dan terbukti sangat mencintai calon istrinya.

Gilanya, melihat Bright melakukan semua itu buat calonnya, malah bikin Win makin terpesona dan terkagum-kagum. Bahaya nih.

"Eh, nggak kok. Tadi ada klien, tapi barusan mereka pulang. Kenapa telepon ke nomor kantor, nggak ke HP aja? Nomerku nggak di-save yaaa?" canda Win sekaligus menyelidik.

Bright tertawa pelan. "Hahaha... Nggak mungkin lah. Masa nggak di-save. Saat ini kan kamu orang penting dalam hidupku."

Win nyaris kena serangan jantung.

"Kamu yang menentukan sukses atau nggaknya acara honeymoon-ku," sambung Bright, bikin Win batal kena serangan jantung. "Aku sengaja telepon ke kantor, takutnya kamu lagi sibuk meeting atau apa lah. Kalau ke kantor kan ada sekretaris kamu yang jawab teleponku."

Win terkekeh pelan. "Ohhh... Kirain nggak di-save. Bisa-bisa aku kecewa terus merenung di gua hantu."

Bright tertawa lepas. "Kamu jago bercanda ya sekarang. Kemajuan. Nggak kayak dulu. Ngasih proposal ke base camp PA aja ngomongnya gelagapan. Aku sampe kepikiran nyiapin tim medis sama ambulans tiap kamu datang."

Win meringis garing. Bright dodol! Emang kamu pikir kenapa aku dulu gelagapan?!

"Kamu sendiri kayak orang gagu. Ngomong aja jarang. Makanya aku gelagapan, bingung mau ngomong apa. Jadi, ada apa kamu telepon aku?"

"Bisa kita ketemuan, Win?" tanya Bright langsung.

Kalau nggak mikirin gengsi, etika, dan tata krama di depan calon suami orang, Win bakal bilang "Mau!" tiga kali, ditambah efek mengangguk-angguk semangat sampai kepalanya mau copot.

Tahan, Win.... Tahaaan.... Ingat, profesional! Dan jadi pengganggu hubungan orang adalah BIG NO NO! Lebih baik pingsan diseruduk sapi daripada jadi cowok kegatelan.

"Kamu mau ke kantorku?" jawab Win tenang, penuh wibawa.

"Hm... kamu makan siang di kantor?" Bright balik bertanya.

"Nggak sih, Bri. Aku makan siang di luar, tapi bisa cepet kok sampe kantor lagi. Jam satu, gimana?"

Bright terdiam sejenak. "Kalau diobrolin sambil makan siang, gimana? Biar kamu nggak buru-buru makan, aku samperin ke tempat kamu makan siang. Eh, tapi kalau kamu nggak bisa sambil ngobrolin kerjaan, nggak apa-apa sih kalau aku ke kantor."

Tawaran yang bagus.

Win terdiam memikirkan usul Bright. Ketemu saat makan siang sambil ngobrolin kerjaan kayaknya nggak masalah, kan? Selama ini juga Win sering melakukan itu dengan klien yang lain. Apa bedanya dengan Bright?

"Mmm... Boleh aja. Malah kebetulan, Lovea nggak bisa lunch bareng. Kamu sekalian makan siang bareng aku, kan?"

"Hahaha... iya, beres. Kalau gitu, aku samperin kamu di mana nih?"

"Padang Jaya gimana?"

"Sip! I'll see you there."

Win cengar-cengir sendiri setelah menutup telepon.

Asyiiik... lunch sama Bright. Win toh bukannya mau merebut pasangan orang. Kalau cuma buat lucu-lucuan untuk dikagumi, boleh dong? Toh tujuan Win juga baik, demi mewujudkan honeymoon yang dahsyat buat calon istrinya.

Anggap aja ini meeting, dengan bonus.



**



Padang Jaya saat jam makan siang itu sama kayak Midnight Sale. Desak-desakan, rebutan, dan penuh teriakan histeris. Segala bagian tubuh sapi dan ayam diteriakkan dengan penuh semangat.

"Otak dong, Bang!"

"Paru! Satu lageee!"

"Saya kan minta dada, kok dikasihnya paha?! Dadanya yang gemuk ya!"

"Kikil duaaa!"

Dan teriakan-teriakan lain sejenis itu. Untungnya Win dan Bright datang lumayan lebih awal,

persis lima menit sebelum gerombolan manusia kelaparan mulai memasuki restoran Padang paling hits di kawasan Blok M itu.

Karena datang cepat, Win berhasil duduk di tempat paling strategis. Lantai dua, di samping jendela dan di bawah AC. Beberapa orang yang belum kebagian kursi berkali-kali melirik ke arah Win dan Bright dengan tatapan yang seolah mengatakan, "Makannya cepetan dong! Gue juga lapar!"

"Win, emang nggak apa-apa kita lama-lama nih? Ngobrolnya nggak mau sambil ngopi aja?" bisik Bright mulai nggak tenang. Rupanya Bright pelanggan Padang Jaya tipe makan siang ngebut, langsung pergi, lalu memberikan kursinya ke orang lain yang sedang antre. Terutama yang berdiri gelisah sambil menatap orang-orang yang duduk.

Win malah mengangkat tangan ke arah pelayan yang tampak sibuk membawa pesanan sekalian latihan akrobat dengan begitu banyak tumpukan piring di tangannya.

"Bang! Es kelapa jeruk satu ya! Kamu mau dessert apa?"

"Eh? Mm... sama aja deh."

"Dua, Bang!" ralat Win. "Tenang aja, Bri, selama kita masih punya sesuatu buat dimakan di meja kita, nggak bakal ada yang ngusir. Kuncinya itu... pesen aja terus. Lagian, sebentar lagi gelombang arus makan siang bakalan selesai. Restonya langsung sepi lagi. Bisa santai deh," kata Win santai, tak peduli tatapan murka pengunjung lain yang mengarah ke mereka.

Alis Bright terangkat lalu dia terkekeh pelan. "Ya ampun, udah pegang jurusnya ternyata."

Win ikut cekikikan. "Siapa bilang di sini nggak ada dessert? Pesanlah es kelapa belakangan. Waktu makan, kita minum teh aja," kata Win berlagak iklan.

Bright langsung tertawa pelan. "Ada-ada aja," komentarnya kalem.

Bright oh Bright, bahkan tertawa pun kamu bisa kalem dan bikin hati adem.

"Oke, back to bussiness. Gue baca ya list-nya."

Bright menganggguk. Win membuka selembar kertas bertulisan tangan Bright berisi list tempat dan kegiatan bulan madu sesuai keinginan sang calon istri. Win mengernyit membaca tulisan di kertas itu. Serius nih list-nya?!

1. Bali: kemping di pantai, main water sport

2. Bandung: berkuda di kebun teh dan hutan cemara + romantic picnic

3. Singapore: romantic dinner, Universal Studio, Singapore Flyer

Win menatap Bright. "Ini aja list-nya?"

Bright mengangguk. "Iya... Intinya sih itu. Masih kurang detail ya, Win? Sebenarnya sih detailnya lumayan banyak, tapi... mmm... cuma hal-hal kecil di seputaran Jakarta atau Bandung, dan kayaknya nggak perlu terlalu di-arrange. Bisa aku kerjain sendiri," katanya tenang.

Win menggeleng cepat. "Nggak, bukan. Bukan kurang detail. Malah ini detail banget, dan... mmm... fix. Biasanya klien cuma bilang mau beberapa hari di Bali, terus ke beberapa tempat, terus pindah ke Lombok atau ke tempat lain. Habis itu aku bisa kasih saran. Jadi, di Bali dan Singapura kalian cuma mau ke tempat-tempat ini aja?"

Bright mengangguk. "Mm... iya, Win. Menurut dia— Nevvy, namanya Nevvy," Bright menyebut nama tunangannya dengan syahdu. "Menurut Nevvy begitu. Di Bali, dia mau melakukan itu aja. Memang tujuannya standar, tapi justru itu alasanku minta bantuan kamu. Kamu bisa kan bikin yang standar jadi istimewa? Semuanya nggak harus langsung dalam satu trip kok. Kalau misalnya ke Bali dulu, terus ke Jakarta lagi untuk istirahat dulu, terus pergi lagi, nggak masalah.Yang penting aku minta tolong kamu supaya semua yang simple ini kamu bikin berkesan untuk dijadikan bulan madu."

"Oh gitu? Tapi itu ide bagus sih. Soalnya, tempat-tempat ini kalau dijalanin sekaligus capek juga," komentar Win, masih bingung dengan list yang dipegangnya.

Semua tempat tujuannya sih bagus, biarpun agak standar. Hanya saja rutenya agak nggak lazim. Win pikir, untuk seorang animator sukses kayak Bright, dia bakal ambil paket Eropa, atau paling nggak Hongkong deh.

"Nggak mau ngambil paket Eropa atau Hongkong, Bri? Singapura kan deket banget. Ke Bali atau Bandung kan bisa kapan aja. Itu saranku sih."

Bright tersenyum. "Sebenernya Nevvy sudah sering ke Singapura, tapi..."

Mata Win membulat. "Nah, ya sudah, Eropa aja. Aku punya offer murah banget, Bri," potong Win.

Bright menghela napas. "Tapi Nevvy nggak bisa pergi jauh-jauh dan lama...," sambungnya.

Bibir Win membulat. "Oooh... kasus kayak gini emang sering sih. Klienku pengin tur yang lama, tapi dua-duanya atau salah satunya sibuk dan nggak ada waktu." Win teringat salah satu kliennya yang memutuskan untuk mencari waktu lain untuk honeymoon mereka ke Eropa karena istrinya cuma dapat cuti menikah empat hari.

Bright tersenyum. "Tapi semua yang ada di list ini bakal bikin Nevvy seneng kok. Aku yakin. Karena list ini dia sendiri yang buat," tukas Bright cepat. "Tapi ya itu tadi, Win, tolong dikemas seindah mungkin ya. Supaya bagus kalau difoto detail-detailnya." Suara Bright terdengar serius dan penuh cinta—cinta untuk Nevvy yang membuat Bright melakukan hal seromantis ini. Romantis banget lebih tepatnya. Karena seingat Win, di antara klien-kliannya selama ini, cuma Bright yang menyiapkan kejutan bulan madu sekaligus mau menyurvei sendiri. "Win... bisa, kan?"

Lamunan Win buyar. "Oh, bisa, Bright. Honeymoon Express kan your honeymoon specialist," canda Win garing, menyebut moto kantornya.

"Oh ya. Ini, yang berkuda di kebun teh dan hutan cemara, kamu tahu kan lokasinya?"

Win mengernyit. "Hmmm... belum tahu pasti sih, Bri. Tapi tenang, timku bisa nyari infonya. Santai aja."

"Aku tahu tempatnya kok. Soalnya aku pernah coba. Gara-gara aku cerita soal itu, Nevvy pengin nyobain juga. Tapi aku belum kesampaian ngajak dia." Tatapan Bright menerawang.

"Oh gitu? Di mana, Bright? Biar timku bisa langsung cari infonya."

"Di daerah Lembang. Ada tempat wisata ala cowboy. Mereka punya paket untuk trekking berkuda lewat kebun teh dan hutan cemara. Bagus banget! Kalau ambil paket full, dapat makan siang di sela-sela perjalanan. Memang kayak piknik gitu. Gelar tikar dan makan nasi liwet."

Bahkan saat mengucapkan kalimat sepanjang itu, intonasi Bright tetap tenang dan terjaga. Kebalikan dari Win, setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu penuh semangat meledak-ledak. Win paling susah mengontrol emosi. Dia kelewat spontan dan blak-blakan, apalagi dia sering panik kalau ada yang nggak beres atau melenceng dari rencana.

Win mengangguk. "Sip! Kalau gitu, poin yang ini kita anggap aja beres." Win tersenyum lebar. Tangannya dengan cekatan menulis catatan kecil di samping poin yang dimaksud tadi. "Poin-poin yang lainnya akan segera beres. Akan langsung aku kerjain kok. Tenang ajaaa." Win tersenyum ceria.

Jantung Win nyaris melompat keluar ketika tiba-tiba Bright meraih tangannya yang sedang melipat kertas, lalu menggenggamnya pelan. "Makasih banyak ya, Win. Aku yakin aku nggak salah pilih kamu dan Honeymoon Express."

Win setengah mati menahan senyum supaya nggak terlihat meringis, sekaligus berdoa semoga suara jantungnya nggak sampai terdengar Bright. Sikap kalem Bright memang juara. Sementara Win kelojotan karena degdegan, Bright bisa tetap kalem dan bersahaja, padahal tangannya menggenggam tangan Win. Apa memang karena buat Bright ini biasa aja ya?

"I-iya, sama-sama, Bright. Tenang aja. This is my job kok."

Win mengerti sih Bright menggenggam tangannya sebagai tanda persahabatan dan ucapan terima kasih. Karena toh mereka teman lama. Tapi tetap aja, perasaan Win yang ternyata belum selesai sampai sekarang ini, selalu menjadi liar kalau Bright melakukan sesuatu yang berpotensi bikin Win deg-degan.

Win menghela napas bercampur iri. Alangkah beruntungnya wanita bernama Nevvy itu.




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top