Why, Oh why




"APA?! Jadi lo dulu serius suka sama Bright? Lo beneran jatuh cinta sama dia?!" pekik Love, bagai tukang ayam mengobral dagangan di pasar.

"Ssst! Nyebelin lo!" desis Win keki. Gini nih kalau punya sahabat yang terlalu dekat. Padahal

setelah resepsi Tawan, Win mati-matian menyembunyikan soal Bright. Toh semuanya sudah lewat. Tapi bukan Love namanya kalau nggak kepo. Nenek bawel yang satu itu berhasil mengorek semuanya, hanya dengan memulai lewat pertanyaan basa-basi saat mereka membaca- baca menu di Satelicious tadi.

Win nyaris membekap mulut Love pakai serbet. Enak banget dia menjerit di restoran yang penuh minta ampun pas jam makan siang kayak begini. Win berhenti menggigit sate dan menatap aneh ke arah tisu yang disodorkan Love. "Buat apa?"

Love menjawab sambil pasang muka serius, yang nggak bisa dideteksi itu ekspresi serius apa ngeledek. "Buat menghapus air mata lo, Win. Kalau lo pengin nangis meraung-raung dengan segenap perasaan, nggak apa-apa, darling. I'm here. Kalau lo perlu lagu India buat backsound, gue bisa cariin." Love mengangguk meyakinkan, dan menyebalkan.

Hampir aja Win tersedak sate kalau nggak buru-buru minum. Dengan penuh dendam, Win menggumpal-gumpalkan tisu yang disodorkan Love, lalu menimpuk Love sambil melotot—yang dia bayangkan berkekuatan super untuk mengubah Love jadi kentang. "Ngasal ya lo! Ngapain gue nangis meraung-raung segala?!"

"Lo memendam perasaan buat Bright selama bertahun-tahun. Dan pas ketemu lagi, lo mengira ada kesempatan, tapi tahu-tahu... dia malah udah mo kawin, dan mau pakai jasa Honyemoon Express. Itu kan pasti...," Love menunjuk- nunjuk dadanya dengan muka penuh drama, "menusuk-nusuk hati banget. Sakit. Perih. Hidup memang keras, Jenderal!" katanya cekikikan.

Dasar norak!

Betul-betul sahabat yang perlu dijitak pakai ulekan batu. Hidup Love itu kayaknya nggak bisa tenang kalau nggak bercanda atau ngeledek orang. "Sembarangan! Ngapain pakai sakit segala?"

"Pasti sakit lah. Yang sudah jadian terus putus aja sakit kalau patah hati. Apalagi kayak lo gini, cinta yang nggak kesampean, pasti lebih sakit."

Win cuma bisa geleng-geleng mendengar analisis sok tahu Love. "Ngarang bebas lo, Siapa juga yang patah hati?! Waktu mikir, siapa tahu ketemu Bright itu takdir, itu cuma lucu-lucuan aja, nggak seserius itu juga sampe patah hati segala."

"Bohong!" tukas Love, sangat menyebalkan.

"Serius! Kan gue juga lagi deket sama Luke. Gimana sih lo?" balas Win, nggak mau kalah. Alis Love mengernyit dan matanya menyipit menatap Win. "Jadi... lo beneran bakalan ngambil job dari Bright?"

"Ya iyalah! Kenapa harus ditolak? Profesional ajalah sekarang. Dia nanti jadi klien gue. Beres, kan? Lagian, belum tentu jadi. Kan belum ada deal apa-apa. Siapa tahu dia berubah pikiran atau kemarin itu cuma basa-basi."

Tahu-tahu Love menatap Win serius. "Win, kenapa sih dulu lo nggak jujur sama gue kalau perasaan lo itu sebenarnya buat Bright? Kalau kayak gitu kan gue nggak bakalan nyuruh lo jadian sama Tawan. Gue pasti bakal mendukung pilihan lo."

Pih! Win langsung mencibir. "Mendukung? Love Pattranite Limpatiyakorn bukannya lo yang rajin banget nyebut dia kutu kertas raja hutan? Yang kata lo nggak bisa memenuhi harapan-harapan romantis gue. Lo kan tim Tawan sejati."

Love cekikikan. "Yaaa, itu kan karena gue nggak tahu kalau perasaan lo sedalem itu buat Bright. Ah, tapi lo jadian sama Tawan juga nggak rugi, kan? Dia romantis banget. Cinta banget pula sama lo. Sampe setahun lalu kan dia masih ngejar-ngejar lo. Ya, kan?"

Win berlagak kecekik dan sesak napas. "Romantisnya sampe bikin mual-mual. Lo sudah menghancurkan masa kuliah gue dengan menjebloskan gue ke dalam kisah romantika terajaib yang pernah ada di era perdagangan bebas ini," cerocos Win asal.

Dddrrt! Dddrrt! Ponsel Win bergetar di meja. Nama Bright berkelap-kelip di layar.

Love menyeringai garing. "Ingeeet... profesionaaal...."

Win mendelik, buru-buru menekan tombol Answer.

"Halo. Ya, hai, Bri. Gimana? Oh... bisa sih, tapi sekarang aku lagi di luar. Kalau stafku sih ada di kantor.... Apa? Oh, gitu. Iya, kita obrolin aja dulu. Hmm, kantor aja gimana? Boleh.... Satu jam lagi lah.... Oke, bye."

Love menatap penasaran. "Bright mau ke kantor. Ngobrolin soal honeymoonnya."

Bibir Love membulat. "Ooo...."

Win tahu "O"-nya Love tadi itu mewakili banyak makna. Jelas si nenek mulut ember itu masih pengin berkomentar ini-itu, tapi berhubung Win sudah melempar tatapan penuh ancaman untuk nggak membahas yang aneh-aneh lagi, Love langsung membatalkan niatnya— daripada benjol kena timpuk sendok makan.




**




Win menatap aneh Bright yang duduk di hadapannya. Barusan Mook mengantar Bright masuk ke ruangan Win.

"Sendirian?"

Bright mengangguk. Win makin bingung, lalu menatap Bright nggak ngerti.

"Calon kamu mana? Planning honeymoon kan harus berdua pasangan."

Dahi Bright mengernyit. "Harus ya?"

Telunjuk Win mengetuk-ngetuk sampul kulit iPadnya. "Nggak sih, tapi umumnya begitu. Kan supaya tahu apa maunya masing-masing gimana. Biar lebih gampang nentuin tujuan dan kegiatan yang mau dijalanin. Bulan madu kan buat berdua. Jadi dua-duanya harus cocok, harus happy, biar puas. Soalnya, konsep Honeymoon Express bukan cuma menyediakan jasa perjalanan, tapi lebih ke organizer. Kami akan bikin konsep yang sesuai untuk masing-masing klien."

"Iya, aku ngerti kok konsep Honeymoon Express, tapi... nggak boleh ya bulan madu sendirian?" cetus Bright serius.

"Ha?"

Tahu-tahu Bright tertawa pelan. "Muka kamu lucu banget kalau kaget. Aku bercanda, Win. Masa bulan madu sendirian?"

Win memutar mata sebal sambil agak-agak salting dan malu-malu kucing karena candaan Bright. Hhh... Win mengutuki diri sendiri kenapa harus malu-malu kucing kayak tadi.

"Jail banget sih! Jadi, mana calon istrimu? Harusnya kan dia juga ada di sini buat diskusi. Jadi aku bisa bikinin paket yang pas buat kalian berdua, sesuai budget yang kalian mau. Bulan madu harus jadi the best month ever, Bri."

Bright tersenyum. "Nggak salah aku pilih ke sini. Kamu profesional banget."

Lagi-lagi, tanpa bisa dicegah, pipi Win memanas. Dari tadi ditanya di mana calon mempelainya, Bright malah bolak-balik bikin Win salting. "Belum apa-apa udah dipuji. Bisa pusing nih kepalaku karena keberatan pujian. Jadi?" Win mengingatkan Bright supaya kembali lagi ke topik.

Jangan sampe Bright kebablasan melempar pujian, terus nanti tahu-tahu bilang Win adalah pemuda paling keren se-Jakarta Selatan, kan gawat juga! Win bisa pingsan kena serangan ge-er.

"Calonku ya?"

Win ngangguk. Bright menggosok-gosok tangannya lalu menatap Win.

"Gini, Win... Sebenarnya, ini rahasia. Makanya dia nggak aku ajak ke sini."

"Rahasia? Maksudnya kejutan?" tanya Win takjub. Memang nggak semua klien datang berdua pasangannya sih. Ada juga yang datang sendirian karena mau menjadikan bulan madu mereka sebagai kejutan buat pasangannya. Bukannya mau underestimate, tapi Win sama sekali nggak menyangka Bright tipe pria romantis dan bisa punya ide untuk ngasih kejutan bulan madu buat istrinya nanti.

Well, mengingat Bright yang Win kenal itu pendiam, kalem, dan lebih banyak menghabiskan hari-harinya di depan kertas atau di hutan, mmm... ya... nggak disangka aja.

Dalam bayangan Win, Bright lebih mungkin belajar bahasa beruang daripada merencanakan kejutan bulan madu romantis. Perasaan kaget Win cukup wajar. Biarpun dulu Win suka sama Bright, tapi sebetulnya dia nggak begitu mengenal pria itu. "Kalau kejutan ya bisa juga, Bri. Biar sukses, kamu harus mencari tahu dengan detail maunya dia apa. Misalnya, dia pengin ke mana, pengin ngapain aja, suka tempat yang kayak apa, pokoknya hal yang semacam itu. Kalau ada data, itu semua gampang diatur. Aku bisa mengatur honeymoon terbaik untuk kalian berdua, yang nggak akan terlupakan."

Mata Win yang berbinar-binar semangat waktu menjelaskan soal bulan madu, membuat Bright nggak bisa menahan senyum. "Semangat kamu masih sama kayak dulu. Inget nggak, waktu kamu kepergok browsing Tempat-tempat romantis di dunia? Habis itu kamu nyerocos panjang lebar soal alasanmu suka tempat-tempat itu, terus kamu cerita kalau kamu bakal buka biro perjalanan khusus bulan madu. Cara kamu ngomong, persis kayak barusan."

Win terenyak, nggak tahu harus bereaksi seperti apa. Darahnya berdesir pelan karena Bright ingat hal remeh sedetail itu tentang Win, padahal mereka cuma ngobrol sesekali. Mungkin Bright saat ini cuma basa-basi sebagai teman lama, tapi kenapa dia harus membahas itu?

"Gila, ingatan kamu tajam juga, Bright. Inget aja yang kayak begitu. Aku jadi malu, tau!" Setengah mati Win berusaha terihat santai dan nggak gelagapan.

"Kenapa malah malu? Harusnya bangga dong. Apa yang kamu omongin dulu, berhasil kamu wujudkan sekarang. Aku saksi hidup lho. Dijamin, aku terkenal jujur. Kalau aku jadi saksi, orang-orang pasti percaya."

"Apaan sih? Dasar...." Win tertawa kikuk.

Dari dulu sampai sekarang, ternyata pesona tatapan dan suara Bright nggak berubah, malah bertambah kuat. Karena sekarang Bright bukan lagi cowok mahasiswa kutu buku pencinta alam yang hobi pakai kaus oblong atau kemeja lanel kotak-kotak ala pendaki gunung.

"Serius dong, Bri.... Kamu malah melenceng ke mana-mana. Emangnya kamu nggak tahu kamu itu lagi berhadapan sama orang sibuk. Waktuku tuh sedikit banget. Kamu beruntung lho bisa ketemu langsung sama aku, soalnya ya, habis ini aku harus dinner di Paris, terus ngukur baju di Tokyo, belum lagi cuci rambut di Hongkong, sama beli anak anjing di Rusia." Akhirnya Win nggak tahan untuk nggak ngelantur dan menjebol imej profesional yang berusaha dia pertahankan sejak tadi.

Bright tertawa. Ahhh... tawa renyah itu lagi. Hangat dan menyenangkan.

"Hahaha... Gitu dong, Win, santai sedikit. Biarpun urusan kerjaan, aku kan temen kamu. Aku percaya kok kamu profesional tanpa harus serius." Bright tersenyum lagi, teringat dulu dia selalu menyukai aura ceria Win.

Win menaikkan sebelah alis. "Bukannya kamu yang biasanya serius? Waktu di kampus, kamu kan jarang bercanda, ngomong seperlunya, nggak suka basa-basi, ya kan? Sekalinya ngomong panjang, topiknya tentang terumbu karang sama hutan bakau."

"Kamu merhatiin aku juga ya ternyata."

Darah Win langsung kompak naik ke wajah. Rasanya seperti maling tertangkap basah. Kalau diibaratkan maling jemuran, Win kepergok persis saat tangannya menyambar kolor atau kutang dari tali jemuran. Malu berat!

Biarpun Bright mengucapkan kalimat itu dengan santai, tapi dia tepat sasaran dan sukses membuat Win malu.

"Bukannya merhatiin, Bright, tapi berdasarkan pengalaman pribadi. Kan aku salah satu dari sekian banyak teman yang kena ceramah kamu soal terumbu karang," jawab Win. "Lagian, emang bener begitu, kan?"

"Bisa ya, bisa nggak. Jelas aja kamu nggak pernah bercanda sama aku, kita kalau ketemu kan selaluuu karena urusan klub. Kita jarang ngobrolin topik lain. Di luar urusan klub, pergaulan kita juga beda, ya kan?"

Seketika Bright merasa disedot ke dalam mesin waktu. Dulu Win cowok ceria yang bikin dia betah berlama lama di kampus dan nggak bisa tidur sesampainya di rumah. Cowok yang selalu membuat dia deg-degan hanya dengan memikirkan niat menyatakan cinta. Dan sekarang, Win masih cowok yang sama. Dia lebih dewasa, lebih imut dan elegan, tapi reaksi jantung Bright tetap sama. Berdegup dengan irama berantakan. Bright harus mengontrol diri sendiri. Dia harus tetap mengingat tujuannya, mengingat Nevvy. Fokus pada Nevvy.

Win tertegun karena pertanyaan Bright tadi. Dia menatap Bright sambil mengangkat bahu. "Iya sih..."

Ya iyalah! Setiap ketemu kamu, aku mendadak bingung harus ngomong apa. Justru kegiatan-kegiatan klub itu yang bikin aku punya alasan ngobrol sama kamu, Bright! Jerit Win dalam hati.

"Eh, udah dong bahas masa kuliah. Back to your honeymoon. Jadi, gimana sih maksudnya, Bri? Kamu mau kasih kejutan?"

Ekspresi Bright kembali serius. "Semacam itu sih, tapi... mungkin akan lebih ribet daripada itu, Win. Aku sangat berharap kamu punya waktu untuk mengerjakannya. Kalau memang ada biaya tambahan, aku nggak masalah kok."

"Lho, kok jadi kamu yang kaku gitu? Belum juga selesai diskusi, kamu sudah ngomongin biaya tambahan. Kita kan teman, jadi santai aja, Bri. Coba jelasin dulu maksudnya. Kalau cuma surprise sih nggak perlu biaya tambahan. Kan sama kayak paket biasa, cuma pelaksanaannya yang agak beda. Aku bisa sesuaikan konsepnya."

Bright berdeham pelan sebelum mulai bicara. "Jadi begini, Win, kalau soal detail yang kamu bilang tadi, kayak masalah tempat yang dia suka, kegiatan yang dia pengin lakukan dan lain-lain, aku udah tahu semuanya. Aku punya semua informasi yang kamu perlukan."

"Bagus dong. Itu sudah cukup banget. Terus, apa yang kamu maksud lebih ribet?"

"Yaaa... bakal ribet, soalnya... soalnya aku mau jalanin bulan madu itu sendiri, sebelum sama dia."

Nah, sekarang Win mulai bingung. "Jalanin semuanya dulu gimana maksudnya?"

Bright meneguk teh manis yang tadi dibuatkan Yadi, OB Honeymoon Express. "Bulan madu ini impian dia, Win. Aku pengin... uhm... menjalani semuanya dulu, semacam perjalanan survei. Untuk memastikan semuanya benar dan sesuai keinginan dia. Bisa, kan?"

"Ohhh... oke. Biasanya sih aku nurunin tim survei untuk berangkat, kalau ada hal-hal yang perlu disurvei. Tapi kalau kamu mau turun langsung untuk survei, ya nggak apa-apa juga, Bright. Kamu bisa ditemenin anggota tim surveiku. Soal tambahan biaya itu, nanti ada tambahan biaya survei, tapi untuk kamu... aku kasih harga temen aja."

Bright kelihatan agak gelisah. "Hmm... sebetulnya bukan cuma survei, Win."

"Maksudnya kamu mau ngecek semua tempatnya dulu, kan?"

"Aku pengin mmm... bukan survei seperti itu, Win. Kayak yang kubilang tadi, aku akan jalanin semuanya full dengan semua konsep dan kegiatannya. Tapi sendirian. Lebih tepatnya disebut perjalanan... mmm... test?"

Win mulai paham maksud Bright, dan terheran-heran. "Jadi sama aja kamu bakal melakukan perjalanan itu dua kali dong nanti?"

Bright mengangguk. "Ya, kira-kira begitu."

Win melongo. "Bisa aja sih, Al, tapi... ya berarti harganya ya harga full yang harus kamu bayar dua kali."

Bright mengangguk paham. "Iya, aku paham kok. Nggak masalah kalau soal itu, Win. Yang penting aku bisa pastiin semuanya oke. Dan aku sudah punya semua detail yang dia mau, tapi aku minta tolong kamu untuk arrange semuanya ya? Supaya semuanya jadi istimewa. Aku pengin kamu yang nanganin langsung, karena aku yakin di tanganmu semuanya bakalan beres. Aku pengin yang terbaik buat dia." Bright jelas bisa menangkap kebingungan di raut wajah Win.

Biarlah, Bright tetap nggak berniat memberitahu cerita di balik permintaan bulan madunya ini. Dia nggak mau Win mengerjakan semuanya dengan kasihan. Bright mau Win menyiapkan bulan madu yang romantis dan bahagia untuk dia dan Nevvy.

Win tertegun. Rasanya dia nyaris menitikkan air mata karena terharu. Berkali-kali dia menangani klien yang merencanakan bulan madu kejutan untuk pasangan, baru sekali ada yang seperti ini. Semua kliennya hanya ber konsultasi pada Win, lalu pilih-pilih paket, bayar, dan terima beres. Tapi Bright nggak. Kalau Tawan yang melakukan ini, pasti semuanya bakal dilakukan dengan penuh kelebayan dan cenderung norak. Tapi Bright... dia mengatakan semuanya dengan segenap perasaan. Win bisa langsung merasakan pria itu melakukan semuanya pakai hati.

Win menghela napas diam-diam. Sungguh beruntung calon istri Bright. Wanita itu pasti sangat istimewa di hati Bright, sampai dia mau melakukan semua ini.

Tanpa bisa ditahan. Win terpesona pada kecengan masa lalunya itu—yang sekarang sudah jadi calon suami orang.

"Bisa, Win?"

"Bisa, bisa.... Tapi nanti kamu kasih tahu ya, list-nya mau apa aja. Habis itu aku kasih tahu kamu konsep paketnya. Kalau kamu setuju, baru kita kerjakan semuanya." Bright tersenyum hangat. "Oke. Nanti aku kasih kamu detailnya. Thanks ya, Win. Untung aku memutuskan datang ke kawinan Tawan, jadi kita bisa ketemu lagi."

Win meringis. Aku juga seneng banget bisa ketemu kamu lagi, Bri. Andai kamu tahu apa yang ada dalam pikiranku di resepsi Tawan kemarin. Fokus, Win! Fokus! Profesional! Win diam-diam mencubit pahanya sendiri di balik meja. Win paling anti sama manusia-manusia pengganggu hubungan orang lain.

Apalagi sejak hubungannya dan Mil berantakan gara-gara Mon. Betapa jahat manusia yang tega menghancurkan kebahagiaan orang lain dengan merebut pasangannya. Win tahu bagaimana sakitnya, dan dia nggak akan pernah mau jadi orang seperti itu.




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top