Masalah kutu beras?
Masalah kutu beras?
BERES!
Setelah menutup telepon, Win menatap Mook, salah satu pegawainya yang berdiri sambil meringis ngeri. Perasaan Mook sekarang kalau diumpamakan, seperti menunggu disembur api naga.
"Kamu pantau kepindahan Pak Pod dan Gawin ke hotel baru. Kamu harus bersyukur, Mook, saya masih bisa mengontak dan mendapat kamar di hotel lain yang sesuai sebelum bulan madu mereka kacau gara-gara kutu beras—"
"Iya, Pak." cicit Mook.
"—dan itu gara-gara kamu!" lanjut Win, ternyata belum tuntas ngomel.
"I-iya, Pak," suara Mook makin kelelep.
Win terus menatap Mook tajam. "Makanya, Mook, lain kali kalau mau ngatur paket untuk klien dan sesuai permintaan klien, dipikirin dulu. Jangan sampai terjadi malapetaka kayak gini. Gimana kalau sampe mereka ribut, dan kedengeran calon klien kita? Gimana kalau kita dicap jelek? Kamu mau kita kehilangan klien? Kehilangan job? Kehilangan reputasi?" Win merepet bagai senapan yang pelatuknya jebol.
Win memang termasuk orang yang mudah cemas. Terutama kalau sudah berkaitan dengan bisnis kesayangannya ini. Honeymoon Express. Biro perjalanan khusus bulan madu. Istilahnya, honeymoon organizer.
"T-tapi, Pak, kan Pak Pod sendiri yang minta supaya vilanya menghadap sawah, terus... lantainya ditaburi beras. Katanya supaya... supaya mengingatkan pada awal kisah cinta mereka. Pak Pod itu bandar beras, terus... Gawin itu pemuda desa yang kerja di sawahnya. I-itu lho, Pak, kamar tematik."
DOENG! Win mendelik. "Iya, ngerti, tematik! Saya juga ngerti permintaan klien yang satu ini agak aneh, tapi kamu jangan ikutan aneh! Paling nggak, berasnya kamu cuci dulu sebelum ditabur ke lantai! Lagian, kamu yang bener aja, Mook, masa pakai beras yang ada kutunya?
Terus mereka malam pertama sambil digigitin kutu, gitu?! Ya sudah lah, Mook, pokoknya sekarang kamu pantau keadaan Pak Pod dan istrinya di Bali. Jangan sampai kacau lagi dan mengganggu saya di tempat pameran kayak gini. Kalau masih pusing juga, minta bantuan Foei." Win menyebut nama salah satu staf andalannya.
Mook mengangguk cepat, antara mengerti dan pengin buru-buru kabur dari stan pameran kantor mereka. Honeymoon Express itu jasa perjalanan khusus bulan madu milik Win. Bosnya yang tampan, enerjik, dan baik hati, tapi bisa berubah jadi monster kalau lagi marah.
"Haaahhh...." Win merentangkan tangan, melepas ketegangan gara-gara kekonyolan Mook yang membawa pasukan kutu beras ke kamar bulan madu Pak Pod. Si bandar beras memang pantas dapat predikat klien terajaib tahun ini, atau mungkin abad ini? Apa yang lebih ajaib dari menaburkan beras di lantai kamar seharga dua setengah juta semalam? Ada juga tabur bunga kaleee...!
Sejak dirintis nyaris tiga tahun lalu, sambutan untuk Honeymoon Express cukup baik. Makanya, sampai sekarang perusahaan Win bisa terus berkembang. Kliennya makin banyak, dan namanya makin terkenal. Cita-cita masa remajanya untuk memiliki biro perjalanan bulan madu benar-benar kesampaian. Yang tadinya cuma meng-handle paket bulan madu di dalam negeri, sekarang Honeymoon Express bisa melayani perjalanan bulan madu ke seluruh dunia.
Win pun sukses masuk ke halaman profil majalah kelas A sebagai pengusaha muda yang kariernya terbilang sukses di usia menjelang 26 tahun.
Buat Win, mengurus segala detail bulan madu itu menyenangkan. Apalagi sebagai pemilik Honeymoon Express sekaligus direktur pelaksana, Win bisa mengunjungi tempat-tempat yang dulu cuma bisa dia lihat di majalah, TV, Internet, atau di album Honeymoon Dreamsnya— album itu isinya khusus segala macam hal romantis dan bulan madu yang dia buat sejak SMP kelas 1 dan masih dia simpan sampai sekarang—meski bukan dalam rangka bulan madunya sendiri.
Yah, tentu saja waktu SMP bayangan perjalanan bulan madu untuk Win adalah trip romantis berdua pasangan yang pastinya bikin deg-degan dan malu-malu kucing. Kala itu sih nggak kepikiran kalau perjalanan honeymoon termasuk aksi hot malam pertama, mencoba berbagai macam gaya bercinta di segala sudut ruangan, dan tidur telanjang sampai pagi.
Win ingat waktu pertama kali menginjakkan kaki di Venice dalam rangka survei, dia sempat nyaris menjedotkan jidat ke dinding dermaga gondola untuk membuktikan dirinya tidak sedang bermimpi. Waktu itu dia juga langsung bertekad dalam hati bahwa dia pasti akan kembali untuk menjalani bulan madunya sendiri.
Lamunan Win buyar begitu ponselnya menjerit-jerit. Pak Pod.
"Halooo... ya, Pak, gimana? Oh ya, syukurlah, Pak. Iya, memang nggak sempat dicek ada kutunya atau tidak. Oh gitu? Syukurlah... Oke, Pak. Sama-sama. Selamat siang."
Win memutus sambungan telepon dengan lega. Untung Pak Pod puas dengan kamar penggantinya. Untung juga Pak Pod yakin dengan ucapan Win bahwa bulan madu nostalgianya akan jauh lebih indah dengan kamar yang menghadap bentangan sawah daripada taburan beras di lantai. Pak Pod memang bandar beras, tapi kan beras awalnya dari padi. Padi tumbuhnya di sawah—sungguh, bagai pelajaran anak SD.
"DOR! Ngelamun nih yeee... Pasti ngelamun jorok. Siang-siang pikiran udah kotor aja lo, Win." Entah dari mana datangnya, tahu-tahu Love nongol di hadapannya.
"Sialan lo! Otak gue kan nggak mesum kayak otak lo! Gue lagi—"
"Ngelamun kerja bakti membongkar selokan mampet, menguras bak sampah, bersihin kandang sapi. Itu kan jorok semua. Kayaknya gue nggak ngomongin yang mesum- mesum deh. Otak lo yang porno! Sukanya ngebayangin cowok-cowok bertelanjang dada. Ya kaaan?" sambung Love menyebalkan.
"Gila!" Win melempar gumpalan kertas brosur robek ke arah Love. Sobatnya sejak zaman kuliah ini memang sudah janji bakal mengunjungi stan pameran Win dan mengajaknya makan siang bareng. Kebetulan pameran wisata tahun ini diadakan di hotel Maximum, salah satu hotel bintang 5 di Jakarta, tempat Love bekerja sebagai staf marketing.
Love cengengesan. "Kan, ngelamun jorok," katanya sambil nyengir. "Jadi lunch nggak? Naga-naga di perut gue udah akrobatik nih. Laparrr!"
Kadang Win bertanya-tanya, hotel ini kok bisa-bisanya menerima staf marketing senyablak dan sengasal Love. Atau, jangan-jangan berkat sifat nyablaknya, Love bisa meyakinkan—lebih tepatnya: memaksa—klien-kliennya untuk bilang 'oke'?
Win membereskan isi tasnya yang berserakan di meja. "Ya jadi dong. Gue juga lapar. Mau makan apa?"
"Apa ajalah, asal jangan beling atau sandal jepit! Yuk! Mix mau ikut. Dia udah nungguin kabar dari kita mau lunch di mana." Love menyeret Win supaya cepat-cepat berdiri.
**
"Nih...." Love menyodorkan undangan beramplop pink dengan aksen pita putih raksasa yang menurut Win agak lebay.
Alis Win mengernyit. "Undangan siapa nih?"
"Ya baca dong. Be-u-bu de-i-di... Budi... Bisa baca, kan?" jawab Love rese sambil menyeruput Thai teanya. Karena perut laparnya nyaris bikin pingsan, Win dan Love akhirnya langsung masuk ke salah satu kafe di Maxi Mal di seberang hotel. Kelihatannya di sana masih ada meja kosong di tengah jam makan siang Jakarta yang crowded ini.
Win hampir menggetok Love pakai sendok sup kalau saja matanya nggak keburu melotot membaca nama di undangan lebay yang dia pegang.
"Hah? Tawan? Tawan yang itu? Tay Tawan gue?"
"Tawan lo? Bukan punya lo lagi kaleee...," jawab Love rese.
"Iyeee... maksudnya mantan gue? Dia mau kawin?" lanjut Win takjub.
"Nikah, Win."
Love betul-betul minta dijitak pakai tenaga dalam.
"Iya, whatever, nikah. Ini Tawan yang itu kan?"
Love mengangguk. "Yoi. Tawan yang itu. Undangan ini dikirim ke Shisha, admin grup Blackberry kampus. Satu undangan untuk rame-rame, buat anak kampus. Lo sih nggak join grup."
"Males," jawab Win singkat.
"Kita datang ya?" ajak Love semangat. "Kali aja si Tawan nyesel kawin pas lihat lo."
Win melotot. Nih anak otaknya memang rada korslet. "Amit-amit lo, Makanya sekrup otak tuh dikencengin biar nggak ngaco melulu."
Love ngakak. "Eh, Win, tapi pasti sekarang lo nyesel deh. Si Tawan ternyata cowok sejati, pacaran untuk menuju pernikahan. Coba kalau lo nggak putus, pasti nama lo yang tercetak di undangan pink ini. Terus lo dan dia bakal bermalam pertama romantis, bertema pink, terus lo... pakai lingerie Hello Kitty."
"Love, astaga... amit-amit banget sih lo! Jangan belajar gila deh. Lo nggak amnesia kan? Gue dulu putus sama Tawan karena nggak tahan sama romantisnya yang kelewat batas normal, tau?! Kalau undangan pernikahan gue kayak gini, sekalian aja yang diundang anak-anak TK se-Jabodetabek!"
Love cekikikan geli. "Daripada Mil, mendingan Tawan, kan?"
Wajah Win langsung keruh mendengar Love menyebut nama Mil. Pria brengsek yang tega menghancurkan kebahagiaan Win setahun yang lalu. Manusia mana yang nggak hancur waktu dijanjikan akan dilamar setelah dua tahun pacaran serius, tapi yang Win dapat malah SMS Mil yang bilang bahwa mereka sebaiknya putus karena Mil jatuh cinta pada orang lain.
Mil nggak bohong. Dia memang meninggalkan Win demi Mon—cewek montok ekstramodern yang bekerja sebagai marketing bank dan mau melayani Mil lahir batin tanpa harus dinikahi. Sedangkan Win? Dia masih manusia berbatang satu dan berbola dua yang ogah berhubungan sebelum sah.
"Sori, Win, kelepasan," kata Love, merasa bersalah.
"Kelepasan lo itu kayak rem truk yang udah butut di jalur Pantura. Blong!" Terdengar suara cempreng pria nyeletuk menyebalkan. Mix, si calon desainer muda Indonesia, menoyor jidat Love lalu mengempaskan badan sexynya yang berkaus ketat di samping Love.
"Eh, Siwi, kali ini lo yang traktir kan? Ini kan perayaan lo mau berangkat ke Italia selama dua bulan. Minggu depan lo udah cabut. Jadi ini kesempatan lo traktir kita-kita," todong Love sambil menowel bahu Mix.
Jadi, setelah menabung mati-matian, akhirnya impian Mix untuk menonton langsung pagelaran fashion kelas dunia bakal segera terwujud. Dia akan terbang ke Italia. Selain itu, Mix punya niat sampingan: cari jodoh. Kali-kali aja ada cowok bule keren yang nyangkut buat dibawa pulang ke Indonesia. Catat ya, yang keren, yang ganteng, yang body-nya ramping tapi six pack, yang bokongnya bulat dan kencang, yang... yang... yang mustahil didapat.
Mix cuma manyun. "Iyeee... tapi jangan kalap ya. Nanti uang jajan gue berkurang. Emangnya di sana gue nggak makan? Kalau pas pulang gue malah kurus kurang gizi, gimana? Kalian juga kan yang sedih."
"Emang dasar pelit mendarah daging! Lo kira gue sama Win gajah Lampung yang sekali makan ngabisin duit jajan lo sebulan? Lagian, bukannya lo ke sana sekalian cari jodoh? Jangan banyak-banyak makan lah! Perut lo bisa melaaar. Bule-bule nggak bakalan nafsu lihat lo."
Sementara duo Tom and Jerry itu berdebat, Win mengamati undangan pernikahan Tawan yang lebih mirip undangan ulang tahun anak-anak bertema Hello Kitty atau Princess Aurora daripada undangan pernikahan. Tawan ini teman kuliah Win dan Love. Dulu, setelah Bright—cinta terpendam Win—tiba-tiba pindah, Win sempat pacaran sama Tawan. Cowok cakep yang lumayan populer di kampus. Tawan juga manis dan romantis, tapi romantisnya itu yang justru bikin Win nggak sanggup lagi jadi pacarnya. Sekarang, akhirnya Tawan ketemu juga dengan pemuda yang tepat dan cocok dengan ekspresi romantisnya yang ultra megalodon, alias ekstrem.
Win memang menyukai hal-hal romantis, tapi yang wajar, natural, bisa bikin deg-degan dan merinding tanpa perlu usaha berlebihan. Bukan romantis menggebu-gebu ala Tawan yang malah cenderung bikin malu.
Win jadi ingat puncak kejadian yang bikin dia nggak tahan lagi. Waktu itu mereka berantem dan tiba-tiba Tawan meminta maaf dengan puisi romantis, rangkaian bunga-bunga, dan bernyanyi syahdu sambil berderai air mata di depan kompleks rumah Win. Amat sangat malu-maluin!
Soalnya, ditambah adegan Tawan nggak bisa menahan tangis sesenggukkan. Lebaynya akut!
Win suka pria romantis, tapi bukan yang menye-menye cengeng. Apalagi yang drama dan cenderung mempermalukan diri sendiri dan orang lain.
Win pengin ngerasain deg-degan yang bikin lutut gemetar dan pipi panas, seperti waktu dia diam-diam menaruh hati pada Bright dulu.
Pipi Win memanas. Ya ampun, setelah bertahun-tahun nggak pernah bertemu Bright sesudah cowok itu pergi ke Australia, ternyata mengingat pertemuan-pertemuan mereka di base camp kampus masih bikin Win tersipu.
Tujuh tahun. Sepertinya sudah selama itu mereka putus kontak sama sekali.
Win tercenung. Ingatannya melayang kembali ke masa itu.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top