Katakan Hari Ini, Putuskan Hari Ini...
"KAMPREEET!!!" Beberapa orang Indonesia yang ada di situ sepertinya langsung kepo pengin menatap langsung tampang pemuda yang naik roller coaster dan teriak kampret sekencang itu.
Win menggenggam erat pengaman yang menjepit badannya supaya nggak terbang dan mendarat di suatu tempat yang belum tercatat di peta, atau malah nyangsang di pohon terdekat.
Bodoh! Betul-betul bodoh! Mau-maunya dia diajak Bright duduk di rangkaian roller coaster di Universal Studio Singapore ini. Padahal, meski sudah berkali-kali ke sini, Win selalu men-skip wahana yang satu ini. Jantungnya berdegup cepat, panik dan ketakutan.
Bagaimana kalau selesai ini dia muntah? Ya ampun, malu banget! Harga diri! Biasanya Win bisa ngeles tiap kali ada yang merayunya untuk mencoba rangkaian rel roller coaster merah-biru dengan rel yang saling melilit ini. Tapi kali ini....
"KAMPRET! KAMPRET! KAMPREEET!!!" jerit Win lagi waktu mereka berputar terbalik
dan kaki Win serasa melayang di udara. Yang lebih menyebalkan, biarpun nggak terbahak-bahak, jelas dari ekspresi Bright yang tersenyum ajaib menyaksikan kelakuan Win. Cowok ini pasti kebanyakan lompat dari gunung, makanya nggak takut sama ketinggian dan kecepatan.
Hari kedua di Singapura sampai saat ini berjalan lancar. Semalam, sepulang dinner, Win mengusulkan mereka untuk langsung pulang ke hotel dan masuk ke kamar masing-masing, lalu istirahat mengisi tenaga untuk hari ini. Sebenarnya selain itu, Win merasa keputusan itu
paling baik. Sebisa mungkin dia harus mencegah terjadinya sesuatu yang nggak diinginkan di antara mereka.
Menutup peluang terjadinya masalah untuk datang. Hari ini, sesuai jadwal yang mereka buat, tujuan mereka memang hanya ke Universal Studio, seperti yang Nevvy tulis bukunya. Nggak ada hal istimewa yang disiapkan untuk kunjungan ke sini. Konsepnya betul-betul hanya main sampai puas. Intinya, rangkaian acara selama di Singapura yang disiapkan khusus hanya romantic dinner di Singapore Flyer semalam.
Nevvy bukannya belum pernah ke Singapura, sering malah. Hanya saja, rute Nevvy biasanya cuma airport, hotel, dan rumah sakit. Nggak pernah yang lain. Waktu theme park franchise kelas dunia ini dibuka, Nevvy Cuma bisa melihat dan mendengar kehebohannya lewat iklan,
berita, atau cerita orang. Itu alasan tempat ini masuk dalam daftar, dan wahana ini, menurut Bright, berada dalam daftar teratas Nevvy.
Tapi sekarang Win curiga itu bohong. Sepertinya itu cuma alasan Bright untuk mengerjai Win. Bright tertawa kalem. "Teriakan kamu kencang juga ya?"
Win melayangkan tas selempangnya dan menggebuk punggung Bright. "Ketawa aja terus! Puas kamu? Gara-gara tampang memelas kamu, aku jadi teperdaya mau dikerjain. Kamu bohong kan soal Nevvy pengin banget naik roller coaster laknat tadi? Kalau lihat muka kamu ketawa sekarang, aku yakin kamu bohong. Ayo ngaku!"
Bright masih tertawa geli. "Ehem...." Bright berdehem supayatawanya mereda. "Rasa penasaran Nevvy besar. Kalau dia bisa ke sini, aku yakin dia pasti naik roller coaster tadi.
Cuma ya nggak bakal teriak-teriak "kampret" kayak kamu tadi." Lalu Bright terkekeh lagi, gagal menahan geli.
"Nyebelin banget!"
Bright berhasil melompat menghindari gebukan tas selempang Win untuk kedua kalinya. Tiba-tiba Bright sudah berdiri di belakang punggung Win. Kedua tangan pria itu memegang pundak Win sambil memijatnya pelan. "Sabar, sabar, jangan ngamuk-ngamuk. Nanti darah
tinggi. Coba deh rasain sekarang, kamu lega nggak? Yang kamu teriakin kampret tadi bukan sembarang kampret, kan?" tanya Bright dengan suaranya yang tetap kalem dan tenang.
Langkah Win terhenti. Win lalu berbalik menghadap Bright. Matanya nggak berkedip. "Bukan kampret biasa. Kolor ijo." Win mengayunkan tas selempangnya tepat ke perut Bright, lalu melenggang pergi.
"Eh, Win!"
Diam-diam Win tersenyum waktu meninggalkan Bright yang mengejarnya. Tapi Bright benar, setelah berteriak-teriak dengan kata yang sangat nggak elit tadi, dada Win agak plong.
Hati Win terasa lebih enteng saat mereka keluar dari theme park. Waktu Bright memakaikan gelang Nevvy ke tangan Win lagi, Win juga nggak keberatan. Win malah memberikan pose gembira yang maksimal dengan melompat sambil mengangkat tangan waktu difoto bersama
gelang itu di depan logo theme park yang berbentuk bola dunia.
**
"Lho, kita ngapain di sini? Foei kok nggak bilang kita akan mampir ke sini juga?" Win menatap Bright bingung saat mereka berdiri di pintu masuk S.E.A. Aquarium. Bright menyerahkan tiket pada petugas lalu tersenyum pada Win. "Memang nggak. Tiket ini aku yang beli. Kita ke sini untuk kamu."
"Untuk aku? Ngapain? Udah jam berapa nih, Bri? Kita kan mau balik ke Jakarta nanti sore. Nanti telat ke airport."
Bright malah menarik tangan Win. "Ya ampun, Win, di sini mana ada yang jauh, mana ada macet. Tenang aja, masih sempat kok. Inget kan, kita ke sini untuk Nevvy dan untuk menghibur kamu. Ayo!" Bright melangkah maju, menarik Win masuk.
S.E.A. Aquarium mungkin bisa dibilang versi raksasanya Seaworld Indonesia di Ancol. Bedanya di sini semua serba lebih bagus. Sekarang mereka berdiri di depan jendela kaca raksasa yang dihuni berbagai macam ikan dengan berbagai ukuran.
Win melirik Bright. "Kok kepikiran ngajak aku ke sini sih? Biasanya menghibur orang selagi ada di negara ini ya dengan shopping. Kok aku malah diajak lihat ikan?" Win menggodanya dengan cuek.
Bright menoleh. "Pertama, shopping itu standar. Aku pikir mungkin kalau ke sini, kamu akan lebih terhibur. Kata orang, akuarium bisa meredakan stress. Bikin hati tenang. Siapa tahu efeknya bisa begitu juga buat kamu, atau—" Bright menahan senyumnya, "—mungkin dengan melihat hiu-hiu itu kamu bisa melepaskan kemarahan dengan membayangkan Luke masuk ke akuarium, lalu ditelan hiu."
Win tertawa pelan. "Bisa juga... tapi sebenarnya daripada melihat dia mati dimakan hiu, aku lebih suka melihat dia tersiksa. Misalnya, dia dicemplungin ke situ, lalu hiu-hiu itu dilatih cuma untuk ngejar-ngejar dia sampai dia kencing di celana, terus dia ditangkap petugas karena mencemari air akuarium dengan ompolnya." Ekspresi Bright melongo kocak.
"Kamu pelatih hiunya," lanjut Win sambil cekikkan. "Sebagai pencinta alam, lingkungan hidup, dan seisinya, pasti kamu bisa ngomong bahasa hiu."
Bright garuk-garuk kepala. "Jangankan bahasa hiu. Ikan-ikan teri di akuarium ini juga bisa aku latih untuk ngeroyok Luke."
Win tertawa. "Mana ada ikan teri! Kamu pikir ini pasar?"
Karena mereka ke sini bukan saat weekend atau musim liburan, tempat ini nggak terlalu ramai. Cuma Bright dan Win yang berdiri di depan jendela bulat berisi ubur-ubur. Akuarium khusus ubur-ubur itu sengaja dibuat agar ubur-ubur terlihat glow in the dark. Sekitarnya dibuat gelap, lalu dengan teknik pencahayaan, ubur-ubur di dalamnya tampak menyala persis lampion.
"Ubur-ubur juga, Bri...," kata Win sambil mengetuk kaca akuarium dengan telunjuknya.
Bright mengernyit. "Ubur-ubur juga apa?"
"Ubur-uburnya juga tolong dilatih. Mereka potensial untuk jadi pasukan penyerang Luke. Suruh mereka setrumi Luke, tapi jangan sampai mati, sampai bengkak-bengkak aja."
Mata Bright membulat. "Ya ampun, Win! Masih bahas itu? Kamu tuh ya...." Seperti releks, lengan Bright meraih dan merangkul bahu Win. Memiting pemuda itu pelan, dengan gestur bercanda. Bright nggak bisa mengontrol tangannya karena terlalu gemas.
Win merasa sekujur tubuhnya merileks. Begitu tangan Bright merangkulnya, Win malah tertawa, bukannya mengelak. Toh cuma bercanda. Win juga sering bercanda dengan teman-temannya, nggak masalah.
Lengan Bright masih merangkul bahu Win. Dengan gerakan cepat Bright menoleh menatap Win. Tapi, Bright sama sekali nggak siap karena ternyata Win sedang menatap dia dengan sisa-sisa tawanya. Tatapan mata mereka langsung bertemu. Jarak itu terlalu dekat. Rangkulan itu membuat mereka bisa merasakan hangat tubuh masing-masing.
Sekeliling mereka mendadak hening. Tawa Win ikut menghilang. Musik ceria yang tadi terdengar mendadak senyap. Bright cuma bisa mendengar suara degup jantungnya sendiri, begitu pula Win.
Bright mendekatkan wajahnya. Lebih dekat daripada sebelumnya. Tubuhnya seolah siap untuk apa pun reaksi Win. Ditampar, ditendang, atau didorong sampai jatuh terjengkang, dia siap. Dia merasa harus mencobanya sekali lagi. Perasaan ini nggak bisa diabaikan. Terlalu kuat dan menuntut.
Win tahu apa yang akan terjadi. Tapi badannya seperti mendapat perintah untuk diam. Tangannya lemas, kaki nya seperti terpaku ke lantai. Irama jantungnya seperti tabuhan drum yang semakin nggak beraturan. Dia Cuma bisa merasakan Bright. Wangi parfumnya yang lembut, napasnya yang hangat dan semakin dekat, tangannya yang semakin erat merangkul. Win cuma sanggup memejamkan mata, lalu... ciuman lembut itu lagi. Bibir Bright menyentuh bibirnya lembut bersamaan dengan wangi parfum dan napasnya yang semakin kuat. Nggak ada respons kaget dan marah seperti waktu di Bali.
Ciuman yang pertama terasa ragu. Ada sedetik jeda seperti menunggu reaksi Win. Lalu ciuman itu berubah menjadi ciuman yang penuh perasaan dan membuat Win terhanyut. Dia pun membalas ciuman Bright dengan kesadaran penuh.
Win melingkarkan tangannya di leher Bright. Pasrah ketika Bright melingkarkan tangan di pinggangnya, lalu menariknya sampai tubuh mereka begitu rapat. Perasaan itu terlalu kuat untuk terus-menerus dikurung. Akal sehat Win kalah, dan memutuskan untuk menikmatinya saja. Telapak tangan Bright memegang bahu Win. Ciuman menghipnotis itu sudah berhenti. Tapi, Bright masih menempelkan dahinya ke atas kepala Win. "Maaf, Win...."
Win menahan napas. "Untuk apa?"
"Maaf untuk—" Bright terenyak. Dia menegakkan kepala, menatap Win dengan canggung. "M-maksudnya, kamu nggak marah?"
Win balas menatap Bright. "Marah sama siapa? Marah sama kamu? Aku udah nggak bisa marah sama kamu dan menyalahkan kamu seperti waktu di Bali. Yang tadi itu, aku sadar sepenuhya."
Binar mata Bright berubah. Dari takut, lalu bingung, lalu bahagia. Bright meraih jemari Win. Entah keberanian dari mana, entah apa yang merasukinya. Mungkin perasaan yang terpendam terlalu lama, mungkin itu kebahagiaan yang terlalu meluap-luap. Bright menggenggam jemari Win erat.
"Win will you... marry me?" Dengan terbata-bata setelah mengumpulkan segala keberanian dan membuang semua kecanggungannya.
Waktu mendadak berhenti. Win mengerjap kaget. Ubur-ubur di dalam akuarium di belakang Bright yang tadi berenang ke sana kemari seolah menatap ke arah mereka. Biarpun Win nggak yakin ubur-ubur punya mata atau nggak ―"Bri...?" Cuma itu yang bisa keluar dari mulut Win untuk memastikan.
"Win, menikahlah sama aku. Aku dapat panggilan kerja, Win. Aku dapat panggilan untuk jadi animator di rumah produksi besar di Tokyo dan akan berangkat ke sana bulan depan. Tadi malam aku baru terima e-mailnya. Mereka akan kontrak aku satu tahun sebagai awalnya. Setelah itu, kalau mereka puas dengan kerjaanku, aku akan menetap di sana. Kita menikah, lalu kamu ikut ke sana sama aku. Kita atur waktu untuk ke rumah kamu, lalu kita—"
"Stop, stop,Bri.... Tunggu dulu...." Win mengangkat tangan panik. "Menikah...?" Bright mengangguk yakin. "Iya, Win. Menikah. Aku cinta kamu, masih sama seperti aku jatuh cinta sama kamu enam tahun lalu. Kamu... juga sama, kan? Kita sudah terpisah begitu lama, dan ternyata perasaan itu masih ada. Aku... nggak mau kehilangan kamu lagi, Win."
Letupan kebahagiaan dan sensasi deg-degan saat dicium Bright tadi tiba-tiba berubah arah. Win bingung. Menikah?!
Memang, dulu mereka saling suka, dan ternyata perasaan mereka masih sekuat itu sekarang. Tapi, menikah? Mana bisa mereka begitu saja memutuskan menikah. Mereka baru ketemu lagi sebulan lebih. Dan sebagian besar pertemuan mereka selama itu berkaitan dengan Honeymoon Express.
Oke, mereka berciuman dua kali. Tapi apa itu cukup untuk memutuskan untuk menikah?
Dulu hubungan Win dan Mil berjalan dua tahun, lalu apa? Mil pergi begitu saja, membuat Win dan keluarganya malu. Saat itu saja Win sudah begitu yakin dan percaya pada Mil, tapi pria itu bisa mengkhianatinya— apalagi ini, pria yang datang dari masa lalu, dan baru dekat dalam hitungan bulan. Apa bisa Win percaya begitu saja?
Win semakin panik. Berbagai pikiran berkecamuk di benaknya. Bagaimana kalau Win setuju menikah dengan Bright, tapi ternyata kehidupan pernikahan mereka tidak bahagia? Bagaimana kalau ternyata setelah menikah, banyak hal tentang pribadi Bright yang nggak bisa Win terima?
Win memang menyayangi Bright, tapi kenyataannya, dia belum terlalu mengenal Bright. Apa jadinya kalau setelah mereka menikah ternyata ini semua cuma letupan perasaan sesaat, dan bukan cinta? Apakah mereka akan saling meninggalkan?
Lalu, apa yang akan terjadi dengan Honeymoon Express kalau Win ikut ke Jepang bersama Bright?
Kepala Win mulai terasa pusing karena paniknya merajarela. Tapi, memikirkan harus long distance relationship aja Win sudah nggak suka.
Lalu satu fakta lagi melintas di kepala Win. Apa iya Win mencium Bright tadi karena tulus? Atau itu Cuma karena egonya yang merasa terhina oleh Luke? Dulu Win begitu marah menuduh Bright menjadikan dia pelampiasan, bagaimana kalau sekarang, tanpa sadar, dia yang melakukan itu pada Bright?
Nggak perlu waktu lama untuk Bright menyadari ada yang nggak beres. Bright langsung gugup. "Win, kamu nggak apa-apa?"
Win tercekat. "Aku... nggak bisa. Maaf."
Seperti ada karung sebesar kuda nil dijatuhkan tepat di atas kepala Bright, tiba-tiba kepalanya terasa berat. Semua euforia, semangat, dan optimisme yang menggebu-gebu tadi seperti menguap. Padahal Bright tadi begitu yakin saat gagasan itu muncul di kepalanya dengan spontan. Bright yakin chemistry mereka nyata. "Kenapa Win?"
Lalu masih di depan para ubur-ubur yang menyala di dalam akuarium, Win mengatakan semuanya yang berkeliaran di benaknya tadi. Bright mendengarkan dengan tertegun. Dia terlihat tenang seperti biasa, tapi sorot matanya sama sekali nggak bisa menyembunyikan kekecewaannya.
"Kita nggak bisa begitu saja menikah, Bri. Kita bahkan nggak pernah pacaran. Aku nggak menyangkal aku masih suka sama kamu seperti dulu. Tapi kamu sadar nggak sih, kita ini sebetulnya nggak terlalu saling kenal? Dulu kita memang saling suka, tapi aku dan kamu juga nggak sedekat itu, kan? Kita cuma sesekali ngobrol, ketemu di kegiatan klub dan diam-diam saling mengagumi."
Napas Bright terdengar berat. Bright meraih jemari Win. Dia nggak mau melepaskan Win begitu saja. "Jadi kamu mau kita lebih saling kenal? Kita jadian aja sekarang. Jadi pacarku. Nanti setelah masa kontrak tahap awal selesai, aku akan kembali dan melamar kamu."
Win menepuk telapak tangan Bright yang menggenggam sebelah tangannya dengan lembut. "Kamu nggak dengerin aku ya, Bri? Aku... aku nggak yakin bisa LDR. Coba kamu bayangkan, Bri, kita baru ketemu dan harus berpisah lagi. Aku nggak yakin aku bisa sepenuhnya percaya sama kamu."
Bright menggenggam tangan Win lebih erat. "Kalau gitu, menikah sama aku, Win. Aku janji akan membahagiakan kamu. Aku cinta sama kamu."
"Berapa ukuran sepatuku, Bright?"
Bright terenyak. "Apa?"
"Kamu tahu restoran favoritku?" Win menatap Bright lurus-lurus. "Kamu tahu siapa Mix?, Kamu tahu kakekku meninggal tiga bulan yang lalu?" Win mengembuskan napas sangat pelan melihat Bright terdiam. "Itu, Bright... sedangkal itu kamu tahu tentang aku, dan pasti sedangkal itu juga yang aku tahu tentang kamu. Aku bahkan belum pernah ke rumahmu."
Bright melepaskan genggamannya di jemari Win. Ucapan Win benar. Yang mereka tahu cuma kenangan enam tahun lalu dan begitu sedikit tentang masa sekarang. Ego Bright nggak bisa menerima penolakan Win karena dia yakin ini memang cinta. Di sisi lain, Bright mengerti sepenuhnya maksud Win.
Sekian detik Bright terdiam. Kembali mencerna semua yang Win katakan, lalu ia pun paham. "Jadi menurut kamu, kita harus gimana? Apa kamu benar-benar nggak mau ngasih kesempatan untuk kita?"
"Aku mau tapi...." Bright menahan napas. Menunggu kalimat selanjutnya dari mulut Win. "Tapi aku juga mau memastikan perasaan kita ini memang nyata. Aku mau mengulang pertemuan kita ini dari awal."
"Maksudnya gimana, Win?"
Win membulatkan tekadnya. Dia perlu bukti bahwa perasaan mereka bukan hanya karena situasi. Win perlu meyakinkan diri sendiri. "Aku mau setelah ini kita berpisah dan jalan sendiri-sendiri."
Bright semakin nggak paham. Katanya Win mau memberi kesempatan untuk mereka, tapi kenapa malah mau berpisah?
"Aku mau kita putus kontak sepenuhnya. Menghilang dari kehidupan masing-masing."
"Tunggu, maksudmu apa, Win?"
Win menyentuh tangan Bright pelan. Biasanya Bright selalu tenang. Selalu bisa menjaga perasaanya stabil dan nggak panik. Tapi kali ini beda. Belum mendengar sampai habis omongan Win, perasaannya sudah lebih dulu kalut.
"Bright, aku mau kita putus kontak dan menghilang dari kehidupan masing-masing. Kamu nggak usah tahu apaapa soal aku dan aku juga nggak usah tahu apa-apa soal kamu. Satu tahun, Bri. Sama seperti lama kontrak kerja kamu di Jepang. Itu batas kita untuk bisa saling mengontak lagi."
"Aku... beneran belum ngerti, Win."
Win menggenggam tangan Bright. Bright harus tahu bahwa dia melakukan ini demi mereka berdua. Supaya sama sekali nggak ada keraguan. "Kalau dalam waktu satu tahun, kita sama sekali nggak pernah kebetulan bertemu, temui aku di gerbang depan kampus kita. Tanggal dan jam yang sama seperti hari ini, satu tahun lagi. Kalau saat itu perasaan kita masih sama, dan kita sama-sama belum punya pasangan, aku mau jadi pacar kamu, Bri. Tapi ingat ya, kita sama sekali nggak boleh saling mencari selama setahun."
"Satu tahun? Satu tahun itu lama, Win—"
"Bright...," potong Win, "seandainya sebelum setahun kita bertemu tanpa direncanakan, dan ternyata perasaan kita masih sama, dan belum punya pasangan, aku... aku mau jadi pendamping kamu."
Suara Bright seakan mendadak hilang. Bright sama sekali nggak menyangka Win bakal mengajaknya melakukan perjanjian gila seperti itu.
"Kenapa diam, Bri? Kamu nggak yakin kita bisa melakukan itu? Kamu jadi nggak yakin sama perasaanmu?"
"Bukan begitu, Win."
"Kalau gitu...," Win mempererat genggamannya, "kamu setuju, kan? Kamu bilang kamu mau kasih kesempatan untuk kita. Aku juga mau, tapi sebelum itu, aku harus yakin. Dan dengan cara ini, aku mau meyakinkan diriku sendiri dan pengin membuktikan bahwa kamu juga yakin." Win menahan napas. "Tapi kalau kamu nggak setuju aku—"
"Aku setuju, Win." Win terpaku menatap Bright. "Aku setuju," ulangnya. "Lalu... apa selanjutnya?"
"Handphone kamu...," Win mengulurkan tangan meminta ponsel Bright. Dengan wajah bingung Bright menyerahkan gadget-nya. "Semua kontakku juga semua komunikasi kita udah aku hapus. Aku juga bakal melakukan hal yang sama di gadgetku, termasuk kontaknya Love dan semua yang berhubungan dengan kantorku. Kita mungkin ingat alamat email masing-masing, tapi aku nggak akan pernah mengirimi kamu e-mail atau membalas e-mail dari kamu."
Bright sangat terkejut Win bakal sampai sejauh itu. Tapi sepertinya Bright bisa mengatur pertemuan nggak sengaja tanpa perlu punya nomor kontak Win. Dia masih punya tiga minggu lebih. Win bilang, kalau mereka ketemu nggak sengaja sebelum setahun, Win langsung mau menjadi pasangannya, kan?
"Bright, kamu berangkat bulan depan, kan?"
Bright mengangguk. Lalu kalimat Win selanjutnya mematahkan semua rencana yang terlintas di kepala Bright. "Kita mulai putus kontak dari sekarang ya, Bri. Tapi setahun itu terhitung setelah kamu berangkat. Misalnya sebelum kamu berangkat, kita nggak sengaja ketemu, itu... nggak terhitung."
Bright nggak bisa menyembunyikan kekecewaanya. Win sangat serius dengan rencananya dan sudah memperhitungkan segalanya. Dan... dengan saksi beberapa ekor ubur-ubur yang menyala, Bright dan Win sepakat hari ini adalah pertemuan dan komunikasi terakhir mereka mungkin sampai setahun ke depan. Win mendekat ragu, lalu memeluk Bright—sangat erat.
Bonus visual si Bri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top